BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Teori keagenan - MEITY FITRIANA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Teori keagenan

  Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan . untuk memahami corporate governance Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost), (Bangun dan Vincent, 2008).Menurut Darmawati, dkk.

  (2004) Hubungan keagenan adalah adanya pemisahan antara kepemilikan (principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Investor memiliki harapan bahwa manajer akan menghasilkan returns dari uang yang mereka investasikan. Jensen dan Meckling (1976) dalam wulandari (2006) menggambarkan hubungan agen sebagai suatu hubungan antara pemilik perusahaan (prinsipal) dengan agen dalam pendelegasian wewenang untuk pengambilan keputusan kepada agen.

  Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi apabila pihak yang bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989 dalam Darmawati, dkk(2004)). Pertama, yaitu masalah keagenan yang timbul pada saat tujuan prinsipal dan agen berlawanan serta sulit bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang dilakukan

  

9 oleh agen. Kedua, masalah pembagian resiko yang timbul pada saat kedua belah pihak memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi resiko. Jensen dan Meckling (1976), Watts dan Zimmerman (1986) dalam Herawaty (2008) menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka- angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik diantara pihak- pihak yang berkepentingan. Sebagai bukti pertanggungjawaban atas kinerjanya maka agen dapat melaporkannya dengan bukti laporan keuangan tersebut. Agar prinsipal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sejauh mana agen bekerja dalam meningkatkan kesejahteraan serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen.

  Corporate governance merupakan suatu mekanisme pengelolaan

  yang didasarkan pada teori keagenan. Penerapan konsep corporate governance diharapkan dapat memberikan kepercayaan bagi agen (manajer) dalam mengelola kekayaan pemilik (investor), dan pemilik menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan untuk kesejahteraan agen(Darwis, 2009).

2.2 Pengertian corporate governance

  FCGI (2001b) dalam Darwis (2009) mendefinisikan bahwa

  corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur

  hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, sehingga menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder).

  The Organization of Economic Corporation and Development

  (OECD) mendefinisikan corporate governance sebagai serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, pengurus, pemegang saham, dan semua pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (stakeholder). Ini adalah definisi yang netral sesuai dengan ilmu ekonomi murni dan tidak mencerminkan tujuan dari corporate governance yang sangat berorientasi pada nilai (Chapra dan Habib Ahmed, 2008).

  Adrian Cadbury (1992) dalam Wulandari (2006) mengungkapkan bahwa corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan atau mengawasi perusahaan. Sedangkan menurut Hidayah (2008) menyimpulkan bahwa corporate governance merupakan sistem dan struktur yang baik untuk mengelola perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham serta mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholder) seperti kreditur, supplier, asosiasi bisnis, konsumen, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas.

  Bangun dan Vincent (2008) mengemukakan bahwa corporate

  governance merupakan salah satu dasar dalam meningkatkan efisiensi

  ekonomis, yang meliputi hubungan antara manajemen perusahaan dan

  

stakeholder . Corporate governance juga diperlukan untuk mengendalikan

  perilaku pengelola perusahaan agar bertindak tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, yaitu menyamakan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan. Monks (2003) dalam Thomas (2006) mengemukakan bahwa good corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.

  Beberapa penelitian tentang corporate governance menunjukkan hasil bahwa corporate governance berpengaruh terhadap kinerja keuangan, misal pnelitian yang dilakukan oleh Darwis (2009), Kusumawati (2005), dan Wulandari (2006). Menurut Hidayah (2008) yang meneliti pengaruh kualitas pengungkapan informasi terhadap hubungan antara penerapan

  

corporate governance dengan kinerja perusahaan menyimpulkan bahwa

  penerapan corporate governance tidak mempengaruhi kinerja pasar perusahaan secara langsung.Sayidah (2007) yang menyimpulkan bahwakualitas corporate governance tidak mempengaruhi kinerja perusahaan.

  Sistem tata kelola perusahaan yang baik menuntut dibangun dan dijalankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan (corporate governance) dalam proses manajerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip

  Good Corporate Governance yang berlaku secara universal diharapkan

  perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para stakeholder (Yusrita dkk, 2010).

  Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu:

  1. Transparency (keterbukaan informasi)

  

Transparency atau keterbukaan informasi merupakan suatu prinsip yang

  harus diwujudkan oleh suatu perusahaan untuk menyediakan informasi yang sudah diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas yang bersifat akurat, efisien dan tepat waktu dalam penyampaiannya kepada para stakeholders.

  2. Accountability (kejelasan fungsi)

  

Akuntability atau kejelasan fungsi yang dapat dipertanggungjawabkan,

  yaitu bahwa Anggota dewan direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham dalam Penilaian yang bersifat independent terlepas dari manajemen dan adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

  3. Responsibility (pertanggungjawaban) Bentuk pertanggungjawaban suatu perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat disekitarnya. Dengan diterapkannya prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada

  shareholder juga kepada stakeholders lainnya.

  4. Fairnes (keadilan) Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

  Diharapkan fairnes dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.

  5. Indepandency (kemandirian) Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan- peraturan yang berlaku.

  Bapepam berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam mendorong implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia. Peraturan dan kebijakan bapepam terkait dengan GCG antara lain menyangkut keputusan Bapepam mengenai prinsip transparansi yang mewajibkan perusahaan untuk mempublikasikan informasi secara umum mengenai aspek yang terkait dengan pemegang saham, transaksi material, dan perubahan dalam aktivitas bisnis inti, keputusan mengenai merger dan akuisisi perusahaan publik, serta pengungkapan mengenai perusahaan apakah dlam proses peradilan kepailitan. Peraturan kedua yaitu keputusan Bapepam kuputusan Bapepam yang terkait dengan penerapan prinsip-prinsip kewajaran terutama untukperlindungan kepentingan dan hak pemegang saham,ketentuan mengenai benturan kepentingan dalamtransaksi-transaksi tertentu, dan ketentuan mengenaipenawaran tender.Ketiga, keputusan Bapepam mengenai penerapanprinsip responsibilitas dan akuntabilitas sepertikeputusan mengenai merger dan akuisisi perusahaanpublik, terutama terkait dengan kewajiban direksi dandewan komisaris untuk membuat pernyataan kepadaBapepam dan RUPS bahwa merger dan akuisisi yanghendak dilakukan telah mempertimbangkan secaramatang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders,kepentingan publik, kepentingan perusahaan,persaingan yang sehat, dan jaminan akan terpenuhinyahak-hak pemegang saham publik termasukkewajiban untuk memiliki komite audit (Thomas, 2006).

  Dalam pelaksanaan penerapan GCG diperusahaan adalah penting bagi perusahaan untuk melakukan tahapan-tahapan yang cermat. Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil menerapkan GCG menggunakan tahapan-tahapan berikut (Chinn, 2000; Shaw, 2003; dalam Thomas, 2006) :

  1. Tahap persiapan Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yaitu : pertama, awareness

  building yaitu merupakan langkah awal untuk membangunkesadaran

  mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Kedua, GCG assesmentyaitu merupakan upaya untuk mangukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG saat ini. Ketiga, GCG manual building yaitu langkah berikut setelah GCG assesment dilakukan.

  2. Tahap implementasi Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah berikutnya yaitu memulai implementasi diperusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni : 1) Sosialisasi, diperlukan untuk memperkenalkankepada seluruh perusahaan berbagai aspek yangterkait dengan implementasi GCG khususnyamengenai pedoman penerapan GCG. 2) Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukansejalan dengan pedoman GCG yang ada, berdasarroadmap yang telah disusun.

  3) Internalisasi, yaitu tahap jangka panjang dalamimplementasi.

  Internalisasi mencakup upaya-upayauntuk memperkenalkan GCG di dalamseluruh proses bisnis perusahaan kerja, danberbagai peraturan perusahaan.

  3. Tahap evaluasi Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu untukmengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCGtelah dilakukan dengan meminta pihak independenmelakukan audit implementasi dan scoring ataspraktik GCG yang ada.

  Berdasarkan definisi atau pengertian good corporate governance di atas dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya good corporate governance adalah mengenai sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan.

2.3Dewan komisaris

  Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggungjawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan (Nasution dan Doddy , 2007). Hubungan antara jumlah anggota dewan komisaris dengan nilai perusahaan didukung oleh perspektif fungsi service dan kontrol yang dapat diberikan oleh dewan komisaris (Darwis, 2009). Yenmark (1996), Eisenberg, Sundgren, dan Wells (1998), dan Jensen (1993) dalam Nasution dan Doddy (2007) mengatakan bahwa makin banyaknya personel yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan. World Bank (1999) dalam Darwis (2009) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efisien dalam rangka untuk mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan perusahaan, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Mekanisme (pengendalian) internal dalam perusahaan antara lain struktur kepemilikan dan pengendalian yang dilakukan oleh komisaris dalam hal ini komposisi dewan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Darwis (2009) menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Bangun dan Vincent (2008) juga menyimpulkan bahwa jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan.

2.4 Kepemilikan Institusional

   Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan

  besar terhadap investasi saham yang dilakukan. Institusi biasanya menyerahkan tanggungjawab kepada divisi tertentu untuk mengelola investasi suatu perusahaan (Etty, 2009). Kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan.

  Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba (Bangun dan Vincent, 2008). Herawaty (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan.

  Hal yang sama juga dilakukan Darwis (2009) yang menemukan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kinerja perusahaan investor institusional mempunyai akses atas sumber informasi yang lebih tepat waktu dan relevan yang dapat mengetahui keberadaan pengelolaan laba lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan investor individual. Penelitian lain yang dilakukan Wulandari (2006) menemukan bahwa kepemilikan institusional tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja.

2.5 Kepemilikan manajerial

  Kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham atau pemilikdalam perusahaan dari pihak manajemen yang ikut aktif dalam pengambilan keputusan suatu perusahaan (Downes dan Goodmen, 1999 dalam Etty, 2009). Jensen dan Meckling (1976) dalam Herawaty (2008) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham.

  Bukti empiris mengenai Kepemilikan manajerial telah dilakukan oleh Darwis (2009) dan Yusriati dkk (2010) yang menemukan hasil yang sama bahwa tidak ada pengaruh antara kepemilikan manajerial terhadap kinerja keuangan. Penelitian lain juga dilakukan Herawaty (2008) yang membuktikan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan.

2.6 Dewan komisaris independen

  Dewan komisaris diberi tugas dan tanggungjawab dalam pengawasan kualitas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan.

  Dengan adanya dewan komisaris independen, diharapkan para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik. Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan pelaporan keuangan (Budiono, 2005 dalam Darwis 2009). Struktur governance di Indonesia memisahkan antara dewan komisaris dengan dewan direksi.

  Jumlah dewan komisaris independen yang disarankan adalah 20% dari jumlah total dewan komisaris yang berasal dari luar pemilik atau kalangan profesional (Wulandari, 2006).

  Penelitian yang dilakukan oleh Herawaty (2008) menemukan bahwa komisaris independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini kontradiktif dengan Yusriati dkk (2010) dan Darwis (2009) menemukan bahwa komposisi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2006) yang menemukan hasil bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.

2.7 Komite audit

  Komite audit merupakan sistem pengendalian perusahaan, sesuaiketentuan Bank Indonesia, Komite Audit diketuai oleh Komisaris Independen, sedangkan anggota Komite adalah pihak-pihak independen yang memiliki kompetensi di bidang-bidang yang dipersyaratkan. Seluruh keanggotaan Komite Audit adalah independen sehingga tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan Dewan Komisaris, Direksi dan/atau Pemegang Saham Pengendali atau hubungan dengan perusahaan yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.Komite audit merupakan salah satu komite yang memiliki peranan penting dalam corporate governance. Tugas komite audit adalah membantu dewan komisaris untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh.

  Penelitian tentang komite audit sebelumnya telah dilakukan oleh Yusriati (2010) yang memberikan bukti bahwa komite audit mempunyai pengaruh terhadap kinerja keuangan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Herawaty (2008) yang menemukan bukti bahwa kualitas audit berpengaruh terhadap signifikan terhadap nilai perusahaan.

2.8 Kinerja keuangan

  Yusrita. dkk (2010) mendefinisikan, kinerja keuangan sebagai kemampuan kerja manajemen keuangan dalam mencapai prestasi kinerjanya. Menegaskan bahwa kinerja perusahaan merupakan suatu tampilan perusahaan dalam periode tertentu. Penilaian kinerja perusahaan adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagan organisasi, karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 1997 dalam Bara dan Elizabeth, 2006).

  Dalam membahas metode penilaian kinerja keuangan, perusahaan harus didasarkan pada data keuangan yang dipublikasikan yang dibuat sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan yang berlaku umum. Laporan keuangan ini merupakan data yang paling umum yang tersedia untuk tujuan tersebut, walaupun seringkali tidak mewakili hasil dan kondisi ekonomi. Laporan keuangan disebut sebagai "kartu skor" periodik yang memuat hasil investasi operasi dan pembiayaan perusahaan, maka fokus akan diarahkan pada hubungan dan indikator keuangan yang memungkinkan analisa penilaian kinerja masa lalu dan juga proyeksi hasil masa depan dimana akan menekankan pada manfaat serta keterbatasan yang terkandung didalamnya (sucipto, 2003).

2.9 Kerangka pemikiran

  Suatu perusahaan akan mencapai tujuan yang diharapkan apabila kinerja didalam perusahaan dapat diterapkan dengan baik secara maksimal.

  Sistem tata kelola perusahaan yang baik menuntut dibangun dan dijalankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan (corporate governance) dalam proses manajerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip Good Corporate

  Governance yang berlaku secara universal diharapkan perusahaan dapat

  hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para stakeholder (Yusrita. dkk, 2010).

  Mekanisme (pengendalian) internal dalam perusahaan antara lain struktur kepemilikan dan pengendalian yang dilakukan oleh komisaris dalam hal ini komposisi dewan. Dimana dewan komisarismerupakan suatu dewan yang memegang peranan penting dalam perusahaan dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar-benar meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian daripada pencapaian tujuan perusahaan. Yenmark (1996), Eisenberg, Sundgren, dan Wells (1998), dan Jensen (1993) dalam Nasution dan Doddy (2007) mengatakan bahwa makin banyaknya personel yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan.

  Kepemilikan institusional pada umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba (Bangun dan Vincent, 2008).

  Kepemilikan manajerial merupakan mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan- kepentingan manajer dengan pemegang saham seperti yang telah dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976) dalam Herawaty (2008). Kepemilikan manajerial telah dilakukan oleh Darwis (2009) dan Yusriati dkk (2010) yang menemukan hasil yang sama bahwa tidak ada pengaruh antara kepemilikan manajerial terhadap kinerja keuangan. Penelitian lain juga dilakukan Herawaty (2008) yang membuktikan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan.

  Dengan adanya dewan komisaris independen, diharapkan para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik. Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan pelaporan keuangan (Budiono, 2005 dalam Darwis 2009).

  Komite audit adalah sekelompok orang yang beranggotakan satu orang atau lebih yang dibentuk oleh dewan komisaris yang diketuai oleh komisaris independen yang bekerja secara kolektif untuk membantu dewan komisaris dalam tugasnya yaitu untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh.Komite audit merupakan salah satu komite yang memiliki peranan penting dalam corporate governance.

  Komite audit yang beranggotakan sedikit cenderung dapat bertindak lebih efisien. Akan tetapi, Komite Audit beranggota terlalu sedikit juga menyimpan kelemahan yakni minimnya ragam pengalaman anggota. Sedapat mungkin anggota Komite Audit memiliki pemahaman memadai tentang pembuatan laporan keuangan dan prinsip-prinsip pengawasan internal.Seperti penelitian yang dilakukan Herawaty (2008) yang menyatakan bahwa kualitas audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja.

  Berdasarkan rumusan masalah dan penelitian terdahulu, maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : ukuran dewan komisaris, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris independen dan komite audit. Dimana variabel tersebut merupakan elemen dari corporate governance yang perlu diterapkan didalam perusahaan guna memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Maka kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Dewan komisaris

  H2 H3

  Kepemilikan institusional Kinerja keuangan

  H4

  perusahaan Kepemilikan manajerial perbankan

  H1

  Komposisi dewan komisaris

  H5

  independen

  H6

  Komite audit

  Gambar 2.1

Model kerangka pemikiran

2.10 Hipotesis

  Berdasarkan asumsi diatas dapat disimpulkan hipotesis dari masing

  • –masing variabel antara lain, yaitu :

  H 1 : Ukuran dewan komisaris,kepemilikan institusional, kepemilikan

  manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit berpengaruh terhadap kinerja keuangan

  H :Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap kinerja keuangan.

  2

  H 3 : Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kinerja keuangan. H 4 : Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kinerja keuangan. H 5 : Komposisi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap kinerja keuangan.

  H

  6 : Komite audit berpengaruh terhadap kinerja keuangan.