Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Posion Paper Advokasi RU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdagangan orang atau istilah Human Trafficking 1 merupakan sebuah
kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat
internasional sebagai bentuk perbudakan modern dan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun
internasional.
Perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan
transportasi mempengaruhi semakin berkembangnya modus kejahatan perdagangan
orang yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar
hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) dengan cepat berkembang menjadi
sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan. 2

1

Human trafficking mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Awalnya pengertian
perdagangan manusia terutama perempuan dan anak, selalu dikaitkan secara eklusif dengan prostitusi,

dengan sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan pada aspek ini.
Namun kemudian perdagangan didefenisikan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan
anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri,
untuk semua bentuk perburuhan yang ekploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok
pernikahan, sehingga mempunyai defenisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan.
Lihat Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia,( Jakarta: ICMC&
ACILS,2003), hal 11.
2
http://www.humantrafficking.org/countries/indonesia, di akses pada tanggal 21 Februari
2012, pukul 13.59 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan
orang khususnya Perempuan dan Anak, 3 suplemen Konvensi PBB untuk Melawan
Organisasi Kejahatan Lintas Batas, Perdagangan orang didefenisikan sebagai
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang,
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk seseorang, dengan
ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,

atau memberi atau menerima bayaran atau mamfaat untuk memperoleh ijin dari orang
yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. 4 Eksploitasi
mencakup, paling tidak, eksploitasi pelacuran dari orang lain, atau bentuk lain dari
eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek
yang mirip dengan perbudakan, atau pengambilan organ tubuh. 5
Perdagangan orang saat ini telah meluas, baik dalam bentuk jaringan
kejahatan yang terorganisir, maupun tidak terorganisir, dengan lokus di dalam dan
luar negeri. Kegiatan ini mampu memberikan keuntungan finansial yang sangat
besar bagi pelakunya. Kejahatan perdagangan manusia sudah menjadi ancaman bagi
3

Protokol ini merupakan suplemen dari Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas
yang menguraikan banyak ketentuan untuk memerangi organisasi kriminal. Protokol tersebut
menyatakan bahwa perdagangan orang merupakan tindak kejahatan, membahas bantuan dan
perlindungan bagi orang yang diperdagangkan, pemberian status penduduk tetap atau sementara di
negara tujuan dalam kasus-kasus yang semestinya, dan langkah-langkah untuk mencegah dan
memberantas perdagangan orang serta melindungi korban agar jangan sampai menjadi korban lagi.
Lihat ICMC dan ACILS, Mendokumentasikan Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia
Manual Penelitian, (Jakarta :ICMC & ACILS ,2003), hal 3.
4

American Center for International Labor Solidarity, Kompilasi Program dan Layanan Untuk
Menyikapi Perdagangan Manusia di Enam Provinsi ( Yogyakarta:ICMC, 2004), hal 2.
5
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Bersfektif Kesetaraan
dan Keadilan, edisi pertama, ( Jakarta: NZAID,2006) , hal 288.

Universitas Sumatera Utara

masyarakat, bangsa dan negara, terjadi karena adanya berbagai faktor pendorong,
yaitu faktor kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, terjebak pola hidup serba instan
dan konsumtif dan juga tradisi kawin di usia dini bahkan bisa juga dalam kondisi
konflik bersenjata, dan bencana alam sampai ke persoalan lemahnya penegakan
hukum. Gejalanya bukan lagi hanya merupakan fenomena sosial biasa yang
diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan ketertinggalan di bidang pendidikan semata,
tapi sudah menjadi fenomena pelanggaran hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia sebagai akibat dari adanya praktek tindak kejahatan yang dilakukan baik
secara perorangan maupun jejaring sindikat dengan maksud mengeksploitasi korban
demi keuntungan pelaku dan jaringannya. 6
Permasalahan perdagangan orang sulit untuk diperkirakan besarnya. Bukan
hanya sifat dasarnya yang terselubung, tetapi juga karena ketidakseragaman dalam

metode pengumpulan data. 7 Berdasarkan data United Nations Emergency Children’s
Fund (UNICEF), angka global anak yang diperdagangkan tiap tahunnya ada sekitar
1,2 juta dan sekitar 2 juta anak di seluruh dunia dieksploitasi secara seksual tiap
tahunnya. 8 Industri perdagangan anak ini menangguk untung USD 12 milliar
pertahunnya (ILO).

6

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia,
Bahan pada Rapat Kerja Komite III DPD RI , ( Jakarta :18 Mei 2010), hal 7.
7
ICMC dan ACILS, Ketika Mereka Dijual Perdagangan Perempuan dan Anak di 15 Propinsi
di Indonesia, (Jakarta:USAID,2006), hal 21.
8
http://www.unicef.org/globalspanner/counterhumantrafficking/index.html, diakses pada
tanggal 21 Februari 2012, pukul 11.58 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan

anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional. 9
Laporan dari pemerintahan AS memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari para
korban yang diperdagangkan secara internasional diperjualbelikan untuk eksploitasi
seksual. Menurut PBB, perdagangan orang ini adalah sebuah perusahaan kriminal
terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak
tahunan menurut intelijen AS. Perdagangan orang juga merupakan salah satu
perusahaan kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan
pencucian uang (money laundring) perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan
penyeludupan manusia. 10
Perdagangan orang di Indonesia seringkali

digunakan untuk tujuan

eksploitasi seksual ( pelacuran dan paedophilia) dipakai serta bekerja pada tempattempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti buruh perkebunan, di jermal,
pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak,
buruh anak, pengemis jalanan, selain peran sebagai pelacur. Penelitian setempat
menunjukan bahwa korban diambil dari keluarga miskin dari pedesaan, masyarakat
yang patriarchal (sistem kemasyarakatan yang menentukan ayah sebagai kepala
keluarga) dengan status pendidikan yang rendah. Perempuan dan anak yang menjadi
buruh migran dan/ atau dari suku minoritas dan kelompok masyarakat pinggiran lain


9

http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/09/perdagangan-manusia-dalamruu-kuhp-5.pdf , diakses pada tanggal 20 Februari 2012, pukul 12.05 WIB.
10

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

mempunyai resiko yang lebih besar. Korban perdagangan orang pada umumnya
dialami oleh anak dan perempuan belia muda dan belum menikah, atau korban
perceraian serta mereka yang pernah bekerja di pusat kota atau luar negeri. Umumnya
sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. 11
Menurut laporan yang sama, internel trafficking (trafficking dalam negeri)
merupakan masalah yang signifikan juga di Indonesia. Banyak perempuan dan anak
perempuan dieksploitasi di dalam perbudakan domestik (sebagai pembantu rumah
tangga), eksploitasi seksual komersial, pertanian pedesaan, pertambangan, dan
perikanan. Korban awalnya direkrut dengan menawarkan pekerjaan di restoran,
pabrik, atau sebagai pekerja rumah tangga sebelum dipaksa menjadi pelacur.

Pariwisata seks anak merupakan sesuatu yang lazim di daerah perkotaan dan daerah
tujuan wisata, seperti pulau Bali dan Riau. Bahkan disinyalir ada trafficker yang
menjalin kemitraan dengan para pejabat sekolah untuk merekrut laki-laki dan
perempuan muda dalam program-program kejuruan untuk dipaksa menjadi tenaga
kerja di kapal nelayan melalui kerja sama magang yang menipu. 12
International Organitation of Migran (IOM) telah mencatat korban
perdagangan orang pada berbagai negara tetangga yang disinyalir negara-negara
tersebut menjadi tujuan perdagangan orang dari Indonesia. Sekitar 19 negara tetangga
yang menjadi tujuan perdagangan orang dari Indonesia sejak Maret 2005 s.d
September 2009 yang paling terbesar negara tujuananya adalah Malaysia dengan
11

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak,- Draft 4 , (Jakarta: 2002), hal 1.
12
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

total 2.689 orang dengan rincian anak laki-laki 87, anak perempuan 385, dan laki-laki

dewasa dewasa 197 dan perempuan dewasa 2.020 orang dengan jumlah persentase
75,94 % dan nomor dua terbesar sebagai negara tujuan adalah Saudi Arabia dengan
jumlah 63 orang dengan rincian anak perempuan 14 orang dan perempuan dewasa 49
orang. 13
Tahun 2009 jumlah perdagangan orang berdasarkan jenis kelamin dan umur
terhitung bulan Maret 2005 – September 2009 tercatat 856 anak- anak yang menjadi
korban dan 2,269 usia dewasa, mayoritas korban tersebut adalah perempuan dan
jumlah tersebut merupakan jumlah dari total korban yang ditangani IOM pada kurun
waktu tersebut. 14
Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan manusia
di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang melibatkan sebanyak 857
orang pelakunya. Korbannya orang dewasa sebanyak 1.570 orang (76,4%) dan 485
anak-anak (23,6%). Korban yang diperdagangkan, dieksploitasi secara seksual
maupun kerja paksa. Setiap tahunnya ada kenaikan 450.000 orang Indonesia yang
diperdagangkan dengan modus sebagai tenaga kerja ke luar negeri. Dari jumlah itu,
sekitar 46% terindikasi kuat menjadi korban. 15
Perdagangan orang yang diidentifikasi oleh polisi baru- baru ini adalah
perekrutan buruh migran Indonesia di Malaysia untuk umrah ke Mekah, setelah
13


Biro Pemberdayaan Perempuan Anak dan KB Provsu. Disadur penulis dari hasil analisis
yuridis implementasi Perda No 6 Tahun 2004. ( Medan : Biro PPA dan KB, 2011), hal 8.
14
Ibid.
15
Hasil pemaparan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak pada
paparan program prioritas Kesra 2011, di Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

sampai di Saudi mereka diperdagangkan ke titik lain di Timur Tengah. Tahun 2010
trafficker juga menggunakan internet terutama social networking seperti facebook
untuk merekrut korban, terutama anak-anak untuk perdagangan seks. Beberapa
perempuan asing dari daratan Cina, Thailand, Asia Tengah, dan Eropa Timur menjadi
korban perdagangan seks di Indonesia. 16
Melihat fenomena yang terjadi tersebut pemerintah Indonesia serta
masyarakat internasional pada umumnya telah berupaya membangun instrument guna
melawan kejahatan lintas negara terkait perdagangan perempuan dan anak didasari
pada pengakuan bahwa masalah ini telah menjadi ancaman serius yang memerlukan
kerjasama internasional untuk mengatasinya. Kasus perdagangan orang menjadi

kejahatan lintas negara yang terorganisasi karena tidak hanya terjadi di dalam negara
saja tetapi telah melintasi batas negara. 17
Pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan signifikan untuk memberantas
perdagangan orang dengan memperkenalkan aturan baru dan perbaikan kebijakan
dengan meningkatkan perhatian serta energi yang dibutuhkan untuk diberikan kepada
penggerak inisitatif anti perdagangan orang dimana pemerintah Indonesia telah
melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang selanjutnya disebut UU No 21 Tahun 2007 tentang
PTPPO, yang mengadopsi pendekatan komprehensif untuk mengatasi perdagangan

16

http://baltyra.com/2011/03/01/human-trafficking-di-indonesia/, diakses pada tanggal 12
Maret 2012, pukul 12.04 WIB.
17
AdaVerlaren, The United Nations Children's Fund (UNICEF), Global Organization,
(Jakarta: UNICEF), hal 3.

Universitas Sumatera Utara


manusia. Pemerintah juga telah menetapkan kementerian koordinator kesejahteraan
rakyat yang melegalkan rencana nasional untuk pemberantasan perdagangan manusia
dan eksploitasi seksual anak pada tahun 2009-2014, menambah aturan dalam negeri
serta merencanakan aksi yang telah dikembangkan dan di adopsi oleh provinsi dan
daerah di Indonesia untuk mengatasi eksploitasi seksual dan perdagangan anak
melalui tim gugus tugas yang dibentuk untuk mengimplementasikan programprogram untuk pemberantasan perdagangan manusia dan eksploitasi seksual pada
anak. 18
Lahirnya UU No 21 tentang PTPPO disambut gembira oleh masyarakat di
Indonesia dan komunitas Internasional yang peduli masalah perdagangan orang.
Lahirnya undang-undang ini diharapkan akan menjadi payung hukum dalam
memberikan penanganan dan perlindungan terhadap korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang selanjutnya disebut TPPO.
UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, membawa harapan baru dan
tantangan khususnya bagi para aparatur hukum untuk kembali memperhatikan dan
mempelajari unsur-unsur dan sistem perlindungan hukum dalam TPPO. 19
Hal ini disebabkan tindak pidana selalu menitik beratkan pada pelaku
kejahatan/ pelaku tindak pidana, sedangkan korban kejahatan seakan terlupakan
bahkan kurang mendapatkan tempat. Kadangkala korban menjadi korban kedua

18

http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indone
sia.pdf di akses pada tanggal 14 Maret 2012, pukul 15.17 WIB.
19
http://litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang/207-naskah-akademis-traffickingperdagangan-manusia.html,di akses pada tanggal 22 Februari 2012, pukul 18.35 WIB.

Universitas Sumatera Utara

kalinya setelah kejadian itu, korban mengalami penderitaan misalnya fisik, fisikis,
seksual, ekonomis, sosial. Selain itu korban mendapatkan stigma buruk di keluarga
dan masyarakat serta mengalami trauma seumur hidup , beban mental atas kejadian
tindak pidana yang terjadi pada dirinya tanpa adanya ganti kerugian baik materil
maupun immaterial.
UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO

telah memberikan jaminan

pemenuhan hak bagi korban TPPO diantaranya :
1. Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan
keluarganya sampai derajat kedua. (Pasal 44)
2. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri,
jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47)
3. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48)
4. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan
dan reintegrasi sosial dari pemerintah (Pasal 51)
5. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke
Indonesia atas biaya negara (Pasal 54).
Pemenuhan hak atas korban yang diatur dalam UU PTPPO tersebut diatas
memberikan kontribusi pada perlindungan hak atas korban bahwa hak-hak korban
penting dalam proses pemidanaan dan bukan menghukum pelaku saja. Orang yang
menjadi korban TPPO sebagaimana yang tercantum pada pasal 48 ayat 1 UU No 21
Tahun 2007 memiliki hak untuk mendapatkan restitusi. Kenyataan di lapangan jarang
sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang korban TPPO untuk menerima restitusi.

Universitas Sumatera Utara

Restitusi yang dimaksudkan adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan
atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan
orang. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan tentang perkara TPPO. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang
dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap atas kerugian materil dan atau immaterial yang diderita korban atau ahli
warisnya.
Sebelum terbitnya UU PTPPO, ganti rugi immaterial kurang mendapat
perhatian. Selama ini korban TPPO tidak saja menanggung sendiri kerugian materil
yang dapat dihitung berdasarkan bukti-bukti dengan kasat mata, tapi juga kerugian
immaterial. Penderitaan batin korban tidak berhenti pada saat pelaku selesai
melakukan tindak pidananya, karena korban akan terus merasakan penderitaan lahir
dan batin seumur hidupnya.
Undang-undang ini lahir untuk melindungi hak korban atas penderitaan dan
kerugian baik materil dan/ atau immaterial sebagai akibat perbuatan yang dilakukan
pelaku. Perlindungan ini diberikan pelaku kepada korban dalam bentuk restitusi
sebagai ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban dalam bentuk uang untuk
pemulihan korban guna mengurangi penderitaannya .
Peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui bahwa korban dan atau
ahli waris dapat memperoleh restitusi, hak korban dan atau ahli warisnya tersebut
tidak dapat dinikmati dengan serta merta. Ada banyak tahapan yang harus dilalui

Universitas Sumatera Utara

sebelum mereka mendapatkan haknya mekanisme pengadilan salah satunya dimana
pengadilan baru dapat memberikan ganti rugi bila pelaku sudah dinyatakan bersalah
dan dijatuhi pidana. Bagi seorang pelaku TPPO setelah perkaranya diadili dan
mendapatkan pidana sesuai dengan perbuatannya kemudian dijalaninya, akan tetapi
lain dengan korban TPPO selain ia harus mengalami trauma atau beban mental ia
tidak mungkin bisa kembali seperti sedia kala karena beban mental dan trauma yang
dia alami juga aib bagi diri korban dan keluarganya.
Setiap terjadinya kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan
kerugian, korban harus menanggung kerugian baik materil dan immaterial. Sayang
sekali sampai dengan saat ini korban TPPO sering kali

terabaikan hak-haknya

khususnya dalam memperoleh restitusi. Restitusi sebenarnya bukanlah hal yang baru,
sebelum UU PTPPO lahir sudah ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur
pemberian ganti kerugian misalnya pada KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana), KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), KUH Perdata dan
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian
melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi
dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat dan UU Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban namun tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
Ketiadaan peraturan dan prosedur yang jelas bagi korban TPPO untuk
memperoleh hak-haknya serta tidak adanya metode penghitungan kerugian selama ini

Universitas Sumatera Utara

dianggap menjadi kelemahan sehingga hak-hak atas restitusi bagi korban selama ini
tidak berjalan dengan baik.
Lima tahun sudah UU PTPPO lahir di Indonesia peran penegak hukum dalam
upaya pengajuan permohonan restitusi bersama perkara pidana di Indonesia belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hakim Agung Rehngena Purba mengakui
memang tidak banyak vonis tindak pidana perdagangan orang yang mencantumkan
ganti rugi kepada korbannya. Hal ini disebabkan penyidik kepolisian atau jaksa
penuntut umum alpa memasukkan aspek restitusi atau ganti rugi ke dalam berkas
acara pemeriksaan dan tuntutan. 20
Tidak diberikannya hak-hak korban secara tegas telah dinyatakan dalam
peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan korban bahwa
hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam
proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini menunjukkan, bukan
saja dapat dikatakan bahwa negara gagal mewujudkan sistem kesejahteraan dari
warga negaranya yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan, karena hak korban
akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi bidang
kesejahteraan/jaminan sosial.
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan penulis baru ada beberapa
putusan di Indonesia yang memberikan restitusi terhadap korban TPPO. Salah satu
wilayah propinsi di Indonesia yang mengadili dan menetapkan terdakwa membayar

20

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4de03de674c65/vonis-human-traffickingseringkali-tanpa-restitusi, diakses pada tanggal 14 Maret 2012, pukul 11.48 WIB.

Universitas Sumatera Utara

restitusi kepada korban TPPO pertama sekali yaitu Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Lampung yang sudah berkekuatan hukum yaitu putusan No: 1633/
Pid/ B/ 2008/ PN TK, hasil putusannya memerintahkan terpidana untuk membayar
restitusi kepada korban. 21 Apa yang dilakukan ini merupakan suatu terobosan yang
positif dalam hal penegakan hukum dan pemberian keadilan bagi korban
sebagaimana yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007, pasal 48 sampai 50 tentang
PTPPO. 22
Bertitik tolak dari uraian dan permasalahan tersebut di atas, penulis akan
menggali, mengkaji, kemudian akan mengadakan penelitian untuk mendapatkan
informasi, data dan kesimpulan mengenai implementasi pelaksanaan hak restitusi
bagi korban TPPO, guna memperoleh gambaran apakah peraturan hukum yang ada
sudah baik bila tidak mampukah menampung kekosongan hukum atau permasalahan
hukum yang ada sehingga pelaksanaan hak restitusi dapat terlaksana sesuai dengan
apa yang diharapkan. Kajian yang dilakukan penulis ini dimaksudkan

guna

memberikan masukan dalam pemenuhan hak atas korban TPPO agar dapat terjamin
pelaksanaannya dengan mengambil judul “ PELAKSANAAN HAK RESTITUSI
TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

21

Ahmad Sofian, Direktur Eksekutif PKPA,Wawancara tanggal 27 Februari 2012, pukul

17,15 WIB.
22

Dari hasil wawancara penulis dengan Ana Sakreti staff International Organitation of
Migran (IOM) Jakarta ,pada tanggal 28 Februari 2012, pukul 17.40 WIB. Sementara hasil lokakarya
yang diikuti penulis di Banda Aceh pada tanggal 17 sampai 19 September 2012 diperoleh informasi
dari Kejaksaan Agung RI bahwa sudah ada 8 kasus di Mahkamah Agung putusanannya memberian
restitusi terhadap korban TPPO dan di Jakarta ada 6 kasus namun masih banyak menemukan hambatan
dan kendala dalam penerapannya.

Universitas Sumatera Utara

BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

B.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukaan di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan konsep hak restitusi terhadap korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang ?
2. Bagaimana penerapan konsep hak restitusi atas korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Konsisten dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan konsep hak restitusi
terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia .
2. Untuk mengetahui penerapan konsep dalam pelaksanaan hak restitusi korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari apa
yang telah dirumuskan dalam tujuan peneltian. Penulis mengharapkan dengan adanya
penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca secara langsung
maupun tidak langsung. Penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi perkembangan
individu atau objek dari penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dalam
melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir
melalui penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan,
wawasan khususnya yang berkaitan dengan penelitian di bidang hukum
dengan menerapkan pengetahuan dan pengalaman praktis yang diperoleh
selama ini.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi individu
maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan khususnya aparat penegak
hukum, pemerintah, pemerhati masalah perdagangan orang , serta masyarakat
dalam pemenuhan hak korban khususnya dalam pemberian restitusi berupa
ganti kerugian kepada korban TPPO.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi, pemeriksaan dan penelusuran yang telah dilakukan
terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan
penelitian mengenai: “Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana

Universitas Sumatera Utara

Perdagangan Orang Berdasarkan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang belum pernah dilakukan dalam topik dan
permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “ asli” sesuai dengan asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data dan juga pemeriksaan terhadap
hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas. Dari hasil observasi yang
telah dilakukan, ada beberapa penelitian yang memiliki topik yang sama, namun
dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi penelitian ini,
yakni:
1. G. Rosmaida Feriana/ 087005067, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Tesis tentang “ Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( Trafficking)”
2. Bambang Samosir / 107005018, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Tesis tentang “ Penegakan Hukum Pidana terhadap
Tindak Pidana Perdagangan Orang Setelah Keluarnya UU No 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di
Pengadilan Negeri Medan)”
Tesis ini memfokuskan pada hak restitusi bagi korban TPPO yang pembahasan dan
permasalahan yang dilakukan jauh berbeda dari apa yang telah dilakukan peneliti
sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Konsepsi.
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi. 23 Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang
menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui
yang merupakan masukan bersifat eksternal dalam penelitian ini. 24
Teori yang digunakan dalam menganalisa permasalahan pelaksanaan hak
restitusi dalam penanganan TPPO adalah kerangka teori keadilan, teori legal system
dan teori tanggung jawab negara.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum
tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini
seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka
umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 25
Teori Keadilan menurut John Stuar Mill dalam bukunya Utilitarianism
“Keadilan bukan hanya berisi apa yang benar untuk dilakukan atau tidak benar untuk

23

Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1991), hal 254.
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV.Mandar Maju,1994), hal 80.
25
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004) , hal 239.
24

Universitas Sumatera Utara

dilakukan, namun juga sesuatu yang memperbolehkan orang lain mengklaim dari kita
sesuatu sebagai hak moralnya. 26 Apa yang membedakan keadilan adalah konsep
mengenai hak atau klaim itu sendiri. Menurut Mill,”sentiment keadilan” adalah”
hasrat hewani untuk menolak atau membalas sebuah rasa sakit atau kerusakan: yang
menimpa dirinya atau orang lain. 27
Teori keadilan menurut Mill ini menurut penulis dapat dikaitkan dengan teori
ganti kerugian sebagai perwujudan tanggung jawab pelaku karena kesalahan yang
dilakukan pelaku untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya
atas tindak kejahatan yang telah dilakukan.
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, juga berpandangan
bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagian didalamnya. 28
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai
keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir
nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian
diperuntukan tiap individu.
Dua hal konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang
keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan
26

Mill,Utilitarianism dalam Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, (Bandung: Nusa
Media,1986), hal 21.
27
Ibid.
28
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
(Bandung: Nusa Media,2011),hal 7.

Universitas Sumatera Utara

dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingankepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan.
Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan
yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang
lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi
semua kepentingan. 29
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu
yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian
“Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benarbenar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika
diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.
Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa
Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai
payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya
sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap
materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut. 30
Jeremy Bentham adalah pencetus teori Utilitis teori ini menitikberatkan pada
kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian
perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan
kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep
29

Ibid, hal 16.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
30

Universitas Sumatera Utara

tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi bagi sistem penegakan hukum
pidana secara keseluruhan.
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan
hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk
direalisasikan. Peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal
tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius. 31
UUD 1945 menjamin masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan
kepastian hukum berdasarkan pasal 28 D ayat (1) “ Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”.
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita
dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang
diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan, akibatnya pada saat pelaku
kejahatan telah dijatuhkan sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan
seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan
hak asasi manusia tidak hanya berlaku pada pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban
kejahatan. 32
Penyelesaian perkara pidana, banyak ditemui korban kejahatan kurang
memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya
materil maupun immaterial, sebagaimana Geis berpendapat:” to much attention has
31

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom , Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal 24.
32
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims”. Korban kejahatan
ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu hanya sebagai
saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasan dalam
memperjuangkan hak atas keadilan adalah kecil. 33
Lawrence M.Friedman, dalam bukunya yang berjudul “ The Legal System A
Social Sciense Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas
perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum
atau budaya hukum. Sistem hukum harus memuat Substantive Law, Legal Structure,
dan Legal Culture. Tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum di
masyarakat, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya
hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,
lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan. 34
Struktur hukum (legal struktur) merupakan kerangka berfikir yang
memberikan defenisi dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada dengan batasan
yang telah ditentukan, jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang
menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang ada didalamnya. 35
Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola
perilaku manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum ( legal
33

Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Persfektif Viktimologi dan Hukum
Pidana Islam ( Jakarta:Ghalia Press, Juli 2004) ,hal 47.
34
Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi, Disampaikan pada” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi
Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi USU, 17 April
2004), hal 21.
35
Lawrence M. Friedman, The legal System: A Social Science Perspective, (New York:
Russel Sage Fourdation, 1975), hal 12.

Universitas Sumatera Utara

Substance) berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, baik berupa keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru
mau disusun. Substansi hukum ( legal substance) tidak hanya pada hukum yang
tertulis ( law in the book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat
( the living law). 36
Budaya hukum ( legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum. Sikap masyarakat ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide serta
harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. 37 Budaya hukum juga
merupakan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dilaksanakan,
dihindari atau bahkan bagaimana hukum disalahgunakan. Budaya hukum ( legal
culture) mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum. Tanpa budaya hukum
(legal culture) maka sistem hukum (legal system) akan kehilangan kekuatannya,
seperti ikan mati yang terdampar di keranjangnya, bukan ikan hidup yang berenang di
lautan. 38
Ketiga unsur sistem hukum tersebut berhubungan satu sama lain, dan
mempunyai peranan yang tidak dapat dipisahkan satu persatu. Ketiga unsur ini
merupakan satu kesatuan yang menggerakkan sistem hukum yang ada agar berjalan
dengan lancar. Sebagai perumpamaan, struktur hukum ( Legal struktur) merupakan
mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum ( legal substance) merupakan

36

Lawrence M, Friedman dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, ( Bandung:
PT Rafika Aditama, 2009), hal 14.
37
Ibid.
38
Ibid, hal 7.

Universitas Sumatera Utara

orang yang memutuskan untuk menjalankam mesin serta membatasi penggunaan
mesin. Apabila satu dari ke tiga unsur sistem hukum ini tidak berfungsi,
menyebabkan sub sistem lainnya terganggu. 39
Suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian
yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu
kewajiban. Baik yang lahir dari suatu perjanjian maupun sumber hukum lainnya.
Secara umum unsur tanggung jawab negara adalah adanya perbuatan atau kelalaian
yang dipertautkan kepada suatu negara dan perbuatan atau kelalain itu merupakan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban. Hingga akhir abad ke- 20 masih dipegang
pendapat bahwa untuk lahirnya tanggung jawab negara tidak cukup dengan adanya
dua unsur di atas melainkan harus ada unsur kerusakan atau kerugian ( damage or
loss) pada pihak atau negara lain. 40
Teori pertanggungjawaban negara pada dasarnya ada dua macam yaitu
pertama teori resiko ( Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung
jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif
(objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas
setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan ( Harmful
effects of untra- hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan
yang sah menurut hukum. Kedua teori kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan
prinsip tanggung jawab subjektif ( Subjective responsibility) atau tanggung jawab atas
39

Ibid.

40

http://www.google.co.id. Makalah Seri Kuliah Hukum Internasional Tanggung Jawab
Negara, di akses pada tanggal 17 Februari 2012, pukul 14.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

dasar kesalahan ( liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas
perbuatannya baru dapat dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan
pada perbuatan itu. 41
TPPO merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan masuk dalam kategori
pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
merupakan bentuk kejahatan yang masuk kategori transnational organized crime,
unsur utama dari transnational crime selain adanya kegiatan melintasi batas negara,
kegiatan tersebut dilakukan oleh kelompok yang terorganisir. Menurut Hukum
Internasional kewajiban bagi negara untuk memberikan pemulihan terhadap korban
yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk pengakuan atas pelanggaran hak korban,
kehilangan penderitaan yang dialami dan menjadi tanggung jawab negara baik
berbentuk materi maupun non materi. 42
Teori tanggung jawab juga dilakukan setiap subjek hukum orang maupun
kelompok atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita
kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian
yang ditimbulkannya.

41

Ibid, hal 2.
ICW,IJCR,Koalisi Perlindungan Saksi, Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Prosudur Pemberian Kompensasi dan restitusi serta bantuan bagi saksi dan
korban, ( Jakarta: The Asia Foundation, 2007), hal 11.
42

Universitas Sumatera Utara

2. Konsepsi
Konsepsi merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
konsep yang digunakan penulis. Konsep bisa juga diartikan sebagai” salah satu
bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk
menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. 43
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertianpengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
konseptional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-defenisi
operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep
merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. 44
Penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional
diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan yaitu:
Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Berdasarkan UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
a. Pelaksanaan adalah: Proses, cara, perbuatan melaksanakan ( rancangan,
keputusan , dan sebagainya). 45
Berdasarkan pengertian diatas yang dimaksud penulis dengan pelaksanaan
adalah tindakan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yaitu Polisi,
43

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta:LP3ES,1989),

hal 34.
44

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997), hal 24.
45
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta, Balai Pustaka,
2001), hal 627.

Universitas Sumatera Utara

Jaksa dan Hakim dalam upaya pemberian restitusi yang wajib diberikan
pelaku kepada korban TPPO , dengan kata lain bagaimana Aparat Penegak
Hukum dapat menerapkan aturan yang ada sebagaimana yang diatur dalam
pasal 48 sampai 50 UU No 21 tahun 2007 dalam peristiwa hukum yang
konkrit.
b. Hak adalah: sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undangundang. 46
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika memaparkan bahwa dalam
pemikiran Romawi Kuno, hak berasal dari kata latin yaitu ius-iurus , yang
menunjukkan hukum dalam arti objektif. Artinya adalah hak dilihat sebagai
keseluruhan undang-undang, aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang
mengatur kehidupan masyarakat demi kepentingan umum (hukum dalam arti
Law, bukan right). Sementara John Locke mendefinisikan hak sebagai hak
asasi yang melekat secara kodrati pada setiap manusia. 47
c. Restitusi adalah: ganti kerugian atas kehilangan kekayaaan atau penghasilan,
penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis

46

Ibid, hal 382.
http://wiki.bestlagu.com/news/166020-pengertian-hak-menurut-para-ahli.html, di akses
pada tanggal 22 Maret 2012, pukul 23.50 WIB.
47

Universitas Sumatera Utara

dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan
orang. 48
Restitusi juga didefenisikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 49
Menurut UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO Restitusi adalah: pembayaran
ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau
immaterial yang di derita korban atau ahli warisnya.
d. Korban adalah: orang yang menderita, luka, atau mati karena suatu kejadian
atau peristiwa, perbuatan jahat. 50
Arief Gosita memberi pengertian korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi yang menderita. 51
Mereka yang dimaksud oleh Arif Gosita adalah:
1. Korban orang perorangan atau korban individual ( Viktimisasi Primair).
48

Pasal 48 ayat 2 UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
49
Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
terhadap korban pelanggaran HAM yang berat.
50
Departemen Pendidikan Nasional, Op,Cit, hal 595.
51
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, ( Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hal 90.

Universitas Sumatera Utara

2. Korban yang bukan perorangan, misalnya, suatu badan,organisasi,
lembaga.

Pihak

korban

adalah

impersonal,

komersial,

kolektif

(Viktimisasi sekunder) adalah keterlibatan umum, keserasian sosial dan
pelaksanaan perintah, misalnya pada pelanggaran peraturan dan
ketentuan-ketentuan negara (viktimisasi tersier). 52
Korban juga didefenisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi
Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan sebagai berikut: Orang yang secara individual maupun kelompok
telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan
emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak
dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian ( by
omission). 53
Pengertian di atas tampak bahwa istilah korban tidak hanya mengacu kepada
perseorangan saja melainkan mencakup juga kelompok dan masyarakat.
Pengertian di atas juga merangkum hampir semua jenis penderitaan yang
diderita oleh korban, penderitaan di sini tidak hanya terbatas pada kerugian
ekonomi, cedera fisik maupun mental juga mencakup pula derita-derita yang
dialami secara emosional oleh para korban, seperti mengalami trauma.

52
53

Ibid, hal 140.
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, ( Jakarta:ESLAM,2002), hal xiii.

Universitas Sumatera Utara

Mengenai penyebabnya ditunjukkan bukan hanya terbatas pada perbuatan
yang sengaja dilakukan tetapi juga meliputi kelalaian. 54
UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO mendefenisikan korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,
ekonomi, dan/ atau sosial, yang diakibatkan TPPO.
e. Pelaku adalah: orang perseorangan atau korporasi yang melakukan TPPO. 55
Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi
kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan
bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya
dalam kegiatan perdagangan orang (Rosenberg, 2003) 56:
1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di
daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP
dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di
penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda
atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.
2. Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga,
teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam
perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan
dokumen.
3. Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan
dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi
penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.
4. Majikan adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam
kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja,
melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja,
atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

54
55

Ibid , hal xiv.
Pasal 1 ayat 4 UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang.
56

http://www.scribd.com/doc/29432338/PNACU645, di akses pada tanggal 3 Maret 2012
pada pukul , 09.11 WIB.

Universitas Sumatera Utara

5. Pemilik atau pengelola rumah bordil, dapat dianggap melanggar hukum
terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya,
menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya
bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan
anak (di bawah 18 tahun).
6. Calo pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya
telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa
perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan
tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
7. Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara
sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo
kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya, atau jika mereka
menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima
oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan
layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya
dalam libatan utang.
f.

Tindak Pidana adalah
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit. Beberapa definisi strafbaarfeit menurut ahli-ahli
hukum di Indonesia, yaitu :
a. Wiryono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku
itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. 57
b. E. Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu
perbuatan handelen, atau doen-positif atau suatu melalaikan nalatennegatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan
atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum
57

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan Ke-III,
(Bandung: PT Eresco, 1980), hal 1.

Universitas Sumatera Utara

(rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang
diatur oleh hukum. 58
Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 59
1. Harus merupakan suatu perbuatan manusia;
2. Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh
undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya;
3. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung
jawab artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan
tersebut.
g. Perdagangan

Orang

adalah:

Tindakan

perekrutan,

pengangkutan,

penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan, kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan, kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 60

58

Utrecht, Rangkaian Kuliah Hukum Pidana I, ( Surabaya: Pustaka Mas), 2000, hal 251.
Satochid.K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.
60
Pasal 1 ayat 1 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

59

Orang.

Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah yuridis
normatif, dengan sifat penelitian adalah preskriptis analitis . Yuridis normatif, yang
diartikan sebagai penelitian mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. 61 Menurut Ronald Dworkin,
penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (Doctrinal
Research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik sebagaimana yang
tertulis di dalam Kitab Undang Undang (Law As It Written In Book), maupun h

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

0 0 1

Penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orangdengan eksploitasi anak dibawah umur dengan undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

0 0 1

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 14

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 3

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 1 59

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Chapter III IV

0 0 31

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 7

IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2007) (Jurnal)

0 0 15

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

0 0 40

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG(Kajian Putusan No.1554Pid.B2012PN.Mdn) SKRIPSI

0 0 11