Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mm Hg (tekanan sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) menurut Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII, 2003 (Novian, 2013).

The seventh Report of the Joint National Commite on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 telah memperbaharui klasifikasi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan prognosis jangka panjang. Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003

Klasifikasi tekanan darah

Tekanan darah sistolik, mm Hg

Tekanan darah diastolik, mm Hg

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥160 atau ≥100

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis-klinis (Tabel 2.1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang


(2)

8

tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat (Depkes, R.I., 2006).

2.2 Etiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Depkes, R.I., 2006).

2.2.1 Hipertensi primer (essensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya


(3)

9

mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal dan angiotensinogen (Depkes, R.I., 2006).

2.2.2 Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes, R.I., 2006).

2.3 Faktor Resiko Hipertensi

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah faktor risiko seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis, sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal), keseimbangan modulator vasodilatasi dan vasokontriksi, serta pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan aldosteron. Pasien prehipertensi beresiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi, mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki


(4)

10

dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg yang merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg. Risiko penyakit kardiovaskular ini bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya, serta individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi (Yogiantoro, 2009).

2.4 Patofisiologi Hipertensi 2.4.1 Tekanan darah arteri

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi, faktor-faktor tersebut adalah:

a. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan atau variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial

b. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor c. Asupan natrium (garam) berlebihan


(5)

11

e. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron

f. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik

g. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal

h. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal

i. Diabetes mellitus j. Resistensi insulin k. Obesitas

l. Meningkatnya aktivitas vascular growth factors

m. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung dan tonus vaskular (Depkes, R.I., 2006). 2.5 Gejala Klinis dan Diagnosis Hipertensi

2.5.1 Gejala Klinis Hipertensi

Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada, palpitasi dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).


(6)

12 2.5.2 Diagnosis Hipertensi

Pemeriksaan pasien hipertensi memiliki tujuan, yaitu untuk menilai gaya hidup dan faktor risiko kardiovaskular lainnya atau bersamaan gangguan yang mungkin mempengaruhi prognosis dan pedoman pengobatan, untuk mengetahui penyebab tekanan darah tinggi, untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.

Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia), terdiri atas:

1. Riwayat penyakit

a. Lama dan klasifikasi hipertensi b. Pola hidup

c. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular d. Riwayat penyakit kardiovaskular

e. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi f. Target organ yang rusak

g. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan 2. Pemeriksaan fisik

a. Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit b. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral c. Tinggi badan dan berat badan

d. Pemeriksaan funduskopi

e. Pemeriksaan leher, jantung, abdomen dan ekstemitas f. Refleks saraf


(7)

13 3. Pemeriksaan laboratorium

a. Urinalisa

b. Darah : platelet, fibrinogen

c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat 4. Pemeriksaan tambahan

a. Foto rontgen dada b. EKG 12 lead c. Mikroalbuminuria d. Ekokardiografi

Tekanan darah setiap orang sangat bervariasi. Pengukuran tunggal yang akurat adalah awal yang baik tetapi tidak cukup: ukur tekanan darah dua kali dan ambil rata-ratanya. Hipertensi didiagnosis jika rata-rata sekurang-kurangnya 2 pembacaan per kunjungan diperoleh dari masing-masing 3 kali pertemuan selama 2 sampai 4 minggu diperoleh tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau 90 mmHg untuk diastolik. Menurut JNC 7, tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg atau kurang. Prehipertensi bila tekanan darah 120/80 samapi 139/89 mmHg. Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140 sampai 159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 sampai 99 mmHg. Serta hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg (Cohen, 2008). 2.6 Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular


(8)

14

(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung (Depkes, R.I., 2006).

2.7 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan <130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian, 2004).

Terapi hipertensi meliputi : a. Terapi non farmakologis

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9; mengadopsi pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur seperti jalan kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita (Chobanian, 2004). Selain itu, pasien juga


(9)

15

disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Modifikasi pola hidup dapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi dan mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian, 2004).

b. Terapi farmakologis

Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.

Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin


(10)

16

(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB) (Depkes, R.I., 2006).

Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik masih tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi belum terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≤90 mmHg. Pada kebanyakan pasien, tekanan darah diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada hipertensi.

Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi atau untuk pasien-pasien dengan target tekanan darah ≤130/80 mmHg (DM dan penyakit ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya tekanan darah dan adanya indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1 harus diobati pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan tekanan darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat, dengan salah satunya diuretik tipe tiazid. Algoritma untuk pengobatan hipertensi dapat dilihat pada gambar 2.1 (Depkes, R.I., 2006).


(11)

17

Gambar 2.1 Algoritma Pengobatan Hipertensi

2.7.1 Mencapai Tekanan Darah pada masing-masing pasien

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan

Perubahan gaya hidup

Tekanan darah diatas target (≥ 140/90 mmHg), (<130/80 mmHg dengan Diabetes Melitus atau Gagal Ginjal Kronik)

Mulai dengan obat antihipertensi

Hipertensi tanpa komplikasi Indikasi Mutlak

Hipertensi Stage 1 TDS >140-159 mmHg TDD >90-99 mmHg Diuretik Jenis Tiazide untuk semua pasien. Bisa dipertimbangkan dari kelas lain ACE Inhibitor, ARB, Beta Bloker dan Calsium Chanel Bloker.

Hipertensi Stage 2 TDS >160 mmHg TDD >100 mmHg Dua obat kombinasi untuk semua pasien (biasanya Diuretik jenis Tiazid dan ACE Inhibitor atau ARB atau Beta Bloker atau Calsium Chanel Bloker.

Diabetes Melitus: ACE Inhibitor, Beta Bloker, Calsium Chanel Bloker. Gagal Jantung: ACE Inhibitor, Beta Bloker, Calsium Chanel Bloker. Stroke: Diuretik, ACE Inhibitor.

Target tekanan darah tidak tercapai

Optimalisasi dosis atau tambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk konsultasi pada spesialis hipertensi.


(12)

18

obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik dan lansia (Depkes, R.I., 2006).

2.7.2 Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien

Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Pada trial ini, termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat hipertensi. Kecuali pada the Second Australian National Blood Pressure Trial; dimana dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki kulit putih. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna dalam mengontrol tekanan darah dan harganya lebih dapat dijangkau dibanding obat antihipertensi lainnya. Sayangnya disamping kenyataan ini, diuretik tetap kurang digunakan (underused) (Depkes, R.I., 2006).

2.8 Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dalam dan perilaku yang disarankan. Pengertian dari kepatuhan adalah menuruti suatu perintah atau suatu aturan. Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam


(13)

19

melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan (compliance atau adherence) mengambarkan sejauh mana pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Smet, 1994).

Kurang kepatuhan merupakan penyebab paling sering untuk kegagalan terapi antihipertensi. Pasien hipertensi biasanya tidak menunjukkan gejala dan baru terdiagnosis setelah menjalani skrining rutin sebelum adanya tanda-tanda kerusakan organ yang parah. Jadi, terapi ditujukan untuk menghindari akibat sisa dari penyakit (yang biasa terjadi kemudian), bukan mengobati kelainan pada pasien waktu itu. Efek samping obat yang ada hubungan dengan terapi antihipertensi dapat mempengaruhi pasien terhadap keuntungan di belakang hari. Misalnya, penyekat beta menurunkan libido dan impoten pada pria terutama pada umur menengah dan lansia. Gangguan fungsi seksual akibat obat ini dapat menimbulkan penghentian terapi dari pasien. Jadi, perlu peningkatan kepatuhan dengan meneliti obat-obat atau regimen, baik pengurangan efek samping atau dosis hariannya (Mycek, 2001).


(1)

14

(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung (Depkes, R.I., 2006).

2.7 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan <130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian, 2004).

Terapi hipertensi meliputi : a. Terapi non farmakologis

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9; mengadopsi pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur seperti jalan kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita (Chobanian, 2004). Selain itu, pasien juga


(2)

15

disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Modifikasi pola hidup dapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi dan mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian, 2004).

b. Terapi farmakologis

Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.

Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin


(3)

16

(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB) (Depkes, R.I., 2006).

Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik masih tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi belum terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≤90 mmHg. Pada kebanyakan pasien, tekanan darah diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada hipertensi.

Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi atau untuk pasien-pasien dengan target tekanan darah ≤130/80 mmHg (DM dan penyakit ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya tekanan darah dan adanya indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1 harus diobati pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan tekanan darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat, dengan salah satunya diuretik tipe tiazid. Algoritma untuk pengobatan hipertensi dapat dilihat pada gambar 2.1 (Depkes, R.I., 2006).


(4)

17

Gambar 2.1 Algoritma Pengobatan Hipertensi

2.7.1 Mencapai Tekanan Darah pada masing-masing pasien

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan

Perubahan gaya hidup

Tekanan darah diatas target (≥ 140/90 mmHg), (<130/80 mmHg dengan Diabetes Melitus atau Gagal Ginjal Kronik)

Mulai dengan obat antihipertensi

Hipertensi tanpa komplikasi Indikasi Mutlak

Hipertensi Stage 1 TDS >140-159 mmHg TDD >90-99 mmHg Diuretik Jenis Tiazide untuk semua pasien. Bisa dipertimbangkan dari kelas lain ACE Inhibitor, ARB, Beta Bloker dan Calsium Chanel Bloker.

Hipertensi Stage 2 TDS >160 mmHg TDD >100 mmHg Dua obat kombinasi untuk semua pasien (biasanya Diuretik jenis Tiazid dan ACE Inhibitor atau ARB atau Beta Bloker atau Calsium Chanel Bloker.

Diabetes Melitus: ACE Inhibitor, Beta Bloker, Calsium Chanel Bloker. Gagal Jantung: ACE Inhibitor, Beta Bloker, Calsium Chanel Bloker. Stroke: Diuretik, ACE Inhibitor.

Target tekanan darah tidak tercapai

Optimalisasi dosis atau tambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk konsultasi pada spesialis hipertensi.


(5)

18

obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik dan lansia (Depkes, R.I., 2006).

2.7.2 Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien

Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Pada trial ini, termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat hipertensi. Kecuali pada the Second Australian National Blood Pressure Trial; dimana dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki kulit putih. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna dalam mengontrol tekanan darah dan harganya lebih dapat dijangkau dibanding obat antihipertensi lainnya. Sayangnya disamping kenyataan ini, diuretik tetap kurang digunakan (underused) (Depkes, R.I., 2006).

2.8 Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dalam dan perilaku yang disarankan. Pengertian dari kepatuhan adalah menuruti suatu perintah atau suatu aturan. Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam


(6)

19

melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan (compliance atau adherence) mengambarkan sejauh mana pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Smet, 1994).

Kurang kepatuhan merupakan penyebab paling sering untuk kegagalan terapi antihipertensi. Pasien hipertensi biasanya tidak menunjukkan gejala dan baru terdiagnosis setelah menjalani skrining rutin sebelum adanya tanda-tanda kerusakan organ yang parah. Jadi, terapi ditujukan untuk menghindari akibat sisa dari penyakit (yang biasa terjadi kemudian), bukan mengobati kelainan pada pasien waktu itu. Efek samping obat yang ada hubungan dengan terapi antihipertensi dapat mempengaruhi pasien terhadap keuntungan di belakang hari. Misalnya, penyekat beta menurunkan libido dan impoten pada pria terutama pada umur menengah dan lansia. Gangguan fungsi seksual akibat obat ini dapat menimbulkan penghentian terapi dari pasien. Jadi, perlu peningkatan kepatuhan dengan meneliti obat-obat atau regimen, baik pengurangan efek samping atau dosis hariannya (Mycek, 2001).


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketidakpatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di RSU H. Adam Malik Medan

14 97 94

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN DIIT PASIEN HIPERTENSI (Studi Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Tahun 2013)

0 10 123

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

6 32 74

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA HIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT JALAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsud Kabupate N Karanganyar.

0 3 16

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA HIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT JALAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsud Kabupate N Karanganyar.

0 2 19

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

0 0 13

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

0 0 2

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

0 0 6

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

0 0 2

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan Di Rsu Sundari Medan

0 0 15