Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011

(1)

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK YANG MENJALANI TINDAKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DI RSUP

H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008 - 2011

Tesis

Oleh: dr. Emilda Dewi

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER


(2)

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK YANG MENJALANI TINDAKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DI RSUP

H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008 - 2011

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh: dr. Emilda Dewi

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Medan, 20 Februari 2013

Tesis dengan judul

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK YANG MENJALANI TINDAKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DI RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

NIP: 195401121982021002 dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL

Anggota

dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL

NIP: 196510301999032001 NIP: 196603092000121007 dr. Aliandri, Sp.THT-KL

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.Dr.dr Abdul Rachman Saragih,Sp.THT-KL(K) dr.T.Siti Hajar Haryuna,Sp.THT-KL NIP: 19471130 198003 1 001 NIP: 19790620 200212 2 003


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah sebagai ungkapan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian

dengan judul Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani

tindakan BSEF dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011. Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini. Serta kepada dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL dan dr. Aliandri, Sp THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis yang telah banyak memberikan wawasan keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Magister ini. Di tengah kesibukan mereka, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Rasa terimakasih yang setinggi-tingginya kepada dr. Putri C. Eyanoer, MS. Epi., Ph. D sebagai pembimbing ahli yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodelogi penelitian dan statistik.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan magister saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera


(5)

Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, dr T. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL (K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked. (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M.Ked. (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked. (ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked. (ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes,


(6)

SpTHT-Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. Muhammad Jamil Ibrahim, MA dan Ibunda Dra. Rohani M. Juned, MM , ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

Kepada seluruh keluarga yaitu suami tercinta Teuku Sulaiman, kepada anak tersayang Azalea Najmina Jashmine dan kepada kakak dan adik penulis drg. Elliza Fitriana, Mkes, drg. Eddyana Sri Wahyuni, drg. Elvida Santi dan Elfirda Ade Putri, SH; penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, Februari 2013 Penulis


(7)

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK YANG MENJALANI TINDAKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DI RSUP

H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008-2011

Abstrak

Pendahuluan : Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia cukup tinggi dan banyak penelitian tentang rinosinusitis dan bedah sinus endoskopik yang telah dilakukan. Peneliti tertarik untuk mengetahui profil rinosinusitis kronik yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional.

Tujuan: Untuk mengetahui profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan mulai tahun 2008-2011.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan design case series. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan rekam medis penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011.

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak pada laki-laki (52,3%); kelompok umur 15-24 tahun, gejala tersering adalah hidung tersumbat sebesar 93,7%; lama keluhan terbanyak <1 tahun (43,2%); hasil nasoendoskopi terbanyak adalah edema/obstruksi mukosa meatus media (88,3%), lokasi sinus paranasal terbanyak di sinus maksila (95,5%) dan jumlah sinus terbanyak yang terlibat adalah multisinusitis (63,1%).

Kesimpulan : Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011 adalah lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan pada kelompok usia 15-24 tahun, hidung tersumbat merupakan gejala tersering.

Kata Kunci : rinosinusitis kronik, bedah sinus endoskopik fungsional, RSUP H. Adam Malik


(8)

PROFILE OF PATIENT WITH CHRONIC RHINOSINUSITIS THAT

PERFORMED FUNCTIONAL SINUS SURGERY IN ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL SINCE 2008-2011

Abstract

Introduction: Prevalens of chronic rhinosinusitis in Indonesia is high and

many research explain about chronic rhinosinusitis that had performed Functional Endoscopic Sinus Surgery. This study is aimed to know profile of patient with chronic rinosinucitis that had performed Functional Endoscopic Sinus Surgery.

Purpose: To know the profile of patient with chronic rhinosinusitis in Adam

Malik General Hospital since 2008-2011.

Method: This research is a descriptive with case series design. The

research use secondary data obtained from medical records of patients in Adam Malik General Hospital since 2008 untill 2011.

Result: Out of 111 patients, the most common gender are men (52,3%),

the most prevalent in age group 15-24 years, the most common symptom is nasal obstruction (98,7%), the most common symptom period is under one year (43,2%); the most common nasoendoscopy is oedema/mucosa obstructive in middle meatus (88,3%), maxilla sinus is the most common sinus that attached infection (95,5%) dan multisinusitis is the most common sinus involement (63,1%).

Conclusion : Profile of patient with chronic rhinosinusitis in Adam Malik

General Hospital, the most common gender are men with the most prevalent in age group 15-24 years, and the most common symptom is nasal obstruction.

Keywords : chronic rhinosinusitis, functional endoscopic sinus surgery,


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.3.1. Tujuan Umum 3

1.3.2. Tujuan Khusus 3

1.4. Manfaat Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. Anatomi hidung dan sinus paranasal 5

2.2. Rinosinusitis kronik 12

2.2.1. Definisi 12

2.2.1. Patofisiologi rinosinusitis kronik 13 2.2.2. Etiologi rinosinusitis kronik 14

2.2.3. Kekerapan 15

2.2.4. Diagnosis rinosinusitis kronik 15 2.2.5. Komplikasi Rinosinusitis Kronik 18 2.2.6. Penatalaksanaan 19 2.3. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional 21

2.3.1. Definisi 21


(10)

2.3.4. Tahapan Operasi 23 2.3.5. Perawatan Paska Operasi 25

2.3.6. Komplikasi 25

2.4. Kerangka Konsep 27

BAB 3. METODE PENELITIAN 28

3.1. Rancangan Penelitian 28

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 28 3.3. Populasi, Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel 28

3.3.1. Populasi 28

3.3.2. Sampel 28

3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel 28 3.4. Definisi Operasional Variabel 28

3.5. Kerangka Kerja 31

3.6. Analisis Data 32

BAB 4. HASIL PENELITIAN 33

4.1. Hasil Statistik Deskriptif 33

4.1.1. Distribusi frekuensi penderita berdasarkan

kelompok umur dan jenis kelamin 33 4.1.2. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan

Pekerjaan 34

4.1.3. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan

Gejala 35

4.1.4. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan

Lama Keluhan 35

4.1.5. Distribusi Frekuensi Nasoendoskopi Sebelum

Dilakukan BSEF 36

4.1.6. Distribusi Frekuensi Lokasi Sinus Paranasal 37 4.1.7. Distribusi Frekuensi Jumlah Sinus Yang Terlibat 37


(11)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 43

6.1. Kesimpulan 43

6.2. Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45

PERSONALIA PENELITIAN 52

LAMPIRAN 1. 54

LAMPIRAN 2. 60


(12)

DAFTAR TABEL

4.1.1 Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan kelompok umur

dan jenis kelamin 33

4.1.2. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan berdasarkan

jenis pekerjaan 34

4.1.3. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang

menjalani tindakan BSEF berdasarkan gejala 35 4.1.4. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang

menjalani tindakan BSEF berdasarkan lama keluhan 35 4.1.5. Distribusi frekuensi gambaran nasoendoskopi

penderita rinosinusitis kronik sebelum dilakukan BSEF 36 4.1.6. Distribusi lokasi sinus paranasal penderita rinosinusitis

kronik yang menjalani tindakan BSEF 37 4.1.7. Distribusi Distribusi frekuensi jumlah sinus paranasal


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampang koronal hidung 6

Gambar 2.

Gambar 3. Sinus paranasal 12

Kompleks osteomeatal 7

Gambar 4. Siklus rinosinusitis 14


(14)

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK YANG MENJALANI TINDAKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DI RSUP

H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2008-2011

Abstrak

Pendahuluan : Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia cukup tinggi dan banyak penelitian tentang rinosinusitis dan bedah sinus endoskopik yang telah dilakukan. Peneliti tertarik untuk mengetahui profil rinosinusitis kronik yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional.

Tujuan: Untuk mengetahui profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan mulai tahun 2008-2011.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan design case series. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan rekam medis penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011.

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak pada laki-laki (52,3%); kelompok umur 15-24 tahun, gejala tersering adalah hidung tersumbat sebesar 93,7%; lama keluhan terbanyak <1 tahun (43,2%); hasil nasoendoskopi terbanyak adalah edema/obstruksi mukosa meatus media (88,3%), lokasi sinus paranasal terbanyak di sinus maksila (95,5%) dan jumlah sinus terbanyak yang terlibat adalah multisinusitis (63,1%).

Kesimpulan : Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011 adalah lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan pada kelompok usia 15-24 tahun, hidung tersumbat merupakan gejala tersering.

Kata Kunci : rinosinusitis kronik, bedah sinus endoskopik fungsional, RSUP H. Adam Malik


(15)

PROFILE OF PATIENT WITH CHRONIC RHINOSINUSITIS THAT

PERFORMED FUNCTIONAL SINUS SURGERY IN ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL SINCE 2008-2011

Abstract

Introduction: Prevalens of chronic rhinosinusitis in Indonesia is high and

many research explain about chronic rhinosinusitis that had performed Functional Endoscopic Sinus Surgery. This study is aimed to know profile of patient with chronic rinosinucitis that had performed Functional Endoscopic Sinus Surgery.

Purpose: To know the profile of patient with chronic rhinosinusitis in Adam

Malik General Hospital since 2008-2011.

Method: This research is a descriptive with case series design. The

research use secondary data obtained from medical records of patients in Adam Malik General Hospital since 2008 untill 2011.

Result: Out of 111 patients, the most common gender are men (52,3%),

the most prevalent in age group 15-24 years, the most common symptom is nasal obstruction (98,7%), the most common symptom period is under one year (43,2%); the most common nasoendoscopy is oedema/mucosa obstructive in middle meatus (88,3%), maxilla sinus is the most common sinus that attached infection (95,5%) dan multisinusitis is the most common sinus involement (63,1%).

Conclusion : Profile of patient with chronic rhinosinusitis in Adam Malik

General Hospital, the most common gender are men with the most prevalent in age group 15-24 years, and the most common symptom is nasal obstruction.

Keywords : chronic rhinosinusitis, functional endoscopic sinus surgery,


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan prosedur invasif minimal, saat ini popular sebagai tehnik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya (Stammberger, 1993).

Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc (CWL), fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia. Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drainase dan ventilasi melalui ostium-ostium sinus (Nair, 2010; Slack, 1998; Meldem et al, 1996).

Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kronik dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drainase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka seluruh sinus ( Nizar, 2000).

Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam penatalaksanaan sinusitis. Tersedianya alat diagnostik CT Scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas (Metson, 2006; Nizar, 2000).


(17)

Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dan daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan akurat dan operasi lebih bersih / teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan komplikasi bedah (Azis, 2006).

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps, 2012, mengatakan bahwa 5-15% dari populasi masyarakat Amerika dan Inggris menderita rinosinusitis kronik (Fokkens et al, 2012).

Pada tahun 2001, lebih dari 35 juta orang dewasa Amerika menderita rinosinusitis dan lebih dari 460.000 pembedahan sinus setiap tahun sehingga pembedahan ini menjadi salah satu tindakan bedah yang paling sering dilakukan (Metson et al, 2006).

Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FK-UI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati rinosinusitis kronik sebanyak 50%. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Soetjipto, 2006).

Penelitian Multazar (2011) di poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2008 tentang penderita rinosinusitis kronik, didapatkan perempuan lebih banyak daripada laki-laki masing-masing sebesar 57% dan 43%; kelompok umur terbanyak pada 28-35 tahun (20,6%); gejala yang tersering adalah hidung tersumbat (75,3%); tindakan operasi terbanyak pada pasien rinosinusitis kronik adalah BSEF sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti antrostomi (11,94%), CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontal sebesar 1,49%.


(18)

daripada laki-laki yaitu masing-masing 60% dan 40%; kelompok umur terbanyak pada 15-24 tahun (34%), di mana dijumpai gejala terbanyak adalah hidung tersumbat (43%), jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah bedah sinus endoskopik fungsional (70%) kemudian diikuti antrostomi (26%) dan CWL (4%).

Dari penelitian sebelumnya seperti dikemukakan di atas, BSEF sangat sering dilakukan sehingga penulis tertarik ingin melakukan penelitian tentang profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu belum diketahuinya profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin.

2. Mengetahui distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan pekerjaan.

3. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan gejala.


(19)

4. Mengetahui distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan lamanya keluhan. 5. Mengetahui distribusi frekuensi gambaran nasoendoskopi

penderita rinosinusitis kronik sebelum dilakukan BSEF.

6. Mengetahui distribusi lokasi sinus paranasal penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF dengan CT Scan SPN. 7. Mengetahui distribusi frekuensi jumlah sinus paranasal yang

terlibat dengan CT Scan SPN.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain : 1. Manfaat Bagi Institusi

Sebagai bahan informasi dalam upaya peningkatan kelengkapan data penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF.

2. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu dan Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan BSEF.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk persiapan penanganan kasus rinosinusitis kronik yang lebih baik dan maksimal.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan penyuluhan bagi masyarakat untuk mengetahui pencegahan, gejala, penatalaksanaan rinosinusitis kronik serta komplikasi.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Ballenger, 2004; Higler, 1997).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum (Ballenger 2004; Hilger,1997).

Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius yang berasal


(21)

dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger 2004; Hilger, 1997).

Gambar 1. Penampang Koronal Hidung ( McCormick, 2007)

Kompleks osteomeatal (KOM)

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Hwang, 2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002).


(22)

Gambar 2. Kompleks osteomeatal (See et al, 2007)

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al, 2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).

Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).

Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).

Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan


(23)

membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo, 2000).

Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006).

Sinus Maksila

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis


(24)

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).

Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior (Nizar, 2000).

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Walsh et al, 2006).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior


(25)

terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Walsh et al, 2006).

Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke belakang dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal (Walsh et al, 2006).

Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh Keros yaitu : (Walsh et al, 2006)

1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal

2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi

3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan


(26)

orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang (Walsh et al, 2006).

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Punagi, 2008; Kennedy et al, 2003; Burton, 2000; Amedee, 1993).

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Ballenger, 2004; Kamel, 2002; Nizar, 2000).

Gambar. 3. Sinus Paranasal

(Dikutip dari : Conten.answers.com/main/content/imgelsevier/dental/f0098-01.jpg.gambar)


(27)

2.2 Rinosinusitis Kronik 2.2.1 Definisi

Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek ( sekret hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus, yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Fokkens et al, 2012).

The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI) mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip, dan hiposmia (Schlosser

et al, 2009).

2.2.2 Patofisiologi Rinosinusitis Kronik

Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau


(28)

mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).

Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di area kompleks osteomeatal (Gambar 4). Blokade daerah kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus (Kennedy et al, 1995).

Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya : obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Busquets et al, 2006 ; Fokkens et al, 2012).


(29)

Gambar 4. Siklus rinosinusitis (Kennedy et al,1995)

2.2.3 Etiologi Rinosinusitis Kronik

Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi (variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi (Fokkens et al, 2012; Higler,1997 ; Weir et al, 1997).

Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis (Fokkens et al, 2012).

2.2.4 Kekerapan

Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dari tahun 1998-2004 (Azis et al, 2006).

Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5% - 4,6% dari seluruh kunjungan poliklinik


(30)

Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 20 penderita ( 57% ) dan laki-laki sebanyak 15 penderita ( 43%).

Penelitian Firman (2011) di RSUP H Adam Malik Medan mendapatkan penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik tahun 2009-2010 sebanyak 47 penderita, yang terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki.

Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik , Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki sebanyak 127 penderita (42,91%).

2.2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis, rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan penunjang (Fokkens et al, 2012; Busquets, 2006).

Anamnesis

Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).

Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat


(31)

adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004).

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

Rinoskopi anterior

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).

Pemeriksaan nasoendoskopi

Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid, konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan septum deviasi (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).


(32)

Pemeriksaan foto polos sinus

Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos hidung dan sinus paranasal posisi Water’s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai (Busquets et al, 2006).

Pemeriksaan CT Scan

CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan

dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).

2.2.6 Komplikasi Rinosinusitis Kronik

Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut (Giannoni et al, 2006).

Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian (Giannoni et al, 2006).

Komplikasi yang terjadi dapat berupa (Giannoni et al, 2006): 1. Kelainan orbita

Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi


(33)

orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.

2. Kelainan intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi.

3. Mukokel (kista)

Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.


(34)

2.2.7 Penatalaksanaan

Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik (Ferguson et al, 2006).

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan (Soetjipto, 2000).

Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah. Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan fungsional ( Lal D et al, 2009; Simmer et al,


(35)

PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS(Soetjipto et al, 2001)

TIDAK Terapi tambahan :

Dekongest.oral ,Kortikost.oral dan atau topikal, Mukolitik Antihistamin (pasien atopi) Diartemi,Proet,Irigasi sinus

YA YA

Faktor Predisposisi Deviasi septum Konka bulosa, Hipertrofi

Adenoid (pada anak) Polip, Kista, Jamur,

Dentogenik TIDAK

TIDAK

ANAMNESIS Rinore purulen > 7 hari

(sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll)

RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor? Komplikasi sinusitis?

YA Lakukan

penatalaksanaan yang sesuai SINUSITIS AKUT / KRONIK ?

Lama gejala > 12 minggu ? Episode serangan akut >4 x / tahun? (Konsensus Internasional Sinusitis 2004)

SINUSITIS AKUT

Rinoskopi Anterior (RA) SINUSITIS KRONIK

RA/Naso-endoskopi Ro polos / CT Scan Pungsi & irigasi sinus Sinuskopi

YA

Terapi tambahan : Dekongest.oral + topikal Mukolitik, Analgetik Pasien Atopi : Antihist./Kortiko

steroid topikal

Perbaikan ? TIDAK

Lini II AB (7 hari) Amoks. klav / Ampi. sulbaktam Cephalosporin gen. kell Makrolid

+ terapi tambahan

YA Faktor Predisposisi?

Tata laksana yang sesuai

Terapi sesuai pada episode akut lini II + Terapi

TIDAK

Perbaikan ? YA

AB empirik (2 x 24 jam) Lini I : Amoksil 3x500 mg /Cotrimoxazol 2x480 mg + terapi tambahan

AB alternatif 7 hari

Atau buat kultur

TIDAK Teruskan AB

mencukupi

7-14 hari Perbaikan ?

TIDAK Evaluasi kembali : NE, Sinuskopi atau CT jika belum TIDAK Obstruksi KOM YA Cari alur Diagnostik lain Perbaikan ? Teruskan AB mencukupi 7-14 hari

Ro.polos/CT scan dan / Naso-endoskopi (NE)

Kelainan ?

YA Kemungkinan Sinusitis Akut

Berulang Lakukan terapi

sinusitis kronik

TIDAK Evaluasi diagnosis kembali

1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR


(36)

2.3. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional 2.3.1 Definisi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami (Lund, 2007; Mangunkusumo, 2003).

2.3.2 Indikasi

Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya dilakukan untuk penatalaksanaan rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang, yang seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia (Xu et al, 2008; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).

Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya (Lund, 2007).

Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari 2005- Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi sinusitis dan septum deviasi (Setiadi, 2009).


(37)

2.3.3 Persiapan Pra-operasi

Persiapan kondisi pasien.

Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan (Stankiewicz, 2009; Metson 2006).

Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya.

Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi (Stankiewicz, 2009; Kennedy, 2001).

CT Scan

Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial (Lund, 2007).

Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi (Stankiewicz, 2009).


(38)

2.3.4 Tahapan Operasi

Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit dengan panduan endoskop dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah (Lund, 2007; Soetjipto,2000).

Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu unsinektomi/infundibulektomi sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi (Soetjipto, 2000).

Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan tindakan BSEF yang terbanyak dilakukan adalah unsinektomi (77,1%) dan yang paling sedikit adalah sfenoidektomi (7,1%).

Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila

Membuka akses ke meatus media

Pertama-tama perhatikan akses ke meatus media, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk (Soetjipto,2000).

Membuka infundibulum

Tahap awal operasi adalah membuka rongga indundibulum dengan mengangkat prosesus unsinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium


(39)

sinus maksila maka drainase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup (Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993).

Etmoidektomi retrograd

Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai berikut, setelah tahap awal tadi, sebaiknya mempergunakan teleskop 0°, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior (Kennedy, 2001; Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993).

Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0° dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 0° atau 30°. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograd ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar (Stankiewicz, 2009; Soetjipto, 2000).

Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang


(40)

arteri etmoid anterior sangat penting dan dihindari trauma pada arteri ini. Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus frontal. Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri karotis interna di sisi lateralnya (Soetjipto,2000).

2.3.5 Perawatan Paska Operasi

Perawatan paska operasi sangat penting, dimana pembersihan paska operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik (Stankiewicz,2009; Slack et al, 1998).

Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin, tampon hidung dibuka 3 hari setelah operasi. Setelah itu hidung dibersihkan dengan larutan salin (Kennedy, 2003).

Terapi medikamentosa paska operasi berupa antibiotik dapat diberikan 1 minggu atau lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna, diberikan 4-5 kali sehari (Kennedy, 2003; Stammberger et al, 1993).

2.3.6 Komplikasi

Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan


(41)

penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BSEF dapat berupa perdarahan, sinekia, stenosis sinus maksila, kerusakan duktus nasolakrimalis, edema kelopak mata, kerusakan nervus optikus, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi dan sepsis (Al-Mujaini, 2009; DelGaudio, 2008; Rombout, 2001).


(42)

2.4 KERANGKA KONSEP

: Variabel penelitian - Patensi ostium

-Jumlah silia yang berfungsi -Kualitas sekret

Etiologi : Infeksi Alergi Obat-obatan Zat iritan Jamur

Gejala Nasoendoskop CT Scan

BSEF

Umur

Jenis Kelamin Pekerjaan

Rinosinusitis Kronik Obstruksi Kompleks Osteomeatal

Faktor predisposisi : Deviasi septum

Konka inferior hipertrofi Konka media paradoksal


(43)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan design Case series dari data sekunder di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan mulai Oktober 2012 sampai Januari 2013.

3.3 Populasi, Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi

Seluruh data penderita yang datang berobat,yang dilakukan tindakan BSEF di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Januari 2008 sampai dengan Desember 2011.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah total populasi penderita yang dilakukan BSEF mulai Januari 2008 sampai dengan Desember 2011.

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah dengan metode purposive sampling (non-probability) dengan menggunakan data sekunder dari rekam medik.

3.4 Definisi Operasional Variabel

 Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi pada rinosinusitis kronik yang tercatat di rekam medik pasien.

 Rinosinusitis kronis adalah penyakit yang diderita pasien berdasarkan diagnosa dokter yang tercatat sesuai status rekam medik pasien.


(44)

 Sinus yang terlibat adalah sinus paranasal yang mengalami inflamasi sesuai anatomi sinus yang terkena berdasarkan CT Scan SPN potongan koronal, yang dikatagorikan atas:

1. Single sinusitis jika ditemukan keterlibatan satu sinus paranasal, dimana data yang diambil sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologi pasien yang terlampir pada rekam medik pasien.

2. Multisinusitis jika ditemukan keterlibatan dua atau lebih sinus paranasal, dimana data yang diambil sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologi pasien yang terlampir pada rekam medik pasien.

3. Hemisinusitis jika ditemukan keterlibatan hanya satu sisi dari sinus paranasal, dimana data yang diambil sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologi pasien yang terlampir pada rekam medik pasien.

4. Pansinusitis jika ditemukan keterlibatan seluruh sinus paranasal, dimana data yang diambil sesuai dengan hasil pemeriksaan radiologi pasien yang terlampir pada rekam medik pasien.

 Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungannya berdasarkan kalender Masehi. Umur pasien BSEF sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas :

1. 15 - 24 tahun 2. 25 - 34 tahun 3. 35 - 44 tahun 4. 45 – 54 tahun 5. > 55 tahun

 Jenis kelamin sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis yaitu laki-laki atau perempuan.

 Pekerjaan sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas :


(45)

2. PNS 3. Petani

4. Pegawai swasta 5. Wiraswasta 6. Mahasiswa /i 7. Pelajar 8. Pensiunan

 Gejala klinik rinosinusitis kronik adalah gejala yang dikeluhkan pasien, sesuai yang tercatat di rekam medik, yaitu hidung sumbat, sakit kepala, hidung berair, lendir di tenggorokan, hidung bau, nyeri wajah, batuk dan penciuman bekurang.

 Lama keluhan adalah waktu sejak pasien mengeluhkan penyakitnya sampai berobat ke rumah sakit RSUP HAM, sesuai yang tercatat di rekam medik :

1. < 1 tahun 2. < 2 tahun 3. < 3 tahun 4. < 4 tahun 5. < 5 tahun

 Nasoendoskopi adalah sarana diagnostik yang lebih akurat untuk menentukan bermacam-macam kelainan hidung dan sinus paranasal, hasil pemeriksaan nasoendoskopi sesuai yang tercatat di rekam medik, yaitu edema/obstruksi mukosa meatus media, massa, post nasal drip, konka inferior hipertrofi, septum deviasi (septum yang bengkok berbentuk huruf C atau S atau kelainan yang lain yang dapat berupa spina atau krista), konka media hipertrofi, konka media polipoid, konka bulosa, unsinatus hipertrofi, pus di meatus media.

CT Scan sinus paranasal potongan koronal merupakan metode pencitraan terpilih dalam menegakkan diagnosis rinosinusitis kronik,


(46)

1. Sinus maksila 2. Sinus etmoid 3. Sinus frontalis 4. Sinus sfenoid

3.5 Kerangka Kerja

Tahapan penelitian adalah sebagai berikut:

- Tahap pertama, rekam medis dari seluruh penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF sejak Januari 2008 sampai Desember 2011 dikumpulkan dan diperiksa.

- Tahap kedua, data dari rekam medis di pindahkan kedalam format SPSS untuk dianalisa. Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF (umur, jenis kelamin, pekerjaan), gejala, lama keluhan, gambaran nasoendoskopi sebelum BSEF, lokasi dan jumlah sinus paranasal yang terlibat dengan CT Scan Sinus paranasal potongan koronal. - Tahap ketiga, dilakukan analisa data dan disajikan dalam bentuk

tabel.

- Tahap keempat, dilakukan pembahasan atas hasil analisa data dan disajikan sebagai laporan hasil penelitian.

Rekam Medis Penderita Rinosinusitis Kronik

yang menjalani BSEF Tahun

2008-2011

Jenis Kelamin

Umur

Pekerjaan

Gejala

Lama Keluhan

Nasoendoskopi


(47)

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai persentase profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan, gejala, lama keluhan, gambaran nasoendoskopi sebelum BSEF, lokasi dan jumlah sinus paranasal yang terlibat dengan CT Scan sinus paranasal potongan koronal.


(48)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan

design case series dimana pengambilan data dari data klinis di Bagian Rekam Medik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Data penelitian adalah seluruh kasus penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011, di didapatkan 111 penderita yang terdiri dari 59 penderita rinosinusitis kronik tanpa polip dan 52 penderita rinosinusitis kronik dengan polip, dengan umur termuda 15 tahun dan tertua 75 tahun.

4.1. Hasil Statistik Deskriptif

Tabel 4.1.1. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin

Kelompok Umur

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

n % N % n %

15 – 24 13 11,7 21 18,9 34 30,6

25 – 34 13 11,7 10 9,0 23 20,7

35 – 44 11 9,9 13 11,7 24 21,6

45 – 54 14 12,6 7 6,3 21 18,9

≥ 55 7 6,3 2 1,8 9 8,1


(49)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF tahun 2008-2011 terdapat pada kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 34 penderita (30,6%)di mana laki-laki sebanyak 11,7% dan perempuan 18,9% ; dan terendah pada kelompok umur ≥ 55 tahun sebanyak 9 penderita (8,1%). Usia termuda adalah 15 tahun dan tertua adalah 75 tahun. Ditemukan lebih banyak pada laki-laki, yaitu 52,3% dan perempuan sebesar 47,7%.

Tabel 4.1.2. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan jenis pekerjaan

Pekerjaan N %

Wiraswasta 32 28,8

PNS 24 21,6

IRT 17 15,3

Mahasiswa/i 13 11,7

Petani 10 9,0

Pelajar 7 6,3

Tidak bekerja 4 3,6

Pegawai swasta 3 2,7

Pensiunan 1 0,9

Total 111 100,0

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi pekerjaan penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF terbanyak adalah wiraswasta sebanyak 32 (28,8%) penderita diikuti PNS sebanyak 24 (21,6%) penderita.


(50)

Tabel 4.1.3. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan gejala

Gejala N %

hidung sumbat 104 93,7

sakit kepala 91 82,0

hidung berair 59 53,2

lendir di tenggorokan 41 36,9

hidung bau 28 25,2

nyeri wajah 24 21,6

Batuk 6 5,4

penciuman berkurang 2 1,8

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa gejala rinosinusitis kronik tersering adalah hidung tersumbat sebesar 93,7%, diikuti sakit kepala 82% dan gejala yang paling jarang adalah penciuman berkurang sebesar 1,8%.

Tabel 4.1.4. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan lama keluhan

Lama Keluhan N %

< 1 tahun 48 43,2 < 2 tahun 30 27,0 < 3 tahun 10 9,0 < 4 tahun 3 2,7 < 5 tahun 20 18,0

Total 111 100,0

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi penderita berdasarkan lama keluhan terbanyak pada penderita rinosinusitis kronik


(51)

adalah <1 tahun sebanyak 48 penderita (43,2% ) dan terkecil adalah antara 3-4 tahun yaitu sebanyak 3 penderita (2,7%).

Tabel 4.1.5. Distribusi frekuensi gambaran nasoendoskopi penderita rinosinusitis kronik sebelum dilakukan BSEF.

Nasoendoskopi N % edema/obstruksi mukosa meatus media 98 88,3

Massa 52 46,8

post nasal drip 46 41,4 konka inferior hipertrofi 28 25,2 septum deviasi 24 21,6 konka media hipertrofi 6 5,4 konka media polipoid 5 4,5 konka bulosa 3 2,7 unsinatus hipertrofi 3 2,7 pus di meatus media 3 2,7

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa gambaran terbanyak nasoendoskopi sebelum BSEF adalah kompleks osteomeatal (kom) tertutup sebanyak 88,3% dan yang jarang ditemui adalah konka bulosa, unsinatus hipertrofi dan pus di meatus media sebesar 2,7%.


(52)

Tabel 4.1.6. Distribusi lokasi sinus paranasal penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF

Sinus paranasal N % Sinus maksila 106 95,5 Sinus etmoid 84 75,7 Sinus frontal 66 59,5 Sinus sphenoid 42 37,8

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi lokasi sinus yang terbanyak adalah sinus maksila sebesar 95,5% diikuti sinus etmoid 75,7% dan sinus yang paling jarang terkena adalah sinus sfenoid sebesar 37,8%.

Tabel 4.1.7. Distribusi frekuensi jumlah sinus paranasal yang terlibat berdasarkan CT Scan SPN potongan koronal

Jumlah sinus N %

Multisinusitis 70 63,1

Pansinusitis 24 21,6

Single sinusitis 13 11,7

Hemisinusitis 4 3,6

Total 111 100

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi jumlah sinus terbanyak yang terlibat berdasarkan CT Scan SPN potongan koronal sebagai multisinusitis yaitu 70 penderita (63,1%) diikuti pansinusitis sebanyak 24 penderita (21,6%), single sinusitis sebanyak 13 penderita (11,7%) dan hemisinusitis sebanyak 4 penderita (3,6%).


(53)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 111 penderita dijumpai bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu masing-masing 52,3% dan 47,7%. Hal yang sama dilaporkan juga oleh Chen et al (2011), Multazar ( 2011), Moghaddasi (2009), Jeanny (2008), Harowi (2007), Azis (2006), Amiruddin (2005) dan Hennawi (1998) di mana penelitian mereka juga mendapatkan laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

Pada penelitian ini dijumpai jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan kemungkinan disebabkan aktifitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih sering berada di luar rumah sehingga lebih sering terpapar polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia. Seperti diketahui bahwa faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Busquets et al, 2006).

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012, perokok cenderung lebih mudah terkena rinosinusitis kronik daripada yang tidak perokok (Fokkens et al, 2012). Sehingga pada penelitian ini penderita rinosinusitis kronik lebih sering pada laki-laki lebih karena diduga laki-laki lebih banyak merokok daripada perempuan.

Pada penelitian ini, rinosinusitis kronik paling sering pada kelompok umur 15-24 tahun (30,6%), dengan umur paling muda adalah 15 tahun dan yang paling tua adalah 75 tahun. Hampir sama dengan penelitian Firman (2011) di Medan yang mendapatkan kelompok umur terbanyak 15-24 tahun (34%).

Penelitian di Kanada dijumpai penderita rinosinusitis kronik terbanyak dijumpai pada kelompok umur 20-29 tahun dan menurun


(54)

Dari beberapa data di atas terlihat rinosinusitis lebih banyak mengenai dewasa muda. Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), prevalensi rinosinusitis kronik meningkat setelah masa pubertas dan berangsur-angsur menurun pada usia pertengahan dan umur tua (Fokkens et al, 2012).

Penelitian Hellgren (2008) yang dikutip oleh Firman, meningkatnya kejadian rinosinusitis kronik pada usia muda dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan, perubahan gaya hidup, pola makan dan infeksi.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa wiraswata lebih banyak menderita sinusitis (28,8%), diikuti PNS sebanyak 24 (21,6%) penderita. Menurut Koh et al ada hubungan antara pekerjaan tertentu ( petani, operator mesin, pengrajin kayu, pedagang ). Di mana pada pekerja ini terjadi peningkatan rinosinusitis kronik. Dan rinosinusitis kronik juga lebih tinggi pada orang yang tidak mempunyai pekerjaan (Fokkens,2012).

Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa gejala rinosinusitis tersering adalah hidung tersumbat sebesar 93,7%, diikuti sakit kepala 82% dan gejala yang paling jarang adalah penciuman berkurang sebesar 1,85%.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Multazar (2011), Lal et al (2009) di Amerika, Azis (2006) di Arab Saudi dan Amiruddin dkk (2005) di Yogyakarta, dimana gejala yang paling sering ditemukan adalah hidung tersumbat.

Sedangkan penelitian Jeanny (2008) di Makassar menemukan bahwa gejala tersering yang ditemukan pada penderita rinosinusitis kronik adalah rinore mukopurulen (83%) diikuti obstruksi nasi (81,1%) dan gejala yang jarang dijumpai adalah gangguan penghidu (30,2%). Penelitian Nair et al (2010), gejala yang didapatkan berturut-turut post nasal drip (95%), sakit kepala (91%), hidung berair (90%) dan hidung tersumbat (86%).

Gejala-gejala di atas sesuai dengan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 yang mengatakan bahwa rinosinusitis kronik ditandai dengan adanya dua atau lebih lebih gejala,


(55)

salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, dan penurunan/ hilangnya penghidu. Dan dikatakan juga bahwa gejala yang tersering dijumpai pada pasien rinosinusitis kronik adalah hidung tersumbat. Hidung tersumbat terjadi akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan proses infeksi,alergi, serta sekret kental karena infeksi sekunder. Dan oleh karena sebab lain seperti polip nasi, hipertrofi konka dan septum deviasi (Fokkens et al, 2012; Higler, 1997).

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penderita paling sering datang berobat setelah menderita kurang dari satu tahun (43,2%). Hampir sama dengan penelitian Setiadi (2009) di Semarang dimana didapatkan distribusi frekuensi lama sakit terbanyak adalah 12 bulan (48,8%). Dari hasil penelitian Setiadi melaporkan bahwa penderita rinosinusitis kronik yang berlangsung lebih lama (>12 bulan) merupakan resiko terjadinya keterlibatan sinus yang luas dibanding penderita dengan lama sakit <12 bulan.

Dikatakan rinosinusitis kronik apabila lama sakit paling sedikit 3 bulan, dan bisa berjalan sampai bertahun-tahun. Pada penelusuran pustaka, tidak ada batasan lama sakit tertentu yang dapat dijadikan sebagai patokan perubahan patologik yang berat. Secara teoritis, apabila terjadi proses peradangan lapisan mukoperiosteum hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu akan mengakibatkan perubahan patologik mukosa sinus paranasal (Setiadi, 2009).

Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka paradoksal, septum deviasi dan lain-lain (Busquets et al, 2006).


(56)

sebanyak 88,3% dan yang terendah adalah konka bulosa, unsinatus hipertrofi dan pus di meatus media.

Hampir sama dengan penelitian Syahrizal (2009) di Medan yaitu kelainan terbanyak dari hasil pemeriksaan nasoendoskopi adalah meatus medius yang tertutup sebanyak 100% dan yang terjarang adalah septum deviasi.

Sedangkan penelitian Hennawi (1998) di Mesir, mendapatkan kelainan terbanyak dari hasil pemeriksaan nasoendoskopi adalah kelainan pada prosesus unsinatus dan yang terjarang adalah konka bulosa.

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012, variasi anatomi seperti konka bulosa, septum deviasi dan prosesus unsinatus hipertrofi merupakan faktor resiko untuk terjadinya rinosinusitis kronik (Fokkens et al,2012).

Pemeriksaan CT Scan sinus paranasal potongan koronal dianjurkan dilakukan pada pasien rinosinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan terapi medikamentosa. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan adanya kelainan di kompleks osteomeatal (Fokkens et al, 2012).

Pada penelitian ini diketahui bahwa sinus maksila adalah yang sering terkena sinusitis (95,5%) diikuti sinus etmoid (75,7%) sedang sfenoid yang paling jarang (37,8%).

Struktur anatomi sinus maksila sangat rentan terjadinya gangguan drainase sinus, sehingga beberapa penelitian seperti penelitian Munir, Jeanny, Amaruddin dan Nair juga mendapatkan hasil yang sama di mana sinus maksila merupakan yang tersering terkena sinusitis.

Tingginya insidens sinusitis yang terjadi di sinus maksila dan sinus etmoid dapat terjadi karena drainase sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal melalui meatus media, sehingga bila terjadi kelainan pada daerah kompleks osteomeatal akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi pada ketiga sinus ini yang kemudian akan berkembang menjadi sinusitis (Ballenger, 2004).


(57)

Pada penelitian ini diketahui bahwa distribusi jumlah sinus terbanyak yang terlibat berdasarkan CT Scan sinus paranasal potongan koronal yaitu multisinusitis yaitu 70 penderita (63,1%) diikuti pansinusitis sebanyak 24 penderita (21,6%), satu sinus sebanyak 13 penderita (11,7%) dan hemisinusitis 4 penderita (3,6%).

Hampir sama dengan penelitian Multazar (2011), Jeanny (2009) dan Amiruddin (2005) yang mendapatkan bahwa pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal potongan koronal berdasarkan jumlah sinus, maka multisinusitis yang paling banyak didapat.


(58)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa :

6.1.1. Pada kasus rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF ditemukan lebih banyak pada laki-laki dan kelompok umur tersering adalah usia setelah pubertas yaitu kelompok umur 15-24 tahun.

6.1.2. Wiraswasta lebih sering terkena rinosinusitis kronik dan menjalani tindakan operasi (28,8%).

6.1.3. Gejala penderita rinosinusitis yang menjalani BSEF tersering adalah hidung tersumbat sebesar 93,7%.

6.1.4. Lama keluhan penderita rinosinusitis yang menjalani BSEF terbanyak adalah keluhan penderita <1 tahun (43,2%).

6.1.5. Nasoendoskopi penderita rinosinusitis yang menjalani BSEF terbanyak adalah edema/obstruksi mukosa meatus media (88,3%).

6.1.6. Lokasi sinus paranasal penderita rinosinusitis yang menjalani BSEF terbanyak adalah sinus maksila (95,5%).

6.1.7. Jumlah sinus paranasal penderita rinosinusitis yang menjalani BSEF terbanyak adalah multisinusitis (63,1%).


(59)

6.2. Saran

6.2.1 Sebaiknya dilakukan revisi pengisian status rekam medik untuk pasien yang dilakukan BSEF terutama yang memuat variabel-variabel yang dapat menjadi bahan penelitian lanjutan seperti pencatatan tentang hasil nasoendoskopi setelah BSEF.

6.2.2 Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang rinosinusitis kronik seperti hubungan gejala rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Task Force dengan Ct Scan Lund Mackay.

6.2.3 Diharapkan peningkatan pengetahuan masyarakat, tenaga paramedis dan medis mengenai rinosinusitis dan kapan dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional sehingga bisa memberikan pengobatan yang maksimal.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mujaini A, et all, 2009. Functional Endoscopic Sinus Surgery : Indications and Complications in the Ophthalmic Field. OMJ. 24, 70-80; doi :10.5001/omj.2009.18

Amaruddin dkk, 2005. Hubungan antara Derajat Rinosinusitis Berdasarkan Gejala dan CT Scan. Dalam : Tesis Bagian THT-KL FK Universitas UGM/ RS dr. Sardjito Yogyakarta

Amedee GR, 1993. Sinus Anatomy and Function in Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolarngology. Vol 1. JB Lippincot Comp. Philadelphia. pp: 342-9.

Amarudin T,2005. Kadrian, Iswarini, Oedono, Yohanes, Asmoro. Hubungan antara derajat rinosinusitis berdasarkan gejala dan CT scan. Otorhinolaryngologica Indonesiana;35: 40-4.

Azis et al, 2006. Functional Endoscopic Sinus Surgery. Bahrain Medical Bulletin,Vol.28, No. 1, March.

Ballenger JJ, 2004. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid satu. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. hal: 1-19.

Ballenger JJ, 2004. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid satu. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. hal: 232-46.

Browning, 2007. Anatomy of the Nose And Paranasal Sinuses. In Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 2. Hodder Arnold an Hachette UK Company, London. p: 1316-41.

Burton M, 2000. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. In : Hall & Colman’s. Diseases of The Ear, Nose and


(1)

LAMPIRAN 2

UJI STATISTIK

Kelompok Umur * Jenis Kelamin Crosstabulation Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

Kelompok Umur 15 – 24 Count 13 21 34

% of Total 11.7% 18.9% 30.6%

25 – 34 Count 13 10 23

% of Total 11.7% 9.0% 20.7%

35 – 44 Count 11 13 24

% of Total 9.9% 11.7% 21.6%

45 – 54 Count 14 7 21

% of Total 12.6% 6.3% 18.9%

≥55 Count 7 2 9

% of Total 6.3% 1.8% 8.1%

Total Count 58 53 111

% of Total 52.3% 47.7% 100.0%

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Wiraswasta 32 28.8 28.8 28.8

PNS 24 21.6 21.6 50.5

IRT 17 15.3 15.3 65.8

Mahasiswa/i 13 11.7 11.7 77.5

Petani 10 9.0 9.0 86.5

Pelajar 7 6.3 6.3 92.8

Tidak bekerja 4 3.6 3.6 96.4

Pegawai swasta 3 2.7 2.7 99.1

Pensiunan 1 .9 .9 100.0

Total 111 100.0 100.0

Hidung sumbat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 104 93.7 93.7 93.7

Tidak 7 6.3 6.3 100.0


(2)

sakit kepala

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 91 82.0 82.0 82.0

Tidak 20 18.0 18.0 100.0

Total 111 100.0 100.0

Nyeri wajah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 24 21.6 21.6 21.6

Tidak 87 78.4 78.4 100.0

Total 111 100.0 100.0

Hidung berair

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 59 53.2 53.2 53.2

Tidak 52 46.8 46.8 100.0

Total 111 100.0 100.0

Lendir di tenggorokan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 41 36.9 36.9 36.9

Tidak 70 63.1 63.1 100.0

Total 111 100.0 100.0

Batuk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 6 5.4 5.4 5.4

Tidak 105 94.6 94.6 100.0

Total 111 100.0 100.0

hidung bau

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 28 25.2 25.2 25.2

Tidak 83 74.8 74.8 100.0


(3)

penciuman berkurang

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 2 1.8 1.8 1.8

Tidak 109 98.2 98.2 100.0

Total 111 100.0 100.0

Lama Keluhan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < 1 tahun 48 43.2 43.2 43.2

< 2 tahun 30 27.0 27.0 70.3

< 3 tahun 10 9.0 9.0 97.3

< 4 tahun 3 2.7 2.7 100.0

< 5 tahun 20 18.0 18.0 88.3

Total 111 100.0 100.0

post nasal drip

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 46 41.4 41.4 41.4

Tidak 65 58.6 58.6 100.0

Total 111 100.0 100.0

Massa

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 52 46.8 46.8 46.8

Tidak 59 53.2 53.2 100.0

Total 111 100.0 100.0

kom tertutup

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 98 88.3 88.3 88.3

Tidak 13 11.7 11.7 100.0


(4)

konka inferior hipertrofi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 28 25.2 25.2 25.2

Tidak 83 74.8 74.8 100.0

Total 111 100.0 100.0

konka media hipertrofi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 6 5.4 5.4 5.4

Tidak 105 94.6 94.6 100.0

Total 111 100.0 100.0

septum deviasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 24 21.6 21.6 21.6

Tidak 87 78.4 78.4 100.0

Total 111 100.0 100.0

konka media polipoid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 5 4.5 4.5 4.5

Tidak 106 95.5 95.5 100.0

Total 111 100.0 100.0

konka bulosa

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 3 2.7 2.7 2.7

Tidak 108 97.3 97.3 100.0

Total 111 100.0 100.0

Unsinatus hipertrofi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 3 2.7 2.7 2.7

Tidak 108 97.3 97.3 100.0


(5)

Pus di meatus media

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 3 2.7 2.7 2.7

Tidak 108 97.3 97.3 100.0

Total 111 100.0 100.0

sinus maksila

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 106 95.5 95.5 95.5

Tidak 5 4.5 4.5 100.0

Total 111 100.0 100.0

Sinus etmoid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 84 75.7 75.7 75.7

Tidak 27 24.3 24.3 100.0

Total 111 100.0 100.0

Sinus frontal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 66 59.5 59.5 59.5

Tidak 45 40.5 40.5 100.0

Total 111 100.0 100.0

Sinus sphenoid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 42 37.8 37.8 37.8

Tidak 69 62.2 62.2 100.0

Total 111 100.0 100.0

Jumlah sinus

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Multisinusitis 70 63.1 63.1 63.1

Pansinusitis 24 21.6 21.6 84.7


(6)

LAMPIRAN 3

CURICULUM VITAE

I.

IDENTITAS

1. Nama

: dr. Emilda Dewi

2. Tempat/ Tanggal lahir

: Banda Aceh / 21 Agustus 1977

3. Alamat

: Jl. Perwira Utama No 24 Medan

4. No Telp/ HP

: 085362637194

II.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1984-1990

: SDN Sunggal Medan

2. 1990-1993

: SLTP Negeri 1 Medan

3. 1993-1996

: MAN 1 Medan

4. 1996-2002

: Fakultas Kedokteran USU Medan

5. 2009- Sekarang

: PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

III. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2002 – 2004

: Anggota IDI Cabang kota Medan,

Sumatera Utara

2. 2004 – 2008 : Anggota IDI Cabang kota Banda Aceh,

Nanggroe Aceh Darussalam

3. 2009- sekarang

: Anggota Muda PERHATI-KL

Cabang SUMUT


Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari Periode 2008-2012.

2 59 74

Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011

0 4 13

Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011

0 0 2

Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011

0 0 4

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 16

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 2 2

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 4

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 2 26

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 11

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 1 31