SKRIPSI KHUSNUL NUR AISYAH 210214064

  

ANALISIS FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI TENTANG

PEDOMAN PENYELENGGARAAN PARIWISATA BERBASIS SYARIAH

TERHADAP USAHA PERHOTELAN DI PONOROGO

SKRIPSI

  Oleh :

  

KHUSNUL NUR AISYAH

NIM 210214064

  Pembimbing:

Hj. ROHMAH MAULIDIA, M. Ag.

  

NIP. 197711112005012003

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2018

  

ABSTRAK

KhusnulNurAisyah, 2018. Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI

Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berbasis Syariah Terhadap Usaha Perhotelan Di Ponorogo. Skripsi. Jurusan Mu’amalah Fakultas

  Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.Pembimbing Hj. Rohmah Maulidia, M. Ag.

  Kata Kunci: Hotel Syariah, Fatwa DSN-MUI, PariwisataSyariah

  Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah resmi menerbitkan fatwa No: 108/DSN-MUI/X/2016, fatwa ini berisi tentang prinsip dasar penyelenggaraan dan standarisasi pariwisata berdasarkan syariah dengan berbagai ketentuan yang telah diatur salah satunya ialah ketentuan terkait hotel syariah.Hotel syariah adalah salah satu hotel yang menawarkan fasilitas yang sesuai dengan nilai islam, sehingga mampu meminimalisir adanya praktek perzinaan, minuman keras, narkoba dan perjudian. Seperti adanya larangan tamu bukan mahram yang menginap di hotel, bebas minuman beralkohol, hotel hanya menyediakan makanan dan minuman yag halal serta masih banyak lagi lainnya.

  Dengan demikian, penelitian ini merumuskan tiga hal masalah, yang pertama bagaimana analisis fatwa Dsn MUI terhadap fasilitas akomodasi perhotelan di Ponorogo, kemudian yang kedua adalah bagaimana analisis fatwa Dsn MUI terhadap penyediaan konsumsi perhotelan di Ponorogo,dan yang ketiga bagaimana analisis fatwa Dsn MUI terhadap nuansa estetika perhotelan di Ponorogo.

  Adapun jenis penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian lapangan yang menggunakan metode kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan pihak manajemen hotel Sankita Syariah dan Hotel Latiban Ponorogo. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metodei nduktif yaitu metode menekankan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut.

  Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fasilitas akomodasi yang disediakan usaha perhotelan di Ponorogo sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI dikarenakan terdapat aturan tata tertib tamu hotel yang tidak menerima pasangan yang bukan mahromnya, selain itu busana yang dikenakan karyawan/karyawati hotel sudah sesuai dengan prinsip syariah, akan tetapi penyediaan konsumsi usaha perhotelan di Ponorogo belum sesuai dengan pedoman dalam fatwa DSN MUI, dikarenakan pihak hotel belum memiliki sertifikat halal dari MUI, kemudian usaha perhotelan di Ponorogo tidak memiliki ornamen seperti patung dan lukisan yang mengarah pada kemusyrikan dan mengandung pornografi. Sebab ketentuan dalam fatwa disebutkan bahwa hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas yang mengarah kepada kemusyrikan, maksiat, pornografi, dan/atau tindakan asusila.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan kebudayaan

  yang beranekaragam serta keindahan alamnya yang memukau dan tersebar diseluruh nusantara. Dari keberagaman yang ada membuat Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang memiliki potensi pariwisata, apalagi dewasa ini istilah konsep “Sharia Tourism” atau wisata berbasis syariah sangat menarik untuk dikembangkan, setelah berbagai bisnis syariah mengemuka, seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan lain-lain kini bergulir ke ide

1 Wisata Syariah.

  Pariwisata syariah ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, yang disebutkan mengenai pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dan juga tentang kode etik pariwisata dunia yang menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. Nantinya, produkdanjasawisata, objekwisatadalampariwiatasyariahadalahsamadenganproduk, jasa,

  2 objekdantujuanpariwisatapadaumumnya.

  Potensi yang menjanjikan terhadap pengembangan wisata islami atau wisata syariah di Indonesia semakin diperkuat dengan launching pariwisata syariah pada tanggal 30 Oktober 2013 pada acara Indonesia Halal Expo 1

  (INDEX) di Jakarta Internasional Expo yang didukung oleh Kemenparekraf dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).Ada lima komponen yang dimasukkan dalam wisata syariah oleh Kementerian Pariwisata dan MUI yaitu sektor kuliner, fashion muslim, perhotelan dan akomodasi, kosmetik dan spa, serta

  3 haji umrah.

  Keterlibatanberbagaiindustri umum dalam bingkai ekonomi syariah menandakan bahwa sistem ekonomi syariah berkembang cukup luas dan pesat ke berbagai sektor dari yang awalnya hanya meliputi perdagangan produk halal, berkembang ke industri keuangan dan sekarang berkembang ke life style yang dapat berupa hospitality, recreation, perawatan, kesehatan dan lain sebagainya.

  Perkembangan dunia usaha yang tidak pernah lepas dari persaingan, perusahaan dituntut untuk selalu kreatif dan berinovasi untuk dapat bertahan, sehingga dalam mengembangkan suatu produk, produsen harus menentukan mutu sehingga dapat menempatkan posisi produk tersebut dipasar. Mutu yang ditawarkan diharapkan lebih unggul atau memiliki value yang lebih dari

  4 produk pesaing tanpa mengesampingkan unusr halal dan tayyibah.

  Unsur halal sangat memegang peranan penting dalam skala kehidupan saat ini, yang dimana disisi lain merupakan suatu pendukung komoditi ekuitas pasar yang potensial. Berbagai segmen pasar kehidupan ini sudah melirik basis syariah melihat potensi kedepannya yang semakin menjanjikan. Halal 3 KementerianPariwisata RI, The Indonesia halal Lifestyle & Bussines (Jakarta: PT Indonesia halal Lifestyle, 2016), 67. 4 Iwan Kurniawan, “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Minat Beli Ulang

  tidak hanya dari segi zat barangnya namun cara pengelolannya bisa diperhitungkan untuk menentukan halal tidaknya suatu barang/jasa. Dibidang jasa mulai terlihat segmen pasar yang signifikan dalam melirik unsur halal ini

  5 seperti jasa perhotelan.

  Hotel berbasis syariah memiliki perkembangan yang cukup meningkat, hal ini disebabkan karena masyarakat mulai memiliki pola pikir yang berkembang mengenai prinsip syariah, karena dengan prinsip syariah masyarakat atau kaum muslim akan diberikan pelayanan yang baik dan juga rasa aman. Hotel syariah ini tidak hanya terbatas pada kaum muslim saja, namun juga diperuntukkan bagi masyarakat umum lainnya, yang mana apabila

  6 mereka mau menerima ketentuan atau peraturan di hotel syariah tersebut.

  Hotel adalah sebuah bangunan yang disediakan kepada publik secara komersial untuk para tamu yang ingin mendapat pelayanan menginap, makanan atau minuman dan pelayanan lainnya. Konsumen pastilah menginginkan yang terbaik dalam setiap jasa yang ia beli karena itu adalah hak yang pantas mereka dapatkan. Hotel syariah adalah salah satu hotel yang menawarkan fasilitas yang sesuai dengan nilai islam, sehingga mampu meminimalisir adanya praktek perzinaan, minuman keras, narkoba dan perjudian. Seperti adanya larangan tamu bukan mahram yang menginap di hotel, bebas minuman beralkohol, hotelhanya menyediakan makanan dan minuman yag halal serta masih banyak lagi lainnya. 5 Iwanati Falsah Anak Agus Lian, “Analisis Motivasi Konsumen Dalam Memilih

  Hotel Walan Syariah Sidoarjo,” Skripsi (Surabaya; UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 4. 6

  Hotel syariah merupakan suatu jasa akomodasi yang beroperasi dan menganut prinsip-prinsip pedoman ajaran Islam. Secara operasional, pelayanan yang diberikan di hotel syariah tentunya hampir menyerupai hotel konvensional non syariah pada umumnya. Namun konsep hotel ini menyeimbangkan aspek-aspek spiritual Islam yang berlaku di dalam

  7 pengelolaan dan pengoperasiannya.

  Usaha perhotelan adalah satu dari sekian banyak usaha yang dilakukan manusia yang dalam kaidah fikih hal ini pada dasarnya diperbolehkan, sepertisewa menyewa, jual beli, kerja sama, selama tidak ada dalil (nash) yang melarangnya secara tegas. Sesuai dengan salah satu kaidah fiqh yang berbunyi :

  ﹺﻢﻳﹺﺮﺤﺘﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹸﻞﻴﻟﺪﻟﹾﺍ ﱠﻝ ﺪﻳ ﻰﺘﺣ ﺔﺣﺎﺑ ﹺﺈ ﹶﺍﹾﻟ ﺕﹶﻼﻣﺎﻌﻤﹾﻟﺍ ﻰﻓ ﹸﻞﺻَﻷﹶﺍ

  “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada

  

8

  dalil yang mengharamkannya.” Usaha perhotelan identik dengan akad yaitu Ija>rah (sewa). Hotel sebagai pihak penyedia fasilitas menginap, menyewakan fasilitasnya kepada perorangan yang membutuhkan tempat untuk bermalam. Dalam hal ini terjadi hubungan hukum yaitu akad sewa menyewa antara hotel dengan perorangan/konsumen. Dari akad ini, ada hak dan aturan yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi. Sebagai hotel harus menyediakan fasilitas dan melayani dengan prima kepada pelanggannya. Sedangkan sebagai pelanggan ada hak dan aturan yang harus ditaati. Mengingat dalam suatu perjanjian 7 dalam Islam aturan termasuk syarat pelengkap atau penyempurna dari rukun (yang wajib) akad.

  Beberapahotel yang beradadi kabupaten Ponorogo yang penulisjadikanpenelitianadalahHotel SankitaSyariahdan Hotel Latiban, kedua hotel tersebutmerupakan hotel yang memilikikarakteristikberbedadengan rating bintang yang berbeda pula, olehkarenanyadalamskripsiiniakandibahassepertiapakahperbedaannyajika di analisisdenganmenggunakan fatwa DSN-MUI No 108/DSN-MUI/X/2016 tentangpedomanpenyelenggaraanpariwisataberdasarkanprinsipsyariahsehingga dapatdiketahuiapakahusahaperhotelan di Ponorogosudahmemenuhipersyaratan yang telahdiaturdalam fatwa.

  Berdasarkan penelitian dilapangan, ada beberapa ketentuan yang tidak terdapat pada usahaperhotelan di Ponorogo yang sesuai dengan peraturan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Ada beberapa praktek di sankitasyariahyang kurang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Fatwa DSN-MUI Nomor: 108/DSN-MUI/X/2016. Pihak hotel tentu memiliki alasan mengapa prakteknya kurang sesuai dengan fatwa tersebut. Karena besar kemungkinan pihak hotel untuk menerapkan fatwa tersebut secara utuh mengalami kesulitan yang dapat menghambat pelayanan hotel, sehingga mengambil keputusan agar pelayanan terhadap pelanggan tetap berjalan dengan baik walaupun ada sedikit mad{haratyang ditimbulkan. Karena bisa dimaklumi bahwa kebutuhan akan di lapangan membutuhkan hal yang praktis, cepat dan tepat. Hal ini juga menjadi sebuah pekerjaan rumah untuk inovasi akad Islami yang praktis, cepat dan tepat dalam pelaksanaannya juga regulasi birokrasi. Sedangkan pada fakta di lapangan hotel latiban yang notabene adalah hotel yang mengusung tema budaya dan keasrian, justru dalam pelaksanaannya tanpa menggunakan prinsip syariah sudah menerapkan etika syariah salah satunya ialah tidak menerima pasangan yang bukan mahromnya saat reservasi atau menyewa kamar. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu judul guna dijadikan suatu penelitian ilmiah yang berjudul : “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berbasis Syariah Terhadap Usaha Perhotelan Di Ponorogo”

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanaanalisis fatwa DSN MUI terhadapfasilitasakomodasiperhotelan di Ponorogo ?

  2. Bagaimanaanalisis fatwa DSN MUI terhadappenyediaankonsumsiperhotelan di Ponorogo ?

  3. Bagaimanaanalisis fatwa DSN MUI terhadapnuansaestetikaperhotelan di Ponorogo ?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah penulis rumuskan, yaitu:

  1. Untuk menjelaskan analisis fatwa DSN MUI terhadapfasilitasakomodasiperhotelan di Ponorogo.

  2. Untuk menjelaskan analisis fatwa DSN MUI terhadappenyediaankonsumsiperhotelan di Ponorogo.

3. Untuk menjelaskan analisis fatwa DSN MUI terhadapnuansaestetikaperhotelan di Ponorogo.

D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu:

  1. Kepentingan Teoritik Memberikan masukan pada para akademis untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan model yang lebih kompleks dari penelitian sebelumnya, selain itu penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan cakrawala terutama tentang hotel syariah.

  2. Kepentingan Praktik

  a. Bagi pihak Hotel Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Hotel

  SankitaSyariah Ponorogo dan juga Hotel Latiban agar dalampelaksanaannyasesuai dengan Fatwa DSN-MUI. b. Bagi Konsumen/Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi para konsumen hotel agar memilih hotel syariah sebagai pilihan menginap, karena pada hakekatnya hotel yang menerapkan prinsip syariah dalam usahanya sangat mengedepankan kenyamanan, keamanan dan menjaga para pelanggan dari hal yang tidak di inginkan.

E. Telaah Pustaka

  Kajian pustaka dalam penelitian, pada dasarnya untuk memperoleh gambaran tentang hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga dapat menghindari terjadinya kesamaan dalam pembahasan materi. Selain itu dapat dijadikan perbandingan penulis dalam menulis hasil penelitian. Penelitian yang terkait adalah:

  Pertama, Skripsi karya Anicha Isyah dalam skripsinya yang berjudul

  “PeranStrategis Dinas Pariwisata dan Biro Perjalanan Wisata Dalam Mengoptimalkan Pariwisata Halal di Kota Solo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pariwisata halal di Kota Solo mendapatkan respon yang baik dari pemerintah. Pemkot Solo turut berperan dalam mengembangkan parisiwata halal dengan cara membangun dan bekerjasama dengan badan sertifikasi halal MUI serta dengan biro perjalanan wisata. Sedangkan peran biro perjalanan wisata antara lain mendukung program pemerintah dan mempromosikan paket-paket wisata Solo sampai ke luar

  9 daerah Solo.

  Kedua, Skripsi karya Rizka R yang berjudul “Persepsi Konsumen

  Tentang Wisata Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Minat Berkunjung”. Hasil penelitian variabel persepsi nilai memiliki pengaruh signifikan terhadap minat berkunjung ke wisata syariah. Hal ini dikarenakan kesan nilai dan kualitas wisata syariah yang positif bagi para konsumen sehingga konsumen merasa aman jika berkunjung ke wisata syariah. Dengan nilai-nilai keislaman yang ada pada wisata syariah bukan hanya bermanfaat bagi industri pariwisata tapi juga bermanfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan keimanan, menjadi manusia yang lebih baik dan mencegah terjadinya hal yang bersifat mudharat.

  Namun hal tersebut tidak menghalangi bagi wisatawan nonmuslim untuk menikmati wisata syariah karena wisata syariah bersifat universal. Sedangkan variabel persepsi merk memiliki pengaruh signifikan terhadap minat berkunjung ke wisata syariah. Wisata syariah memiliki nama yang unik dan dapat dikatakan masih sangat jarang didengar maupun ditemui khususnya di Bandar Lampung. Kata syariah pada wisata syariah memberikan pandangan dan kesan yang baik sehingga memberikan persepsi bahwa wisata tersebut wisata yang aman dari maksiat, membuat konsumen merasa nyaman dan tidak ada keraguan untuk mengunjungi wisata syariah. Dengan menggunakan merk

9 Anicha Isyah, “Peran Strategis Dinas Pariwisata dan Biro Perjalanan Wisata Dalam

  atau nama syariah akan memberikan nilai lebih bagi konsumen dibandingkan

  10 dengan wisata biasanya.

  Ketiga, Tesis karya Harjanto Suwardono yang berjudul “Potensi

  Pengembangan Pariwisata Perhotelan Di Kota Semarang (Kajian Dari Perspektif Syariah)”. Penelitian ini bertujuan melihat potensi pengembangan pariwisata perhotelan di Semarang dari segi perspektif syariah melalui permintaan dan penawaran di pasar. Kajian dari aspek permintaan meliputi total kunjungan wisatawan domestik maupun asing ke Semarang, total kunjungan objek wisata syariah, tingkat hunian kamar tidur, banyak malam kamar terjual, banyak tamu yang menginap, rata-rata lama menginap.

  Sedangkan kajian dari segi aspek penawaran meliputi informasi promosi, banyak kamar yang tersedia, banyak malam kamar tersedia dan pelayanan.

  Hasil penelitian menunjukkan kurangnya peran pemerintah daerah kota Semarang bagi pengembangan pariwisata syariah yang ditunjukkan rendahnya pembangunan akomodasi penunjang, khususnya hotel syariah dan menambah hotel konvensional sehingga tidak tercapainya titik equilibrium pasar dan tingginya tingkat ketidakpuasan akan pelayanan yang sudah tersedia bagi

  11 wisatawan syariah.

  Keempat, M. Maulana Hamzah dan Yudi Yudiana meneliti tentang

  “Analisis Komparatif Potensi Industri Halal dalam Wisata Syariah dengan Konvensional”. Disampaikan bahwa perbedaan mendasar antara bisnis syariah 10 Rizka R, “Persepsi Konsumen Tentang Wisata Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Minat Berkunjung,” Skripsi (Bandar lampung: Universitas Lampung, 2016). 11 Harjanto Suwardono, “Potensi Pengembangan Pariwisata Perhotelan di Kota

  dan konvensional adalah visi dan misinya. Visi bisnis syariah ditekankan pada keimanan. Sedangkan misinya adalah berupa ibadah, jadi setiap aktivitasnya akan selalu bernilai ibadah. Sementara bisnis konvensional adalah komersial dengan misi melakukan profesionalisme dalam produksi. Hasil penelitian mengatakan bahwa perlu mengintegrasikan antara wisata syariah dan konvensional untuk difokuskan pada industri halal. Dalam perkembangannya wisata konvensional lebih dulu berkembang ketimbang wacana wisata syariah. Meskipun Indonesia sudah lama menerapkan wisata syariah dari produk pangan yang halal, namun kurangnya sosialisasi dan promosi, jumlah

  12 kunjungan wisata syariah menjadi minim.

  Dari hasil penelitian terdahulu diatas, maka dapat diketahui bahwa penelitian yang akan dilakukan memliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Yakni terletak pada implementasi Fatwa DSN-MUI No.108/2016 tentang pedoman penyelenggaran pariwisata berdasarkan prinsip syariah yang digunakan dalam menganalisis usahaperhotelan di Ponorogo.

F. Metode Penelitian

  1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian yang penulis laksanakan merupakan penelitian lapangan

  (field research) dengan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan data 12 Maulana Hamzah dan Yudi Yudiana, Analisis Komparatif Potensi Industri Halal

  dalam Wisata Syariah dengan Konvensional dalam http://catatan- deskriptif berupa kata-kata atau dari orang-orang atau perilaku mereka

  13 yang diamati.

  2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, peneliti hadir sebagai partisipan penuh yang melakukan penelitian dengan cara melihat dan mendengar apa yang telah disampaikan oleh informan secara detail.

  3. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, lokasi yang diambil oleh penulis untuk menyusun skripsi yaitu di Hotel SankitaSyariah Jalan Ponorogo-Pacitan

  No.9 Madusari, Siman, Kabupaten Ponorogo dan di Hotel Latiban Jl. K.H Ahmad Dahlan 62 Ponorogo.

  4. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.

  a. Sumber data primer merupakan sumber data yang digali dari: 1) Informan utama yaitu:

  a) PihakManajemen Hotel SankitaSyariahdan Hotel Latiban Ponorogo

  b) Pengunjung Hotel SankitaSyariah dan Hotel Latiban Ponorogo 2) Praktik dan realisasi di lokasi 13 a. Sumber data Sekunder, data-data yang dikumpulkan oleh penelitiberasal daripenelitian-penelitiansebelumnya yang memiliki kesamaan pembahasan.

  14

  5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berdasarkan pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku di dalam masyarakat. Pola-pola yang dimaksud merupakan prinsip-prinsip yang mendasari perwujudan gejala-gejala didalam kehidupan manusia.

15 Adapun pengumpulan data dengan menggunakan teknik sebagai

  berikut:

  a. Wawancara atau interview merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Proses wawancaradilakukandengancaratanyajawab, sambilbertatapmukaantarapenelitidenganinforman.

  16 Pada teknik ini

  peneliti bertanya langsung kepada pihakmanajemen Hotel SankitaSyariah dan Hotel Latiban Ponorogo.

  b. Observasi atau pengamatan terstruktur yaitu peneliti secara langsug mengamati terhadap obyek yang berkaitan dengan masalah penelitian,

  14 Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Studi Kasus (Sidoarjo: CV.Citra Media, 2003), 57. 15 Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Muamalah (Ponorogo: STAIN Po Press, peneliti telah mengetahui aspek dari aktifitas yang akan diamati yang

  17 relevan dengan masalah serta tujuan peneliti.

  c. Dokumentasi,adalahinformasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun dari perorangan.

  Dokumentasipenelitianinimerupakanpengambilangambarolehpenelitiu ntukmemperkuathasilpenelitian. Dokumentasibisaberbentuktulisan,

  18 gambarataukarya-karya monumental dariseseorang.

  6. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah secara deskriptif, dimana peneliti memaparkan dan menguraikan hasil penelitian sesuai dengan pengamatan dan penelitian yang dilakukan pada saat di lapangan. Analisa deskriptif adalah menganalisa temuan proses yang

  19

  sedang berlangsung dengan pola pikir induktif dan deduktif. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti hanyamenggunakan satu metode, yaitu metode Induktif.

  Metode Induktif ialah metode berfikir yang berangkat dari pengetahuan atau faktor yang khusus peristiwa yang kongkrit, kemudian dari peristiwa yang khusus ditarik menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum atau analisis yang dilakukan dengan cara berfiir dari hal-hal yang

  20 khusus kemudian baru dibuat generalisasi.

  17 18 Moh.Nazir, MetodePenelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013) 71. 19 Sugiyono, MetodePenelitianPendidikan (Bandung: Alfabeta, 2013) 240.

  Arif Farhan, Pengantar Penelitian Data Pendidikan (Surabaya: Usaha Rasional,

G. Sistematika Pembahasan

  Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman maka penulis akan mengelompokkan menjadi lima bab. Hubungan bab satu dengan bab lainnya saling terkait dan merupakan suatu pembahasan yang utuh. Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi gambaran dari keseluruhan skripsi ini yang memuat: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian yang diakhiri dengan Sistematika Pembahasan.

  BAB II FATWADSN-MUI NO. 108/DSN-MUI/X/2016 DAN KRITERIA HOTEL SYARIAH Bab ini menguraikan tentang penjelasan Fatwa DSN MUI No.

  108/DSN-MUI/X/2016 dan hotel syariah. Teori pertama pengertian DSN-MUI, sejarah fatwa DSN-MUI, ketentuan terkait hotel syariah.Teori kedua yaitu tentang kriteria hotel syariahmenurut fatwa.

  BAB III PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI HOTEL SANKITA SYARIAH DAN HOTEL LATIBAN PONOROGO Bab ini terdiridaripaparan data umumyakniinformasiterkaitprofil hotel sankitasyariahdan hotel latiban yang terdiridari sejarah berdirinya hotel sankita syariah, tata tertib pengunjung hotel, produk dan layanan pada hotel. Kemudiandijelaskan pulapelaksanaan prinsip-prinsip syariah hotel sankita syariah dan hotel Latiban Ponorogo dalam hal akomodasi, konsumsi dan estetika.

  BAB IV ANALISIS FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PARIWISATA BERBASIS SYARIAH TERHADAP USAHAPERHOTELAN DI PONOROGO Bab ini menguraikan tentang analisis Fatwa DSN MUI No: 108/DSN-MUI/X/2016 terhadap pelayanan akomodasi, konsumsi dan estetika padausahaperhotelan di Ponorogo

  BAB V PENUTUP Dalam bab ini dipaparkan akhir dan seluruh pembahasan skripsi dan sekaligus sebagai jawaban dari permasalahan yang kemudian disimpulkan dan berisi saran kepada pihak-pihak yang terkait.

BAB II FATWA DSN-MUI NO. 108/DSN-MUI/X/2016 DAN KRITERIA HOTEL SYARIAH A. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 108/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah

  1. Pengertian Fatwa MUI Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian

  (peristiwa). Sedangkan fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identittasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun

  21 kolektif.

  Fatwa selayaknya disebut sebagai ensiklopedia ilmiah modern yang sudah tentu dibutuhkan oleh setiap muslim yang menaruh perhatian terhadap zamannya beserta segala permasalahannya. Namun demikian tidak berarti bahwa semua yang tertulis dalam kitab fatwa benar seluruhnya, kekeliruan yang ada didalamnya dimaafkan, bahkan akan

  22 memperoleh pahala selama hal itu dilakukan sebagai upaya ijtihad.

  Komisi Fatwa MUI juga mempunyai definisi tersendiri mengenai fatwa, yaitu suatu penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai

21 YusufQardawi, Al-Fatwa Bainal Indhibat wat-Tasayyub “Fatwa Antara

  permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat, serta

  23 merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.

  a. Sejarah MUI Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriah bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Miladiah. MUI hadir ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 Tahun sejak kemerdekaan energi bangsa lebih banyak terserap dalam perjuangan politik di dalam negeri maupun internasional, sehingga kesempatan untuk membangun menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia kurang diperhatikan. Pendirian MUI dilatar belakangi adanya kesadaran kolekktif pimpinan umat Islam bahwa Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Karena itu, keberadaan organisasi para ulama, dan cendekiawan muslim ini merupakan konsekuensi logis dan persyaratan bagi berkembangnya hubungan yang harmonis antara berbagai potensi yang ada untuk

  24 kemslahatan seluruh rakyat Indonesia.

  Sebelum MUI didirikan, telah digelar beberapa kali pertemuan yang melibatkan ulama dan tokoh-tokoh Islam. Pertemuan tersebut mendiskusikan gagasan akan pentingnya keberadaan majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad kolektif dan memberikan masukan dan nasihat kegamaan pada pemerintah dan masyarakat. Pada tanggal 23 MUI, PengantarKomisi Fatwa MUI dalamHasil Fatwa Munas VII MajelisUlama

  30 September hingga 4 Oktober 1970 diselenggarakan sebuah konferensi di Pusat Dakwah Indonesia. Konferensi tersebut bertujuan untuk membentuk sebuah majelis ulama yang berfungsi memberikan

  25 fatwa.

  Pada akhir acara konferensi, dicetuskan sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta konferensi, terdiri atas 26 orang ketua majelis ulama tingkat provinsi se-Indonesia, 10 orang ulama dari unsusr organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian, serta 13 orang ulama yang hadir sebagai pribadi.

  Penandatanganan itu disusul dengan pengumuman pendirian himpunan para ulama dengan sebutan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

  Konferensi ini juga ditetapkan sebagai Musyawarah Nasional (Munas) MUI pertama.

  Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak pendirian sebuah majelis ulama didaulat menjadi Ketua Umum MUI yang pertama.

  Beliau menjabat Ketua Umum MUI mulai tahun 1975 sampai dengan tahun 1981. Buya Hamka memberikan dua alasan sebelum menerima amanah sebagai Ketua Umum MUI: pertama, menurutnya kaum muslim harus bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto yang antikomunis; kedua, pendirian MUI harus dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat Islam Indonesia.

  Ketua umum MUI sejak Buya Hamka sampai dengan DR. (HC) K.H.MA. Sahal Mahfudh mempunyai beberapa persamaan yaitu: pertama, tidak seorangpun dari mereka pernah mengenyam bangku universitas; kedua, mendapatkan gelar doktor kehormatan atau sederajat profesor dari sejumlah universitas, dan ketiga kesemuanya berasosiasi dengan organisasi kemsyarakatan Islam mayoritas di

  26 Indonesia, baik NU maupun Muhammadiyah.

  b. Kedudukan MUI dan fungsinya Fatwa-fatwa MUI dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, pengklasifikasian yang pertama didasarkan pada forum yang menetapkannya, dan yang kedua diklasifikasikan berdasarkan tema pembahasannya. Jika mengikuti pengklasifikasian yang pertama, maka fatwa-fatwa MUI adakalanya ditetapkan melalui forum Komisi fatwa MUI, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Musyawarah Nasionaal (Munas) MUI, atau melalui forum Ijrtima’ Ulama MUI. Sementara secara tematik, fatwa-fatwa MUI terdiri atas fatwa-fatwa yang berbicara tentang ekonomi syariah, produk halal, dan masalah-masalah

  27 keagamaan.

  Fatwa-fatwa yang terkait dengan masalah-masalah keagamaan dibagi menjadi empat, yaitu fatwa-fatwa yang membicarakan tentang akidah dan aliran keagamaan, ibadah, sosial kemasyarakatan dan kebudayaan, dan yang terkait dengan ilmu pengetahuan teknologi. 26 27 Ibid., 32.

  2. Pengertian DSN Secara kelembagaan, Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah perangkat organisasi yang secara khusus bertugas untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas Lembaga Keuangan Syariah, pembentukan DSN merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan keungan. DSN diarahkan sebagai lembaga pendorong penerapan ajaran islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, DSN berperan secara produktif dalam kehidupan ekonomi dan keuangan di

28 Indonesia.

  a. Tugas DSN 1) Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya, dan keuangan pada khususnya;

  2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; 3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; dan 4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

  b. Wewenang DSN 1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait;

  28

  2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia;

  3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama- nama yanag akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu Lembaga Keuangan Syariah;

  4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter atau lembaga keuangan dalam negeri maupun luar negeri;

  5) Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan

  29 oleh Dewan Syariah Nasional.

  3. Latarbelakang Fatwa DSN-MUI N0. 108/DSN-MUI/X//2016 Pertimbangan DSN MUI mengeluarkan fatwa No. 108/DSN-

  MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah dikarenakan bahwa saat ini sektor pariwisata berbasis syariah mulai berkembang di dunia termasuk Indonesia, dan belum diatur dalam fatwa sehingga dalam penyelenggaraannya memerlukan ketentuan- ketentuan yang dapat dijadikan pedoman. Dalam pembuatan fatwa ini Dewan Syariah Nasonal berlandaskan hukum Islam yang meliputi:

  1. Firman Allah SWT (1) Q.S. Al-Mulk (67): 15:

   

  Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)

  30

  dibangkitkan.” (2) Q.S Nuh (71): 19-20:

  

  Artinya: “Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan,supaya

  31

  kamu melakukanperjalanan di bumi yang luasitu.”

  2. Kaidah Fiqih

  ﹺﻢ ﹺﺮﻳ ﺤ ﺘﻟﺍ ﻰ ﻋﹶﻠ ﹲﻞ ﺩﻟﻴ ﱡﻝ ﻳﺪ ﹾﻥ ﹶﺃ ﺎ ّﹶﻟ ﹸﺔ ﹺﺇ ﺣﺎ ﹺﺈﺑ ﹶﺍﹾﻟ ﺕﺎ ﹶﻠ ﻣﺎ ﻤﻌ ﹾﻟﺍ ﻲ ﻓ ﹸﻞ ﺻ َﻷﺍ

  Artinya: “Padadasarnya, segalabentukmuamalatdiperbolehkankecualiadadalil yang

  32

  mengharamkannya.”

  ﹺﺢﻟﺎﺼﻤﹶﻟﹾﺍ ﹺﺐﹾﻠﺟ ﻰﹶﻠﻋ ﻡﺪﹶﻘﻣ ﺪﺳﺎﹶﻔﻤﹶﻟﹾﺍ ُﺀﺭﺩ

  Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik

  33 30 kemaslahatan.” Depag RI, Syamil Qur’an TerjemahanPerkata(Bandung: PT SygmaExamediaArkanleema, 2010) 563. 31 32 Ibid., 571.

  A.Dzajuli, Kaidah-kaidahFiqh:Kaidah- kaidahHukumIslamdalamMenyelesaikanMasalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2011), 65. 33 Fatwa DSN MUI NO. 108/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah merupakan hasil ijtihad ulama yang dituangkan dalam rapat pleno pengurus Dewan Syariah Nasional pada tanggal 29 Dzulhijjah 1436 H/01 Oktober 2016 M di Jakarta. Pelaksanaan fatwa DSN MUI ini diatur lebih lanjut dalam Pedoman Implementasi Fatwa. Apabila terjadi perselisihan diantara para pihak dalam penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Diantara ketentuan yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Tentang Pedoman Penyelenggaraan pariwisata Berdasarkan

  34 Prinsip Syariah yaitu sebagai berikut:

  1. Ketentuan Umum

  a. Istilah-istilah dalam Penyelenggaraan Parawisata Halal Pada ketentuan umum yang terdapat pada fatwa ini dijelaskan mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan industri parawisata berdasarkan perspektif DSN-MUI, adapun beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang 34 atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tetentu untuk tujuan rekreasi, pengembanganpribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara 2) Wisata Syariah adalah wisata yang sesuai dengan prinsip syariah 3) Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitasserta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah

  4) Pariwisata Syariah adalah pariwisata yang sesuai dengan prinsip syariah 5) Destinasi Wisata Syariah adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebihwilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas ibadah dan umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan yang sesuai dengan prinsip syariah

  6) Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata 7) Biro Perjalanan Wisata Syariah (BPWS) adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial yang mengatur, dan menyediakan pelayanan bagi seseorang atau sekelompok orang, untuk melakukan perjalanan dengan tujuan utama berwisata yang sesuai dengan

  35

  prinsip syariah 8) Pemandu Wisata adalah orang yang memandu dalam pariwisata 35 syariah

  9) Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata 10) Usaha Hotel Syariah adalah penyediaan akomodasi berupa kamar- kamar di dalam suatu bangunan yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan yang dijalankan sesuai prinsip syariah

  11) Kriteria Usaha Hotel Syariah adalah rumusan kualifikasi dan/atau klasifikasi yang mencakup aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan

  12) Terapis adalah pihak yang melakukan spa, sauna, dan/atau massage 13) Akad ija>rahadalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran atau upah

  14) Akad wakalah bil ujrah adalah akad pemberian kuasa yang disertai dengan ujrah dari hotel syariah kepada BPWS untuk melakukan pemasaran

  15) Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) perusahaan untuk memberikan imbalan (reward/’iwa>dh/ju’l) tertentu kepada pekerja (‘a>mil) atas pencapaian hasil (prestasi/na>tijah) yang ditentukan

  36 dari suatu pekerjaan (obyek akad ju’alah).

  2. Ketentuan Hukum Fatwa Dalam fatwa ini dijelaskan bahwa segala bentuk penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah boleh dilakukan dengan syarat mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini. Dengan demikian, segala bentuk penyelenggaraan parawisata harus mengacu pada ketentuan

  37 fatwa ini.

  3. Ketentuan terkait Hotel Syariah Mengingat Hotel Syariah merupakan hotel yang harus mengindahkan nilai-nilai Islami yang diatur dalam peraturanDewan Syariah Nasional selaku Regulator Hotel Syariah yang memberikan aturan sebagai berikut:

  a. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas akses pornografi dan tindakan asusila b. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas hiburan yang mengarah pada kemusyrikan, maksiat, pornografi, dan tindak asusila c. Makanan dan minuman yang disediakan oleh hotel syariah wajib mendapatkan sertifikat halal dari MUI d. Menyediakan fasilitas, peralatan, dan sarana yang memadai untuk pelaksanaan ibadah, termasuk fasilitas bersuci e. Pengelola dan karyawan/karyawati hotel wajib mengenakan pakaian

  38

  yang sesuai dengan syariah

37 DSN MUI, “Fatwa DSN No.108/DSN-MUI/X/2016,” (diakses 27 Mei 2018, pukul

  f. Hotel syariah wajib memiliki pedomaan dan/atau panduan mengenai prosedur pelayanan hotel guna menjamin terselenggaranya pelayanan hotel yang sesuai dengan prinsip syariah

  g. Hotel syariah wajib menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah

  

39

dalam melakukan pelayanan.

B. Hotel Syariah

  a. Pengertian Hotel Syariah Pengertian Hotel Syariah adalah hotel yang menerapkan syariah

  Islam kedalam kegiatan operasional hotel. Kesyariahan hotel ditonjolkan oleh manajemen dengan memunculkan moto, logo, ornamen, interior, fasilitas kamar, fasilitas hotel maupun seragam atau pakaian yang dikenakan para karyawan hotel. Hotel syariah juga merupakan salah satu hotel yang menawarkan fasilitas yang sesuai dengan nilai islam, sehingga mampu meminimalisir adanya praktek perzinaan, minuman keras,

  40 psikotropika dan perjudian.

  b. Kriteria Hotel Syariah 1) Fasilitas yang dapat memberi manfaat bagi tamu. Untuk fasilitas yang membawa kerusakan, mengakibatkan kemungkaran, membangkitkan hawa nafsu, eksploitasi wanita, dan lain sejenisnya harus disesuaikan dengan tujuan agar tidak terjadi penyelahgunaan fasilitias.

  39 DSN MUI, “Fatwa DSN No.108/DSN-MUI/X/2016”. (diakses 27 Mei 2018, pukul 21.35). 40 Aditya Pratomo, “Analisis Konsep Hotel Syariah Pada Hotel Sofyan Sebagai

  2) Tamu yang check in khususnya bagi pasangan lawan jenis dilakukan seleksi tamu (reception policy). Seleksi dilakukan untuk mengetahui apakah pasangan merupakan suami istri atau keluarga. Seleksi tersebut didasarkan pada dua hal yaitu gelagat pasangan tersebut lebih canggung atau terlihat mesra, mengucapkan kata-kata sayang pada pasangannya, berjauhan pada saat mendatangi counter front office dan penampilan pasangan wanita berpenampilan seksi, pasangan wanita mengenakan seragam sekolah dan masih belia, tidak membawa perlengkapan menginap (koper) serta perbedaan usia yang mencolok. 3) Pemasaran terbuka bagi siapa saja baik pribadi maupun kelompok, formal maupun informal, dengan berbagai macam suku, agama, ras dan golongan. Asalkan aktivitas tersebut dilarang oleh negara dan tidak merupakan penganjur kerusakan, kemungkaran, permusuhan dan sejenisnya. 4) Makanan dan minuman yang disediakan adalah makanan dan minuman yang dijamin kehalalannya baik bahan-bahan maupun proses-proses pembuatannya serta baik bagi kesehatan tubuh yang memakannya.

  5) Dekorasi dan ornamen yang disesuaikan dengan nilai-nilai keindahan

  41 dalam Islam serta tidak bertentangan dengan syariah.

  6) Ornamen patung ditiadakan dan lukisan makhluk hidup dihindari,

  42 dekorasi tidak harus berbentuk kaligrafi. 41 N. Rahardi dian R, “Analisis Faktor-FaktoryangMempengaruhi Preferensi

Konsumen terhadap Hotel Syariah,” Pengaruh Preferensi Hotel Syariah, No. 1, Vol.2

  7) Operasional:

  a) Kebijakan yang meliputi kebijakan manajemen, peraturan- peraturan yang dibuat, kerjasama dengan pihak luar, investasi dan pengembangan usaha dilakukan sesuai dengan prinsip syariah Islam.

  b) Pengelolaan SDM yang meliputi penerimaan dan pengrekrutan SDM, tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan selama memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan. Perusahaan harus jujur kepada karyawan dan memberikan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan karyawan.

  c) Pengelolaan SDM mengacu pada penigkatan kualitas yang mencakup tiga hal, yaitu etika, pengetahuan dan keahlian.

  d) Keuangan yaitu pengelolaan keuangan mengunakan akuntansi syariah dan mengunakan bank dan asuransi syariah sebagai mitra.

  Jika perusahaan mempunyai keuntuhan yang mencukupi nilai wajib zakat maka perusahaaan berkewajiban mengeluarkan zakat.

  e) Adanya sebuah lembaga yakni Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi jalannya operasional hotel secara syariah dan yang akan memberikan arahan dan yang menjawab masalah yang muncul dilapangan. Lembaga ini diambil dan disetujui oleh Dewan Syariah Nasional yang menunjuk anggotanya untuk

  43 menjadi Dewan Pengawas Syariah.

  

BAB III

PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI

HOTEL SANKITA SYARIAH DAN HOTEL LATIBAN PONOROGO

A. GambaranUmum Hotel SankitaSyariahPonorogo

  1. Profil Hotel SankitaSyariah Hotel sankita Ponorogo adalah Hotel Syariah pertama yang ada di

  Kota Ponorogo JawaTimur.Hotel sankitasyariahmenyediakanbeberapatipekamar yang relatifterjangkauuntukmenginapbersamakeluargaataupunsebagaitempat transit wisatadari/kearah Kota Trenggalek, TulungagungataupunobyekwisatapantaiPacitan. Dan hotel sankitaadalah hotel yang aksesnya paling dekatdenganseluruhPondokpesantren yang ada di kotaPonorogo. Antara lain: Pondok Modern Gontor 1, Pondok Modern Gontor 2, PonpesArrisalah, PonpesNgabar (Walisongo), danPonpes Al Mawwadah. Hotel Sankita Syariah Ponorogo merupakan hotel berfasilitas bintang satu yang mengedepankan konsep syari’ahperpaduan unsur-unsur

  44 tradisional serta layanan modern dan profesional.

  2. Lokasi Hotel SankitaSyariah Hotel SankitaSyariahterletak di JalanPonorogo-Pacitan No. 9