BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Sebagai mana kita ketahui akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana

  perdagangan orang sangatlah komplek, artinya selain timbul dampak sosial di masyarakat juga menimbulkan dampak emosional terhadap para korban, diantaranya adalah perasaan kehilangan kendali dan kurangnya rasa aman. Kejadian yang traumatis merenggut perasaan kendali diri individu yang sering mengarah kepada perasaan tidak nyaman dan kurang aman yang menyeluruh dan mendalam, dimana korban terpisahkan dari sistem lingkungan dan kekerabatan dari keluarga. Hal yang paling penting ketika berhubungan dengan para korban dalam pemberian layanan ataupun pemulihan adalah menciptakan rasa aman bagi

   mereka.

  Orang yang telah menjadi korban perdagangan orang dan kekerasan

  

  seksual biasanya memiliki rasa kepercayaan diri yang kurang. Ini dapat dimanifestasikan dalam berbagai macam tingkah laku seperti depresi, rasa malu, kelesuan, respon emosional yang keras, ketidakpekaan emosional, dan lain-lain. Stigma sosial dan rasa malu karena beberapa alasan, diantaranya pengalaman yang telah mereka lalui selama proses perdagangan orang, misalnya pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual, mereka tidak berhasil untuk mendapatkan uang

  58 Hawani, Korban Trafficking yang menderita secara fisik dan psikis, 1997. hlm 4 http/www. Makalah-human-trafficking.com,diakses pada hari rabu, tanggal 12 Februari 2014, Jam 20.05 Wib.

  59 Sayrifuddin Pettanasse, Kebijakan Criminal, Korban dan Kejahatan, agustus 2007, hlm 67. untuk keluarga mereka, bahkan korban merasa merekalah yang menyebabkan pelanggaran yang mereka alami tersebut.

  Respon emosional yang keras akibat trauma dengan kejadian yang dialami dapat muncul berbagai ragam respon emosional termasuk rasa marah, histeria, mudah menangis, sikap yang obsesif, dan lebih suka berdiam. Tetapi respon seperti itu tidak dapat langsung dibaca. Misalnya, jika seseorang tertawa ketika menceritakan tentang penyerangan seksual kepada mereka, hal ini bukan berarti bahwa orang itu merasa ceritanya lucu. Perdagangan orang biasanya melibatkan pengkhianatan kepercayaan atau manipulasi yang dilakukan oleh orang yang

   dipercaya para korban.

  Respon sosial yang sering ditemukan pada korban kekerasan seksual adalah kecenderungan untuk memperlihatkan perilaku seksual. Hal ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk menggoda, menyentuh, dan lain-lain. Dan ini biasanya terjadi pada kasus dimana korban adalah pekerja seks yang mengkonseptualkan jati diri mereka dalam bentuk-bentuk seksual. Respon ini terjadi karena sebelumnya para korban telah menerima interaksi sosial yang cukup baik dan dianggap layak untuk menerima hal tersebut, interaksi tersebut terjadi dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sehingga ketika interaksi yang baik tersebut hilang atau tiba-tiba berubah, mereka berupaya untuk mengembalikan keadaan tersebut agar mendapat perhatian dan penghargaan kembali dengan cara yang salah, seringkali korban berfikir bahwa satu-satunya cara agar mereka dapat menghindar dari keadaan tersebut melalui perilaku seperti ini.

60 Ibid,

  hlm 69

  Dari penjelasan singkat diatas tergambarkan bahwa tindak pidana perdagangan orang sangatlah berdampak bagi kelangsungan korban dan masyarakat. Oleh karna itu timbullah suatu pertanyaan, mengapa peristiwa tindak pidana perdagangan orang terjadi ?. Sehubungan dengan itu dalam bab ini dibahas tentang faktor-faktor penyebab tindak pidana perdagangan orang.

  Sebelum menguraikan berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang, maka penulis beranggapan sebagai kejahatan yang terorganisir perlu mengingat akan sebab-sebab kejahatan. Oleh karena itu penulis mencoba menguraikan sebab-sebab terjadinya kejahatan yang dilihat dari sudut pandang Kriminologi, sehingga nantinya kita dapat mengetahui bagaimana hubungannya dengan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

  

C. Faktor-faktor penyebab TPPO dilihat dari sudut pandang

Kriminologi

1. Pengertian Kriminologi

  Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi, biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut.

  Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran

  

  hukum pidana . Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan detektif karena detektif bertugas untuk mengungkap suatu peristiwa kejahatan dan

61 Marjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : UI, 1994.

  hlm 2. menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak dapat

   dikatakan benar.

  Kriminologi dalam bahasa Inggris disebut criminology, bahasa Jerman

  

kriminologie secara bahasa , berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan

”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian

  kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Di dalam kriminologi ada beberapa teori yang berpendapat mengenai sebab-sebab

  

  terjadinya kejahatan. Teori ini adalah seperangkat konsep atau konstruk, definisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena, dengan cara memperinci hubungan sebab-akibat yang terjadi. Dengan kata lain, teori merupakan serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Teori dalam kriminologi adalah

   penjabaran secara lebih merinci terhadap aliran yang telah ada.

  Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh Topinard, seorang sarjana Perancis, pada akhir abad ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh: Cesare Beccaria (1738-1794), Jeremy Bentham (1748-1832), Andre Guerry, yang mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis tahun 1829, Adolphe Quetelet seorang Ahli matematika Belgia menerbitkan

   diakses pada hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014, Jam 19.35 Wib.

  63 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 2001.

  64 Marjono Op cit , , hlm 3.

  65 Edwin H.Sutherland, Asas-Asas Kriminologi,Bandung : Alumni, 1969 hlm 2. sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia, Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835 dan terakhir Cesare Lambroso (1835- 1909) serta muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan metode antropologi ragawi atau antropobiologi mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan biologis.

  Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu

   sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi.

  Dari uraian diatas, banyak ahli yang mengemukakan pendapat mereka tentang pengertian kriminologi secara khusus antara lain : a.

  W.A Bonger (1970) Memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang

  

  bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya”. Bonger dalam memberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek: 1)

  Kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya 2)

  Kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki

  66 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2007, hlm 26 dan bahan mata kuliah Politik Hukum Pidana pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 2013.

  67 W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982, hlm 8. sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi.

  Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).

  a) Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam

  b) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)

  c) Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya.

  d) Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.

  • Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan manfaat penghukuman.
  • Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi dalam menanggulangi kejahatan.

  • Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan.

  Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.

  b.

  Wood Menurut beliau bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahatnya termasuk didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat itu dan para penjahatnya. Yang termasuk didalamnya antara lain adalah :

  

  1) Keseluruhan ilmu tentang kejahatan

  2) Berdasarkan kepada teori/pengalaman yang diperoleh dari ilmu kejahatan

  3) Melihat kejahatan dan penjahat

  4) Reaksi dari masyarakat berupa pandangan, perbuatan atau tindakan seperti penaggulangan dan pencegahan.

  c.

  Micheal Adler Menurut Micheal bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari penjahat lingkungan mereka dan cara mereka

68 Edwin H.Sutherland, Op cit, hlm 7.

  secara resmi diperlakukan oleh lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.

  d.

  Edwin H. Sutherland Edwin dikenal sebagai bapak kriminologi modern karena dia lah yang pertama sekali menghubungkan masalah kejahatan itu dengan masyarakat. Dalam hal ini Edwin melihat dari segi sosiologi. Menurut Edwin H. Sutherlan menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of knowledge regarding

  

crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan pengetahuan tentang

  kejahatan sebagai gejala sosial. Beliau juga mengatakan bahwa selama masyarakat masih ada perbuatan kejahatan juga akan tetap ada.

  Berlandaskan pada definisi diatas, Sutherland dan Cressey menjelaskan

  

  bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu: 1)

  Sosiologi hukum yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan hukum pidana 2)

  Etiologi kriminal yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan 3)

  Penologi dimana termasuk metode pengendalian sosial yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman, perkembangannya serta arti dan kaedahnya.

69 Ibid, hlm 9.

  e.

  Constant Menurut beliau kriminologi sebagai ilmu pengetahuan empirik yang bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbuatan jahat dan penjahat. Seorang ahli statistik yang bernama A.E.Quetelet tertarik kepada seorang manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik, diamana dia terkait dengan alat-alat yang digunakan, sehingga ia berkesimpulan bahwa dalam setiap perbuatan yang sama dimana dalam hal ini pembunuhan bahwa alat yang dilakukan untuk melakukan perbuatan itu hampir sama.

  Jadi dalam mempelajari kejahatan dari segi sosial maka selama ada masyarakat kejahatan akan tetap ada, ini berarti masalah kejahatan tidak akan pernah habis dikikis dalam rangka penanggulangan kejahatan itu pendapat ini sejalan dengan pendapat Edwin H. Sutherland.

  f.

  Haskell dan Yablonsky Beliau menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah

  

  tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi : 1)

  Sifat dan tingkat kejahatan 2)

  Sebab musabab kejahatan dan kriminalitas 3)

  Perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana 4)

  Ciri-ciri kejahatan 5)

  Pembinaan pelaku kejahatan

70 Mulyana Kusuma, Analisa Krimiologi tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan.

  Jakarta : Ghalia Indonesia, 1991, hlm 13.

  6) Pola-pola kriminalitas

  7) Dampak kejahatan terhadap perubahan sosial.

  g.

  Vernon Fox Yang mana Vernon memberikan definisi kriminologi secara komperhensif dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa kriminologi merupakan kajian tentang tingkah laku jahat dan sistem keadilan. Ini

  

  merupakan kajian tentang hukum, dan pelaku pelanggaran hukum. Pemahaman terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai disiplin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik. Tingkah laku jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain pendekatan sosial dan tingkah laku.

  h.

  Prof. Muhammad Mustofa Dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang

  

  berakar pada sosiologis. kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah tentang, perumusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, kenakalan,

  71 Ibid, hlm 15.

  72 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung : Mandar Maju, 1995, hlm 11. dan kejahatan dimana munculnya suatu peristiwa kejahatan, serta kedudukan dan korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat serta pola reaksi sosial formal, informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan.

2. Ruang Lingkup Kriminologi

  Secara singkat dapat diuraikan, objek ruang lingkup kriminologi yaitu :

a. Kejahatan

  Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut kriminologi. Banyak para pakar mendefiniskan kejahatan dari berbagai sudut pandang. Pengertian kejahatan merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada

   nilai-nilai dan skala sosial.

  Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian, perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat

73 W.A Bonger, Op cit, hlm 16.

  kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam

   undang-undang pidana.

b. Pelaku Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini.

  Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan tersebut juga dipelajari. Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan sebagaimana diuraikan dalam tinjauan pustaka

  

  tentang pelaku tindak pidana perdagangang orang. Objek penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan kejahatan, dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana baru.

3. Aliran-Aliran Kriminologi (Mazhab Criminologi)

a. Aliran Klasik

  Dalam aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free

  

will)” , yang dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah

  laku, manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya. Pelopor aliran ini adalah Cessare Becaria (1738-1794)

  74 Ibid, hlm 17.

  75 Wirjono Op cit, hlm 131. berpendapat bahwa manusia mempunyai sifat kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup (Hedonisme) dan Jeremi Betham (1748-1832) dengan pendapatnya ecology cukure compesition of populition.

  Aliran ini mengihalmi lahirnya penerapan persamaan dihadapan hukum dan keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada masa itu. Aliaran klasik ini cenderung menempatkan pidana sebagai satu-satunya jalan keluar mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang telah disepakati masyarakat atau perjanjian masyarakat. Sebagai cerminan dari aliran ini, timbul teori dalam pemidanaan yang berorientasi pada teori relatif

  (deterrence) . Dimana Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah

  seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana

   pembalasan masyarakat.

b. Aliran Neo Klasik

  Aliran ini menjaikan ajaran aliran klasik sebagai kiblatnya. Namun kemudian para sarjana aliran neo klasik. Hal ini disebabkan mazhab klasik. Hal ini disebabkan mazhab klasik dianggap menimbulkan ketidakadilan. Pemberlakuan hukuman yang diterakan kepada pelaku kejahatan yang telah dewasa menurut hukum tidak dibedakan kepada pelaku kejahatan yang masih anak-anak. Penerapan hukuman ini dianggap merupakan ketidakadilan, sebab

76 Mulyana Op cit, hlm 23.

  aspek mental dan kesalahan tidak diperhintungkan aspek-aspek kondisi mental

   pelaku dan lingkungan dalam penerapan hukuman.

c. Aliran Positifis

  Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852- 1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori

  

sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya

  perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham

  behaviorism, experimental psychology, psychological psychology dan

   objectivity .

  Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor

  77 Ibid, hlm 32.

  78 Mahmud Muliady, bahan makalah mata kuliahPolitik Hukum Pidana, Slide 42, pada hari Jum’at tanggal 18 Oktober 2013, Jam 14.00 Wib. lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku.

  Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang. Lambrosso mendapat julukan bapak kriminologi modren bukan karena

  

born criminal, yang ditemukannya karena ia merupakan orang pertama yang

  meletakkan metode ilmiah dalam mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan yang melihatnya dari berbagai faktor. Lambrosso juga membantah tentang sifat free will yang dimiliki oleh manusia. Aliran positif ini berpendapat bebas manusia itu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Secara singkat , aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang oleh hukum sebab akibat.

  Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan konsep determinisme. Dimana Aliran ini terbagi atas dua pandangan, yaitu ; 1)

  Determinisme Biologis, teori ini mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada pada dirinya. 2)

  Determinisme Cultural, teori ini mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, dan budaya dari lingkungan dimana seseorang itu

   hidup.

79 Ibid, slide 45

4. Sebab-Sebab Kejahatan dari Perpektif Kriminologi

  Mengenai sebab-sebab kejahatan, ada beberapa teori yang memiliki pemikiran yang berbeda. Secara garis besar teori-teori tentang sebab-sebab

  

  kejahatan dapat dibagi kedalam tiga persfektif, yaitu :

a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif psikologis dan biologi

  Mengenai teori ini, kejahatan lebih di titikberatkan pada perbedaan- perbedaan yang terdapat pada individu .

  2) Teori psikologis

  Teori ini merupakan teori yang menghubungkan sebab-sebab kejahatan dengan kondisi jiwa seseorang. Dari perspektif psikologi para pakar berpendapat bahwa kejahatan terjadi selalu bervariasi yang dilihat dari sisi psikologis yang diantaranya cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, perkembangan orang yang lemah. Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-faktor kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan. Beberapa teori mengenai kejahatan dari aspek psikologis dapat dilihat antara lain sebagai berikut :

  a) Teori psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmun Freud, teori ini menyebutkan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang terlarang

80 RomliOp cit, hlm 27.

  disebabkan hati nurani atau super ego yang dimilikinya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari Idnya.

  b) Teori Perkembangan Moral (moral developmen theory), dikekemukakan oleh psikolog Lawrence Kohlberg, teori ini menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan terkait dengan tahapan-tahapan pertumbuhan moralnya. Pemikiran moral tumbuh

  

  dalam tiga tahapan, yaitu :

  • Tahap pra-konvensional yaitu pada anak usia 9-11 tahun
  • Tahap tingkatan konvensional yaitu pada usia remaja
  • Tahap Poskonvensional yaitu pada umumnya setelah usia 20 tahun

  c) Teori Pembelajaran Sosial (Social learning theory), dikemukakan oleh Albert Bandura, Gerard Patterson, Ernes Burgess, dan Ronald Akers.

  Teori ini berpendapat bahwa perilaku delikuen dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagai mana semua perilaku non- delikuen. Dengan kata lain adannya kecenderungan mempelajari segala perilaku yang terjadi atau adanya proses peniruan perilaku yang terjadi disekitarnya. 3)

  Teori Kejahatan dari Perspektif Biologis Pada teori ini memandang bahwa kejahatan memiliki hubungan dengan bentuk tubuh manusia. Tokoh utama dalam teori ini adalah

81 Ibid, hlm 29.

   Lombrosso dengan Theory Born Criminal-nya. Born crimninal

  mengatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam sifat bawaan dan otaknya, dibandingkan mereka yang bukan penjahat. Lambrosso menyatakan sering kali para penjahat memiliki rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, suatu sifat yang pada umumnya dimiliki makhluk carnivore yang merobek dan melahap daging mentah. Selain Theory Born Criminal, Lambrosso menambahkan dua kategori lain, yaitu Insane criminals dan criminoloids. Inisane criminal bukanlah penjahat sejak lahir, melainkan disebabkan perubahan dalam otak mengganggu kemapuan mereka untuk membedakan anatara benar dan salah. Sedangkan criminoloids mencangkup suatu kelompok ambiguous termasuk penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan nafsu dan berbagai tipe lain.

b. Teori-teori kejahatan yang menjelaskan dari perspektif sosiologis

  Dari teori sosiologis mencari alasan-alasan dalam hal angka kejahatan didalam lingkungan sosial. Pada teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga kategori umum, yaitu strain, cultural deviance atau penyimpangan budaya dan social control atau kontrol sosial.

  1. Teori strain Teori ini memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan perbuatan kriminal.

  82 W.A Bonger Op cit, hlm 22.

  Para penganut teori strain berpendapat bahwa anggota masyarakat mengikuti satu set nilai budaya, seluruh anggita masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi , dimana orang-orang dari kelas bawah tidak mempunyai saran-sarana yang sah(legitimate mens) untuk mencapai tujuan tersebut. Akhirnya mereka yang berasal dari kalangan kelas bawah menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (ilegitimate means) untuk mencapai tujuan mereka didalam keputusan dan frustasinya.

  2. Teori Pentimpangan Budaya Teori ini juga sama dengan teori strain, lebih memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial yang menyebabkan orang melakukan aktivitas criminal. Teori penyimpangan budaya ini mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbedan, yang senderung konflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Konsekuensi dari pendapat teori ini adalah apabila orang-orang dari kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional.

  3. Teori Kontrol Sosial Teori ini mempunyai pendekatan yang berbeda dengan Strain dan penyimpangan budaya, yaitu berdasarkan asumsi bahwa motivasi kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsengkuensi yang harus ditanggung adalah teori control social ini mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat

   aturannya yang efektif.

c. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari sudut pandang lain atau presfektif lain

  Teori dalam perspektif lainnya merupakan alternative penjelasan terhadap kejahatan yang berbeda dari teori-teori lain yang sudah ada. Pada teori ini, berusaha membuktikan bahwa orang berbuat kriminal bukan karena cacat atau kekerangan internal tetapi karena apa yang dilakukannya oleh orang-orang yang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana. Menurut teori ini seseorang tidak akan dikatakan sebagai seorang penjahat apabila hukum tidak menjadikan perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan criminal .

   Ada tiga teori yang dilahirkan dari perspektif ini yaitu :

  1) Labeling Theory

  Teori ini memandang para kriminal hukum sebagai orang yang bersifat jahat yang terlibat dlam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat yang diberi oleh status pengadilan ataupun masyarakat.

  83 Ibid, hlm 29.

  84 Edwin H.Sutherland, Op cit, hlm 31.

  2) Conflict Theory

  Teori ini lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum itu sendiri. Bahwa kejahatan itu tergangung terhadap berbagai kelompok kepentinganyang berusaha mengontrol pembutan dan penegakan hukum itu diciptakan oleh yang berkuasa untuk melindungi kepentigan- kepentingannya. 3)

  Radical Theory atau critical criminology

  Theory radical ini berbeda dengan teori konflik. Pada teori ini

  menganggap hanya ada satu segmen yang mendominasi yaitu the

  capitalist ruling class yang menggunakan hukum pidana untuk

  memeksakan moralitasnya kepada semua orang yang adadiluar mereka dengan tujuan untuk melindungi harta kekayaan mereka mendefenisikan setiap perbuatan yang mengancam status quo ini sebagai kejahatan. Dari penjelasan diatas tentang sebab-sebab kejahatan dari sudut pandang kriminologi memberikan sesuatu gambaran bahwa tindak pidana perdagangan orang dapat terjadi karena berbagai sebab, misalnya pendapat Bonger dan para ahli lainnya tentang kriminologi dengan menitik beratkan pada pendekatan sosiologis, yang menyatakan bahwa kejahatan dapat timbul akibat dari kemiskinan, hal ini sejalan dengan faktor-faktor menyebab TPPO yang dijelaskan selanjutnyapada bab ini yaitu faktor ekonomi yang inti permasalahannya adalah

   kemiskinan.

85 Ibid, hlm 33.

  Sedangkan bila kita melihat disisi lain tentang aliran-aliran kriminologi, seperti halnya aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free

  

will)”oleh Cessare Becaria (1738-1794) dan Jeremi Betham (1748-1832), yang

  dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah laku, manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya, aliran ini mencerminkan bagaimana manusia mempunyai kebebasan berkehendak dimana dapat berbuat jahat atau berbuat kebaikan, hal tersebut sejalan dengan faktor penyebab terjadinya PTPPO pada poin penegakan hukumyang dibahas selanjutnya dalam bab ini, penulis berpendapat bahwa penegak hukum mempunyai free will dalam menegakkan hukum, walaupun ancaman dari perbuatan yang dilakukan selalu ada namun hal tersebut tidak menjamin kehendak bebas dapat sejalan sebagai mana mestinya. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan pelaku TPPO dimana sebelum dia melakukan perbuatannya dia mengetahui akibat dan sanksi yang akan terjadi bila dia melakukannya.

  Kemudian aliran neo-klasik lahir akibat paham ketidakadilan yang dilahirkan oleh aliran klasik. Hal ini tercermin dalam penghukuman sipelaku atau pemidanaannya.

  Setelah aliran neo-klasik muncul lah aliran positifis, yang melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan, oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya (free wiil) karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak atau psikis pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan atau sosialnya.

  Penulis berpendapat bahwa aliran positifis ini berkaitan terhadap faktor penyebab TPPO yang dilihat dari faktor “sosial budaya” sebagai mana diterangkan selanjutnya pada bab ini. Dimana selain memperhatikan psikis dan biologis pelaku, juga memperhatikan faktor sosiologis pelaku. Seperti social

  

forces atau pengaruh darikekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang melakukan

  perbuatan kriminal (theory strain), cultural deviance atau penyimpangan budaya dan social control atau kontrol sosial. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Edwin H. Sutherlan yang menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of

  

knowledge regarding crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan

pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial.

  

D. Berbagai Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan

Orang

  Secara garis besar dalam Keputusan Presiden Reprublik Indonesia Nomor

  88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak menyebutkan faktor-faktor terjadinya perdagangan orang

  

  yaitu : a.

  Kemiskinan

86 Keppres No 88 Tahun 2002 tentang RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.

  b.

  Ketenaga Kerjaan c. Pendidikan d.

  Migrasi e. Kondisi melemahkan ketahanan keluarga f. Sosial Budaya g.

  Media massa Dari uraian singkat Keppres diatas memberikan gambaran secara mendasar tentang faktor-faktor terjadinya perdagangan manusia, yang diuaraikan sebagai berikut :

1. Faktor Ekonomi

  Faktor ini dilatar belakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan

   meskipun harus ke luar dari daerah asalnya dengan resiko yang tidak sedikit.

  Kemiskinan yang begitu berat dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi ke dalam dan ke luar negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri.

  Kebijakan internasional globalisasi ekonomi, juga berarti globalisasi pasar kerja yang membuka peluang adanya permintaan dan pemenuhan pasokan tenaga

87 Hamim,Anis dan Agustinanto, Mencari Solusi Keadilan Bagi Perempuan Korban

  Perdagangan;Sulistyowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif , Jakarta: Yayasan Obor, 2008, hlm 60. Kesetaraan dan Keadilan kerja dengan upah murah. Didukung oleh kemajuan teknologi transportasi, proses migrasi dari satu negara ke negara lain semakin pesat.

  Sementara kebijakan di bidang ketenagakerjaan, keimigrasian, dan kependudukan yang diharapkan dapat menjadi kontrol untuk melindungi pekerja migran dan pencari kerja ternyata belum memberikan hasil yang maksimal, belum lagi oknum-oknum aparat yang menyalahgunakan kewenangannya. berbagai perbuatan melawan hukum seperti pemalsuan dokumen, mulai dari KTP, surat jalan sampai dengan paspor banyak terjadi.

  Di samping kemiskinan, kesenjangan tingkat kesejahteraan antar negara

  

  juga menyebabkan perdagangan orang. Negara-negara yang tercatat sebagai penerima para korban perdagangan orang dari Indonesia relatif lebih kaya dari indonesia seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Saudi Arabia. Ini karena mereka memiliki harapan akan lebih sejahtera jika bermigrasi ke negara lain.

  Kemiskinan bukan satu-satunya indikator kerentanan seseorang terhadap perdagangan orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan tidak terjadi korban perdagangan orang, akan tetapi ada penduduk yang relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Hal ini disebabkan mereka bermigrasi untuk mencari pekerjaan bukan semata karena tidak mempunyai uang, tetapi mereka ingin memperbaiki keadaan ekonomi serta menambah kekayaan materiil, kembali lagi dengan sifat manusia pada dasarnya yang tidak pernah puas akan apa yang telah dia miliki (matreralisme). Kenyataan ini didukung oleh media yang

88 Farhana, Op cit, hlm 51.

  menyajikan tontonan yang glamour dan konsumsif, sehingga membentuk gaya hidup yang materialisme dan konsumsif. Materialis adalah stereotip yang selalu ditujukan kepada mereka yang memiliki sifat menjadikan materi sebagai orientasi

   atau tujuan hidup.

  Dengan demikian, pengaruh kemiskinan dan kemakmuran dapat merupakan salah satu faktor terjadinya perdagangan orang. Oleh karena itu, kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam rangka meminimalisir angka kemiskinan dan dampaknya terhadap TPPO.

2. Faktor Sosial Budaya

  Dalam sisi manapun faktor sosial budaya sangatlah berdampak, baik dalam pembangunan perekonomian suatu negara, peningkatan sumber daya manusia (SDM), pemberlakuan supermasi hukum dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi dalam tindak pidana perdagangan orang. Faktor Sosial Budaya memberikan pengaruh atau peluang terjadinya TPPO, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karna itu penulis menguraikan dampak dari faktor sosial budaya dalam berbagai sudut pandang sebagai berikut : a.

  Ketidakadaan Keseteraan Gender Hal tersebut merupakan suatu cerminan nilai sosial budaya patriarki yang kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara walaupun pada era modren saat ini selalu diangkat

89 Dadang Hawari, Kekerasan Seksual (Stress pasca trauma), makalah disampaikan pada lokakarya kekerasan Seksual Pada Anak dan Remaja, Jakarta. 2011.

  kepermukaan tentang emansipasi wanita. Hal ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut, perempuan juga mempunyai peran beban ganda subordinasi, marjinalisasi, dan

  

  kekerasan terhadap perempuan yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki.

  Kenyataan lain adanya ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan terpojok dan terjebak pada persoalan perdagangan orang. Hal ini terjadi misalnya pada perempuan yang mengalami perkosaan dan biasanya sikap atau respon masyarakat umumnya tidak berpihak pada mereka. Perlakuan masyarakat itu yang mendorong perempuan yang

  

  memasuki dunia eksploitasi seksual komersial. Sebenarnya, keberadaan perempuan di dunia eksploitasi seksual komersial lebih banyak bukan karena kemauan sendiri, tetapi kondisi lingkungan sosial budaya dimana perempuan itu berasal sangat kuat mempengaruhi mereka terjun ke dunia eksploitasi sosial

  

terutama untuk dikirim ke kota-kota besar.

  90 Liza Hadiz, Ideologi Jender di Balik Defenisi Legal-Formal : Analisis Sosiologis Tehadap Defenisi Perrkosaan didalam hukum, hukum dan pembangunan No 1 Tahun XXIII Pebruari 1993, hlm 13.

  91 Hamim, Anis dan Agustinanto, Op cit, hlm 64.

  92 Terence H. Hull Endang S., Gavin W. Jones, Op cit, I, hlm 19.

  Dengan demikian, ketimpangan gender dalam masyarakat cukup tinggi. Dalam studi yang dilakukan Bappenas dan Unicef dinyatakan bahwa kemauan politis untuk mengimplementasikan isu-isu yang berkaitan dengan gender masih sangat lemah. Banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berbagai macam bentuknya merupakan isu yang sangat membutuhkan perhatian serius. Di samping itu, dengan masih berlangsung di dunia termasuk Indonesia bahwa pandangan laki-laki hanya melihat perempuan sebagai objek pemenuhan

  

  nafsu seksual laki-laki , semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan terhadap eksploitasi seksual oleh laki-laki.

  b.

  Kebiasaan terhadap peran anak dalam keluarga Sudah hal yang wajar bila mana kepatutan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang anak, namun yang sering terjadi kewajiban tersebut membuat anak- anak rentan terhadap perdagangan (trafficking). Dalam prateknya anak memenuhi kewajibannya dengan menjadi buruh atau pekerja anak, dengan cara mencari pekerjaan didalam negeri dan juga bermigrasi. Hal serupa juga terjadi akibat jeratan hutang sehingga dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.

  Praktek menyewakan tenaga anak atau anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya para korban. Anak yang ditempatkan sebagai buruh

93 Sulistyawati Manto, Perempuan dan Hukum, Nazaid Obor Indonesia. 2006, hlm 31.

  karena jeratan hutang, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang

   dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.

  c.

  Perkawinan Dini Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi. Mengawinkan anak dalam usia muda telah mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial, karena tingkat kegagalan pernikahan semacam ini sangat tinggi, sehingga terjadi perceraian dan rentan terhadap perdagangan orang. Setelah bercerai harus menghidupi diri sendiri

   walaupun mereka masih tergolong anak-anak.

  Pendidikan rendah karena setelah berhenti sekolah dan rendahnya keterampilan mengakibatkan tidak banyak pilihan yang tersedia dan segi mental, ekonomi dan sosial tidak siap untuk hidup mandiri, sehingga cendereng memasuki dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang paling potensial untuk mempertahankan hidup.Pernikahan dini seringkali mengakibatkan ketidaksiapan anak menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan untuk tidak mendapat perlindungan dan seringkali berakhir pula dengan masuknya anak ke dalam dunia eksploitasi seksual komersial.

94 Ibid, hlm 21.

   diakses pada hari minggu tgl 2 februari 2014 Jam 22:03 Wib. d.

  Kehancuran Keluarga Keluarga yang hancur (broken home) dan tidak memiliki fungsi serta tujuan keluarga sebagai mana mestinya merupakan salah satu penyebab tindak

  

  pidana perdagangan orang. Kekerasan dalam keluarga, kehancuran akibat perceraian, kesibukan dunia pekerjaan sehingga hanya menyisihkan waktu sedikit untuk keluarga merupakan hal yang mendorong maraknya keluarga diambang kehancuran. Ketiadaan fungsi keluarga sebagai lahan perhatian dan kasih sayang yang selayaknya didapatkan hilang begitu saja, akbitnya membuat anak ataupun anggota keluarga mencari perhatian dan kasih sayang tersebut diluar pagar keluarga, dimana menurutnya aman bagi dirinya dan dapat menghindar dari

   semua masalah yang dialaminya.

3. Faktor Pendidikan yang minim dan tingkat buta huruf tinggi

  Pendidikan merupakan hal yang penting diera modren saat ini, ketika kita tidak dapat bersaing dalam ilmu pengetahuan dan teknologi maka sudah sangat jelas kita akan ketinggalan dan perubahan akan kesejahteraan hidup sangatlah lambat. Kaitannya dalam perdagangan orang dimana dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan ekonomi dan mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan serta kepercayaan diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan

  

  kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika

   diakses pada hari Rabu, tanggal 2 februari 2014 minggu, jam 22:35 Wib.

  97 Kuntjoro, Op cit, hlm 13.

  98 Rachmad Syafaat, Op cit, hlm 16. mereka kesulitan saat berimigrasi ataupun mencari pekerjaan. Kesulitan mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur iklan. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian

  

(skill) dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka

bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

  Dampak lain yang ditimbulkan misalnya, seorang pekerja migran yang tidak dapat membaca atau buta huruf, dalam melakukan perjanjian kerja sering kali dibacakan secara lisan, dalam pembacaan tersebut berbeda dengan apa yang ada lama perjanjian kerja (contract) dimana secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang mereka tanda tangani mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh

   berbeda, bahkan sering kali mengarah ke eksploitasi.

4. Faktor Penegakan Hukum

  Hal yang ingin dicapai dalam penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau tatanan- tatanan sosial masyarakat kedalam aturan-aturan hukum yang ada atau aturan hukum yang telah terkodifikasikan, yang bersumber dari norma-norma dan tatanan-tatanan sosial mayarakat. Sehingga menciptakan rasa aman dan teratur dalam masyarakat. Dimana hal ini tidak terlepas dari fungsi dasar hukum pada

   diakses hari Minggu, tanggal 2 feb 2014, Jam 22:35 Wib. umumnya yaitu memberikan Keadilan, Kepastian Hukum, serta Kemanfaatan

   Hukum.

  Penegakan hukum terangkat kepermukaan akibat ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, tatanan-tatanan sosial dan pola perilaku masyarakat.

Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

3 59 100

Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

2 99 187

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)

3 130 108

Pemalsuan Dokumen Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan)

0 34 116

Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 43 146

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Tinjauan Yuridis Terhadap Perdagangan Anak Yang Masih Dalam Kandungan Dihubungkan Dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 2 3

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Kemampuan Bertanggung Jawab - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menuru

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27