Perilaku Orangtua dalam Menangani Hambatan Komunikasi pada Anak Autis di Rumah TerapiKudos Kindle Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autis
2.1.1 Pengertian Autis
Sunu, (2012 dalam Boham, 2013) menyatakan bahwa autisme berasal
dari kata ‘auto’ yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka yang
mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat seperti seorang yang hidup
sendiri. Anak autis seolah-olah hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak
sosial yang ada di sekitarnya. Muhith (2015) berpendapat bahwa autisme adalah
gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau
kendala perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri
kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang
terbatas dan berulang.
Cristie (2007 dalam Kartika, 2014) berpendapat bahwa autisme
didiagnosis menggunakan parameter triad of impairments, yaitu tiga area
kesulitan belajar dan berkomunikasi seorang anak yang tampak dalam
perkembangan anak sebelum dia berusia tiga tahun. Bukan berarti semua anak
didiagnosis sebelum tiga tahun, tetapi berdasarkan observasi pada orang tua dan
observasi lainnya, tampak bahwa pola kesulitan yang dialami seorang anak
diawali sebelum usianya tiga tahun. Ketiga area kesulitan tersebut meliputi
kesulitan dalam berbahasa dan berkomunikasi, kesulitan dalam interaksi sosial

dan pemahaman terhadap sekitarnya, dan kurangnya fleksibilitas dalam berpikir
dan bertingkah laku.

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.2 Karakteristik Autis
Abdul Muhith (2015) menyatakan untuk memeriksa seorang anak
menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme. ICD10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and
Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autis yang isinya
sama, saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah harus ada
sedikitnya gejala dari (1), (2), dan (3) seperti dibawah ini, dengan minimal 2
gejala dari (1) dan masing – masing 1 dari gejala dari (2) dan (3)
2.1.2.1 Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik
Anak autis minimal harus memiliki 2 dari gejala di bawah ini, yaitu
pertama tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju, apabila
dipanggil tinggal menengok. Kedua tidak bisa bermain dengan teman sebaya,
senang menyendiri. Ketiga kurangnya hubungan timbal balik sosial dan

emosional. Keempat tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kelima
kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada
orang lain (Newson, 1998).
2.1.2.2 Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
Anak autis minimal harus memiliki 2 dari gejala di bawah ini, yaitu
pertama perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak
tidak berusaha untuk berkomuniksai secara non verbal. Kedua bila anak bisa
bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomuniksi. Ketiga sering
menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. Keempat cara bermain kurang

Universitas Sumatera Utara

9

variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.
2.1.2.3 Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang.
Pertama mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas
dan berlebihan. Kedua terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas
yang tidak ada gunanya. Ketiga ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulangulang. Keempat seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
2.1.2.4 Adanya gangguan emosi

Gangguan emosi yang dimaksud seperti tertawa, menangis, marah-marah
tanpa sebab, emosi tidak terkendali, dan rasa takut yang tidak wajar.
2.1.2.5 Adanya gangguan persepsi sensorik
Gangguan persepsi sensorik yang dimaksud seperti menjilat-jilat dan
mencium-cium benda, menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada
tertentu, tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar, dan sangat tahan
terhadap sakit
2.1.3 Tahapan Komunikasi Anak Autis
Sebuah studi banding yang dilakukan oleh Menyuk dan Quill (1985
dalam Peeters, 2009) memberi informasi menarik tentang komunikasi anak autis.
mereka mempelajari perkembangan makna dalam bahasa pada anak yang normal
dan anak-anak autistik.

Universitas Sumatera Utara

10

Tabel 2.1.3 Perkembangan Bahasa dan Komunikasi Anak Autis dan Anak
Normal
Usia

dalam
Bulan
2bulan

Perkembangan Bahasa dan
Komunikasi pada Anak Autis

Perkembangan Bahasa dan Komunikasi
pada Anak Normal
Suara-suara vocal

6bulan

Tangisan sulit dipahami

“Pembicaran” vokal atau bertatap muka
Posisi dengan orangtua
Suara-suara konsonan mulai muncul

8bulan


Ocehan yang terbatas atau tidak normal
(misalnya, menjerit atau berciut)
Tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh,
ekspresi

Berbagai intonasi dalam ocehan, termasuk
bertanya
Intonasi
Mengoceh potongan-potongan kata secara
berulang-ulang (ba-ba-ba, ma-ma-ma)
Gerakan menunjuk mulai muncul

12bulan

Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi
seringkali tidak bermakna
Sering menangis keras-keras; tetap sulit
untuk dipahami


Kata-kata pertama mulai muncul
Penggunaan jargon dengan intonasi yang
seperti kalimat
Bahasa yang paling sering digunakan untuk
menanggapi lingkungan dan permainan vokal
Penggunaaan bahasa tubuh plus vokalisasi
untuk mendapatkan perhatian, menunjukkan
benda-benda dan mengajukan permintaan

18bulan

24bulan

3-50 kosa kata
Bertanya pertanyaan yang sederhana
Perluasan makna kata yang berlebihan
(misalnya, “papa” untuk semua laki-laki)
Menggunakan bahasa untuk menanggapi,
meminta
sesuatu

dan
tindakan,
dan
mendapatkan perhatian
Juga menarik orang lain untuk mendapatkan
dan mengarahkan perhatian
Mungkin sering melakukan perilaku “echo”
atau meniru
Biasanya kurang dari 15 kata
Kata-kata muncul, kemudian hilang
Bahasa tubuh tidak berkembang; sedikit
menunjuk pada benda

Kata-kata 3-5 kata digabung (ucapan yang
bersifat “telegrafik”)
Bertanya pertanyaan yang sederhana (misalnya,
Mana Papa? Pergi?)
Menggunakan kata “ini” disertai perilaku
menunjuk
Menyebut diri sendiri dengan nama dan

bukannya “saya”
Tidak
dapat
mempertahankan
topik
pembicaraan
Bisa dengan cepat membalikkan kata-kata ganti

Universitas Sumatera Utara

11

Usia
dalam
Bulan
36bulan

48bulan

Perkembangan Bahasa dan

Komunikasi pada Anak Autis

Perkembangan Bahasa dan Komunikasi
pada Anak Normal

Kombinasi kata-kata jarang
Mungkin ada kalimat-kalimat yang
bersifat echo, tapi tidak ada penggunaan
bahasa yang kreatif
Ritme, tekanan atau penekanan suara yang
aneh
Artikulasi yang sangat rendah separuh dari
anak-anak normal
Separuhnya atau lebih tanpa ucapanucapan yang bermakna
Menarik
tangan
orangtua
dan
membawanya ke suatu obyek
Pergi ke tempat yang sudah biasa dan

menunggu untuk mendapatkan sesuatu
Sebagian kecil bisa mengkombinasikan
dua atau tiga kata secara kreatif
Ekolali masih ada; mungkin digunakan
secara komunikatif
Meniru iklan TV
Membuat permintaan

Bahasa berfokus pada di sini dan sekarang
Kosa kata sekitar 1000 kata
Kebanyakan morfem gramatikal (kata jamak,
masa lampau, preposisi, dll.) digunakan secara
tepat
Perilaku echo jarang terjadi pada usia ini
Bahasa semakin banyak digunakan untuk
bicara mengenai “di sana” dan “kemudian”
Banyak bertanya, seringkali lebih untuk
melanjutkan interaksi daripada mencari
informasi


Struktur kalimat yang kompleks digunakan
Dapat mempertahankan topik pembicaraan dan
menambah informasi baru
Bertanya pada orang lain untuk menjelaskan
ucapan-ucapan
Menyesuaikan
kualitas
bahasa
dengan
pendengar (misalnya, menyederhanakan bahasa
ketika berbicara dengan anak berusia 2 tahun)
Penggunaan struktur yang kompleks secara
lebih tepat
Struktur gramatikal sudah matang secara umum
(masih ada beberapa masalah dengan
kesesuaian subyek/kata kerja, bentuk-bentuk
kata yang tidak beraturan, pengucapan, dll.)
Kemampuan untuk menilai kalimat secara
gramatikal/nongramatikal
dan
membuat
perbaikan
Mengembangkan kemampuan memahami
lelucon dan sindiran, mengenali kerancuan
verbal
Meningkatkan
kemampuan
untuk
menyesuaikan bahasa dengan perspektif dan
peran pendengar

60bulan

Menurut Sussman (1999 dalam Yuwono, 2012) secara umum komunikasi
anak autis berkembang melalui 4 tahapan:
2.1.3.1 The Own Agenda Stage
Pada tahap ini anak masih lebih suka bermain sendiri dan tampaknya
tidak tertarik dengan orang-orang di sekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan

Universitas Sumatera Utara

12

komunikasi dia dapat mempengaruhi orang lain. Untuk mengetahui keinginannya,
anda harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak. Sering kali anak
mengambil sendiri benda-benda yang diinginkannya. Interaksi dengan ibu dan
pengasuhnya mungkin dapat berlangsung cukup lama, namun anak belum mau
berinteraksi dengan anak-anak lain atau orang yang baru dikenalnya. Anak autis
belum dapat bermain dengan benar

dan akan menangis atau berteriak bila

kegiatannya terganggu atau bila menolak.
2.1.3.2 The Requester Stage
Pada tahap ini anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat
mempengaruhi orang di sekitarnya. Bila menginginkan sesuatu, anak biasanya
akan menarik tangan orang lain dan mengarahkannya ke benda yang
diinginkannya. Kegiatan atau permainan yang amat disukainya biasanya masih
bersifat fisik seperti bergulat, digelitiki, cilukba. Sebagian anak mampu
mengulangi kata-kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan
untuk menenangkan dirinya. Anak mulai bisa mengikuti perintah sederhana, tetapi
responnya masih belum konsisten. Ia juga sudah memahami tahapan rutin dalam
kehidupannya sehari-hari.
2.1.3.3 The Early Communication Stage
Kemampuan anak berkomunikasi lebih baik karena melibatkan
penggunaan gerak isyarat, suara, dan gambar. Interaksi yang terjadi juga
berlangsung lebih lama. Anak telah menyadari bahwa dia bisa menggunakan satu
bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi khusus. Anak autis
memiliki inisiatif berkomunikasi yang masih terbatas pada pemenuhan

Universitas Sumatera Utara

13

kebutuhannya seperti makanan, minuman dan benda-benda kesukaanya. Pada
tahap ini anak telah mulai mengulang hal-hal yang didengar, mulai memahami
isyarat visual/gambar komunikasi dan mulai memahami kalimat-kalimat
sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai
menaggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan, atau melakukan kontak mata
untuk menarik perhatian, maka berarti anak sudah siap untuk memulai
komunikasi dua arah. Pada tahap ini anak sudah dapat diajarkan untuk menyapa
orang lain, menjawab pertanyaan “Apa ini/itu?” dan memberikan jawaban “ya”
atau “tidak”.
2.1.3.4 The Parther Stage
Tahap ini merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicara
anak baik, ia akan mempu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat
diminta untuk menceritakan pengalamannya yang lalu, keinginannya yang belum
terpenuhi dan mengekspresikan perasaannya. Namun kadang-kadang anak masih
terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik
pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami
kesulitan untuk berbicara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan
rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulisan. Walaupun sudah sering
berinteraksi dengan anak-anak lain dan orang tuanya, kebiasaan anak untuk
bermain sendiri masih tetap ada, terutama bila dia tidak tahu apa yang harus
dilakukan bersama teman-temannya.

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.4 Hambatan Komunikasi pada Anak Autis
Menurut

Wijayaptri

dalam

jurnalHambatan

Komunikasi

pada

Penyandang Autisme Remaja: Sebuah Studi Kasus (2015) terdapat beberapa
bentuk gangguan dalam aspek komunikasi yang dialami oleh penyandang
autisme. Berdasarkan studinya, Paul (2008) mengidentifikasi setidaknya ada 6
jenis gangguan komunikasi yang tipikal pada anak autis, yaitu:
Pertama respon yang minim dalam berkomunikasi, misalnya tidakmerespon jika
orang lain memanggil namanya. Anak autis umumnya memiliki kemampuan
komunikasi yang sangat minim, anak dengan autis biasanya juga sangat jarang
memulai komunikasi dalam lingkungan sosialnya. Komunikasi yang saya
gambarkan di sini lebih kepada komunikasi yang bersifat verbal. Kedua sulit
memusatkan perhatian. Ketiga rendahnya frekuensi komunikasi. Keempat fungsi
komunikasi yang terbatas, biasanyakomunikasi hanya berfungsi untuk meminta
(request) atau menolak (protest). Kelima echolaliae. , yaitu sebuah kondisi di
mana penyandang autisme menirukan berulang-ulang kata-kata yang didengar
atau diingat meskipun tidak mengetahui maknanya. Keenam penggunaan katakata yang tidak lazim (idiosyncratic words).
Shea dan Mesibov (2005 dalam Wijayaptri, 2015) menyebutkan bahwa
sebagian besar penyandang autisme remaja menunjukkan abnormalitas dalam
berbicara dan berbahasa. Hal ini juga didukung oleh Levy dan Perry (2011 dalam
Wijayaptri, 2015) yang menjelaskan bahwa mayoritas penyandang autisme remaja
terus memiliki permasalahan yang berkaitan dengan perilaku, komunikasi,
pendidikan,

keterampilan

hidup,

kemandirian,

keterampilan

sosial,

dan

Universitas Sumatera Utara

15

pertemanan. Pandangan yang lebih moderat menyebutkan bahwa kemampuan
komunikasi penyandang autisme terus berkembang seiring dengan perkembangan usianya, namun mereka tetap akan mengalami berbagai hambatan sosial
saat berkomunikasi.
2.1.5 Penanganan Hambatan Komunikasi pada Anak Autis
Andriana (2008) menyatakan bahwa penyandang autisme pada umumnya
mengalami

gangguan

kemampuan

dalam

interaksi

sosial,

kemampuan

berkomunikasi atau berbahasa, kemampuan perilaku dan minat. Gangguan
tersebut

menyebabkan

mereka

kesulitan

dalam

beradaptasi

dengan

lingkungannya, untuk menghadapi masa depan yang lebih baik mereka
memerlukan penanganan yang cepat dan tepat, jika tidak ditangani dengan cepat
mereka tidak dapat berbaur dan hidup mandiri dalam di masyarakat. Penanganan
yang dilakukan yaitu dengan menggunakan terapi. Terapi ada bermacam-macam,
namun terapi untuk penderita autism biasanya berbeda-beda, tergantung pada
kebutuhan masing-masing. Waktu terapi dan keberhasilannya juga tidak sama.
Peran serta orang tua dengan rajin mengulang terapi di rumah, tingkat kecerdasan
anak, serta ringan atau beratnya autisme akan sangat berpengaruh.
Muhith (2015) menyatakan bahwa anak autis belajar lebih baik jika
informasi disampaikan secara visual (melalui gambar) dan verbal (melalui katakata). Masukkan komunikasi augmentatif dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan
menggabungkan kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk
membantu anak mengutarakan kebutuhan , perasaan, dan gagasannya.

Universitas Sumatera Utara

16

Francine Brower (2010) menyatakan bahwa anak autis cenderung mulai
berbicara tanpa mendapatkan perhatian dari orang yang ia ajak bicara terlebih
dahulu. Ketika orang yang diajak bicara meminta kalimatnya diulang, anak autis
terlanjur enggan melakukannya. Saat situasi ini terjadi, jelaskan bahwa anda tadi
tidak mendengar yang anak autis tersebut ucapkan dan anda ingin mendengarnya
kembali. Berikan waktu bagi anak autis untuk kembali memperoleh kepercayaan
dirinya, dorong anak autis untuk mengulang perkataannya, dan pujilah usahanya
untuk terus mencoba berkomunikasi.
2.1.5.1 Terapi bicara
Andriana (2008) menyatakan bahwa terapi bicara adalah suatu
keharusan autisme, karena semua penyandang autis mempunyai keterlambatan
bicara dan kesulitan berbahasa. Masalah utama pada anak autis bukan hambatan
dalam mengucapkan kata-kata melainkan pada pemahaman bahasa secara
keseluruhan.Terapi bicara akan membantu kemampuan bicara anak autis semakin
meningkat. Anak autis yang telah sukses menjalani terapi ini akan mudah
berbicara, bahkan ada beberapa anak autis yang memiliki kemampuan berbahasa
di atas anak normal sebayanya. Ada sejumlah latihan yang harus dilakukan seperti
pecs dan compic, facilitated communikation dan sign language.
Haryana (2012) menyatakan bahwa Pecs dan compic adalah kartu-kartu
bergambar yang digunakan untuk membantu anak mengungkapkan keinginannya
dan mengekpresikan diri. Awalnya anak diajari untuk memperoleh sesuatu yang
diinginkan hanya dengan menunjuk atau menyerahkan kartu yang merupakan
simbol dari bendanya. Selanjutnya anak diajarkan kemampuan komunikasi yang

Universitas Sumatera Utara

17

lebih kompleks seperti menyusun kalimat sederhana dan menjawab pertanyaan.
Andriana (2008) menyatakan bahwa Facilitated Communikation; anak
diajarkan untuk mengunggkapkan diri dengan cara menunjuk huruf-huruf pada
papan abjad atau organizer. Anak autis banyak mengalami masalah koordinasi
motoric tangan, maka oleh karenanya awalnya diberikan bantuan untuk
menyangga lengan tangan mereka.
Andriana (2008) menyatakan Sign language atau bahasa isyarat adalah
cara komunikasi dengan menggunakan gerakan tangan, badan, dan ekspresi
wajah. Pada sebagian anak cara ini menjadi sulit karena mereka mengalami
hambatan dalam melakukan gerakan yang tepat.
Peeters (2009) menyatakan bahwa bagi anak-anak non verbal, belajar
bukanlah cara berkomunikasi yang disukai dan terbaik baginya. Bila mengucap
satu kata saja sudah menyulitkan atau bahasa verbal amat membingungkan
baginya, anak tentu tidak ingin melakukannya. Orang-orang disekitarnya dapat
memberikan alternatif yang lebih mudah, seperti menggunakan gambar, papan
komunikasi, atau bahasa isyarat, sehingga anak akan melihat komunikasi sebagai
kegiatan yang menyenangkan, selanjutnya anak akan lebih sering berinisiatif
untuk berinteraksi.
2.1.5.2 Terapi Sosial
Munnal (2015) menyatakan bahwa anak autis mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi (dua arah) dan berinteraksi social. Orang tua sebaiknya
mengajak anak autis bermain bersama teman-temannya. Saat bermain, orang tua
bisa mengajari cara-cara bermain dan berinteraksi bersama teman-temannya

Universitas Sumatera Utara

18

dalam suasana yang bahagia. Saat anak autis bermain bersama teman-temannya,
ini mempermudahnya dalam belajar berbicara, berkomunikasi, dan berinteraksi
sosial.
Suteja (2014) menyatakan seorang terapis harus membantu memberikan
fasilitas pada anak-anak autis untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya dan
mengajari cara-caranya secara langsung dalam terapi sosial.
Munnal (2015) menyatakan bahwa sementara itu, bagi anak autis yang
berusia di atas 5 tahun, tetapi belum dapat bersosialisasi sama sekali dengan orang
lain, maka perlu diberi pelatihan tambahan yang cenderung kepada peningkatan
motoric halus dan kasarnya.
2.1.5.3 Terapi Bermain
Munnal (2015) menyatakan bahwa anda dapat bermain dengan anak
Anda menggunakan alat-alat permainan. Hal ini bisa membantu Anda dan anak
Anda berinteraksi secara aktif dan maksimal. Selain itu, aktivitas bermain tersebut
juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam bersosialisasi, berkomunikasi,
berimajinasi, gerak dan kognisi, serta sensori dan integrasinya. Seseorang terapis
bermain dapat membantu anak autis melalui teknik-teknik khusus.
Terapi yang diterapkan oleh Bromfield, dia memasuki dunia anak autis.
Sehingga, Bromfield bisa memahami pembicaraan sekaligus perilaku anak autis
yang kadang tidak diketahui maknanya. Bromfield pun menirukan perilaku
obsesif anak autis untuk mencium ataupun membaui semua objek menggunakan
boneka yang juga membaui benda. Ternyata, tindakan tersebut menarik perhatian

Universitas Sumatera Utara

19

anak autis. Bromfield sukses menjalin komunikasi lebih lanjut dengan sang anak
menggunakan boneka dan alat bermain lainnya, misalnya telepon mainan.
Terapi yang diterapkan oleh Lower dan Lanyado. Lower dan Lanyado
menjadikan pemaknaan sebagai teknik utama dalam terapi bermain. Dengan
demikian, mereka masuk ke dunia anak autis dengan memaknai bahasa tubuh dan
tanda-tanda dari anak autis, misalnya gerakan menunjuk.
2.1.5.4 Terapi Musik
Munnal (2015) menyatakan bahwa musik dapat menghasilkan getaran
gelombang yang berpengaruh terhadap permukaan membran otak. Ini turut
memperbaiki kondisi fisiologis. Sehingga, indra pendengaran berfungsi lebih
maksimal, sekaligus merangsang kemampuan berbicara pada anak autis. Dalam
terapi musik, tidak dibutuhkan komunikasi verbal. Selain itu, terapi music juga
berfungsi sebagai penguat alami.
Munnal (2015) menyatakan terapi musik bisa membantu anak autis
dalam meningkatkan kemampuan berbicaranya, khususnya yang melibatkan
konseptualisasi, simbolisasi, maupun pemahaman. Para ahli berpendapat bahwa
musik diproses di kedua belahan otak. Maka, terapi musik mampu meningkatkan
fungsi kognitif sekaligus keterampilan bahasa pada anak autis. Anak autis mulai
berkomunikasi saat mengikuti kegiatan menyanyi ataupun menari. Anak autis
lebih capat menyambut suara musik ketimbang perintah verbal maupun
pendekatan fisik. Peran musik memang sangat membantu dalam perkembangn
anak autis.

Universitas Sumatera Utara

20

2.1.5.5 Sekolah Pendidikan Khusus
Suteja (2014) menyatakan bahwa salah satu bentuk terapi terhadap anak
autis juga adalah dengan memasukannya di sekolah khusus anak-anak autis
karena di dalam pendidikan khusus biasanya telah mencakup terapi perilaku,
terapi bicara, dan terapi okuvasi. Pada pendidikan khusus biasanya seorang terapis
hanya mampu menangani seorang anak pada saat yang sama.
Boham (2013) berpendapat bahwa kemampuan komunikasi anak autis
dapat ditingkatkan dengan melatih beberapa hal dirumah, yaitu:
A. Mempertahankan kontak mata
Dasar yang pertama dilakukan pada umunnya ketika seseorang berbicara
dengan orang lain adalah melihat wajah lawan bicaranya, karena itu anak autis
yang biasanya kesulitan melakukan kontak mata. Pertama kali latihlah anak autis
untuk melihat wajah dari lawan bicaranya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk melatih anak autis melihat wajah, yaitu jangan mulai pembicaraan sebelum
anak autis melihat kepada orangtua dan setiap kali terjadi kontak mata dengan
anak autis meskipun tidak disengaja usahakan untuk melakukan suatu
pembicaraan.
B. Mengajak anak autis berbicara
Kemampuan berbahasa secara otomatis berkembang ketika kita berada di
tengah lingkungan yang terus menerus menggunakan bahasa tersebut. Orang tua
sebaiknya mengajak anak autis berbicara dalam situasi apapun. Orang tua
sebaiknya menceritakan pada anak autis cerita apapun, lepas dari anak autis
benar-benar mengerti atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

21

C. Manfaatkan kepandaian anak autis dalam meniru
Anak autis memiliki kemampuan meniru sesuatu dengan sangat baik.
Orangtua bisa memanfaatkan kemampuan ini dengan memberikan model bahasa
atau kata-kata yang sesuai. Orang tua menggunakan flashcard lalu orangtua
mengucapkan nama gambar di dalam flashcard, lakukan sesering mungkin dan
terus-menerus. Orangtua mengajak anak autis berbicara berdua dengan berbagai
kalimat dalam suasana yang nyaman sesering mungkin sehingga anak autis
terdorong untuk mengingat dan meniru kata-kata.
D. Berikan apresiasi positif saat anak bercerita
Ketika anak autis menceritakan sesuatu tentang dirinya sendiri, misalnya
tentang mainannya, temannya atau apapun secara spontan, selalu sempatkan untuk
memberi tanggapan dengan bahasa indonesia yang baik dan benar yang sering
dipakai dalam percakapan sehari-hari. Orangtua sebaiknya memberi apresiasi atas
apa yang diceritakan anak autis sehingga anak autis termotivasi untuk bercerita
kembali lain kali. Orangtua harus menghindari sikap mengabaikan atau
berkomentar yang membuat anak autis merasa enggan untuk berbicara. Apresiasi
secara positif kemauan anak autis untuk bercerita dan pancing dengan berbagai
pertanyaan yang membuat anak bercerita lebih banyak.
E. Mengajak anak autis bermain
Orangtua bisa mengajak anak autis bermain untuk meningkatkan
komunikasi anak autis. Orangtua juga sebaiknya mengajarkan nama-nama benda
kepada anak autis. Orang tua atau terapis membutuhkan gambar-gambar yang
sudah dikenal dan dinamai untuk mempraktekan cara ini. Misalkan, gambar topi,

Universitas Sumatera Utara

22

burung, sepatu, apel, gajah, dan sebagainya yang dapat dipotong dari majalah
bekas.
Orangtua juga bisa mengajari anak autis bernyanyi. Lagu adalah cara
yang menyenangkan untuk kemampuan verbal anak, karena umumnya anak-anak
suka sekali bernyanyi. Melalui bernyanyi anak dapat belajar mengucapkan lirik
lagu tersebut satu persatu.

2.2 Perilaku
2.2.1 Pengertian Perilaku
Kwick (1974 dalam Kholid, 2012) menyatakan bahwa perilaku adalah
tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat
dipelajari. Sunaryo (2013) menyatakan bahwa dari sudut biologis, perilaku dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan, baik
yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.
Blum (1974, dalam Maulana, 2009) menyatakan bahwa perilaku adalah
faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
individu, kelompok, atau masyarakat. Wahit Iqbal Mubarak (2011) menyatakan
bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat
diamati dan bahkan dapat dipelajari.
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Sunaryo (2013) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Secara umum, perilaku manusia dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu

Universitas Sumatera Utara

23

kebutuhan, motivasi, faktor perangsang dan penguat, serta sikap dan kepercayaan.
Keempat faktor itu adalah:
2.2.2.1 Kebutuhan
Abraham Harold Maslow (1 April 1908-8 Juni 1979) adalah seorang
tokoh yang terkenal dengan teori kebutuhan. Maslow (1970) menjelaskan bahwa
manusia memiliki 5 kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologi/biologis,
kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan akan harga
diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kelima kebutuhan ini dijelaskan dalam bentuk
hierarki yang sering dikenal dengan Hierarki Kebutuhan Maslow.
2.2.2.2 Motivasi
Motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu,
baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam
diri individu atau lingkungan. Motivasi yang terbaik adalah motivasi yang datang
dari diri sendiri (motivasi intrinsik), bukan pengaruh lingkungan (motivasi
ekstrinsik).
2.2.2.3 Faktor perangsang dan penguat
Perilaku manusia dapat didukung dengan adanya faktor perangsang dan
penguat. Untuk meningkatkan motivasi berperilaku dapat dilakukan dengan empat
cara. Pertama, dengan cara memberi hadiah atau ganjaran yang dapat berupa
penghargaan, pujian, penghargaan, pujian, piagam, hadiah, promisi pendidikan,
dan jabatan. Kedua, dengan melakukan kompetisi atau persaingan yang sehat.
Ketiga, dengan memperjelas tujuan atau sasaran atau menciptakan tujuan antara

Universitas Sumatera Utara

24

(pace making). Terakhir, dapat dilakukan dengan menginformasikan keberhasilan
kegiatan yang telah dicapai sehingga dapat memotivasi agar lebih berhasil.
2.2.2.4 Sikap dan Kepercayaan
Dua hal yang dapat mempengaruhi perilaku adalah sikap dan
kepercayaan. Sikap seseorang dapat mempengaruhi perilaku, baik positif maupun
negatif.
2.2.3 Konsep Perilaku
Bloom (1908 dalam Sunaryo, 2013) mengungkapkan bahwa perilaku
manusia dapat di bagi ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Domain kognitif dapat diukur dari pengetahuan sedangkan domain
afektif dapat diukur dari sikap. Domain psikomotor dapat diukur dari tindakan
atau keterampilan. Apabila digambarkan melalui skema, dapat dilihat seperti di
bawah ini.
1. Kognitif

2. Afektif

Perilaku

3.Psikomotor

Skema 2.2.3. Domain Perilaku menurut Bloom
2.2.3.1 Kognitif
Bloom (1993 dalam Sunaryo, 2013) berpendapat bahwa kognitif adalah
perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, dan
keterampilan berpikir. Kognitif memiliki 6 jenjang proses berpikir, yaitu
pengetahuan, memahami, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Universitas Sumatera Utara

25

Pengetahuan merupakan tingkat kognitif paling rendah. Tahu artinya
dapat mengingat kembali suatu materi atau suatu hal yang telah dipelajari
sebelumnya. Seseorang dinyatakan tahu apabila ia dapat menyebutkan ,
menguraikan, mendefenisikan, dan menyatakan.
Memahami

artinya

kemampuan

untuk

menjelaskan

dan

menginterpretasikan objek yang diketahui dengan benar. Seseorang yang telah
paham tentang sesuatu, harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, dan
menyimpulkan
Penerapan yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum, rumus,
atau metode dalam situasi nyata.
Analisis merupakan kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam
bagian-bagian yang lebih kecil, namun masih di dalam suatu struktur objek
tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain. Ukuran kemampuan ialah
dapat

menjelaskan,

membuat

bagan,

membedakan,

memisahkan,

dan

mengelompokkan suatu teori.
Sintesis, merupakan kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi yang sudah ada. Ukuran kemampuan ialah dapat
menyusun, dapat meringkaskan, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori
atau rumusan yang telah ada.
Evaluasi yaitu kemampuan melakukan penilaian atau justifikasi terhadap
objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.

Universitas Sumatera Utara

26

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kognitif (Notoatmodjo, 2012):
a.

Tingkat

pendidikan,

kemampuan

belajar

yang

dimiliki

manusia

merupakan bekal yang sangat pokok. Tingkat pendidikan dapat
menghasilkan suatu perubahan dalam kognitif;
b.

Informasi, dengan kurangnya informasi tentang cara mencapai hidup
sehat, cara pemelihara kesehatan, cara menghindari penyakit akan
menurunkan tingkat kognitif seseorang tentang hal tersebut;

c.

Budaya, budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat kognitif seseorang,
karena informasi baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya
yang ada dan agama yang dianut;

d. Pengalaman, pengalaman disini berkaitan dengan umur dan tingkat
pendidikan seseorang, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman
akan lebih luas sedangkan umur semakin bertambah.
2.2.3.2 Afektif
Bloom (1993 dalam Sunaryo, 2013) berpendapat bahwa afektif adalah
perilaku terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, minat, motivasi, dan
sikap. Afektif memiliki 4 jenjang yaitu: menerima, merespon, menghargai dan
bertanggung jawab.
Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala,
kerelaan, dan mengarahkan perhatian. Menerima berarti mau dan memperhatikan
stimulus yang di berikan/objek .
Merespon, meliputi merespon secara diam-diam, bersedia merespon,
merasa puas dalam merespon, dan mematuhi peraturan, memberikan jawaban jika

Universitas Sumatera Utara

27

ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Terlepas dari
benar atau salah, hal ini berarti individu menerima ide tersebut.
Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai,
dan komitmen terhadap suatu nilai. Pada tingkat ini, individu mengajak orang lain
untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
Bertanggung jawab, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami
hubungan abstrak, dan mengorganisasi sistem suatu nilai. Merupakan afektif yang
paling tinggi, dengan segala risiko bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah
dipilih, meskipun mendapat tantangan dari keluarga.
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

pembentukan

afektif

menurutKristina (2007) antara lain:
a.

Pengalaman pribadi
Apa yang dialami seseorang akan mempengaruhi penghayatan dalam
stimulus sosial, tanggapan akan menjadi salah satu dasar dalam
pembentukan afektif, untuk dapat memiliki tanggapan dan penghayatan
seseorang harus memiliki pengamatan yang berkaitan dengan objek
psikologis. Afektif yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan
pengaruh langsung terhadap prilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut
dapat berupa predisposisi perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila
kondisi dan situasi memungkinkan.

b. Orang lain
Seseorang cenderung akan memiliki afektif yang disesuaikan atau sejalan
dengan afektif yang dimiliki orang yang dianggap berpengaruh antara lain

Universitas Sumatera Utara

28

adalah orang tua, teman dekat, teman sebaya.
c.

Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup akan mempengaruhi pembentukan afektif
seseorang.

d. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio, surat
kabar mempunyai pengaruh dalam membawa pesan-pesan yang berisi sugesti
yang dapat mengarah pada opini yang kemudian dapat mengakibatkan adanya
landasan kognisi sehingga mampu membentuk afektif.
e.

Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama suatu sistem mempunyai
pengaruh

dalam

pembentukan

afektif,

dikarenakan

keduanya

meletakkan dasar, pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk antara sesuatu yang boleh dan tidak
boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan pusat keagamaan serta
ajaranya.
f.

Faktor Emosional
Tidak semua bentuk afektif ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk afektif
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Afektif demikian dapat merupakan afektif yang
sementara dan segera berlalu, begitu frustasi telah hilang, akan tetapi

Universitas Sumatera Utara

29

dapat pula merupakan afektif lebih persisten dan bertahan lama. Suatu
afektif

belum

otomatis

terwujud

dalam

suatu

tindakan

untuk

terwujudnya afektif menjadi suatu kondisi yang memungkinkan, antara
lain harus didukung dengan fasilitas, afektif yang positif.
2.2.3.3 Psikomotor
Bloom (1993 dalam Sunaryo, 2013) berpendapat bahwa psikomotor
adalah perilaku yang menekankan keterampilan motoric / kemampuan fisik.
Psikomotor juga memiliki tingkatan,yaitu:
a.

Persepsi, yaitu mengenal dan memilih objek sesuai dengan tindakan yang
akan dilakukan.

b.

Respon terpimpin, yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan urutan
yang benar sesuai contoh.

c.

Mekanisme, yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis atau sudah menjadi kebiasaan.

d.

Adaptasi, yaitu suatu tindakan yang sudah berkembang dan dimodifikasi
tanpa mengurangi kebenaran.

Universitas Sumatera Utara