Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
ABSTRAK
Perdagangan orang atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah
kejahatan yang sangat sulit diberantas dan merupakan bentuk perbudakan modern dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang
secara nasional maupun internasional. Permasalahan tersebut sudah sangat
memprihatinkan dan menjadi permasalahan besar sehingga pemerintah Indonesia
melahirkan suatu kebijakan yang lebih baik dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan agar hak-haknya dilindungi. Salah satu
hak yang diberikan oleh Undang- Undang No 21 Tahun 2007 adalah pemulihan hak
atas korban dalam bentuk Restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap
atas kerugian materiil dan atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana pengaturan konsep hak restitusi terhadap korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan bagaimana penerapan konsep hak restitusi atas korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu dengan melakukan
analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan dalam peraturan
perundang-undangan dan sifat penelitian perskriptif analitis guna mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan normanorma hukum. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan
untuk mengumpulkan data sekunder melalui bahan hukum primer, sekunder dan
tersier di dukung dengan data primer dengan melakukan wawancara kepada informan
yaitu aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan juga korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan Lembaga Internasional serta Lembaga Perlindungan Anak
yang ada di Sumatera Utara dan Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dilakukan bahwa pengaturan Pengaturan konsep
hak restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam pasal 1
ayat 13 dan pasal 48 sampai 50 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Restitusi juga diatur dalam
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ganti kerugian juga
diatur dalam peraturan nasional lainnya namun yang dapat dituntut hanya kerugian
materiil saja yaitu pengaturan yang diatur dalam KUHAP pasal 98 sampai 101
tentang penggabungan perkara pidana dan perdata. KUH Perdata yaitu pasal 1365
sampai 1380 sebagai ganti kerugian akibat dari wanprestasi dalam sebuah perikatan.
Penerapan konsep hak restitusi atas korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan hal ini disebabkan aparat penegak hukum masih alpa memasukan
restitusi, polisi tidak memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaan karena
tidak semua polisi paham tentang restitusi, sementara Jaksa tidak memohonkan
Universitas Sumatera Utara
restitusi dalam tuntutannya, korban umumnya tidak paham bahwa hak-haknya atas
restitusi ada diatur dalam Undang-Undang No 21 tahun 2007. Masalah lainnya adalah
hakim masih mendasarkan pada aturan lama yang berlaku yaitu ketentuan yang ada
dalam KUHAP. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak
menyebutkan atau menentukan jumlah atau besaran restitusi yang dapat diajukan atau
dimintakan korban ke pengadilan , selain itu sulitnya mengukur kerugian immaterial
bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kata Kunci : Hak Restitusi, Korban Tindak Pidana, Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Human trafficking is a crime which cannot be eradicated easily. It is a
contemporary form of slavery and a violation of human rights. Since the issue has
raised concerns and is serious, the Indonesian Government has made a policy to
better protect the rights of victim of the criminal act of human trafficking. One of the
rights of victim of human trafficking as stipulated in Law Number 21 Year 2007 is the
right to recovery through restitution i.e. payment of damages which burdened to
actor in accordance to a final and binding court decision against material and/or
immaterial losses suffered by victim or their heirs.
This research aimed to study the concept of the right of victim of the criminal
act of human trafficking to restitution and how it is implemented in the Indonesian
criminal justice system. This research applied a juridical-normative method to
analyze the problem and a descriptive analysis approach to study legal objectives,
justice values, legal validity, legal concepts and legal norms. Literature study was
conducted to collect secondary data through primary, secondary and tertiary legal
materials which was supported by primary data by conducting interviews with a
number of informants such as police, prosecutors , judges , victims of the criminal act
of human trafficking, international organizations and organizations concerned in
child protection in North Sumatra and Lampung.
Research findings showed that concept of the right of victim of the criminal
act of human trafficking to restitution is stipulated in article 1 paragraph 13 and
articles 48-50 of Law Number 21 Year 2007 on the Eradication of the Criminal Act of
Trafficking in Persons. Restitution is also stipulated in Law Number 13 Year 2006 on
Witness and Victim Protection and Law Number 26 Year 2000 on Human Rights
Court. Compensation, especially compensation for material loss, is also stipulated in
other national laws such as articles 98-101 of Criminal Code regarding the
combination of criminal and civil case. Compensation resulting from breach of
contract is also stipulated in articles 1365-1380 of the Criminal Code.
Concept of the right of victim of the criminal act of human trafficking to
restitution in Indonesian criminal court system still could not be implemented
properly as expected. This was because law enforcers did not include restitution;
police did not include restitution in police investigation report due to their lack of
understanding of the issue, prosecutors did not include restitution in their
prosecution; and generally victims did not understand that their right to restitution is
stipulated in Law Number 21 Year 2007. Other problem was that judges still use
provisions stipulated in the Criminal Code. Law on the Eradication of the Criminal
Act of Trafficking in Persons also neither mention nor stipulate the sum of restitution
that victim can propose or request to the court. In addition, it is difficult to assess
immaterial loss suffered by victim of the criminal act of human trafficking.
Key Words: Right to Restitution, Victim of Criminal Act, Criminal Act of Human
Trafficking
Universitas Sumatera Utara
Perdagangan orang atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah
kejahatan yang sangat sulit diberantas dan merupakan bentuk perbudakan modern dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang
secara nasional maupun internasional. Permasalahan tersebut sudah sangat
memprihatinkan dan menjadi permasalahan besar sehingga pemerintah Indonesia
melahirkan suatu kebijakan yang lebih baik dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan agar hak-haknya dilindungi. Salah satu
hak yang diberikan oleh Undang- Undang No 21 Tahun 2007 adalah pemulihan hak
atas korban dalam bentuk Restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap
atas kerugian materiil dan atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana pengaturan konsep hak restitusi terhadap korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan bagaimana penerapan konsep hak restitusi atas korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu dengan melakukan
analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan dalam peraturan
perundang-undangan dan sifat penelitian perskriptif analitis guna mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas hukum, konsep-konsep hukum dan normanorma hukum. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan
untuk mengumpulkan data sekunder melalui bahan hukum primer, sekunder dan
tersier di dukung dengan data primer dengan melakukan wawancara kepada informan
yaitu aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan juga korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan Lembaga Internasional serta Lembaga Perlindungan Anak
yang ada di Sumatera Utara dan Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dilakukan bahwa pengaturan Pengaturan konsep
hak restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam pasal 1
ayat 13 dan pasal 48 sampai 50 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Restitusi juga diatur dalam
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ganti kerugian juga
diatur dalam peraturan nasional lainnya namun yang dapat dituntut hanya kerugian
materiil saja yaitu pengaturan yang diatur dalam KUHAP pasal 98 sampai 101
tentang penggabungan perkara pidana dan perdata. KUH Perdata yaitu pasal 1365
sampai 1380 sebagai ganti kerugian akibat dari wanprestasi dalam sebuah perikatan.
Penerapan konsep hak restitusi atas korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan hal ini disebabkan aparat penegak hukum masih alpa memasukan
restitusi, polisi tidak memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaan karena
tidak semua polisi paham tentang restitusi, sementara Jaksa tidak memohonkan
Universitas Sumatera Utara
restitusi dalam tuntutannya, korban umumnya tidak paham bahwa hak-haknya atas
restitusi ada diatur dalam Undang-Undang No 21 tahun 2007. Masalah lainnya adalah
hakim masih mendasarkan pada aturan lama yang berlaku yaitu ketentuan yang ada
dalam KUHAP. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak
menyebutkan atau menentukan jumlah atau besaran restitusi yang dapat diajukan atau
dimintakan korban ke pengadilan , selain itu sulitnya mengukur kerugian immaterial
bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kata Kunci : Hak Restitusi, Korban Tindak Pidana, Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Human trafficking is a crime which cannot be eradicated easily. It is a
contemporary form of slavery and a violation of human rights. Since the issue has
raised concerns and is serious, the Indonesian Government has made a policy to
better protect the rights of victim of the criminal act of human trafficking. One of the
rights of victim of human trafficking as stipulated in Law Number 21 Year 2007 is the
right to recovery through restitution i.e. payment of damages which burdened to
actor in accordance to a final and binding court decision against material and/or
immaterial losses suffered by victim or their heirs.
This research aimed to study the concept of the right of victim of the criminal
act of human trafficking to restitution and how it is implemented in the Indonesian
criminal justice system. This research applied a juridical-normative method to
analyze the problem and a descriptive analysis approach to study legal objectives,
justice values, legal validity, legal concepts and legal norms. Literature study was
conducted to collect secondary data through primary, secondary and tertiary legal
materials which was supported by primary data by conducting interviews with a
number of informants such as police, prosecutors , judges , victims of the criminal act
of human trafficking, international organizations and organizations concerned in
child protection in North Sumatra and Lampung.
Research findings showed that concept of the right of victim of the criminal
act of human trafficking to restitution is stipulated in article 1 paragraph 13 and
articles 48-50 of Law Number 21 Year 2007 on the Eradication of the Criminal Act of
Trafficking in Persons. Restitution is also stipulated in Law Number 13 Year 2006 on
Witness and Victim Protection and Law Number 26 Year 2000 on Human Rights
Court. Compensation, especially compensation for material loss, is also stipulated in
other national laws such as articles 98-101 of Criminal Code regarding the
combination of criminal and civil case. Compensation resulting from breach of
contract is also stipulated in articles 1365-1380 of the Criminal Code.
Concept of the right of victim of the criminal act of human trafficking to
restitution in Indonesian criminal court system still could not be implemented
properly as expected. This was because law enforcers did not include restitution;
police did not include restitution in police investigation report due to their lack of
understanding of the issue, prosecutors did not include restitution in their
prosecution; and generally victims did not understand that their right to restitution is
stipulated in Law Number 21 Year 2007. Other problem was that judges still use
provisions stipulated in the Criminal Code. Law on the Eradication of the Criminal
Act of Trafficking in Persons also neither mention nor stipulate the sum of restitution
that victim can propose or request to the court. In addition, it is difficult to assess
immaterial loss suffered by victim of the criminal act of human trafficking.
Key Words: Right to Restitution, Victim of Criminal Act, Criminal Act of Human
Trafficking
Universitas Sumatera Utara