FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SAT

PENGAJARAN MENURUT YESUS (STUDI HERMENEUTIK TERHADAP STRATEGI PENGAJARAN DALAM NARASI PELAYANAN YESUS MENURUT MATIUS 13:1-9 DAN SUMBANGANNYA BAGI PENDIDIKAN ORANG DEWASA)

TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana

Sains Teologi

  Disusun oleh: Greeslin Lay 712008022

FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2013

Pengajaran menurut Yesus

(Studi hermeneutik terhadap strategi pengajaran dalam narasi pelayanan Yesus

  menurut Matius 13:1-9 dan sumbangannya bagi pendidikan orang dewasa). Oleh : Greeslin Lay (712008022)

1. Pendahuluan dan permasalahan

1.1. Latar Belakang

  Pendidikan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia dan dinilai sebagai suatu usaha sengaja, sistematis, dan terus menerus dalam membentuk

  kepribadian secara utuh, serta ditujukan kepada seluruh golongan manusia. 1 Manusia membutuhkan pendidikan karena statusnya sebagai animal educabili 2 yang dilahirkan tidak

  sempurna sehingga memerlukan pendidikan untuk dapat mengembangkan kemanusiaannya sebagai potensi. Kegunaan dari pendidikan ialah membantu manusia untuk menyempurnakan

  dirinya sebagai manusia. 3 Oleh karena demi mewujudkan potensi ini, maka sejak kecil seseorang akan menjalani proses belajarnya secara terus menerus hingga usia dewasa.

  Ketika seseorang telah dewasa, pendidikan yang diterima olehnya juga dapat dikatakan berbeda dengan yang diperoleh anak-anak. Pendidikan orang dewasa berlangsung

  dalam bentuk pengarahan diri sendiri untuk memecahkan masalah. 4 Mereka belajar hanya apabila mereka sendiri menginginkan untuk belajar. 5 Orang dewasa memiliki kebebasan

  dalam proses belajarnya. Mereka belajar dari berbagai proses kehidupan, antara lain dari pengalaman yang random, belajar secara insidental, proyek belajar individual, serta ikut

  terlibat aktif dalam proses pengajaran. 6 Proses belajar orang dewasa ini dapat dilakukan secara bersamaan dan selalu terjadi dalam kehidupan orang dewasa. Meskipun proses belajar

  ini selalu berperan dalam hidup orang dewasa, namun kebanyakan orang dewasa lebih

  2 Thomas Groome, Christian Religious Education, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) 29. 3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 24. Esther Christiana Yuwanda, “Pendidikan yang memanusiakan manusia”,Jurnal pendidikan Penabur, no.19, (2012): 85. 4 H.Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 11.

  5 A.G.Lunadi, Pendidikan Orang Dewasa: Sebuah uraian praktis untuk pembimbing, penatar, pelatih dan penyuluh lapangan, (Jakarta: Gramedia, 1989), 3.

  6 Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Dewasa, (Bandung:Jurnal Info Media, 2008), 23-26. Belajar dari pengalaman yang random yaitu belajar dari kejadian dalam kehidupan sehari-hari, belajar insidental merupakan proses

  belajar hasil sampingan dari suatu proses lain. Konsep belajar insidental ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu berarah. Contoh konkritnya ialah upacara inisiasi. Tujuan utama upacara itu ialah pengukuhan dari suatu hubungan social yang formal. Tapi sebagai hasil sampingannya, ia mungkin saja belajar tentang norma-norma organisasi dan apa yang diharapkan dari anggota-anggotanya. Sedangkan belajar yang terlibat aktif dalam pengajaran disebut dengan belajar yang difasilitasi oleh guru atau pendidik.

  cenderung berminat pada proses belajar yang difasilitasi oleh pendidik, baik pendidikan pada umumnya 7 maupun pendidikan agama didalam gereja.

  Dalam dunia pendidikan agama, terkhususnya bagi orang dewasa Kristen, dalam dunia modern seperti sekarang ini dapat dikatakan memiliki peminat yang relatif sedikit. 8 Hal

  ini tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini dipengaruhi dari dua sisi, antara lain sisi pribadi individu orang dewasa itu sendiri serta pengaruh dari luar diri sendiri. Faktor individu antara lain dipengaruhi oleh karena kecenderungan menolak perubahan serta alasan kesibukan atas pekerjaan dan tanggung jawab dalam keluarga. Sedangkan dari luar individu dapat dipengaruhi oleh pendidik yang kurang kreatif sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan belajar orang dewasa Kristen, kurangnya perhatian terhadap individu orang dewasa, dan lain sebagainya yang pada akhirnya membuat orang dewasa tidak lagi mempunyai minat terhadap pendidikan Kristen orang dewasa. Padahal apabila melihat keadaan serta posisi dalam hidup bergereja, berkeluarga dan bermasyarakat, orang dewasa memiliki peran yang penting dan dominan didalamnya. Orang dewasa merupakan orang- orang yang berada pada posisi terdepan dalam pelayanan gereja, sebagai pembimbing utama dalam gereja kecilnya (keluarga) dan tokoh yang seharusnya dibentuk agar benar-benar bijak ketika memainkan peran pentingnya dalam struktur sosial masyarakat.

  Pendidikan orang dewasa telah disinggung pada bagian tertentu dalam Alkitab, salah satunya ialah Kitab Injil Matius. Kitab Matius menceritakan mengenai pelayanan Yesus yang dimulai dengan pemanggilan murid-muridNya yang pertama. Pemanggilan ini dapat

  dikatakan merupakan tujuan Yesus untuk mempersiapkan murid-muridNya 9 sebagai calon pendidik baru yang adalah lambang pemerintahan Allah, 10 sehingga mampu mendidik orang

  dewasa lainnya. 11 Dalam Injil ini banyak perikop yang memberikan pengajaran kepada orang dewasa, salah satunya dalam Matius 5-7.

  Pengajaran Yesus dalam Matius juga tidak hanya menunjuk pada tema pengajaran bagi orang dewasa, melainkan juga menunjukkan pada bagaimana kreatifitas Yesus dalam narasi pelayanan mengajarNya. Metode yang dipakai selalu berbeda dalam setiap kunjunganNya ke beberapa daerah. AjaranNya disampaikan dengan materi yang berbobot dan sesuai dengan konteks, namun disuguhkan secara ringan dengan maksud agar mudah

  7 Pendidikan pada umumnya dapat terdiri dari pendidikan di universitas, pendidikan dalam seminar-seminar dan pelatihan

  keterampilan, kursus, dan lain sebagainya. 8

  Hasil pengamatan penulis dalam pengalaman melayani di beberapa gereja, antara lain seperti dibeberapa gereja di Salatiga,

  di Ende (Flores), dan di tempat praktek PPL VI (Sulawesi Tengah). 9

  10 Murid-murid ialah orang dewasa yang memiliki peran sendiri dalam lingkungan sekitar. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 103.

  11 Lihat Mat. 28:16-20.

  dipahami oleh pendengarNya. Tidak hanya itu, Yesus sendiri tidak memberi batasan bagi siapapun yang ingin mendengarkanNya.

  Membandingkan kualitas Yesus, terkhususnya dengan para pengajar orang dewasa dalam gereja masa kini, tentu terdapat perbandingan kualitas yang cukup jauh berbeda. Banyak dari pengajar masa kini kurang peka untuk melihat kebutuhan orang dewasa yang dibina, sehingga pada akhirnya membuat orang dewasa yang dibina mulai mengurangi minatnya terhadap pendidikan Kristen dalam gereja. Metode yang dipakai pun biasanya kurang kreatif dan komunikatif sehingga seringkali membuat orang dewasa tampak bosan atas pengajaran yang disampaikan. Hal tersebut dapat disebabkan karena masih sangat sedikitnya usaha untuk memahami konsep pengajaran sesuai dengan narasi Yesus, terutama sumbangannya bagi pendidikan orang dewasa. Oleh karena itu, penulis berdasarkan hal tersebut ingin mengajukan tugas akhir dengan judul: Pengajaran menurut Yesus (Studi

  hermeneutik terhadap strategi pengajaran dalam narasi pelayanan Yesus menurut

  Matius 13:1-9 dan sumbangannya bagi pendidikan orang dewasa).

1.2. Batasan, Rumusan Masalah, dan Tujuan Penelitian

  Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis membatasi penelitian hanya pada studi hermeneutik terhadap strategi pengajaran dalam narasi pelayanan Yesus menurut Matius 13:1-9 dalam konteks sosio historis serta sumbangannya bagi pendidikan orang dewasa. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah dalam dua pertanyaan, yaitu (a). Apa strategi pengajaran dalam narasi pelayanan Yesus menurut Matius 13:1-9 dilihat dari hermeneutik sosio historis. (b). Apa kontribusi dari strategi pengajaran menurut Yesus sebagaimana yang ditemukan dalam butir (a) bagi pendidikan agama Kristen orang dewasa. Dari rumusan masalah ini, tujuan penelitian yang akan dicapai ialah (1). Merekonstruksi pemahaman tentang strategi pengajaran dalam narasi pelayanan Yesus berdasarkan konteks sosio historis dalam Matius 13:1-9. (2). Mengusulkan kemungkinan-kemungkinan sumbangan strategi pengajaran dalam narasi pelayanan Yesus menurut Matius 13:1-9 bagi pendidikan agama Kristen orang dewasa.

1.3. Metodologi dan Teknik Pengumpulan Data

  Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah metode studi hermeneutik dengan menyadari konteks sosio historis ketika teks tersebut ditulis. Kritik dan tafsir akan dilakukan pada teks Matius 13:1-9. Sedangkan, teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah teknik studi pustaka dengan mengumpulkan informasi Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah metode studi hermeneutik dengan menyadari konteks sosio historis ketika teks tersebut ditulis. Kritik dan tafsir akan dilakukan pada teks Matius 13:1-9. Sedangkan, teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah teknik studi pustaka dengan mengumpulkan informasi

  

1.4. Sistematika penulisan

  Sistematika dalam penulisan tugas akhir ini akan terdiri dari Bagian 1 yaitu Pendahuluan dan permasalahan yang menjelaskan mengenai latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan metodologi. Bagian dua merupakan konteks sosio historis dimana Injil Matius ditulis. Sedangkan bagian tiga akan menjelaskan mengenai strategi pengajaran menurut Yesus dalam Injil Matius 13:1-9, dan akan dilanjutkan pada bagian empat yang merupakan relevansi strategi pengajaran Yesus dalam Matius 13:1-9 terhadap pendidikan orang dewasa masa kini. Bagian lima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan penulisan.

2. Konteks Sosio Historis Injil Matius

  Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai konteks sosio historis Injil Matius yaitu penulis, waktu dan tempat penulisan, maksud dan tujuan, serta konteks masyarakat disekitar penulisan Injil Matius.

2.1. Penulis

  Pada awalnya menurut suatu tradisi Gereja mula-mula, dikatakan bahwa pengarang Injil Matius ialah salah seorang dari kedua belas murid Yesus. 12 Akan tetapi seiring

  berjalannya waktu, diskusi tentang Injil Matius, ternyata menampilkan beberapa pendapat para ahli yang sebagian besar mengatakan bahwa Injil Matius hadir sebagai Injil yang tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya. Alasannya karena jika yang menulis Injil Matius ialah seorang rasul, maka ia tidak mungkin begitu banyak memakai sumber lain seperti

  Markus dan Q. 13 Karyanya juga begitu bebas dengan menggunakan bahasa Yunani yang baik dan halus. Tampak dalam tulisannya mengenai ucapan dan wejangan Yesus, yang jika

  dibandingkan dengan tulisan dalam Injil Markus dan Lukas, maka Matius lebih banyak menyusun, mengatur, dan mengartikan ucapan-ucapan Yesus dengan bebas. 14 Oleh karena

  alasan inilah sehingga Matius dianggap sebagai kitab anonim.

  Mengingat penggunaan tata bahasa Yunani yang lebih halus dalam tulisannya, dapat dipastikan bahwa penulis Injil Matius tentu bukanlah seorang yang berasal langsung dari Palestina. Ia merupakan seorang yang hidup dan dewasa di daerah perantauan, ditengah-

  tengah orang Yahudi yang berbahasa Yunani. 15 Banyak ahli mengatakan bahwa Injil Matius ditulis oleh seorang yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Banyaknya

  penggunaan kutipan dalam Perjanjian Lama setidaknya dapat membuktikan bahwa penulis Injil Matius merupakan seorang yang berpendidikan tinggi dan banyak belajar mengenai

  tradisi Perjanjian Lama. 16 Tidak hanya itu, gaya bahasa yang dipakai dalam setiap perikop serta susunan kosakata yang ditulis secara halus memperlihatkan kepandaian penulis. 17

2.2. Waktu dan tempat penulisan

  Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) 183

  14 A. Simanjuntak, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini, Matius-Wahyu, (jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1976) 58 15 Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1984) 87 Groenen, Pengantar, 87

  16 Penulisan Mat. 5-7 merupakan pemenuhan isi Taurat dalam Perjanjian Lama. Selain itu, lihat Mat.4:15-16, penulis 17 mengambil kutipan Perjanjian Lama untuk mendukung potongan tradisi tentang Yesus. Bandingkan kalimat dalam Markus 4:38 dan Matius 8:25. Kalimat pertanyaan murid-murid dalam Markus terlihat lebih kasar dibandingkan dengan kalimat yang digubah oleh penulis Matius.

  Banyak argumentasi mengenai kapan tepatnya Injil Matius ditulis. Jika dilihat dari keadaan yang digambarkan dalam tulisan, beberapa ahli mengemukakan penulisan Injil ini diperkirakan sekitar tahun 70-80 ZB. Ada beberapa alasan yang dikemukakan dalam mempertahankan penanggalan tulisan ini. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa karena Matius

  menyinggung pembakaran kota Yerusalem oleh orang Romawi 18 , maka diperkirakan Injil ini ditulis setelah tahun 70 ZB. 19 Selain itu juga, Injil Matius ditulis dengan banyak menggunakan sumber dari Injil Markus yang ditulis sekitar tahun 65 ZB. 20 Tentu Injil Matius

  ditulis setelah Injil Markus telah beredar luas. Dari alasan-alasan diatas inilah yang meyakinkan bahwa Injil Matius ditulis pada sekitar tahun 70-80 ZB.

  Penggunaan bahasa Yunani yang begitu baik dan halus memperlihatkan suatu kepastian bahwa Injil ini tentu ditulis bukan didaerah Palestina. Alasannya karena secara jelas Injil Matius bukan terjemahan dari bahasa Aram, dan didalamnya juga tidak terdapat istilah-

  istilah Aram seperti yang tertera dalam Injil Markus. 21 Oleh karena itu, kebanyakan perhatian para ahli lebih tertuju pada daerah Antiokhia di Siria. Pemilihan Siria sebagai tempat

  penulisan Matius dikarenakan Antiokhia merupakan tempat pertemuan antara orang Yahudi, orang Kristen Yahudi dan orang Kristen non-Yahudi. Selain itu, Injil Matius yang lebih

  menonjolkan Petrus 22 , dan kenyataan bahwa Ignatius juga memakainya, menguatkan pendapat bahwa Injil ini berasal dari daerah Antiokhia. 23

2.3. Maksud dan Tujuan

  Berhubungan dengan waktu penulisan teks, pada masa itu juga terjadi peralihan dari agama Kristen yang masih baru dari kerangka masyarakat dan agama Yahudi ke dalam

  masyarakat Yunani sebagai suatu agama tersendiri. 24 Banyak orang bukan Yahudi masuk dalam gerakan Kristen Yahudi tanpa melakukan ritual-ritual tradisi Yahudi, seperti sunat. Hal

  inilah yang pada akhirnya menuai pertentangan dari orang-orang Yahudi tradisional terhadap orang-orang Kristen Yahudi. 25

  Melihat konteks kehidupan Matius beserta dengan banyaknya kutipan Perjanjian Lama yang dipakai oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Injil ini dimaksudkan

  18 Lihat Matius 22:7.

  20 Wismoadi Wahono, Disini Kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) 374. J.J.de Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) 2.

  22 Simanjuntak, dkk, Tafsiran Alkitab, 58. Lihat Mat.16:13-19; 14:28-29; 15:15. Tokoh Petrus begitu menonjol dalam tulisan Injil Matius. Dan jika dibandingkan dalam Gal. 2:11-14; bdk Kis.12:17, Petrus nampak pernah berperan pada jemaat Antiokhia.

  24 Simanjuntak, Tafsiran, 58 Groenen, Pengantar, 90. Peralihan ini disebabkan oleh diterimanya orang-orang bukan Yahudi ke dalam Gereja tanpa menuntut mereka untuk pertama-tama menjadi Yahudi dulu.

  25 Jhon Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)52.

  untuk mengajar mengenai Yesus yang telah menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama dan yang telah meletakkan dasar bagi gereja Kristen. Gereja itu adalah penerusan umat Allah dari Perjanjian Lama yang telah dibaharui sehingga bukan lagi berdasarkan keturunan, melainkan

  berdasarkan kerohanian dan terdiri dari segala bangsa. 26

2.4. Konteks masyarakat disekitar penulisan Injil Matius

  Telah dijelaskan diatas bahwa penulisan Injil Matius ini dilakukan disekitar daerah Siria oleh seorang Yahudi Perantauan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipaparkan mengenai kehidupan orang Yahudi Diaspora serta misi kekristenan di Diaspora.

2.4.1. Kehidupan Orang Yahudi Diaspora

  Sejak abad ke 6 SZB, kaum imigran Yahudi telah tiba di Sardis, ketika Yerusalem dihancurkan oleh raja Nebukadnezar. 27 Imigrasi ke luar daerah Palestina terus berjalan dari

  tahun ke tahun oleh bangsa Yahudi. Hal ini disebabkan karena Palestina negeri yang sempit dan merupakan tempat yang seringkali dilanda perang, maka banyak orang Yahudi yang

  berusaha untuk pindah dan mencari nafkah diluar negeri. 28

  Bangsa Yahudi yang menjadi imigran tentunya menjadi minoritas kecil dalam negara Roma yang raksasa dan serba majemuk. Dalam hidup minoritasnya, bangsa Yahudi Diaspora biasanya tinggal bersama-sama membentuk jemaat yang agak besar. Mereka membangun sinagoge sebagai tempat beribadat dan tempat dimana berbagai macam masalah dibicarakan

  dan diputuskan. 29 Tempat ini mempunyai fungsi sosial yaitu memberikan rasa keanggotaan dan mempemudah kontak diantara sesama orang Yahudi. 30 Kebebasan bangsa Yahudi

  Diaspora mendirikan Sinagoge juga digunakan sebagai kesempatan membentuk „badan pengurus kelompoknya‟ sendiri. 31 Dengan maksud badan pengurus inilah yang akan

  mengurus persoalan-persoalan terkait dengan kehidupan khusus Yahudi yang berada di Disapora.

  Meskipun badan pengurus telah terbentuk, ternyata beberapa kelompok orang Yahudi Diaspora lainnya banyak yang terpengaruh kebudayaan Yunani. Terlihat dari hal sederhana yaitu penggunaan bahasa Yunani dalam berbagai bentuk komunikasi, baik bersifat pribadi

  Simanjuntak, Tafsiran Alkitab, 60.

  28 Stambaugh, Dunia Sosial, 43 29 Groenen, Pengantar, 65 Groenen, Pengantar, 65.

  31 Stambaugh, Dunia Sosial, 47 Terdiri dari ketua dan suatu dewan terkemuka. Badan pengurus ini biasanya dalam batas tertentu dapat memutuskan perkara pidana dan perdata yang hanya menyangkut orang-orang Yahudi. Perkara-perkara biasanya ditangani oleh suatu

  pengadilan Yahudi.

  maupun resmi. 32 Tidak hanya itu, banyak penggunaan gelar para pejabat dalam sinagoge juga meniru gelar-gelar hakim Yunani. Pengaruh yang kuat dari kebudayaan Yunani inilah yang

  pada akhirnya membuat penghayatan agama Yahudi diperantauan cukup berbeda dengan penghayatan yang paling menonjol di Palestina. 33 Salah satunya ialah cara berpikir sinkretis

  yang nampak dalam kehidupan kelompok Yahudi di perantauan. 34

  Di lain pihak, ternyata pada umumnya tidak semua kelompok orang Yahudi yang menerapkan kebudayaan Yunani dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agamanya,

  mereka berhasil mempertahankan identitasnya sendiri. 35 Kelompok orang Yahudi ini dengan keberanian dan rasa percaya diri rajin menyebarkan agamanya dikalangan orang bukan-

  Yahudi yang dianggap mereka sebagai kafir. Kehidupan yang taat pada agama serta tradisi nenek moyang, pada akhirnya membuat tidak sedikit orang-orang bukan Yahudi begitu tertarik terhadap agama mereka dan mulai berkomitmen memasuki kelompok tersebut

  sebagai anggota penuh (proselit). 36 Proselit-proselit tersebut memiliki keharusan untuk menaati dengan setia tradisi kebudayaan Yahudi, salah satunya ialah pemberlakuan sunat

  yang menjadi syarat mutlak, terkhusus untuk laki-laki. Oleh karena pemberlakuan sunat sebagai syarat yang mutlak ini pada akhirnya membuat banyak kaum laki-laki enggan untuk masuk kedalam anggota kelompok tersebut. Tidak heran jika di Diaspora lebih banyak

  perempuan non Yahudi yang menjadi Yahudi. 37 Tidak hanya itu, karena kerasnya tuntutan dan syarat membuat banyak orang bukan-Yahudi memilih untuk menjadi simpatisan dan

  menyebut diri mereka sebagai yang takut akan Allah.

  Meskipun banyak orang bukan Yahudi masuk dalam kelompok orang Yahudi dan banyak yang mengikuti kebudayaan Yunani, kenyataannya hubungan kelompok-kelompok Yahudi di perantauan dengan lingkungannya selalu tidak lancar dan menimbulkan ketegangan. Ketegangan ini disebabkan karena kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Romawi kepada kelompok orang Yahudi. Berbagai macam hak istimewa seperti pembebasan beribadah kepada dewa dan kaisar, hak untuk tetap menaati hukum Sabat, dibebaskan dari

  32 Stambaugh, Dunia Sosial, 48. Bangsa Yahudi Diaspora pada umumnya hampir tidak lagi menggunakan bahasa Ibrani atau Aram dalam kehidupan sehari-hari. Terlihat dalam terjemahan Kitab Suci Ibrani tradisional yang diterjemahkan kedalam

  bahasa Yunani, yang dikenal sebagai Septuaginta. Tidak hanya itu, naskah-naskah Papirus yang ditemukan di Mesir dan prasasti-prasasti Yahudi juga memperjelas penggunaan bahasa Yunani oleh bangsa Yahudi Diaspora. 33

  34 Groenen, Pengantar, 66-67. Surat dari Aristeas, yang ditulis di Aleksandria pada abad ke-2 SZB, yang melukiskan Yudaisme dalam pengertian yang

  biasanya dipakai untuk filsafat Yunani. Dalam surat ini berisi penyamaan Zeus dengan Yahweh. 35

  36 Groenen, Pengantar, 67. Josephus, (Antiquitates, 20.17-48), memberi sebuah contoh dalam laporannya tentang simpatisan Yahudi di antara anggota keluarga raja di Kerajaan Timur pada abad pertama SZB. Disini diceritakan mengenai seorang pedagang Yahudi yang 37 menobatkan ibunda raja dirumahnya di Adiabene, hulu Sungai Tigris. Stambaugh, Dunia Sosial, 45. Banyak perempuan yang menjadi Yahudi berasal dari kelas sosial bawah. Namun, ada juga perempuan yang berasal dari kelas sosial atas, Fulfia pada masa pemerintahan Tiberius (Josephus, Antiquitates, 18.81-84).

  keanggotaan militer, serta tetap membayar pajak setengah syikal setiap tahun ke Yerusalem untuk pemeliharaan Bait Allah, menimbulkan rasa iri hati dan dengki dari orang bukan

  Yahudi disekitarnya. 38

2.4.2. Misi Kristen dalam Diaspora

  Pada awalnya misi gerakan kelompok murid-murid Yesus masih terikat dan terbatas hanya pada Israel. Yerusalem masih dianggap pusat dari gerakan Yesus, mereka juga masih

  tetap secara teratur mengunjungi Bait Allah. 39 Namun, situasinya berubah setelah terjadinya Perang Yahudi dan penghancuran Yerusalem pada tahun 70 ZB. 40 Kejadian ini pada akhirnya

  membuat kelompok-kelompok gerakan kekristenan mulai keluar dari daerah Palestina dan mencari tempat ke daerah-daerah disekitar luar Palestina.

  Sewaktu pengikut-pengikut Yesus yang pertama bergerak dari tanah airnya yaitu Palestina menuju daerah luar, mereka melayani orang-orang tepat sesuai kebutuhannya. 41

  Tidak hanya itu, kelompok orang Kristen yang mereka bangun ternyata memperlihatkan melalui kehidupan akan tujuan dan makna hidup yang didambakan banyak orang. Tidak heran jika karena hal inilah yang mengakibatkan banyak orang-orang Yahudi maupun bukan Yahudi didaerah luar negeri (daerah perantauan) menaruh minat pada kekristenan. Bahkan

  dari para mualaf bukan Yahudi yang pada mulanya merupakan seorang proselit. 42

  Melihat begitu banyak minat yang tidak hanya diberikan oleh orang Yahudi melainkan juga oleh orang-orang bukan Yahudi terhadap ajaran kekristenan, pada akhirnya

  membuat kelompok kekristenan perantauan (terutama di daerah Antiokhia) 43 mengubah paradigma misionernya. Kelompok kekristenan tidak lagi menaruh perhatian misionernya

  hanya pada keturunan Israel, melainkan juga pada orang-orang berkebangsaan lain (bukan- Yahudi). Orang bukan Yahudi juga diberikan kebebasan untuk masuk ke dalam komunitas

  gerakan Yesus tanpa harus terlebih dahulu menjadi Yahudi 44 , yang biasanya diawali dengan melakukan sunat dan ketaatan pada hukum ritual 45 .

  39 Groenen, Pengantar, 68. Yudaisme pada waktu itu menunjukkan suatu tingkat pluralisme yang memungkinkan kekristenan Yahudi hadir sebagai suatu kelompok diantara banyak kelompok lainnya tanpa memutuskan hubungan-hubungannya dengan kelompok yang

  utama.

  41 Bosch, Transformasi, 65. John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) 31. 42 Bosch, Transformasi, 65. Masuknya para mualaf bukan Yahudi yang pada mulanya proselit dapat juga disebabkan karena

  penerimaan kedalam lingkungan Kristen tanpa harus disunat. 43

  Antiokhia merupakan kota terbesar didunia kuno setelah Roma dan Alexandria dan merupakan ibukota provinsi gabungan Romawi, Suriah dan Kilikia. Kota ini yang menjadi kota besar pertama dimana kekristenan memperoleh tempat berpijak orang Kristen Yahudi berbahasa Yunani sewaktu mereka diusir dari Yerusalem. 44

  Stambaugh, Dunia, 52. 45 Bosch, Transformasi, 66.

  Pergeseran paradigma misioner inilah yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya konflik diantara kelompok kekristenan, yaitu kelompok yang berlatar belakang Yahudi

  dengan kelompok yang berlatar belakang Yunani. 46 Kelompok yang berlatar belakang Yunani, yang diwakilkan oleh Stefanus dalam pidatonya menyerang kepercayaan dasar

  Yahudi dengan memperkecil pentingnya ketaatan pada Torah, namun tetap menggunakan Perjanjian Lama sebagai nubuat penggenapan janji Allah mengenai kehadiran Kristus. Akibat pergeseran paradigma dan sumbangsih dari kelompok Kristen berlatar belakang Yunani ini juga yang pada kemudian hari membuat jemaat Kristen terutama di Antiokhia semakin melepaskan diri dari unsur-unsur Yahudi dan menjadikan gerakan mereka sebagai gerakan

  „Kristen‟ yang sebenarnya. 47

2.5. Dunia Pendidikan

  Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana kehidupan dunia pendidikan baik bagi orang Yahudi 48 maupun bagi orang Yunani-Romawi.

2.5.1. Pendidikan dalam Konteks Budaya Orang Yahudi

  Dalam kehidupan orang Yahudi sehari-hari, dunia pendidikan mendapatkan kedudukan yang sangat penting. Alasannya karena melalui pendidikan, orang-orang Yahudi dapat memperkenalkan serta meneruskan tradisi warisan nenek moyang, terutama mengenai

  penyertaan Allah terhadap Abram, pada angkatan-angkatan muda. 49 Sejak jaman permulaan Israel sampai permulaan zaman bersama angkatan-angkatan muda mendapatkan pendidikan

  dengan dasar teologi yang sama yaitu agar dapat mengingat perbuatan ajaib Allah bagi nenek moyang mereka dan dapat tetap terus berharap hal yang sama dapat terjadi dalam kehidupan mereka.

  Seiring berjalannya waktu, Israel mengalami masa-masa sulit ketika mereka harus mengalami masa pembuangan ke Babel. Banyak kaum pemimpin Yahudi dibuang ke Babel, dasar pendidikan teologi mereka yang dulu dianggap cukup teguh, ternyata perlu ditinjau

  46 Kelompok yang berlatar belakang Yahudi, masih memegang teguh prinsip kebudayaan Yahudi. Mereka mengasimilasikan pengalaman keselamatan didalam Kristus dengan cara mempertahankan kesetian pada Torah serta tradisi dan aturan-aturan

  dalam agama Yahudi. Sedangkan kelompok yang berlatar belakang Yunani adalah kelompok yang lebih terbuka, dipengaruhi oleh helenis serta budaya Yunani-Romawi. Kelompok ini lebih mengutamakan pengalaman Paskah dibanding Torah dan Bait Allah. Bagi mereka, bukan Torah melainkan Roh-lah yang akan membimbing kehidupan orang-orang percaya.

  48 Groenen, Pengantar, 69. 49 Yahudi yang dimaksud ialah Yahudi Diaspora maupun Yahudi Palestina. Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek PAK: Dari Plato Sampai IG. Loyola, (Jakarta: BPK Gunung

  Mulia, 2008), 21 Mulia, 2008), 21

  pendidikan teologi mereka. Dasar pendidikan teologi yang sebelumnya dianggap dinamis mulai diubah sehingga terlihat kaku dan menekan. Para rabi juga mulai menerapkan

  peraturan-peraturan tertentu berhubungan dengan keadaan yang baru. 51 Titik berat metode pendidikan yang dibuat oleh para rabi hanya pada usaha untuk menaati serta menghafalkan

  semua peraturan hukum dalam Torah. Menurut mereka, apabila isi dari salah satu bagian tulisan suci itu telah dihafal, maka penyataan abadi telah diterima oleh yang menghafalnya. Hal inilah yang berdampak pada akhirnya mereka melupakan intisari dari hukum Torah itu sendiri.

  Proses pengajaran dalam dunia pendidikan orang Yahudi dimulai sejak usia 5 tahun, terutama bagi anak laki-laki. Sejak tahun 75 SZB telah didirikan sebuah sekolah dasar (Beth-

  ha-sefer) di Yerusalem oleh Rabi Simson. 52 Dalam sekolah dasar inilah anak-anak berusia 5-

  7 tahun mulai belajar dengan pengajaran elementer, yaitu membaca bahasa Ibrani, nubuat, dan tulisan lain seperti Mazmur, serta mulai menghafal Torah. Tidak hanya mendirikan Beth- ha-sefer, orang Yahudi juga mendirikan sekolah yang disebut beth-ha-midrassy (rumah

  pengajaran). 53 Beth-ha-midrasy didirikan bagi anak-anak yang berusia 10-11 tahun. Dalam tempat ini mereka diajarkan Mysna (suatu penafsiran tentang Taurat). Sedangkan pada usia

  12 tahun, anak-anak diwajibkan melakukan syariat Yahudi (Mis-woth). Selain kedua sekolah dasar ini, terdapat sekolah-sekolah tinggi yang didirikan dengan maksud dapat menjadi

  sekolah lanjutan bagi orang-orang Yahudi yang ingin menjadi seorang ahli Taurat. 54 Pendidikan ini tidak hanya dilaksanakan didalam lembaga sekolah melainkan juga didalam

  keluarga dimana ditunjukkan dengan keikutsertaan mereka dalam setiap upacara ritual baik tahunan maupun mingguan. 55

  Orang Yahudi pada dasarnya berkeyakinan bahwa amanat pengajaran dalam pendidikan Yahudi dipercayakan oleh Tuhan, sebagai pengajar utama, pada beberapa

  50 Boehlke, Sejarah Perkembangan, 35

  52 Boehlke, Sejarah Perkembangan, 37 Boehlke, Sejarah Perkembangan, 43.

  54 J.L.Ch.Abineno, Yesus dari Nazaret, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) 3.

  55 Ibadah tahunan ialah ibadah Paskah, sedangkan ibadah mingguan ialah ibadah perayaan hari Sabat. Ibadah ini menjadi V. Indra Sanjaya, Belajar dari Yesus sang katekis, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 30. sarana dimana orang dewasa (orang tua) mengajarkan anak-anak mereka mengenai kasih Sang Pencipta dan menceritakan

  bagaimana penyertaan Tuhan kepada nenek moyang bangsa Israel pada saat terjadinya peristiwa keluaran serta identitas mereka sebagai bangsa terpilih. Dari cerita-cerita mengenai sejarah ini diyakini dapat menumbuhkan iman dengan cara berusaha untuk mengingat apa yang sudah dilaksanakan Tuhan.

  golongan 56 dan juga guru di sekolah-sekolah Yahudi. Dari beberapa golongan serta guru yang diberi tanggung jawab oleh Tuhan dalam dunia pendidikan, golongan orang tua dalam

  keluargalah yang lebih mutlak dan yang sangat berperan penting. Orang tua dianggap sebagai penengah yang memuarakan pengalaman nenek moyang mereka dengan Tuhan kepada setiap

  angkatan baru. 57 Oleh karena itu, mereka (orang tua, terutama para ayah) diharapkan memiliki pengetahuan yang luas mengenai tradisi serta isi Torah.

  Dalam bidang pendidikan, orang Yahudi yang berada di Diaspora melakukan sejumlah penyesuaian dengan dunia dimana tempat mereka tinggal. 58 Terlihat pengaruhnya

  dalam hal bahasa, dimana hampir tidak ada lagi yang mengetahui bahasa Ibrani atau Aram. 59 Kebanyakan orang Yahudi Diaspora mempelajari serta menyerap cara berpikir orang Yunani,

  salah satunya dalam bidang ilmu filsafat. 60 Banyak dari orang Yahudi belajar di gimnasium dan ikut serta dalam latihan atletik dan retorikanya. Akibat dari hubungan yang erat dengan

  kebudayaan Yunani yang diterima, orang Yahudi di perantauan lebih bersikap terbuka serta tidak lagi begitu menghayati dan terpengaruh dengan tradisi nenek moyangnya. 61 Akan tetapi

  dipihak lain, berbeda dengan orang Yahudi Diaspora yang terbuka dengan budaya Yunani- Romawi, orang Yahudi Diaspora yang masih memegang teguh tradisi masih tetap memberikan kepada anak-anak dan para proselit pendidikan mengenai Kitab Suci serta tradisi

  nenek moyangnya. 62

2.5.2. Pendidikan dalam Konteks Budaya Yunani-Romawi

  Pendidikan merupakan bagian penting dalam tiap peradaban kehidupan suatu bangsa, begitu juga kehidupan orang Yunani-Romawi. Sejak zaman kuno, pendidikan merupakan unsur terpenting apabila seseorang menginginkan untuk dapat berkuasa. Kurikulum pendidikan yang dipakai oleh bangsa Romawi meniru pola pendidikan Yunani dari abad ke 5

  SZB. 63 Anak laki-laki maupun perempuan memulai proses belajar mereka di Gymnasium yang diajar oleh seorang Grammatistes 64 pada usia 6 tahun dengan belajar cerita-cerita

  56 Terdiri dari (1). Golongan Imam yang mengajarkan kekudusan Allah. (2). Golongan nabi yang mengajarkan melalui Firman teguran, hukuman dan perdamaian bagi orang-orang Yahudi. (3). Golongan kaum bijaksana yang mengajar melalui

  penyampaian kalimat-kalimat bijak. (4). Golongan penyair, yang mengajar melalui iramadan perkataan simbolis.

  57 Boehlke, Sejarah Perkembangan, 30-31.

  59 Stambaugh, Dunia, 49 Groenen, Pengantar, 66

  60 Stambaugh, Dunia, 48. Hasilnya adalah „Surat dari Aristeas‟ yang didalamnya melukiskan Yudaisme dalam pengertian

  filsafat Yunani. Dalam surat ini, kepala pantheon Yunani yaitu Zeus, disamakan dengan Allah Israel. 61

  Groenen, Pengantar, 67 62 Stambaugh, Dunia, 148. Ini ditunjukkan dengan masih adanya pengetahuan mengenai teks-teks Yahudi yang dipakai oleh

  penulis dalam penulisan kitab Perjanjian Baru, terkhususnya dalam Injil Matius. 63

  Wahono, Disini, 308. 64 Grammatistes ialah pengajar dalam Gymnasium yang mengerti baca dan tulis.

  khayal, maupun mitos-mitos para dewa-dewi. Tidak hanya belajar mengenai mitos asal-usul kehidupan bangsanya, anak-anak juga diberikan mata pelajaran mengenai musik, pembacaan

  puisi, tarian keagamaan, ilmu-ilmu alam, serta yang lebih penting ialah olahraga 65 .

  Selain mempelajari mitos dan mata pelajaran lainnya, sejak masuknya pengaruh Yunani dalam bidang retorika pada abad ke 2 menjadikan orang Romawi pada akhirnya membuat kebijakan sendiri mengenai pendidikan. Anak-anak yang telah menjadi seorang pemuda yang ingin ikut serta dalam publik diharuskan untuk menghubungi ahli retorika

  (sophistes) sebagai upaya menempuh pendidikan tinggi. 66 Tidak hanya itu, terbawanya pengaruh Helenis dibidang filsafat juga mempengaruhi aspek pendidikan masyarakat Yunani-

  Romawi. Pendidikan filsafat pada umumnya lebih diminati oleh kalangan atas masyarakat Yunani-Romawi dibanding rakyat jelata. Alasannya karena bagi rakyat jelata pendidikan retorika jauh lebih mempunyai peran secara langsung dalam masyarakat dibanding filsafat. Orang-orang yang pandai berpidato dianggap dapat menolong orang dalam lingkungan luas sosialnya, salah satunya ialah menolong masyarakat luas mendapatkan keadilan, dibandingkan dengan pendidikan filsafat yang hanya melaporkan hasil pemikirannya dalam

  bentuk tulisan (buku-buku). 67

  65 Dalam kehidupan masyarakat Yunani-Romawi, olahraga merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Hal ini bagi

  mereka dikarenakan harus adanya keseimbangan antara badan dan jiwa. 66

  Stambaugh, Dunia, 146 67 Boehlke, Sejarah, 14

3. Strategi Pengajaran Yesus menurut Matius 13:1-9

  Pada bagian ini, penulis akan mengemukakan hasil-hasil studi hermeneutik mengenai strategi pengajaran yang dipakai oleh Yesus menurut Injil Matius 13:1-9 dalam konteks sosio historis. Hasil studi hermeneutik ini akan dibagi berdasarkan beberapa pokok, diantaranya prinsip pengajaran, metode pengajaran, substansi pengajaran, serta dampak dari pengajaran Yesus.

3.1. Prinsip Pengajaran Yesus

  Pelayanan mengajar Yesus yang ditulis dalam salah satu bagian perikop Alkitab yaitu Mat.13:1-9, mengungkapkan prinsip yang digunakanNya ketika mengajar para murid dan pendengarNya. Penulis mencoba meringkasnya kedalam tiga point, antara lain:

Pertama, Yesus seorang pengajar kreatif yang memahami kebutuhan pendengar.

  Kreatifitas pengajaran selalu ditunjukkan Yesus dalam tiap pelayananNya. Ia selalu mengaitkan cerita dalam kehidupan sehari-hari dengan materi ajaranNya. Hal ini dibuktikan pada Mat.13:3, kalimat ἰδοὺ ἐξῆλθεν ὁ ζπείπων ηοῦ ζπείπειν , yang dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi „Lihat! Orang (laki-laki) yang menabur (penabur) pergi menabur‟, kalimat ini menunjukkan bagaimana Yesus secara kreatif memakai materi cerita yang ringan dan mudah dipahami karena merupakan kegiatan yang telah dilakukan masyarakat Yahudi sehari- hari.

  Kata seruan „Lihat!‟, menunjuk pada suatu seruan untuk memperhatikan sebuah objek atau kejadian yang berada didepan mata pada waktu itu. Penggunaan kata seruan ini tentu dengan maksud agar para pendengarNya melihat kejadian yang sedang terjadi. Kejadian yang mereka lihat saat itu merupakan kegiatan dimana yang telah menjadi rutinitas dalam

  kehidupan sehari-hari masyarakat Yahudi. 68 Kata ζπείπων mengandung kata kerja yang sedang terjadi pada masa sekarang dengan subjek maskulin singular, kata ini diartikan

  sebagai seorang penabur. Pekerjaan sebagai seorang penabur merupakan pekerjaan sehari- hari dalam masyarakat Yahudi yang tinggal di sekitar daerah pinggir pantai atau danau.

  Cara Yesus inilah yang membedakan prinsip pengajaranNya dengan prinsip pengajaran para pengajar Yahudi lainnya. Jika Yesus menggunakan cerita yang sesuai dengan kegiatan sehari-hari sehingga pendengarNya dapat dengan mudah memahami, lain halnya dengan pengajar Yahudi lainnya. Mereka cenderung lebih mempertahankan tradisi mengajar

  68 King dan Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. 104.

  dengan penekanan pada metode penghafalan dan ketaatan pada Torah. Tradisi Torah yang tertulis benar-benar harus dipelajari, ditafsirkan, dan dijabarkan dibawah terang tradisi lisan

  tanpa didaur ulang ceritanya menjadi cerita yang konkrit. 69 Penafsiran yang dilakukan hanya sebatas pada ajaran tradisi dan kitab nenek moyang, tidak menafsir dengan memberikan

  unsur yang hidup dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Yahudi saat itu.

  Apabila melihat lebih lanjut mengenai pokok ayat ini, secara tersirat ternyata ajaran Yesus juga memiliki maksud yang berbeda dan berusaha mencoba untuk mengkritisi materi pengajaran dalam pendidikan orang Yahudi. Seperti yang telah disampaikan dalam bagian sebelumnya, pendidikan orang Yahudi lebih menitik beratkan dan mengarah pada pendidikan agamawi. Hal inilah yang membuat para pengajar Yahudi melupakan materi pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat pada waktu itu. Dengan cerita yang memakai contoh cara penabur yang menabur ini, secara tidak langsung Yesus ingin mengajarkan kepada para pendengarNya bagaimana cara menabur yang baik.

  Cerita penabur ini memberikan penjelasan bahwa penabur yang menabur tersebut ternyata lebih banyak menjatuhkan benih ditempat-tempat yang tidak mendatangkan

  keuntungan 70 . Dengan memperhatikan secara langsung proses penaburan, Yesus tentu juga sedang mengharapkan agar para pendengarNya mampu melihat kesalahan cara menabur dari

  penabur tersebut sehingga ketika diperhadapkan dengan rutinitas tersebut, para pendengar mampu untuk kembali mengingat cerita dan kejadian yang menjadi materi ketika Yesus mengajar dan kemudian dapat memperbaiki kembali cara mereka dalam mengerjakan kegiatan penaburan.

Kedua, Yesus menekankan kebebasan berpikir kepada setiap pribadi.

  Kekhasan dalam prinsip pengajaran Yesus ialah pemberian kebebasan untuk berpikir dalam mengambil keputusan. Dalam pengajaranNya, Yesus tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk dan terikat denganNya. BagiNya kebebasan memilih, entah ingin mengikutiNya atau tidak, merupakan hak masing-masing pribadi yang mendengarkan ajaranNya. Dalam Matius 13:1-9, secara tersurat menggambarkan bagaimana pribadi Yesus memberikan kebebasan kepada para pendengarNya.

  Wahono, Disini, 329. Hal ini disebabkan karena ahli Taurat lebih menekankan pada ritual peribadahan, sedangkan para Farisi memiliki minat utama hanya pada soal-soal teologis. Tekanan minat ini yang membuat para ahli taurat dan Farisi 70 kurang peka terhadap masalah sosial yang terjadi. Tiga kali jatuh ditempat yang buruk, antara lain jatuh dipinggir jalan, jatuh ditanah yang berbatu-batu, dan dalam semak

  belukar. Hal ini karena ada beberapa cara yang digunakan oleh penabur untuk menabur benih-benih, diantaranya dengan menggunakan hewan keledai. Dengan cara ini, benih-benih dapat saja terjatuh dimana saja, termasuk ditanah yang buruk. Cara kedua ialah dengan melemparkan benih-benih dengan menggunakan tangan keberbagai arah. Cara ini memiliki kemungkinan, yaitu jatuh diatas tanah yang buruk ataupun jatuh diatas tanah yang baik.

  Perlu diperhatikan pada ayat 9, o` e;cwn w=ta avkoue,twÅ yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “yang mempunyai (pribadi masing-masing) telinga biarlah

  mendengar”. Kata e;cwn merupakan kata kerja aktif masa sekarang bentuk nominatif maskulin

  singular, yang berarti menunjukkan pada „kepunyaan yang dimiliki oleh suatu subjek (pendengar)‟, dan kepunyaan yang dimiliki oleh setiap pendengar ialah w=ta yang diartikan sebagai „telinga‟. Kepunyaan ini menjadi hak dari masing-masing individu yang mendengarkan ajaran Yesus. Dengan menggunakan kalimat ini, dengan jelas ingin menunjukkan tidak adanya unsur paksaan yang dipakai oleh Yesus untuk menanamkan ajaranNya. Ia hanya ingin para pendengar yang mempunyai hak kepunyaan mereka pribadi (telinga) agar dengan kerelaan hati dapat mendengarkan ajaranNya serta menanamkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

  Prinsip pengajaran Yesus seperti ini berbeda dengan yang digunakan oleh para rabi lainnya. Pengajaran rabi lainnya seringkali terasa memaksa bagi para pendengarnya agar wajib mengikuti ajaran yang disampaikan serta taat akan aturan dan Torah secara penuh. Apabila para pendengar lain yang berasal dari kalangan non-Yahudi ada yang telah terpengaruh dan memiliki keinginan masuk dalam gerakan tersebut, maka mereka diwajibkan

  untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku (sunat dan taat pada tradisi nenek moyang). 71

Ketiga, Pelayanan pengajaran Yesus diberikan kepada semua orang

  Dalam perjalanan pelayanan pengajaran, Yesus ternyata lebih tertarik untuk mengajar di tempat yang lebih terbuka. Seperti yang dituliskan dalam Matius 13:1, „Yesus meninggalkan sebuah rumah lalu duduk dipinggir danau‟. Pinggir danau ialah tempat yang sering menjadi tempat mengajar yang strategis bagi Yesus dalam setiap pelayanan mengajarNya, karena tempat terbuka seperti ini biasanya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketertarikan Yesus untuk lebih banyak mengajar di tempat terbuka merupakan salah satu maksud dimana sebenarnya Yesus menghendaki adanya kebebasan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengajaran. Tidak terbatas pada status golongan maupun individu.

  Dalam ayat 2, kata ὄχλοι πολλοί merupakan kata sifat dan subyek maskulin bentuk

  plural, yang diterjemahkan menjadi „khalayak ramai, rakyat biasa (laki-laki) yang banyak‟. Khalayak ramai merupakan suatu kerumunan besar orang yang pada hakikatnya bisa berasal darimana saja. Begitu pula dengan khalayak ramai yang dimaksud dalam Matius 13:2. Oleh

  71 Wahono, Disini, 328.

  karena dalam teks tidak dijelaskan mengenai siapa saja yang termasuk dalam khalayak ramai tersebut, dapat dipastikan bahwa khalayak ramai ini tentu dapat berasal dari masyarakat Yahudi maupun non-Yahudi, orang-orang yang terbuang (berdosa) dalam masyarakat Yahudi, para petani, pedagang, tentara Romawi, dan kemungkinan juga termasuk para wanita.

  Dalam teks yang ditulis penulis Matius, tertulis bahwa yang menjadi bagian dalam kerumunan khalayak ramai tersebut adalah para lelaki, dan tidak terdapat para wanita. Hal ini bukan berarti para wanita tidak berada diantara kerumunan khalayak ramai tersebut. Secara logika dalam kenyataan, sebenarnya khalayak ramai tersebut tidak terbatas pada siapapun, termasuk juga para wanita. Kemungkinan besar, penulis Matius memakai kata ὄχλοι πολλοί sebagai kata sifat dari subyek maskulin bentuk plural yang berarti „khalayak ramai laki-laki yang banyak‟ bukan berarti bahwa penulis Matius mengesampingkan para wanita diantara kerumunan khalayak ramai tersebut, melainkan tentu karena maksud dalam memberitahukan dan mengingatkan kembali pada pembaca pada masa itu mengenai peran seorang laki-laki dewasa sebagai pengajar dalam keluarga. Tidak hanya itu, menurut saya, dapat saja kata ὄχλοι πολλοί juga kemungkinan besar ditulis oleh penulis Matius dikarenakan dominannya kehadiran para lelaki dalam kerumunan „khalayak ramai‟ dibanding dengan para wanita. Bisa jadi para wanita yang hadir pada waktu itu hanya sekitar 4-5 orang dibanding laki-laki yang dominan lebih banyak.

  Prinsip pengajaran Yesus ini berbeda dengan yang diberlakukan oleh para pengajar Yahudi lainnya, terutama oleh para Imam Besar dan rabi Yahudi lainnya. Dalam masyarakat Yahudi, para Imam Besar membentuk suatu kelompok sosial tersendiri yang terdiri dari kalangan atas dan kalangan bawah. Jabatan mereka merupakan jabatan tertinggi dalam Bait

  Allah, karena hal ini membuatnya dapat memegang peranan politis masyarakat Yahudi. 72 Sedangkan para rabi lainnya, mereka disebut orang berhikmat jika mereka telah lulus dalam

  pendidikan. Apabila telah disebut sebagai orang berhikmat, mereka dapat masuk dalam kaum elite. Status dari kedua golongan ini dengan jelas menggambarkan bagaimana posisi mereka. Akibat yang diberikan ialah selalu ada batasan yang tinggi diantara para Imam dengan umatnya, maupun para rabi lain dengan para pendengarnya. Orang-orang yang telah dianggap berdosa oleh para pengajar Yahudi karena melanggar segala aturan dan tradisi, pada dasarnya tidak dapat lagi masuk dan mendengarkan ajaran Yahudi karena telah dimarginalisasikan dari masyarakat.

  72 Groenen, Pengantar42

3.2. Metode Pengajaran

  Berbicara mengenai Yesus dalam bidang pengajaran tentu tidak terlepas dari bentuk wacana yang sering dipakaiNya ketika mengajar. Jika membaca Mat.13:1-9, tentu dengan jelas kita menemukan bentuk wacana (metode) yang dipakai olehNya. Pada ayat 3, tertulis Kai. evla,lhsen auvtoij polla. evn parabolaij le,gwn\ yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi „dan Dia mengajarkan orang banyak dalam sebuah perumpamaan,‟. Kata evn parabolaij merupakan kata bentuk datif feminin plural yang telah sering dipakai serta diartikan sebagai „dalam sebuah perumpamaan‟. Sedangkan le,gwn\ merupakan kata kerja partisip yang dilakukan masa sekarang oleh subyek maskulin tunggal yang artinya „dia berbicara‟. Dalam kata „dia berbicara‟ ini secara jelas tentu mengarah pada satu subyek tunggal sebagai penutur perumpamaan, dan subyek itu ialah Yesus. Oleh karena itu, secara jelas telah ditemukan bahwa Mat.13:1-9 menggunakan bentuk wacana (metode) yang sering dipakai oleh Yesus.

  Metode perumpamaan merupakan metode yang lazim digunakan oleh para pengajar pada masa Yesus. Meskipun metode tersebut lazim digunakan, terdapat perbedaan penggunaan antara Yesus dan pengajar lainnya. Perumpamaan yang dipakai oleh Rabi lainnya adalah untuk menjelaskan suatu teks Kitab Suci, berbeda dengan Yesus yang bukan untuk menjelaskan suatu teks. Perumpamaan yang dipakai oleh Yesus mengandung amanat

  atau ajaran yang akan disampaikan. 73 Akan tetapi dalam ajaran tersebut tidak diberikan penjelasan makna olehNya. 74 Cara-Nya memanfaatkan metode tersebut jauh melampaui para pengajar yang lain dalam hal keefektifan dan kedalaman kebenaran yang dilukiskan. 75

  Perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus biasanya menarik pikiran pendengar kedalam

  dunia kisah kehidupan 77 , dan dalam kisah itu terdapat „kebenaran yang tersembunyi‟ yang menantang pendengar untuk memahami dan merenungkannya. Selain itu juga, perumpamaan

  Yesus berbentuk lebih indah dan mempunyai suatu arti yang sangat dalam. 78 Menantang para pendengar untuk menenentukkan sikapnya, baik terhadap amanat yang terkandung

  didalamnya maupun terhadap Dia yang menceritakan perumpamaan.

3.3. Substansi Pengajaran Yesus