Pola Bakteri Aerob dan Anaerob Serta Uji Sensitifitas Pada Penderita Rinosinusitis Kronis di Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rinosinusitis Kronis
Rinosinusitis kronik terjadi selama berbulan- bulan bahkan tahun.
Faktor yang mempengaruhi RSK yaitu sinusitis akut yang berulang dan
sudah diberikan pengobatan tetapi tidak berkurang. Jika terjadi kegagalan
drainase pada sinus paranasal akibat faktor perubahan struktur ostium
sinus maka terbentuk infeksi kokus aerob atau anaerob. Kegagalan
mengobati sinus menyebabkan epitel permukaan bersilia yang berfungsi
drainase tidak beregenerasi sehingga sekret tetap berada di sinus dan
terjadi infeksi. Gangguan drainase pada sinus bisa juga disebabkan
sumbatan yang disebabkan polip hidung yang bisa menyumbat total
ostium sinus (Hilger, 1997).

2.1.1 Anatomi sinus paranasal
Sinus paranasal merupakan serangkaian rongga yang mengelilingi
daerah rongga hidung. Sinus paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal
dan sfenoid. dilapisi mukoperiosteum tipis yaitu epitel torak berlapis atau
berlapis

semu


bersilia

dengan

sejumlah

sel

goblet.

Sel

goblet

menghasilkan (mucous blanket) yang berada di permukaan epitel bersilia
yang

berfungsi


melembabkan,

menghangatkan

udara

sekaligus

membersihkan material yang dihirup (Kentjono, 2004).
Secara klinisi, sinus paranasal dibagi atas 2 grup yaitu grup anterior
termasuk didalamnya sinus maksilla, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior yang berada di miatus media. Grup posterior termasuk
didalamnya sinus etmoid posterior yangmana berada di miatus superior,
sinus sphenoid berada pada ressesus sphenoethmoidal (Dhingra, 2014).

5
Universitas Sumatera Utara

6


Hiatus semilunaris yang merupakan suatu celah berbentuk bulan sabit
diantara prosesus unsinatus bagian posterior dan dinding anterior bula
etmoid. Mukus atau sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan
mengalir ke bagian inferior infundibulum, kemudian keluar melalui hiatus
semilunaris menuju meatus media (Kentjono, 2004).
2.1.2 Sinus maksilaris
Sinus maksilaris merupakan bagian terbesar dari sinus paranasal. Di
medial berbatasan dengan dinding lateral dari rongga hidung. Processus
alveolaris dan palatum sebagai lantai sinus ini. Sinus maksilaris
berhubungan dengan akar dari gigi rahang atas, terutama premolar dua
dan molar pertama, selain itu jika sinus maksilaris meluas kearah posterior
maka akan berhubungan dengan molar tiga dan jika ke anterior dengan
premolar pertama dan terkadang dengan kaninus. Atap dari sinus
maksilaris ialah lantai dari orbita, Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi
dari dasar sinus, sehingga drainase hanya bergantung pada gerak silia
dan drainase harus melalui celah sempit. Infundibulum merupakan bagian
dari sinus etmoid anterior (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.1.3 Kompleks ostiomeatal
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan kumpulan beberapa struktur

yang terdapat pada area meatus media, yaitu prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, sel – sel etmoid anterior, ostium etmoid anterior,
sinus aksilaris dan frontalis. Sedikit saja ada obstruksi di area ini maka
akan menyebabkan penyakit yang bermakna pada sinus maksila (Bolger,
2001).
KOM sangat berperan dalam drainase sinus paranasal. Bagian anterior
dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar
dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum

Universitas Sumatera Utara

7

sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit recessus frontal. Dari recessus frontal
drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke
dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media (Soejipto dan
Mangunkusumo, 2000).
2.1.4 Definisi rinosinusitis kronis
Inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasalis yang ditandai

dengan 2 gejala utama dapat berupa hidung tersumbat dan nasal
discharge, hyposmia, nyeri wajah kemudian dapat ditambah gejala
tambahan berupa demam, halitosis, nyeri pada kepala dan nyeri atau rasa
penuh pada telinga. Gejala tersebut menetap hingga lebih dari 12 minggu
(Saoza, 2010).
Rinosinusitis kronik dengan polip mendefinisikan harus memiliki gejala
berupa temuan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan radiologi. Yang salah
satunya harus ada 1. Hidung tersumbat, 2. Beringus / Post nasal
discharge, 3. Nyeri wajah, 4. Penciuman menurun, Gambaran pada
endoskopi 1. Polip, 2. Cairan mukopurulen dari miatus media, 3. Oedema
atau

sumbat

pada

miatus

media.


Pemeriksaan

CT-SCAN

yang

mendukung rinosinusitis yaitu KOM tertutup (Fokkens et al, 2005)
RSK terbagi atas 2 subgrup yaitu RSK dengan polip RSKPN (+) dan
RSK tanpa polip RSKPN (-).yang mana tidak ada perbedaan signifikan
dalam pembentukan bakteri dalam spesimen biopsi yang diambil dari
etmoid anterior bagian dari Kompleks Osteomeatal, juga dari ostium sinus
maksilla, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris dan miatus media
(Niederfuhr, 2009).

2.1.5 Etiologi rinosinusitis kronis
Rinosinusitis kronik memiliki banyak penyebab salah satunya bakteri
yang banyak berperan penting dalam banyak kasus. Sebagai penyebab

Universitas Sumatera Utara


8

infeksi yang terjadi pada rongga sinus dibedakan menjadi 3, yaitu
penyebab oleh virus, bakteri dan jamur (Tos & Larsen, 2001; Schlosser &
Woodworth, 2009).
1) Virus
Virus juga bisa menjadi penyebab RSK dengan polip. Terbentuknya
polip hidung sehingga terjadi infeksi dapat menyebar ke sinus paranasal.
Virus yang bisa mempengaruhi antara lain adenovirus, Epstein-Barr virus,
virus herpes simplex, dan virus papiloma (Tos & Larsen, 2001).
Sangat sedikit diteliti tentang virus menyebabkan RSK. Tetapi
dinyatakan virus sebagai pencetus proses inflamasi terutama pada daerah
saluran pernapasan. Rhinovirus dan metapneumovirus merupakan
pencetusnya (Sakano & Wilma, 2015).

2) Bakteri
Bakteri aerob bersifat anaerob fakultatif merupakan bakteri patogen
memerlukan oksigen untuk tumbuh dan secara anaerob menggunakan
reaksi fermentasi untuk mendapatkan energi diantaranya spesies
Streptococcus dan Enterobacteria sedangkan bakteri anaerob tidak

menggunakan oksigen untuk pertumbuhan dan metabolisme tetapi hanya
reaksi fermentasi seperti spesies bakterioides dan klostridium. Ada
dijumpai beberapa bakteri pada hidung dan sinusparanasal diantaranya
corynebacterium, Staphylococcus (S. epidermidis, S. aureus), dan
streptokokus dimana membran mukosa mulut steril saat lahir tetapi dapat
terkontaminasi saat melewati jalan lahir pada ibu yang melahirkan ataupun
orang yang hadir saat itu. Infeksi muncul akibat flora oronasal campuran
termasuk anaerob terutama peptostreptococcus (Brooks, Butel, Morse,
2008).

Universitas Sumatera Utara

9

Peran bakteri pada RSK hingga saat ini masih kontroversial.Saat ini
ada teori tentang bakteri superantigen, biofilms dan osteitis yang mungkin
berperan dalam RSK. Semua teori tersebut masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Terdapat penelitian tentang mikrobiologi RSK pada
orang dewasa yang dilakukan semenjak tahun 1991. Dari 5 studi
ditemukan bakteri gram (-) seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella

pneumonia, Proteusmirabilis, Enterobacter species, and Escherichia coli.
Karena bakteri gram (-) jarang ditemukan pada kultur dari meatus media
nasal pada individu yang sehat, maka disimpulkan 2 kemungkinan yaitu :
(1) bakteri gram (-) merupakan organisme kausatif, atau (2) bakteri gram
(-) merupakan hasil infeksi sekunder yang dikarenakan kelainan yang
sedang terjadi pada sistem pertahanan tubuh pasien, seperti kelainan
mukosilier, adanya polip nasi, atau kistik fibrosis yang berhubungan
dengan kelainan transport mukosilier (Schlosser & Woodworth, 2009;
Fokkens et al, 2005).

3) Jamur
Keterlibatan jamur dalam rinosinusitis kronik bisa berupa kolonisasi
ringan hingga invasif yang mengancam nyawa. Pada rinosinusitis kronik
sering disebabkan oleh Aspergillus species, Mucor spesies, Alternaria
spesies, Rhizopus. Polip nasi yang terserang infeksi jamur biasanya
memperlihatkan karakteristik yaitu eosinophilic mucin yang mengandung
hifa

jamur.


Nasal

polyposis,

temuan

khas

pada

radiologis,

immunocompromise dan alergi terhadap jamur itu sendiri. Pada penelitian
terbaru

menyebutkan

bahwa

jamur


memegang

kunci

dalam

perkembangan rinosinusitis kronik, dimana pasien menjadi lebih sensitif
terhadap koloni jamur melalui mekanisme yang dimediasi oleh IgE
(Dhingra, 2014).

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.6 Patofisiologi rinosinusitis kronik
Secara patofisiologi perubahan patologik mukosa sinus paranasal
terjadi akibat proses peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan
sinus yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Patensi ostium-ostium
sinus

dan

lancarnya

daya

pembersihan

mukosiliar

(mucocilliary

clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM) dapat mempengaruhi
sinus. Gangguan yang terjadi pada KOM dapat menyebabkan terjadinya
gangguan ventilasi dan pembersihan mukosa. Hal ini dapat dijelaskan
oleh karena organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan
dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium sinus akan tersumbat.
Akibatnya

terjadi

tekanan

negatif

di

dalam

rongga

sinus

yang

menyebabkan terjadinya transudasi (akumulasi cairan karena proses non
inflamasi), yang mula-mula berupa cairan serous. Kondisi inilah yang
dianggap sebagai rinosinusitis non bakteri dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. Namun apabila kondisi ini menetap,
sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk
tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri. Sekret menjadi purulen dan
keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakteria yang memerlukan
terapi dengan disertai antibiotik. Apabila terapi tidak berhasil peradangan
berlanjut dan terjadi hipoksia sehingga bakteri anaerob berkembang,
mukosa makin membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus
berputar hingga akhirnya terjadi perubahan mukosa menjadi kronik
(Mangunkusumo & Rifki, 2000).

2.1.7 Faktor risiko rinosinusitis kronis
A. Disfungsi Silia
Ada empat tipe epitel pada hidung dan sinus yaitu sel epitel bersilia, sel
sekrektori nonsilia, mucus produksi sel goblet, sel basal. Fungsi silia

Universitas Sumatera Utara

11

memegang fungsi penting dalam clearance dari sinus dan mencegah
terjadinya inflamasi kronik. Pada pasien yang menderita fibrosis kistik,
ketidakmampuan
menyebabkan

silia

untuk

malfungsi

melakukan

silia

sehingga

transport

mukosilia

akhirnya

akan

menyebabkan

rinosinusitis kronik (Clerico, 2001; Fokkens et al, 2005).
B. Alergi Hidung
Rinitis alergi dan rinosinusitis kronik merupakan dua kondisi yang saling
terkait. Terdapat prevalensi pasien alergi dengan sinusitis sebesar 15 – 80
%. Tungau merupakan alergi terbanyak pada penderita rinosinusitis
kronis. Pada beberapa artikel tenang rinosinusitis, telah menspekulasi
bahwa riwayat atopi merupakan predisposisi dalam perkembangan
rinosinusitis. Inflamasi yang terjadi sewaktu terjadi reaksi alergi dapat
menyebabkan terjadinya rinosinusitis kronik (Clerico, 2001).

C. Defisiensi Imun
Pada pasien yang menderita rinosinusitis kronik, ditemukan insidensi
yang tinggi dari defisiensi imun. Defisiensi imun utama atau kongenital
dengan gejala RSK dapat menginfeksi organ lain seperti HIV. Pasien
Diabetes Melitus terjadi RSK setelah pengobatan imunoterapi sebanyak
50% (Sakano & Wilma, 2015).
D. Kehamilan dan Hormonal
Pada wanita hamil angka kejadian keluhan sumbatan hidung sekitar 1
dari 5 ibu hamil. Patogenesisnya belum diketahui secara pasti tetapi
beberapa teori menyatakan pengaruh estrogen, progesteron dan hormon
pertumbuhan plasenta di mukosa hidung yang efeknya melalui pembuluh
darah. Pada penelitian Sobel et al dilaporkan dari 61% wanita hamil yang
memiliki keluhan sumbatan hidung terdapat 3% yang mengalami sinusitis
(Fokkens et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

12

E. Faktor struktur anatomi
Pembahasan infeksi sinus selalu dihubungkan dengan KOM. Beberapa
kelainan anatomi pada KOM seperti konka bulosa, deviasi septum nasal
dan kelainan letak processus uncinatus merupakan faktor potensial
terjadinya rinosinusitis kronik. Mikroba, alergi, zat kimia, polusi, dapat
mempengaruhi KOM, bila material tersebut tidak bersih maka terjadi
inflamasi dan terbentuk sumbatan di ostium dan sinusitis (Clerico, 2001).
F. Faktor Lingkungan
Merokok merupakan faktor yang mempusisnyai rasio prevalensi yang
tinggi terhadap rinosinusitis kronik. Selain itu polutan di udara juga berefek
terhadap epitel pernafasan bila tak diintervensi dapat berlanjut menjadi
rinosinusitis (Fokkens et al, 2005).
G. Infeksi
Bakteri patogen yang paling sering dijumpai pada RSK dengan polip
adalah β –hemolytic streptococci, Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumonia dan Haempihilus influenza. Etiologi virus belum diketahui
secara pasti menyebabkan RSK tetapi kemungkinan dapat terjadi polip
seperti adenovirus, herpes simplex, virus papilloma. Pada Sinusitis jamur,
sinusitis jamur alergi menjadi yang terbanyak pada RSK (Tos & Larsen,
2001).

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.1. Siklus terjadi rinosinusitis kronis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000)

2.1.8 Gejala dan diagnosa
Menurut Task Force tahun 1996 gejala rinosinusitis kronis dapat
dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala mayor terdiri dari
obstruksi hidung/hidung tersumbat, sekret hidung purulen, nyeri/rasa
tertekan pada wajah, gangguan penciuman (hyposmia/anosmia), dan
Postnasal discharge. Gejala minor terdiri dari sakit kepala, sakit gigi,
batuk, nyeri/rasa penuh ditelinga, demam dan halitosis / bau mulut,
lemah (Ryan, 2014).
Rinosinusitis kronis di diagnosis apabila riwayat gejala yang diderita
sudah lebih dari 12 minggu dan dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih
gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan sebagai persangkaan
rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis banding (Salamone &
Tami, 2004).

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.9 Terapi pada rinosinusitis kronis
Pengobatan konservatif pada RSK diberikan antibiotik, dekongestan,
antihistamin dan irigasi sinus selebihnya dilakukan tindakan dengan tujuan
melebarkan atau membuka daerah drainase sinus tindakan tersebut
adalah Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Dengan melakukan
BSEF maka bisa melihat sinus dari dalam dan dapat melakukan biopsi
(Dhingra, 2014).

2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik
Ada beberapa mekanisme kerja antibiotik diantaranya (Sudigdoadi,
2015) :
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Dinding sel bakteri berfungsi sebagai mempertahankan struktur tubuh
dan mempertahankan tekanan osmotik. Terdapat perbedaan dinding
lapisan bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif. Dinding sel
bakteri Gram positif mengandung peptidoglikan dan Teikhoat sedangkan
bakteri gram negatif memiliki peptidoglikan,lipopolisakarida, lipoprotein,
fosfolipid dan protein. Penicillin salah satu antibiotik yang mengganggu
dinding sel bakteri di lapisan peptidoglikan sehingga terjadi penurunan
kekakuan dinding sel dan mengakibatkan kematian.
2. Menghambat fungsi membran plasma.
Sel bakteri memiliki sitopasma yang berikatan dengan membran
sitoplasma yang berfungsi di dalam transport aktif dan mengontrol
komposisi internal. Bila fungsi membran sel ini diganggu antibiotik seperti
polikmiksin B maka terjadi kerusakan dan kematian sel. Menghambat
sintesis asam nukleat. Golongan kuinolon dan florokuinolon menghambat
pembentukan DNA bakteri.

Universitas Sumatera Utara

15

3. Menghambat sintesis protein
melalui penghambatan pada tahap translasi dan transkripsi meterial
genetik. antibiotik aminogliosid, kloromfenicol dan tetrasiklin, makrolid
menghambat ribosom bakteri tanpa mempengaruhi ribosom mamalia
4. Menghambat metabolisme folat.
Antibiotik ini menghambat kompetitif biosintesis tetrahidrofolat yang
bekerja sebagai pembawa 1 fragmen karbon yang diperlukan untuk
sintesis DNA, RNA dan protein dinding sel. Seperti antibiotik trimetropim
dan sulfonamid.

Gambar 2.2 Mekanisme kerja antibiotik pada bakteri .dikutip dari (Sudigdoadi, 2015)

2.3 Mekanisme Resistensi Bakteri
Terjadinya resistensi terhadap antibiotik pada bakteri mempengaruhi
perubahan genetik yang bersifat stabil lalu bergenerasi. Proses terjadinya
mutasi, transduksi, transformasi (DNA berasal dari lingkungan) dan
konjugasi (DNA berasal dari kontak langsung bakteri yang satu ke bakteri
lain) berperan dalam menimbulkan sifat resisten. Resistensi antibiotik

Universitas Sumatera Utara

16

pada bakteri kokus Gram positif dipengaruhi oleh mutasi, transduksi dan
transformasi, sedangkan pada bakteri batang Gram negatif semua proses
termasuk konjugasi bertanggung jawab dalam timbulnya resistensi
(Sudigdoadi, 2015).

2.4 Uji Sensitifitas Antibiotik
Uji sensitivitas atau uji kepekaan antibiotik adalah penentuan terhadap
bakteri yang menginfeksi juga kemungkinan terjadi resistensi terhadap
suatu antibiotik atau penentuan suatu antibiotik sebagai pengobatan yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Ada beberapa metode yang biasa dilakukan untuk melakukan uji
sensitivitas yaitu:
a. Metode dilusi
Metode pengerjaannya terbagi atas 2 cara yaitu tekhnik dilusi
pembenihan cair dan tekhnik dilusi yang bertujuan untuk penentuan
aktivitas antibiotik secara kuantitatif.
Antibiotic dilarutkan dalam media agar atau kaldu.kemudian ditanami
bakteri yang akan di tes. Setelah diinkubasi 1 malam di nilai MIC (Minimal
Inhibitory Concentration)
b. Metode difusi (Cara cakram)
Memakai cakram kertas yang sudah ditaburkan beberapa antibiotik
diletakkan pada media yang sudah ditanami bakteri. Timbul reaksi bila
tampak ada zona jernih di sekeliling cakram yang berarti bakteri sensitive
terhadap antibiotiknya.untuk menentukan hasil tes sensitifitas sesuai
dengan metode Kirby-bauer yaitu sensitive, intermediate dan resisten.

Universitas Sumatera Utara

17

2.5 Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara