Gambaran Self-Compassion pada Anak Jalanan Kota Medan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Medan merupakan kota yang menduduki posisi ketiga sebagai kota
terbesar
di
Indonesia
yang
menyumbang
begitu
banyak
masalah.
Permasalahan yang terjadi melingkupi dari berbagai segi kehidupan. Mulai
dari kekosongan pemimpin karena korupsi, bullying yang semakin marak
terutama di dunia pendidikan, kasus begal yang merajalela, kasus kekerasan,
child abuse and neglect, hingga masalah yang belum bisa terselesaikan
bahkan semakin meningkat seperti anak jalanan (KKSP, Komunikasi
Personal).
Anak jalanan adalah seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang
menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan
hidupnya (Shalahuddin, 2000). Anak jalanan merupakan sebagian dari anakanak yang hidup dan tumbuh di jalanan tanpa ada pemantauan dan tumbuh
secara mandiri (Irwanto dalam Sindawati, 2012). Keberadaan anak jalanan di
kota Medan telah menjadi fenomena yang kerap kali menimbulkan berbagai
respon dari masyarakat, baik itu positif maupun negatif (Andriansyah, 2011).
Berdasarkan hasil kajian di lapangan,Surbakti (dalam Puspareni, 2012)
membedakan anak jalanan dalam 3 kategori kelompok. Kategori kelompok
pertama yaitu children on the street (anak jalanan yang masih memiliki
1
Universitas Sumatera Utara
2
hubungan dengan keluarga, meskipun frekuensi pertemuan tidak dapat
dipastikan).Kategori kelompok kedua adalah children of the street (anak
jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan keluar atau memutuskan
hubungan dengan keluarga) dan kategori kelompok ketiga yaitu children from
families of the street (anak jalanan yang berasal dari keluarga jalanan).
Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2006 lalu
terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di
Jakarta. Berdasarkan data yang di peroleh dari Dinas Sosial Kota Medan pada
tahun 2009 jumlah anak jalanan sekitar 895 (Dinas Sosial, 2009). Mulai tahun
2010 jumlah anak jalanan kota Medan semakin lama semakin berkurang.
Mereka beralih profesi untuk meningkatkan status ekonomi keluarga dan
status sosial mereka. Sebagian dari mereka beralih profesi menjadi supir
angkot ataupun tukang parkir. Pada tahun 2012-2013 jumlah anak jalanan kota
Medan tidak menyentuh angka 800 orang (KKSP, Komunikasi Personal).
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi keputusan anak untuk memilih
hidup sebagai anak jalanan. Faktor yang melatarbelakangi keputusan tersebut
umumnya sama untuk tiga kategori anak jalanan (KKSP, Komunikasi
Personal). Adapula sebagian dari mereka memang tidak memiliki pilihan.
Salah satu faktor tersebut terjadi karena orangtua mereka meninggalkan
mereka dijalanan ataupun menitipkan mereka dipanti asuhan yang tidak
memadai sehingga pilihan yang tersisa hanyalah menjadi anak jalanan. Faktor
Universitas Sumatera Utara
3
lain yang menjadi masalah yang paling utama adalah ekonomi, pendidikan,
dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi untuk keberlangsungan hidup.
Begitu banyak masalah yang melatarbelakangi ekonomi pada anak
jalanan. Ketidakseimbangan ekonomi yang dialami anak jalanan terjadi karena
permasalahan-permaslaah yang sering muncul dalam keluarga, seperti
orangtua bercerai lalu sang ibu meninggalkan anaknya, bapak yang sakit dan
ibu yang sudah meninggal, adapula yang bapak pemabuk dan pecandu
sedangkan sang ibu hanya pencuci sehingga sang anak yang harus
menanggung tanggungjawab untuk membantu ibu dan adiknya. Alasan lain
yang mendasari anak memutuskan untuk menjadi anak jalanan adalah karena
terjadinya konflik dengan orang tua. Anak tidak ingin terlibat dengan aturan
yang ada dirumah, mereka ingin mencari kebebasan. Tak sedikit pula anak
memilih menjadi anak jalanan karena ditolak oleh keluarganya dengan alasan
anak pernah melakukan kesalahan seperti penyalahgunaan obat-obatan
(KKSP, Komunikasi Personal).Gaya hidup anak jalanan mendidik mereka
untuk menjual rasa iba, yang akan melahirkan mental-mental rusak yang
semakin kental ketika mereka dewasa nantinya (Purba, 2015). Jika hal ini
terjadi, maka akan melahirkan semakin banyak penyakit sosial dan tingkattingkat kriminalitas di masyarakat.
Kehidupan anak jalanan tidak selalu memberikan dampak negatif, bagi
sebagian anak jalanan juga terdapat dampak positif, misalnya anak menjadi
tahan kerja keras karena sudah terbiasa kena panas dan hujan, anak jalanan
bisa belajar bekerja sendiri, bertanggung jawab dan membantu ekonomi orang
Universitas Sumatera Utara
4
tuanya (Sarwoto, dalam Suharto 2016). Berpegang pada tanggung jawab yang
mendasari
masalah
ekonomi
mereka,
sebagian
dari
mereka
masih
mengutamakan pendidikan. Mereka masih mementingkan pendidikan karena
ingin perubahan dalam hidup mereka, mendapatkan kehidupan yang lebih
baik, meningkatkan ekonomi mereka, dan tidak terpuruk terhadap keadaan
yang mereka jalani (KKSP, Komunikasi Personal).
Saat menjadi anak jalanan sebagian dari mereka juga dapat merasakan
kebahagiaan atas apa yang mereka jalani. Penelitian yang dilakukan Mardayeti
(2013) menjelaskan bahwa anak jalanan merasa bahwa ia dapat merasakan
kebahagiaan ketika bersama teman-temannya, karena menurutnya temantemannya mampu memberikan perhatian kepadanya dan bersama temantemannya ia bisa membagi semua permasalahan yang dialaminya. Sebagian
anak jalanan juga merasa bahagia ketika berada dijalan bersama temantemannya karena saat berada dijalan mereka bisa merasakan kebebasan yang
membuat mereka bahagia dan senang.
Setiap individu mempunyai penilaian sendiri mengenai permasalahan
dalam hidup mereka. Individu juga menilai mengenai bagaimana mengatasi
antara tuntutan pemenuhan kebutuhan sahari-hari dan tuntutan keluarga
(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2005). Individu yang bahagia dan tidak
bahagia ternyata memiliki perbedaan dalam menanggapi peristiwa dalam
kehidupan dan situasi sehari-hari yang mereka jalani (Lyubomirsky dalam
Ulfah, 2015).
Universitas Sumatera Utara
5
Umumnya individu yang bahagia akan melihat, mengevaluasi, dan
berpikir tentang setiap peristiwa dalam kehidupan melalui pandangan yang
lebih positif, mengambil hikmah di setiap peristiwa bahkan jika mengalami
peristiwa yang tidak menyenangkan, dan hidup berfokus di masa sekarang
(Lyubomirsky, 2001 dalam Ulfah, 2015). Kebahagian tersebut dapat
dijelaskan oleh beberapa konsep psikologis. Salah satu konsep psikologis yang
diperkirakan mampu menjelaskan hal tersebut adalah konsep self-compassion.
Konsep self-compassion merupakan sebuah konsep yang berpegang pada
kasih sayang yang berkaitan dengan diri individu sebagai objek perhatian
ketika dihadapkan dengan peristiwa negatif (Neff, 2003a). Secara umum, selfcompassion berhubungan dengan keterbukaan dan pemahaman terhadap orang
lain. Individu yang mempunyai self compassion tinggi mempunyai ciri;
mampu menerima diri sendiri baik itu kelebihan maupun kelemahannya,
mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai sebuah hal wajar yang
juga
dialami
oleh orang lain,
dan mempunyai
kesadaran tentang
keterhubungan antara segala sesuatu (Hidayati & Maharani, 2013).
Self-compassion dapat menjelaskan bagaimana individu mampu bertahan,
memahami, dan menyadari makna dari sebuah kesulitan sebagai hal yang
positif (Diana, 2015). Dengan memiliki self-compassion, tantangan yang
dihadapi anak jalanan seperti; pandangan miring yang diberikan masyarakat,
kekerasan, pandangan yang tidak menyenangkan dengan dianggap rendah
karena dituding sebagai anak liar atau pelacur serta diskriminasi dalam
berbagai hal terutama dalam akses pelayanan yang telah menjadi makanan
Universitas Sumatera Utara
6
sehari-hari, akan semakin mudah untuk dilewati. Hal tersebut terjadi karena
individu dengan self-compassion tidak mudah menyalahkan diri bila
menghadapi suatu keadaan yang tidak menyenangkan, memperbaiki
kesalahan, mengubah perilaku menjadi produktif, dan berani menghadapi
tantangan baru.
Anak jalanan di kota Medan umumnya adalah anak-anak yang tergolong
masih muda yang umumnya berada pada usia masa kanak-kanak awal, kanakkanak akhir, dan remaja (KKSP, Komunikasi Personal). Usia remaja bukanlah
fase yang mudah untuk dilewati. Banyak perubahan-perubahan yang harus
dihadapi baik mengenai perkembangan fisik maupun psikologis. Neff (2011)
menyatakan bahwa self-compassion terendah dalam periode kehidupan terjadi
pada masa remaja. Pada usia tersebut seorang anak juga sedang menjalani
masa pubertas dan sedang berada pada masa pencarian identitas diri (Erikson,
dalam Papalia, 2007). Peningkatan kemampuan kognitif remaja seperti
meningkatnya kemampuan introspeksi, metakognisi, refleksi diri, dan
kemampuan berpikir dari perspektif sosial (Keating, 1990 dalam Neff, 2003)
juga membawa beberapa kewajiban baru dan tugas perkembangan yang
berbeda. Kemampuan baru pada remaja ini membuat remaja terus
mengevaluasi diri mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan orang
lain karena mereka berusaha untuk membangun identitas mereka dan tempat
dalam hirarki sosial (Brown & Lohr, 1987; Harter, 1990 dalam Neff, 2003).
Pada usia tersebut terdapat begitu banyak dampak yang akan dialami anak
jalanan. Salah satu dampaknya adalah dengan hidup dijalanan umumnya akan
Universitas Sumatera Utara
7
menimbulkan
sikap
pesimis
pada
anak
jalanan.
Pelarian
dalam
penyalahgunaan obat-obatan juga tak jarang terjadi. Hal lain yang biasa terjadi
pada anak jalanan adalah mereka akan mengalami krisis percaya diri yang
menyebabkan sikap sensitif yang tinggi akan muncul (Suhartini, 2008).
Dampak-dampak tersebut dapat dihindari dengan memiliki self-sompassion.
Individu yang memiliki self-compassion akan mampu mengelola emosi positif
dengan baik, seperti yang dijelaskan dalam penelitian Akin (2010)yang
menyatakan bahwa salah satu fungsi dari self compassion adalah sebagai
strategi beradaptasi untuk menata emosi dengan cara menurunkan emosi
negatif serta meningkatkan emosi positif berupa kebaikan dan hubungan.
Self-compassionjuga dapat
secara
mendukung seseorang untuk berperilaku
adaptif dengan menyesuaikan nilai dan norma yang berlaku
disekitarnya. Hal tersebut dapat dilihat dari sebagian anak jalanan di kota
Medan yang masih mementingkan pendidikan dengan bersekolah dipagi hari
dan setelah pulang sekolah mereka akan melanjutkan tanggung jawab mereka
dengan berbagai macam jenis pekerjaan yang biasa mereka lakukan. Dari
berbagai permasalahan yang mereka hadapi, mereka tetap memiliki banyak
cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka (KKSP, Komunikasi
Personal).
Diantina dan Hendrarizkianny (2014) menyatakan bahwa individu
denganself-compassion akan mampu menghadapi tugas maupun keadaan sulit
dalam hidupnya meskipun hal tersebut merupakan suffering (penderitaan). Hal
tersebut juga diperkuat oleh penelitian Mutia Ulfa Yulianti dan Hedi Wahyudi
Universitas Sumatera Utara
8
(2014) yang menyatakan seseorang yang memiliki self-compassion maka ia
akan mampu memahami kondisi mereka tanpa terbebani dan menerima
kekurangan yang dimiliki serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungan.
Di kota Medan, meningkatkan ekomoni merupakan tujuan utama anak
jalanan agar dapat melanjutkan hidup dan pendidikan. Meskipun memiliki
banyak kesulitan, anak jalanan kota medan tetap memenuhi kebutuhannya
untuk mencari nafkah. Anak-anak yang berada di daerah terminal umumnya
menjadi tukang sapu angkot dan pedagang songan. Anak-anak di lampu merah
umumnya mengamen, menjual makanan ringan, dan asongan. Tak sedikit pula
dari mereka yang berjalan keliling menjual makanan ringan seperti kerupuk
jangek dan menyinggahi tempat-tempat makan untuk mencari pembeli.
Usaha-usaha yang mereka lakukan tersebut umumnya untuk kebutuhan makan
sehari-hari, membantu ekonomi keluarga, serta untuk membiayai dan
melanjutkan pendidikan mereka (KKSP, Komunikasi Personal).
Self-compassionterbagi atas tiga komponen yaitu self-kindness, common
humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Anak jalanan yang memiliki
komponen self-kindnessakan mampu untuk tetap berlaku baik terhadap diri
sendiri, tidak mengkritik diri secara berlebihan dalam perisitiwa negatif yang
dialami. Komponen common humanity akan dimiliki saat anak jalanan mampu
untuk merasa bahwa orang lain juga pernah merasakan keadaan yang tidak
menyenangkan yang dialami individu sehingga individu tidak merasa
terisolasi. Komponen terakhir dari self-compassionadalahmindfulness. Jika
Universitas Sumatera Utara
9
anak jalanan mampu memiliki komponen terakhir ini maka mereka akan
melihat secara jelas dan menerima apa yang terjadi sekarang sebagai suatu hal
yang seimbang yang akan berguna bagi kehidupan mendatang.
Berdasarkan penjelasan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat
bagaimana gambaran self-compassion pada anak jalanan di kota Medan
dengan metode kuantitaif deskriptif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran self-compassion
pada anak jalanan kota Medan?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran selfcompassion pada anak jalanan kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
10
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi dalam pengembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi
perkembangan mengenai self-compassion pada anak jalanan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau
rujukan bagi penelitian selanjutnya yang ingin meneliti mengenai selfcompassion.
2. Manfaat Praktis
a. Banyaknya jumlah anak jalanan di kota Medan yang mampu
menghadapi permasalahan dalam hidupnya serta dapat menunjukkan
kebahagiaan, diharapkan dapat menjadi bahan refleksi diri bagi anak
jalanan lainnya untuk belajar dalam menghadapi masalah dalam
hidupnya dan mencoba untuk bahagia.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak
yang bersangkutan seperti pemerintah, organisasi relawan dan
sebagainya, terkait self-compassion anak jalanan kota Medan, misalkan
dengan membuat program sebagai upaya untuk mempertahankan atau
meningkatkan self-compassion anak jalanan kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
11
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari :
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang digunakan dalam
penelitian, yaitu teori self-compassion, teori anak jalanan,
dan teori remaja.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan identifikasi variabel, definisi operasional
variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan
data, uji coba alat ukur, dan metode analisis data.
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan analisa mengenai gambaran umum subjek
penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan, dan
pembahasan hasil penelitian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang berhubungan
dengan self-compassion.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Medan merupakan kota yang menduduki posisi ketiga sebagai kota
terbesar
di
Indonesia
yang
menyumbang
begitu
banyak
masalah.
Permasalahan yang terjadi melingkupi dari berbagai segi kehidupan. Mulai
dari kekosongan pemimpin karena korupsi, bullying yang semakin marak
terutama di dunia pendidikan, kasus begal yang merajalela, kasus kekerasan,
child abuse and neglect, hingga masalah yang belum bisa terselesaikan
bahkan semakin meningkat seperti anak jalanan (KKSP, Komunikasi
Personal).
Anak jalanan adalah seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang
menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan
hidupnya (Shalahuddin, 2000). Anak jalanan merupakan sebagian dari anakanak yang hidup dan tumbuh di jalanan tanpa ada pemantauan dan tumbuh
secara mandiri (Irwanto dalam Sindawati, 2012). Keberadaan anak jalanan di
kota Medan telah menjadi fenomena yang kerap kali menimbulkan berbagai
respon dari masyarakat, baik itu positif maupun negatif (Andriansyah, 2011).
Berdasarkan hasil kajian di lapangan,Surbakti (dalam Puspareni, 2012)
membedakan anak jalanan dalam 3 kategori kelompok. Kategori kelompok
pertama yaitu children on the street (anak jalanan yang masih memiliki
1
Universitas Sumatera Utara
2
hubungan dengan keluarga, meskipun frekuensi pertemuan tidak dapat
dipastikan).Kategori kelompok kedua adalah children of the street (anak
jalanan yang tidak memiliki hubungan dengan keluar atau memutuskan
hubungan dengan keluarga) dan kategori kelompok ketiga yaitu children from
families of the street (anak jalanan yang berasal dari keluarga jalanan).
Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2006 lalu
terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di
Jakarta. Berdasarkan data yang di peroleh dari Dinas Sosial Kota Medan pada
tahun 2009 jumlah anak jalanan sekitar 895 (Dinas Sosial, 2009). Mulai tahun
2010 jumlah anak jalanan kota Medan semakin lama semakin berkurang.
Mereka beralih profesi untuk meningkatkan status ekonomi keluarga dan
status sosial mereka. Sebagian dari mereka beralih profesi menjadi supir
angkot ataupun tukang parkir. Pada tahun 2012-2013 jumlah anak jalanan kota
Medan tidak menyentuh angka 800 orang (KKSP, Komunikasi Personal).
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi keputusan anak untuk memilih
hidup sebagai anak jalanan. Faktor yang melatarbelakangi keputusan tersebut
umumnya sama untuk tiga kategori anak jalanan (KKSP, Komunikasi
Personal). Adapula sebagian dari mereka memang tidak memiliki pilihan.
Salah satu faktor tersebut terjadi karena orangtua mereka meninggalkan
mereka dijalanan ataupun menitipkan mereka dipanti asuhan yang tidak
memadai sehingga pilihan yang tersisa hanyalah menjadi anak jalanan. Faktor
Universitas Sumatera Utara
3
lain yang menjadi masalah yang paling utama adalah ekonomi, pendidikan,
dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi untuk keberlangsungan hidup.
Begitu banyak masalah yang melatarbelakangi ekonomi pada anak
jalanan. Ketidakseimbangan ekonomi yang dialami anak jalanan terjadi karena
permasalahan-permaslaah yang sering muncul dalam keluarga, seperti
orangtua bercerai lalu sang ibu meninggalkan anaknya, bapak yang sakit dan
ibu yang sudah meninggal, adapula yang bapak pemabuk dan pecandu
sedangkan sang ibu hanya pencuci sehingga sang anak yang harus
menanggung tanggungjawab untuk membantu ibu dan adiknya. Alasan lain
yang mendasari anak memutuskan untuk menjadi anak jalanan adalah karena
terjadinya konflik dengan orang tua. Anak tidak ingin terlibat dengan aturan
yang ada dirumah, mereka ingin mencari kebebasan. Tak sedikit pula anak
memilih menjadi anak jalanan karena ditolak oleh keluarganya dengan alasan
anak pernah melakukan kesalahan seperti penyalahgunaan obat-obatan
(KKSP, Komunikasi Personal).Gaya hidup anak jalanan mendidik mereka
untuk menjual rasa iba, yang akan melahirkan mental-mental rusak yang
semakin kental ketika mereka dewasa nantinya (Purba, 2015). Jika hal ini
terjadi, maka akan melahirkan semakin banyak penyakit sosial dan tingkattingkat kriminalitas di masyarakat.
Kehidupan anak jalanan tidak selalu memberikan dampak negatif, bagi
sebagian anak jalanan juga terdapat dampak positif, misalnya anak menjadi
tahan kerja keras karena sudah terbiasa kena panas dan hujan, anak jalanan
bisa belajar bekerja sendiri, bertanggung jawab dan membantu ekonomi orang
Universitas Sumatera Utara
4
tuanya (Sarwoto, dalam Suharto 2016). Berpegang pada tanggung jawab yang
mendasari
masalah
ekonomi
mereka,
sebagian
dari
mereka
masih
mengutamakan pendidikan. Mereka masih mementingkan pendidikan karena
ingin perubahan dalam hidup mereka, mendapatkan kehidupan yang lebih
baik, meningkatkan ekonomi mereka, dan tidak terpuruk terhadap keadaan
yang mereka jalani (KKSP, Komunikasi Personal).
Saat menjadi anak jalanan sebagian dari mereka juga dapat merasakan
kebahagiaan atas apa yang mereka jalani. Penelitian yang dilakukan Mardayeti
(2013) menjelaskan bahwa anak jalanan merasa bahwa ia dapat merasakan
kebahagiaan ketika bersama teman-temannya, karena menurutnya temantemannya mampu memberikan perhatian kepadanya dan bersama temantemannya ia bisa membagi semua permasalahan yang dialaminya. Sebagian
anak jalanan juga merasa bahagia ketika berada dijalan bersama temantemannya karena saat berada dijalan mereka bisa merasakan kebebasan yang
membuat mereka bahagia dan senang.
Setiap individu mempunyai penilaian sendiri mengenai permasalahan
dalam hidup mereka. Individu juga menilai mengenai bagaimana mengatasi
antara tuntutan pemenuhan kebutuhan sahari-hari dan tuntutan keluarga
(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2005). Individu yang bahagia dan tidak
bahagia ternyata memiliki perbedaan dalam menanggapi peristiwa dalam
kehidupan dan situasi sehari-hari yang mereka jalani (Lyubomirsky dalam
Ulfah, 2015).
Universitas Sumatera Utara
5
Umumnya individu yang bahagia akan melihat, mengevaluasi, dan
berpikir tentang setiap peristiwa dalam kehidupan melalui pandangan yang
lebih positif, mengambil hikmah di setiap peristiwa bahkan jika mengalami
peristiwa yang tidak menyenangkan, dan hidup berfokus di masa sekarang
(Lyubomirsky, 2001 dalam Ulfah, 2015). Kebahagian tersebut dapat
dijelaskan oleh beberapa konsep psikologis. Salah satu konsep psikologis yang
diperkirakan mampu menjelaskan hal tersebut adalah konsep self-compassion.
Konsep self-compassion merupakan sebuah konsep yang berpegang pada
kasih sayang yang berkaitan dengan diri individu sebagai objek perhatian
ketika dihadapkan dengan peristiwa negatif (Neff, 2003a). Secara umum, selfcompassion berhubungan dengan keterbukaan dan pemahaman terhadap orang
lain. Individu yang mempunyai self compassion tinggi mempunyai ciri;
mampu menerima diri sendiri baik itu kelebihan maupun kelemahannya,
mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai sebuah hal wajar yang
juga
dialami
oleh orang lain,
dan mempunyai
kesadaran tentang
keterhubungan antara segala sesuatu (Hidayati & Maharani, 2013).
Self-compassion dapat menjelaskan bagaimana individu mampu bertahan,
memahami, dan menyadari makna dari sebuah kesulitan sebagai hal yang
positif (Diana, 2015). Dengan memiliki self-compassion, tantangan yang
dihadapi anak jalanan seperti; pandangan miring yang diberikan masyarakat,
kekerasan, pandangan yang tidak menyenangkan dengan dianggap rendah
karena dituding sebagai anak liar atau pelacur serta diskriminasi dalam
berbagai hal terutama dalam akses pelayanan yang telah menjadi makanan
Universitas Sumatera Utara
6
sehari-hari, akan semakin mudah untuk dilewati. Hal tersebut terjadi karena
individu dengan self-compassion tidak mudah menyalahkan diri bila
menghadapi suatu keadaan yang tidak menyenangkan, memperbaiki
kesalahan, mengubah perilaku menjadi produktif, dan berani menghadapi
tantangan baru.
Anak jalanan di kota Medan umumnya adalah anak-anak yang tergolong
masih muda yang umumnya berada pada usia masa kanak-kanak awal, kanakkanak akhir, dan remaja (KKSP, Komunikasi Personal). Usia remaja bukanlah
fase yang mudah untuk dilewati. Banyak perubahan-perubahan yang harus
dihadapi baik mengenai perkembangan fisik maupun psikologis. Neff (2011)
menyatakan bahwa self-compassion terendah dalam periode kehidupan terjadi
pada masa remaja. Pada usia tersebut seorang anak juga sedang menjalani
masa pubertas dan sedang berada pada masa pencarian identitas diri (Erikson,
dalam Papalia, 2007). Peningkatan kemampuan kognitif remaja seperti
meningkatnya kemampuan introspeksi, metakognisi, refleksi diri, dan
kemampuan berpikir dari perspektif sosial (Keating, 1990 dalam Neff, 2003)
juga membawa beberapa kewajiban baru dan tugas perkembangan yang
berbeda. Kemampuan baru pada remaja ini membuat remaja terus
mengevaluasi diri mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan orang
lain karena mereka berusaha untuk membangun identitas mereka dan tempat
dalam hirarki sosial (Brown & Lohr, 1987; Harter, 1990 dalam Neff, 2003).
Pada usia tersebut terdapat begitu banyak dampak yang akan dialami anak
jalanan. Salah satu dampaknya adalah dengan hidup dijalanan umumnya akan
Universitas Sumatera Utara
7
menimbulkan
sikap
pesimis
pada
anak
jalanan.
Pelarian
dalam
penyalahgunaan obat-obatan juga tak jarang terjadi. Hal lain yang biasa terjadi
pada anak jalanan adalah mereka akan mengalami krisis percaya diri yang
menyebabkan sikap sensitif yang tinggi akan muncul (Suhartini, 2008).
Dampak-dampak tersebut dapat dihindari dengan memiliki self-sompassion.
Individu yang memiliki self-compassion akan mampu mengelola emosi positif
dengan baik, seperti yang dijelaskan dalam penelitian Akin (2010)yang
menyatakan bahwa salah satu fungsi dari self compassion adalah sebagai
strategi beradaptasi untuk menata emosi dengan cara menurunkan emosi
negatif serta meningkatkan emosi positif berupa kebaikan dan hubungan.
Self-compassionjuga dapat
secara
mendukung seseorang untuk berperilaku
adaptif dengan menyesuaikan nilai dan norma yang berlaku
disekitarnya. Hal tersebut dapat dilihat dari sebagian anak jalanan di kota
Medan yang masih mementingkan pendidikan dengan bersekolah dipagi hari
dan setelah pulang sekolah mereka akan melanjutkan tanggung jawab mereka
dengan berbagai macam jenis pekerjaan yang biasa mereka lakukan. Dari
berbagai permasalahan yang mereka hadapi, mereka tetap memiliki banyak
cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka (KKSP, Komunikasi
Personal).
Diantina dan Hendrarizkianny (2014) menyatakan bahwa individu
denganself-compassion akan mampu menghadapi tugas maupun keadaan sulit
dalam hidupnya meskipun hal tersebut merupakan suffering (penderitaan). Hal
tersebut juga diperkuat oleh penelitian Mutia Ulfa Yulianti dan Hedi Wahyudi
Universitas Sumatera Utara
8
(2014) yang menyatakan seseorang yang memiliki self-compassion maka ia
akan mampu memahami kondisi mereka tanpa terbebani dan menerima
kekurangan yang dimiliki serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungan.
Di kota Medan, meningkatkan ekomoni merupakan tujuan utama anak
jalanan agar dapat melanjutkan hidup dan pendidikan. Meskipun memiliki
banyak kesulitan, anak jalanan kota medan tetap memenuhi kebutuhannya
untuk mencari nafkah. Anak-anak yang berada di daerah terminal umumnya
menjadi tukang sapu angkot dan pedagang songan. Anak-anak di lampu merah
umumnya mengamen, menjual makanan ringan, dan asongan. Tak sedikit pula
dari mereka yang berjalan keliling menjual makanan ringan seperti kerupuk
jangek dan menyinggahi tempat-tempat makan untuk mencari pembeli.
Usaha-usaha yang mereka lakukan tersebut umumnya untuk kebutuhan makan
sehari-hari, membantu ekonomi keluarga, serta untuk membiayai dan
melanjutkan pendidikan mereka (KKSP, Komunikasi Personal).
Self-compassionterbagi atas tiga komponen yaitu self-kindness, common
humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Anak jalanan yang memiliki
komponen self-kindnessakan mampu untuk tetap berlaku baik terhadap diri
sendiri, tidak mengkritik diri secara berlebihan dalam perisitiwa negatif yang
dialami. Komponen common humanity akan dimiliki saat anak jalanan mampu
untuk merasa bahwa orang lain juga pernah merasakan keadaan yang tidak
menyenangkan yang dialami individu sehingga individu tidak merasa
terisolasi. Komponen terakhir dari self-compassionadalahmindfulness. Jika
Universitas Sumatera Utara
9
anak jalanan mampu memiliki komponen terakhir ini maka mereka akan
melihat secara jelas dan menerima apa yang terjadi sekarang sebagai suatu hal
yang seimbang yang akan berguna bagi kehidupan mendatang.
Berdasarkan penjelasan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat
bagaimana gambaran self-compassion pada anak jalanan di kota Medan
dengan metode kuantitaif deskriptif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran self-compassion
pada anak jalanan kota Medan?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran selfcompassion pada anak jalanan kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
10
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi dalam pengembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi
perkembangan mengenai self-compassion pada anak jalanan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau
rujukan bagi penelitian selanjutnya yang ingin meneliti mengenai selfcompassion.
2. Manfaat Praktis
a. Banyaknya jumlah anak jalanan di kota Medan yang mampu
menghadapi permasalahan dalam hidupnya serta dapat menunjukkan
kebahagiaan, diharapkan dapat menjadi bahan refleksi diri bagi anak
jalanan lainnya untuk belajar dalam menghadapi masalah dalam
hidupnya dan mencoba untuk bahagia.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak
yang bersangkutan seperti pemerintah, organisasi relawan dan
sebagainya, terkait self-compassion anak jalanan kota Medan, misalkan
dengan membuat program sebagai upaya untuk mempertahankan atau
meningkatkan self-compassion anak jalanan kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
11
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari :
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang digunakan dalam
penelitian, yaitu teori self-compassion, teori anak jalanan,
dan teori remaja.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan identifikasi variabel, definisi operasional
variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan
data, uji coba alat ukur, dan metode analisis data.
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan analisa mengenai gambaran umum subjek
penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan, dan
pembahasan hasil penelitian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang berhubungan
dengan self-compassion.
Universitas Sumatera Utara