BAB II PRITA PUSPITA SARI AKUNTANSI'14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Tinjauan Teoritis Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat

  dilakukan melalui perencanaan pajak. Dalam praktek bisnis umumnya pengusaha mengidentikkan pembayaran pajak sebagai beban, sehingga akan berusaha meminimalkan beban untuk mengoptimalkan laba. Dalam rangka meningkatkan efesiensi dan daya saing maka manager wajib menekankan biaya seoptimal mungkin, demikian pula dengan kewajiban membayar pajak. Biaya dan laba berbanding terbalik, semakin tinggi biaya maka laba yang diperoleh akan semakin rendah demikian sebaliknya semakin rendah biaya yang dikeluarkan secara efesien maka laba yang diperoleh juga semakin tinggi.

  Perencanaan pajak pada umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi tersebut terkena pajak. Bila transaksi tersebut terkena pajak apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Dalam perencanaan pajak terdapat aspek formal dan aspek administrasi serta material yang harus diperhatikan untuk mengkategorikan biaya-biaya tersebut sebagai pengurang laba atau dikecualikan sebagai biaya.

  Aspek formal administrasi perencanaan pajak merupakan kewajiban perpajakan mengenai kepatuhan terhadap Undang-undang yang

  9 berhubungan dengan sanksi, baik admistrasi maupun sanksi pidana. Sanksi administrasi maupun pidana merupakan pemborosan sumber daya sehingga perlu dieliminasi melalui suatu perencanaan pajak yang baik. Untuk dapat menyusun perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan yang baik diperlukan pemahaman terhadap peraturan perpajakan. Sedangkan aspek materiil adalah tindakan melibatkan efesiensi pengeluaran kas atas biaya- biaya operasional yang terjadi di perusahaan.

3.1.1. Pengertian Pajak

  Ada beberapa pengertian atau defenisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli. Suandy (2011:8) dalam bukunya Hukum Pajak mengemukakan definisi pajak menurut para ahli antara lain:

  1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Lebih lanjut Soemitr o menjelaskan bahwa kata “dapat dipaksakan” berarti bahwa bila hutang pajak itu tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan kekerasan seperti suat paksa dan sita, dan juga penyanderaan. Terhadap pembayaran pajak itu tidak dapat ditunjukkan adanya jasa timbal tertentu seperti halnya di dalam retribusi. Pengertian di atas kemudian dikoreksinya sendiri. Di dalam buku Soemitro yang berjudul Pajak dan Pembangunan, 1974, definisi tersebut diubah menjadi: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment

  .”

  2. Dr. Soeparman Soemahamidjaja: pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

  3. Prof. PJA. Adriani menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

  4. Prof. Dr. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, yang dapat dipaksakan,tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

  Dari keempat definisi pajak di atas yang dikemukakan para ahli, menunjukkan bahawa pajak yang dipungut pada prinsipnya sama yakni rakyat diminta menyerahkan sebagian hartanya sebagai kontribusi untuk membiayai keperluan bersama yang pada dasarnya dapat dipaksakan.

3.1.2. Pajak Penghasilan

  Mengacu pada Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau perorangan maupun badan yang berasa didalam negeri dan/ atau diluar negeri, yang terhutang selama tahun pajak.

  Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subyek pajak dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Subyek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh pengahasilan.

  Mardiasmo (2011:135), mendefinisikan Pajak Penghasilan (PPh) sebagai berikut: Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak (orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT)) atas penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak. Sesuai dengan SAK no.46 pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.

3.1.3. Tarif Pajak Badan

  Tarif pajak untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar 28% (dua puluh delapan persen).

  Tarif PPh tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku tahun pajak 2010. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan dibursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari pada tarif sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a yang di atur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

  Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

  Wajib Pajak dalam negeri dengan peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sampai dengan 50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar (Pasal 31 E UU PPh).

3.1.4. Perencanaan Pajak

3.1.4.1.Perencanaan dan Manajemen Strategis

  Perencanaan merupakan suatu keputusan spesifik yang dibuat oleh manajer perusahaan, pemanfaatannya dirancang untuk digunakan di masa akan datang, di dalamnya terdapat strategi, taktik dan operasi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan.

  Salah satu hasil yang paling penting dari proses perencanaan adalah “strategi perusahaan”, kemudian berlanjut menjadi suatu perencanaan khusus yang disebut “manajemen strategis”, yaitu proses manajemen yang mencakup pernyataan perusahaan dalam membuat rencana strategis dan kemudian bertindak berdasarkan rencana tersebut. Fungsi-fungsi spesifik manajemen yang digunakan dalam mengelola perusahaan menurut Batheman (2008) adalah:

  1. Planning, adalah proses menetapkan sasaran dan tindakan yang perlu untuk mencapai sasaran tersebut, yang berarti bahwa manajer harus terlebih dahulu memikirkan dengan matang sasaran dan tindakan yang akan dilakukan perusahaan dengan didasarkan pada metode, rencana atau logika dan bukan berdasarkan perasaan.

  2. Organizing, adalah proses mempekerjakan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam cara terstruktur guna mencapai beberapa sasaran, dengan kata lain organizing merupakan proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang dan sumber daya di antara organisasi.

  3. Leading, adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok atau seluruh organisasi yang terdiri dari mengarahkan, mempengaruhi dan memotivasi karyawan untuk melaksanakan tugas yang penting.

  4. Controlling, adalah proses untuk memastikan bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang direncanakan.

  Zain (2008) menjelaskan manajemen pajak sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Secara teoritis, tax

  

planning merupakan bagian dari fungsi-fungsi manajemen pajak

yang terdiri dari: planning, implementation dan control.

  Apabila dihubungkan dengan fungsi-fungsi spesifik manajemen, perencanaan memenuhi kewajiban perpajakan (tax

  

planning ) termasuk ke dalam salah satu fungsi-fungsi spesifik

  manajemen, yaitu fungsi planning dimana dalam menetapkan proses menetapkan perencanaan penyusutan strategi penghematan pajak, manajer terlebih dahulu harus memikirkan dengan matang sasaran dan tindakan yang didasarkan pada penelitian dan pengumpulan ketentuan peraturan perpajakan, sehingga manajer dapat memenuhi kewajiban perpajakan perusahaan secara lengkap, benar dan tepat waktu.

  Apabila perencanaan pajak (tax planning) perusahaan tidak baik atau memiliki kelemahan-kelemahan, maka sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pemborosan yang sebenarnya dapat dicegah. Apabila pemborosan tersebut terjadi terus-menerus, maka penghasilan perusahaan lama kelamaan akan semakin menurun yang pada akhirnya tidak dapat bersaing dengan kompetitornya, sehingga kelangsungan hidup perusahaan menjadi terancam.

4.1.4.2.Pengertian Tax Planning

  Menurut Crumbley, Fredman dan Susan (1994:300) dalam Eni Ramayanti (2010),

  “Tax Planning is the systematic analysis of difering tax options aimed at the minimization of taxliability in current and future tax periods” (Perencanaan pajak adalah sistem

  analisa dalam meminimalkan kewajiban perpajakan dalam waktu berjalan dan pada periode yang akan datang).

  Menurut Zain (2003:67) “Tax planning atau perencanaan pajak adalah merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya”.

  Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefesienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax

  

avoidance) yang merupakan perbuatan legal yang masih dalam

  ruang lingkup peraturan perundang-undangan perpajakan, dan bukan penyingkiran pajak (tax evasion).

  Lumbantoruan (1996:354) menyatakan “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekankan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”.

  Menurut Suandy (2003:7) “Perencanaan pajak adalah tahap awal dalam penghematan pajak. Strategi penghematan pajak disusun pada saat perencanaan, perencanaan pajak merupakan upaya legal yang bisa dilakukan oleh wajib pajak”. Tindakan tersebut legal karena penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur (loopholes).

  Perencanaan pajak (tax planning) dapat dilakukan dengan cara mematuhi peraturan perpajakan (lawful) yaitu tax avoidance, maupun melanggar peraturan perpajakan (unlawfull) yaitu tax

  

evasion . Istilah manajemen pajak ini sering disamakan dengan

  perencanaan pajak padahal sesungguhnya kedua istilah ini adalah berbeda satu dengan yang lain sebagaimana dinyatakan oleh Gunadi (2007:483) bahwa:

  Manajemen pajak sebagai suatu strategi penghematan pajak dan strategi penghematan (tax saving) lainnya adalah perencanaan pajak (tax planning), penghindaran pajak (tax avoidance). Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Sedangkan perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak.

4.1.4.3.Manfaat Perencanaan Pajak

  Tax planning merupakan bagian dari manajemen memiliki

  beberapa manfaat yang berguna bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha dalam mencapai laba maksimum. Ada 4 hal yang penting diambil sebagai keuntungan dalam perencanaan pajak yaitu:

  1. Penghematan kas keluar, pajak dianggap sebagai unsur biaya yang dapat diefisienkan.

  2. Mengatur aliran kas, karena dengan perencanaan pajak yang dikelola secara tepat perusahaan dapat menyusun anggaran kas lebih akurat mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak.

  3. Menentukan waktu pembayaran, sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan dikenakannya denda atau sanksi.

  4. Membuat data-data terbaru untuk meng-update peraturan perpajakan.

  Untuk menghemat pajak dapat dilakukan prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku.

  2. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk- bentuk usaha yang tepat.

4.1.4.4.Jenis-jenis Tax Planning

  Tax planning dibagi menjadi dua:

  1) Tax planning domestic nasional (national tax planning)

  National tax planning hanya memperhatikan Undang-Undang

  Domestik, pemilihan atas dilaksanakan atau tidak suatu transaksi dalam national tax planning bergantung pada transaksi tersebut, artinya untuk menghindari/mengurangi pajak, wajib pajak dapat memilih jenis transaksi apa yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada, misalnya akan terkena tarif pajak khusus final atau tidak?

  2) International tax planning

  International tax planning selain memperhatikan Undang-

  Undang Domestik, juga harus memperhatikan undang- undang atau perjanjian pajak (tax treaty) dari negara-negara yang terlibat.

4.1.4.5.Strategi Umum Perencanaan Pajak

  Cara yang yang dapat dilakukan untuk meminimalkan kewajiban pajak tetapi masih memenuhi ketentuan perpajakan (law

  full ) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Cara

  yang digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak, adalah : a. Tax saving, yaitu upaya wajib pajak mengelakkan hutang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.

  b. Tax Avoidance, yaitu upaya wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dikenakan pajak atau upaya-upaya yang masih dalam kerangka ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang.

  c. Tax Evasion, yaitu upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak terutang secara ilegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

  Apabila implementasi tax planning pada perusahaan dilakukan secara baik dan benar, hal tersebut akan memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan yang diantaranya, adalah :

  a. Penghematan kas keluar, pajak dianggap unsur biaya yang dapat diminimalisasi dalam proses operasional perusahaan b. Mengatur aliaran kas, dengan tax planning yang dikelola secara cermat, perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat, mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak dan menentukan waktu pembayarannya, sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan denda atau sanksi

4.1.4.6.Laporan Keuangan Komersial dan Koreksi Fiskal

  Pihak manajemen perusahaan berkepentingan terhadap Laporan Keuangan yang informasinya akan digunakan untuk membuat perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan, sedangkan Pemerintah menggunakan Laporan Keuangan untuk kepentingan fiskal (pajak), terutama Laporan Laba/Rugi yang berisi informasi untuk menentukan pajak penghasilan yang harus ditanggung oleh perusahaan. Pedoman penyusunan Laporan Keuangan di Indonesia diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan, sedangkan perhitungan pajak terutang berpedoman pada Undang- undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. Oleh karena itu, Laporan Laba/Rugi akan menghasilkan dua informasi, yaitu: a. Laba/Rugi Komersial, menghasilkan laba sebelum pajak (pre

  tax financial income ), yaitu laba yang diperoleh dari hasil

  perbandingan antara pendapatan dengan beban pada Laporan Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

  b. Laba/Rugi Fiskal, menghasilkan informasi laba kena pajak (taxable income), yaitu jumlah yang digunakan sebagai dasar perhitungan Pajak Penghasilan terutang.

  Latar belakang yang menjadikan laba dalam Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal berbeda, secara umum dapat dikelompokkan menjadi: a. Perbedaan tujuan atau sasaran perusahaan, mengakibatkan tidak terdapatnya complete agreement antara laba akuntansi dengan laba kena pajak. Hal tersebut terjadi karena disatu sisi, tujuan keuangan suatu perusahaan adalah memaksimalkan

  return on assets , shareholders ataupun stakeholders wealth

  dan net income, sedangkan tujuan pajak adalah meminimalkan pembayaran pajak sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku.

  b. Perbedaan ekonomis, manajemen harus mempertimbangkan

  revenue , cost dan time value of money ketika akan mengambil

  keputusan dalam investasi, pendanaan, memperhatikan biaya modal setelah pajak dan dividen.

  c. Area perbedaan, faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antara laba sebelum pajak (menurut akuntansi) dengan laba kena pajak (menurut perpajakan) adalah perbedaan waktu dan perbedaan permanen.

  Area Perbedaan Waktu (sementara) timbul karena adanya perbedaan saat pengakuan, pelaporan penghasilan dan atau biaya antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal dalam satu tahun pajak. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan waktu adalah :

  a. Depresiasi aktiva berwujud, amortisasi aktiva sumber alam dan aktiva tak berwujud; b. Penilaian persediaan;

  c. Penghapusan piutang. Selain ketiga faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor yang dapat membuat terjadinya perbedaan waktu lainnya, namun secara tegas belum diatur dalam ketentuan perpajakan, sedangkan dalam akuntansi telah mengaturnya, yaitu: (1) pengakuan pendapatan dari penjualan angsuran; (2) biaya dibayar dimuka; (3) beban jaminan gratis; (4) foreign currency translation; (5) leasing; (6) biaya sebelum masa operasi; (7) unremitted earnings of subsidiaries; (8) perlakuan bunga dalam masa konstruksi. Sementara area perbedaan permanen, timbul karena disebabkan oleh; menurut prinsip akuntansi suatu penerimaan diakui sebagai penghasilan dan atau suatu pengeluaran diakui sebagai biaya atau kerugian yang bisa sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan komersial, sedangkan menurut peraturan perpajakan suatu penerimaan tersebut tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan atau suatu pengeluaran tersebut tidak pernah diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh dikurangkan dari penghasilan dalam laporan keuangan fiskal.

  Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan permanen, adalah: a. Penghasilan yang merupakan objek pajak yang bersifat final, menurut akuntansi akan ditambahkan pada laba usaha dalam periode direalisasikannya, sedangkan menurut perpajakan, tidak lagi digabungkan dengan pos penghasilan bruto karena sudah dikenakan pajaknya, langsung pada saat penghasilan itu terjadi (dengan tarif tertentu) oleh pemungut atau pemotongnya dan jumlah yang telah dibayarkan tersebut tidak bisa dikreditkan dengan pajak terutang. Penyesuaian terhadap Laporan Keuangan Komersial adalah: (1) laba sebelum pajak dalam Laporan Laba/Rugi Komersial dikurangi dengan jumlah penghasilan yang merupakan objek pajak yang bersifat final untuk menghitung laba kena pajak dalam menyusun Laporan Laba/Rugi Fiskal: (2) aktiva dalam Neraca Komersial dikurangi (ditambah) dengan sejumlah penghasilan yang merupakan objek pajak bersifat final untuk menyusun Neraca Fiskal. b. Adanya ketentuan perpajakan tentang penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan biaya yang bukan merupakan pengurang penghasilan, sedangkan menurut perpajakan bukan sebagai penghasilan. Penyesuaian terhadap Laporan Keuangan Komersial, adalah: (1) laba sebelum pajak dalam Laporan Laba/Rugi Komersial dikurangi dengan sejumlah penghasilan yang bukan merupakan objek pajak utuk menghitung laba kena pajak dalam menyusun Laporan Laba/Rugi Fiskal; (2) aktiva (hutang) dalam Neraca Komersial dikurangi (ditambah) dengan sejumlah penghasilan yang bukan objek pajak untuk menyusun Neraca Fiskal.

  

4.1.4.7.Biaya Yang Diijinkan Undang-Undang Sebagai Pengurang

Penghasilan (Biaya Deduktibel/ Deductible Cost)

  Dasar Hukum:

  1. UU Pajak Penghasilan No 36 th 2008

  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 93 Tahun 2010

  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010

  4. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto disebut biaya deduktibel (deductible cost) dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.

  Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

  Biaya-biaya yang diijinkan Undang-Undang untuk dikurangkan terhadap Penghasilan (biaya deduktibel/ deductible cost) adalah sebagai berikut:

  

 Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan

  dengan kegiatan usaha, antara lain: 1. biaya pembelian bahan; 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;

  3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan; 5. biaya pengolahan limbah;

  6. premi asuransi; 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8. biaya administrasi; dan 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;

  Biaya-biaya yang dimaksud lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

  Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.

  Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

  Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.

  Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma- cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.

  Pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan yang dapat dikurangkan sebagai biaya diatur dalam peraturan menteri keuangan Republik Indonesia nomor 83/PMK/.03/2009 tentang penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa:

   Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah:

  a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

  b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.

  c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.

   Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:

  a. pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau b. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.

   Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk:

  a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya; b. pelayanan kesehatan;

  c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;

  d. peribadatan;

  e. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;

  f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri

   Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.

   Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

   Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.

   Ketentuan mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah tertentu, dan batasan mengenai sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

   Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

  

 Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka

  usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.

  Pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009 menyatakan bahwa:

   Yang dimaksud dengan Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/ atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.

   Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah: 1. biaya periklanan di media elektronik media cetak, dan/atau media lainnya; 2. biaya pameran produk; 3. biaya pengenalan produk baru; dan/ atau 4. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

   Tidak termasuk Biaya Promosi adalah: 1. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.

  2. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.

   Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.

   Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

   Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain.

  

 Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud

  dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun ;

  Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi..

  Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.

   Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

   Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

   Kerugian selisih kurs mata uang asing; Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

   Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.

   Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.

   Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

  1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

  2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

  3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

  4. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

  Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.

  Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.

   Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuan diatur dengan Peraturan Pemerintah; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2010 tentang sumbangan bencana, fasilitas pendidikan, penelitian dan pembinaan olah raga dan pembangunan infrastruktur yang mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010. menyatakan bahwa: o

  Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas:

  

1. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana

  nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui, badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;

  2. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,

  yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;

  3. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan

  sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;

  

4. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang

  merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan

5. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya

  yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan o prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

  Sumbangan dan/atau biaya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:

1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal

  berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; 2. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan; 3. didukung oleh bukti yang sah; dan

  

4. lembaga yang menerima sumbangan dan/ atau biaya

  memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. o

  Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. o Sumbangan dan/atau biaya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. o

  Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang. o

  Biaya pembangunan infrastruktur sosial iberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana. o

  Nilai sumbangan dalam bentuk barang ditentukan berdasarkan: 1. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan; 2. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau 3. harga pokok penjualan, apabila barang yang o disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.

  Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana. o

  Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh o pemberi sumbangan. Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur o Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.

  Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan danj atau o biaya.

  Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau biaya sebagai lampiran laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak o Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.

  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

   Biaya Telepone seluler dan pemeliharaan kendaraan. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang perlakuan pajak penghasilan atas biaya pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan

  1. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran I butir 1 huruf c sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.

  2. Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

  3. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenisyang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran II butir 1 huruf b sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.

  4. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

  5. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran II butir 1 huruf b sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.

  6. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan.

  7. Apabila atas penghasilan Wajib Pajak yang dapat dibebani biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau berdasarkan norma penghitungan khusus, maka pembebanan biaya-biaya tersebut telah termasuk dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau berdasarkan norma penghitungan khusus.

  8. Atas biaya-biaya yang dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3, tidak merupakan penghasilan bagi para pegawai perusahaan yang bersangkutan.

   Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

4.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

  Tax Planning : Sebuah Pengantar sebagai Alternatif Meminimalkan