Konteks Sosial Dalam Teks Piagam Madinah (Analisis Linguistik Sistemik Fungsional)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terhadap PM ini sudah banyak dilakukan sebelumnya karena
PM ini dicermati sebagai bagian dari objek kajian politik, mengingat secara umum
teks PM ini berkaitan dengan isu politik untuk menghilangkan tabir tirani antara
kaum minoritas dan mayoritas sebagai upaya penyetaraan etnis yang berbeda
dalam masyarakat yang pluralistik di Madinah kala itu. Selain itu, PM juga
banyak diteliti karena dianggap sebagai landasan kehidupan plural dalam
masyarakat yang beragama.
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
1.

Baroroh (2013) dalam penelitiannya berjudul “Nilai Perdamaian Piagam
Madinah dalam Kerjasama antar iman sebagai Konsep Resolusi Konflik” Penelitian ini

bertujuan untuk menyumbangkan model resolusi konflik dalam pasal-pasal
PM.

Penelitian ini menggunakan dua metode penelitian yaitu disipline


configurative study dan heuristic configurative study. Disipline configurative
study digunakan untuk menginterpretasikan pasal berdasarkan teori yang
bertumpu pada general hipotesis dan menyimpulkan hipotesis tersebut
berdasarkan teori yang ada serta menguji dan menggunakan teori tersebut.
Sedangkan, heuristic configurative study yang menggunakan istilah serving to
find out mencoba menemukan atau membentuk sebuah teori baru dalam hal
resolusi konflik khususnya dalam intra state war dengan mengambil datadata dari studi kepustakaan. Baroroh menemukan bahwa model penyelesain

Universitas Sumatera Utara

konflik yang merujuk pada PM ini dipandang sejalan dengan konsep
perdamaian modern. Selain itu, ditemukan bahwa pertikaian yang terjadi pada
kelompok yang ada pada masyarakat plural tersebut diselesaikan dengan
membangun sistem kepercayaan yang saling menguntungkan semua pihak
yang bersifat negosiasi.
Temuan penelitian Baroroh di atas yang berdasar pada konsep perdamaian di
masa Rasulullah SAW memberikan masukan pada peneliti dalam konteks
ideologi yang menganut paham perdamaian dalam penyelesaian konflik
diantara kelompok atau suku dengan meletakkan fondasi toleransi dalam

kehidupan bermasyarakat, beragama, dan berbangsa seperti yang tertulis
dalam PM.
2. Ghofir (2012) dalam penelitian tesisnya berjudul “Piagam Madinah: Studi terhadap
Nilai Tolemasi dalam Dakwah Nabi Muhammad SAW” melakukan identifikasi secara

sistimatis baik pada penemuan, analisis, dan dokumen yang dijadikan sebagai
informasi. Penelitian ini menggunakan teori Challenge and Response yang
meletakkan kerangka pemikiran pada suatu prinsip bahwasanya lahirnya
suatu kultur merupakan kecenderungan dari masyarakat itu sendiri dan
sebagai sarana kebudayaan yang akan menjadi jawaban dalam persoalan dan
tantangan yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan metode pemikiran Karl
Jaspers yang menyatakan bahwa suatu pristiwa sejarah harus ditentukan oleh
man, time, and place. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan historis dengan melakukan pengumpulan data masa lalu dan
mencari generalisasi yang bermanfaat dalam memahami kenyataan sejarah
dan kondisi saat ini. Temuan penelitiannya menunjukkan bahwa dakwah

Universitas Sumatera Utara

yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Madinah dilakukan dengan

mengedepankan nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan dengan melihat adanya
perbedaan keberagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan. Nilai-nilai tersebut
tertuang dalam PM yang dijadikan sebagai objek kajian penelitian untuk
menciptakan masyarakat damai, tenteram, dan nyaman dalam kebinekaan.
Penelitian ini memberikan masukan bagi peneliti tentang konteks situasi yang
merujuk pada suatu peristiwa sejarah yang harus ditentukan oleh man, time,
dan place.
3. Hafni (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Piagam Madinah dari Perspektif
Budaya” bertujuan untuk mengetahui latar belakang lahirnya PM dan untuk

mengetahui peran PM terhadap masyarakat Madinah ditinjau dari perspektif
kebudayaan. Dalam menganalisis piagam tersebut, Hafni menggunakan teori
yang dikemukakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana tentang kebudayaan yang
menjelaskan PM dalam perspektif budaya. Dari hasil penelitian ini Hafni
menyimpulkan bahwa PM merupakan sebuah perjanjian yang diinisasi oleh
Muhammad SAW ketika melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah yang
bertujuan untuk membangun hubungan harmonis antara Muhajirin, Ansar,
dan Yahudi yang merupakan komunitas yang tinggal di Madinah ketika itu.
Selain itu, prinsip PM dari perspektif budaya mampu mewujudkan keamanan
dan ketertiban, kebebasan beragama dan penerapan sanksi bagi yang

melakukan pelanggaran terhadap PM tersebut.
Hafni dalam temuan penelitiannya ini memberikan sumbangan pemikiran
tentang PM dalam perspektif budaya, sedangkan penelitian ini memberikan
sumbangan pemikiran tentang PM dalam konteks budaya melalui teori

Universitas Sumatera Utara

Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).
Romdhoni (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Semiotik terhadap
Teks Piagam Madinah” bertujuan untuk mengetahui kandungan atau isi teks

Piagam Madinah dengan menggunakan pendekatan semiotik. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Charles Morris (1901-1979).
Analisis semiotik memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi sintaksis (syntactic),
semantis (semantics), dan pragmatis (pragmatics). Romdhoni menemukan
bahwa pada level sintaksis PM terdiri atas tanda yang merupakan adat-budaya
yang beragam, sedangkan pada level semantis PM ini mengandung aturan
main (code of conduct) yang merupakan praktek yang ada di dalam masyarakat
Madinah. Demikian juga pada level pragmatis, PM ini memiliki nilai dan efek
pada teks yang merupakan sebuah peraturan yang mengatur semua

kepentingan masyarakat yang ada di dalamnya.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah peneliti
melakukan kajian teks PM melalui teori LSF yakni bahasa sebagai sistem arti
dan sistem bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan konteks situasi, konteks
budaya, konteks ideologi, dan realiasai fungsi eksperiensial dalam teks PM.
2.2 LandasanTeori
Sebagaimana yang dikemukakan pada latar belakang sebelumnya bahwa
penelitian ini berkaitan dengan wacana teks PM, maka tentu saja konsep yang
diajukan juga mengikuti arah pembahasan mengenai isi dari teks yang terdapat di
dalam teks PM yang terdiri dari 47 pasal dengan menggunakan teori LSF yang
dikemukakan oleh Halliday (1985, 1994), Saragih (2006), dan Sinar (2008) yang
telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Secara historis, teori LSF dikembangkan oleh Halliday, Matteisen (2001),
dan Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris. Perkembangan yang sangat
pesat terjadi di University of Sydney Australia sejak dibukanya Departemen Linguistik
pada tahun 1976.
Teori LSF ini mengacu pada 1) teks; 2) triologi konteks situasi (medan

wacana, pelibat wacana dan modus wacana); 3) register; 4) kode; 5) sistem lingual
yang mencakup ideasional, interpersonal, dan tekstual dan; 6) struktur sosial.
Teori LSF mempunyai tiga keunggulan, yaitu:
1. Objek kajian dilakukan pada teks atau wacana sebagai unit pemakaian bahasa;
2. Keberpijakan pada konteks sosial dalam mengkaji teks;
3. Keseimbangan kajian bentuk dan arti bahasa yang penekanan kajian kepada

unsur bentuk atau arti ini telah menjadi masalah dan pertentangan dalam
perkembangan linguistik.
Sinar (2003:14) mengatakan bahwa Teori Linguistik mempunyai dua
implikasi. Pertama, analisis wacana harus menggunakan teori yang memiliki
kerangka penelitian dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip
teori LSF. Kedua, investigasi fenomena analisis wacana mengisyaratkan
pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik, tematis,
dan antar disiplin.
Selanjutnya, Sinar (2003:15) berpendapat bahwa istilah ‟sistemik‟ pada
LSF berimplikasi kepada tiga hal. Ketiga hal tersebut memberi isyarat bahwa
analisis bahasa untuk memperhatikan hubungan sistem dalam berbagai
kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari fitur
umum ke spesifik yang vertikal atau paradigmatik.Di samping itu, fenomena yang


Universitas Sumatera Utara

diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem tersebut mendasari
analisis bahasa, baik yang berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di
sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi. Sedangkan
istilah „fungsional‟ juga mengimplikasikan tiga hal. Ketiga hal tersebut
menekankan bahwa analisis wacana memberi perhatian pada realisasi fungsional
sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola yang secara struktur bersifat
horizontal dan sintagmatis. Perhatian juga difokuskan pada fungsi-fungsi atau
makna-makna yang terdapat pada bahasa tersebut dan fungsi-fungsi atau maknamakna yang beroperasi di dalam tingkat dan dimensi yang bervariasi dalam
bahasa yang bersangkutan.
Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga
pengertian yang saling berhubungan. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat
bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.
Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa.
Haliiday dan Hasan (1976:1) mengatakan bahwa teks adalah unit dari penggunaan
bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks. Jadi
dengan pengertian pertama ini, teks berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan
tujuannya.

2.3 Realisasi Fungsi Eksperiensial dalam Bahasa
Fungsi eksperiensial bahasa menggambarkan pengalaman manusia.
Manusia dengan inderanya menyaksikan realitas yang terjadi di dalam alam,
masyarakat yang disebut juga dengan sebagai sosial semesta, dan dirinya sendiri.
Pengalaman tentang alam dan sosial semesta, yang berupa realitas dan bukan
pengalaman linguistik, perlu diwujudkan dalam pengalaman linguistik agar dapat

Universitas Sumatera Utara

dipahami atau dipertukarkan dengan pengalaman orang lain. Setiap orang dapat
memiliki gambar atau representasi pengalaman pribadi yang berbeda dengan
pengalaman orang lain. Akan tetapi, agar pengalaman itu dapat dipahami semua
orang, yakni semua penutur bahasa, pengalaman masing-masing individu harus
dikodekan secara universal atau secara konvensional oleh masyarakat pemakai
bahasa itu. Jika pengalaman setiap individu diekspresikan secara individu pula,
pengalaman itu dapat dipahami orang lain atau dipahami tetapi tidak sama dengan
pemahaman pembicara atau penutur semula. Perbedaan pemahaman dan
pengalaman ini berpotensi menimbulkan konflik. Dengan mekanismenya bahasa
memiliki


sumber

daya

fungsi

eksperiensial

untuk

mengkodekan,

mengekspresikan, atau merealisasikan pengalaman tersebut. Dan untuk membahas
unsur tata bahasa dalam menggambarkan pengalaman manusia yakni melalui
unsur proses, partisipan dan sirkumstan.
Mekanisme digunakan secara konvensional agar realitas dalam alam dan
sosial semesta itu terwujud sebagai pengalaman linguistik untuk merealisasikan
pengalaman dalam satu unit pengalaman. Satu unit pengalaman disebut dengan
klausa yang terdiri atas tiga unsur atau konfigurasi, yaitu (l)Proses, yakni
kegiatan, peristiwa, atau kejadian; (2) Pertisipan, yakni orang atau benda terlibat

atau terbabit dalam proses itu, dan; (3) Sirkumstan, yakni lingkungan (environtment)
terjadinya proses yang melibatkan partisipan itu.
Dalam pemakaian bahasa, unsur yang wajib ada dalam unit pengalaman
itu atau dalam klausa adalah proses dan partisipan sedangkan sirkumstan bersifat
mana suka, yakni boleh ada atau boleh tidak ada. Selanjutnya, sifat partisipan
adalah bisa eksplisit atau implisit, artinya bisa ditampilkan secara nyata atau

Universitas Sumatera Utara

dipahami adanya walaupun tidak muncul dalam ucapan atau tulisan.
Kesatuan tiga unsur itu dalam satu unit pengalaman disebut klausa dan
secara teknis realisasi penggambaran pengalaman itu dalam semiotik bahasa
disebut dengan transitivitas (transitivity).
2.3.1

Proses
Proses merupakan inti atau pusat di dalam klausa. Proses setara dengan

verba atau kata kerja, istilah yang digunakan dalam tata bahasatradisonal atau
formal. Proses dapat digolongkan ke dalam enam kelompok berdasarkan sifat

paradigmatik dan sintagmatik dalam dua tahap proses pengelompokan. Dalam
penggolongan tahap pertama yang diistilahkan proses primer, proses yang terbagi
tiga kelompok, yaitu proses material, proses mental, dan proses relasional.
Selanjutnya, dalam penggolongan kedua diistilahkan proses sekunder, prosesini
terbagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni proses tingkah laku, proses verbal dan
proses wujud. Sifat proses sekunder ini adalah proses yang memiliki sifat antara
Proses tingkah laku terbentuk antara proses material dan mental, proses verbal
antara proses mental dan relasional, dan proses wujud adalah relasional dan
material.
Keenam kelompok proses tersebut yang dikelompokkan dalam proses
primer dan sekunder diringkas dan ditampilkan dalam tabel 1.1 sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.1 Proses Primer dan Sekunder (Saragih, 2011:88)

JENIS
PROSES

1. Material

2. Mental

CIRI
PARADIGMATIK

Di luar diri
manusia, fisik

CIRI
SINTAGMATIK

Lazim dapat
diikuti aspek
sedang: berlari,
berjalan, menulis

Di dalam diri
manusia, insani,
psikologis:
- Kognisi
- Afeksi
- Indrawi
- Kemauan

Tidak lazim diikuti
aspek sedang,
dapat
memproyeksikan:
- mengetahui,
- memahami...
- menyukai,
- membenci....
- melihat,
- mendengar. ..
- mau,bermaksud,
ingin.
... □ Proses
3. Relasional Di luar dan di
- Nomina
dalam diri
□ nomina
manusia:
- Nomina □ Proses
- Identifikasi
□ adjektiva
- Atribut
- - Nomina □ Proses
- Milik
□ adverbial
adalah, menjadi,
memiliki,
menyebabkan....
4. Tingkah
Fisiologis:
Tidur,
senyum, mati,
Laku
Terkait dengan
menunduk...
kegiatan badan
manusia
5. Verbal

Informasi:
Menyangkut
insani dan
nirisani

6. Wujud

Wujud suatu
entitas

Potensial
memproyeksikan
dengan klausa lain:
Mengatakan,
memerintahkan,
menanya,
menginstruksikan,
Ada, berada, wujud...

CONTOH

‫اي‬
/annahu lā yakhruzu
minhum/

„sesungguhnya tidak
seorang pun yang keluar
dari mereka‟
‫آخ‬
‫ه‬
‫أ‬
/āmana bi Allāhi wa li
yaumi ākhiri/
„percaya kepada Allah
dan hari akhir‟
‫ا‬
‫أق‬
/aqarra bi mā fī haża asśaḥīfatu/
„mengakui atas apa yang
di piagam ini‟

‫ك‬
/walau kāna walada
ahadihim/
„kendatipun dia adalah
salah satu anak mereka‟

‫ا يجي‬

‫ا‬

/lā yajīru musyrikun mā lan
li quraisy/
„dilarang melindungi harta
musrik quraisy‟
‫ا صح ا صيح‬
/ anna bainahum an-nuṣḥa
wa an-naṣīḥata /
„Mereka saling memberi
saran dan nasihat‟

‫ا‬

‫ح‬

/min ḥadaṡin aw isytijārin/
„dari suatu kejadian atau
keonaran‟

Universitas Sumatera Utara

Proses material adalah aktivitas atau kegiatan yang menyangkut fisik dan
nyata dilakukan pelakunya. Karena sifatnya yang demikian proses material dapat
diamati dengan indera. Proses material menunjukkan bahwa satu entitas (manusia,
hewan dan benda tidak bernyawa lainnya) melakukan satu kegiatan atau aktivitas
dan kegiatan itu dapat diteruskan atau dikenakan ke maujud yang lain. Karena
proses ini secara fisik berlangsung di luar diri manusia, penanda utama dalam
proses material ini adalah keberlangsungannya. Dengan pengertian tersebut,
proses material ini dikaitkan dengan bentuk sedang atau continius dan mencakup
semua kegiatan yang terjadi di luar diri manusia yang bersifat fisik.
Proses mental menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang terjadi di dalam
diri manusia dan menyangkut kognisi, afeksi atau emosi, presepsi atau indera, dan
kemauan. Satu partisipan dalam proses mental harus manusia atau maujud lain
yang dianggap atau berprilaku manusia. Proses mental berbeda dengan proses
material dalam sejumlah sifat seperti berikut:
(1) Proses mental menyangkut manusia. Oleh karena itu, klausa mental memiliki

paling sedikit satu partisipan manusia, seperti klausa Abangnya menikmati kopi di
teras rumah, yang memaparkan pengalaman mental dengan menikmati dan

pertisipan abangnya.
(2) Proses mental potensial memproyeksikan klausa lain, sedangkan proses

material tidak dapat. Proyeksi setara dengan kalimat langsung (direct speech) dan
kalimat tidak langsung (reported speech). Proyeksi dapat didahului oleh
penghubung bahwa. Sebagai proses mental, menyadari dapat diikuti oleh
proyeksi seperti saya menyadari bahwa saya harus mengubah strategi saya

agar berhasil, sedangkan proses material berjalan tidak dapat memproyeksikan,

Universitas Sumatera Utara

misalnya saya berjalan bahwa saya harus mengubah strategi saya agar

berhasil, klausa ini tidak berterima dalam berbahasa,
(3) Bentuk lazim proses mental adalah tidak dapat atau tidak potensial diikuti

oleh aspek sedang. Berbeda dengan itu, proses Material lazim dan potensial
diikuti aspek tersebut. Implikasi dari penyertaan aspek sedang ini adalah
pengalaman mental tidak dapat dibatasi waktu, sementara pengalaman
material terikat waktu. Klausa mental saya sedang mengetahui ibu kota Australia
tidak dapat berterima dalam berbahasa, sementara saya sedang mengunjungi
Australia dapat berterima.
(4) Proses mental merupakan proses dua hala, sedangkan proses material satu

hala saja. Yang dimaksud dengan dua hala adalah klausa dengan dua
partisipan dan letak atau posisi kedua partisipan itu dapat dipertukarkan
dengan proses mental lain dapat diletakkan sebagai pengganti atau pengganti
proses mental pertama dengan tidak mengubah makna klausa mental itu.
Misalnya, klausa saya menyukai pekerjaan itu dan pekerjaan itu menyenangkan
saya adalah klausa dua hala. Demikian juga klausa saya mengingat peristiwa itu
dan peristiwa itu menyadarkan saya atau peristiwa itu mengingatkan saya' sebagai
dua hala.
Proses relasional berfungsi menghubungkan satu entitas atau maujud
dengan entitas atau maujud lain, atribut, atau kepemilikan. Dalam bahasa Inggris
proses relasional yang lazim adalah be (¡s, am, a re, was, were, have been, has been,
will be, can be, must be, ought to be, needn 't be, have to be, should be). Setara dengan
itu, di dalam bahasa Indonesia proses relasional direalisasikan oleh verba, seperti
adalah, menjadi, merupakan, memainkan, mempunyai, memiliki, dll. Seperti pada klausa

Universitas Sumatera Utara

Ayahnya dokter, Saudara sepupunya di Australia, Pesta itu minggu lalu, adik bersama
kakak dll. (Saragih, 2006:34)
Proses tingkah laku merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang
menyatakan tingkah laku fisik manusia. Proses tingkah laku mencakupi kegiatan
yang dilakukan oleh badan manusia atau bagian dari badan manusia, seperti
bernafas, berbatuk, pingsan, menguap, sendawa, tidur, tersenyum, mengeluh, dan
sebagainya. Proses tingkah laku memiliki ciri seperti proses material dan proses
mental karena dalam spectrum proses ini berada antara proses material dan proses
mental. Dengan sifatnya sebagai proses antara material dan mental, proses tingkah
laku memiliki sifat seperti proses material dan mental (Saragih, 2011:91).
Proses verbal menyatakan informasi dan berada antara proses mental dan
relasional dalam spectrum proses (Saragih, 2011:91). Dengan kata lain proses
mental dan proses relasional tidak terlepas dari proses verbal, seperti
menyebutkan, meminta, menyatakan, berkata, mengatakan dan sebagainya.
Proses wujud menunjukkan keberadaan satu entitas atau maujud. Proses
wujud berada antara proses material dan proses relasional. Dengan letaknya yang
demikian, proses wujud di satu sisi memiliki ciri proses material dan di sisi lain
memiliki ciri proses relasional. Sebagai contoh proses ada, berada, bertahan
muncul, terjadi, bersebar dan tumbuh adalah proses wujud.(Saragih, 2011: 92).
2.3.2

Partisipan
Dalam pengertian LSF, partisipan adalah entitas yang terlibat atau terbabit

dalam satu proses. Entitas atau maujud dapat berupa manusia, hewan, atau benda.
Entitas dapat berupa konkret, nyata, dapat diindrai atau abstrak, tidak nyata, tidak

Universitas Sumatera Utara

dapat diindrai. Partisipan merupakan kata yang mewakili partisipan lain akibat
proses tata bahasa yang diistilahkan sebagai pronominal (pronoun). Seperti pada
klausa Adam membangun rumah itu tahun 1998, partisipan pada klausa tersebut adalah
Adam, rumah itu. Dan klausa Kami berlibur ke Bali tahun lalu, partisipannya adalah kami.

Klausa kucing menangkap tikus itu, partisipannya adalah kucing, dan tikus itu.
Partisipan dikontrol oleh proses, yang terealisasi dalam bentuk valensi. Dengan
kata lain, partisipan ditentukan oleh proses. Untuk menandai pengaruh atau
control proses terhadap partisipan, partisipan yang terkait dengan proses dilabeli
berdasarkan pertimbangan jenis proses itu. Dengan kata lain, label partisipan
dispesifikasikan sesuai dengan jenis proses. Implikasiya adalah label partisipan
untuk satu jenis proses berbeda dengan label partisipan dengan jenis proses yang
lain. Dalam tabel 1.3 ditampilkan label yang dibuat berdasarkan proses. Yang
dimaksud dimaksud dengan partisipasn I adalah partisipan yang melakukan atau
melaksanakan aktifitas atau proses dan partisipan II adalah partisipan yang
kepadanya aktivitas atau proses ditujukan.

Tabel 1.3 Tabel Partisipan
JENIS
PROSES

Material

PARTISIPAN I PARTISIPAN II

Pelaku

CONTOH

‫ا‬

Gol
/annahu lā yakhruzu minhum/

„sesungguhnya tidak seorang pun
yang keluar dari mereka‟

Mental

Pengindra

Fenomenon

‫ا‬

‫ا‬

/wa annahu lā yaḥullu limu΄minin
aqarra bi mā fī haża as-śaḥīfatu/
„bahwa ia Tidak dibenarkan bagi
orang mukmin yang mengakui
piagam ini,

Universitas Sumatera Utara

Relasional
(1)
Bentuk
(2) Atribut Penyandang
(3)
Pemilik
Tingkah

Nilai
Atribut
Milik

‫أح‬

/walau kāna walada ahadihim/
‘kendatipun dia adalah salah satu
anak mereka‟

‫ا ق يش‬

Petingkah Laku -

‫ا‬

/lā yajīru musyrikun mā lan li quraisy/
„dilarang melindungi harta musrik
quraisy’

Laku
Verbal

Pembicara

Perkataan

Wujud

Maujud

-

‫ا‬
‫ي ا‬
/ anna bainahum an-nuṣḥa wa annaṣīḥata /
„Mereka saling memberi saran dan
nasihat‟

‫ا‬

‫ا صحيف‬

‫أ‬

/ baina ahli hāżihi aṣ-ṣaḥīfati min
ḥadaṡin aw isytijārin/
„diantara pendukung piagam ini
dari suatu kejadian atau keonaran‟

2.3.4

Sirkumstan
Sirkumstan adalah unsur klausa yang mengacu kepada lingkungan atau

konteks tempat terjadinya proses yang melibatkan partisipan. Sebagai unsur yang
tidak dapat dikontrol oleh proses, sirkumstan tidak dilabeli sesuai dengan jenis
proses. Sirkumstan terdiri atas sembilan kategori, yang dirinci dan ditampilkan
dalam tabel 1.4.
Tabel 1.4 Sirkumstan
SUB
JENIS
SIRKUMSTAN KATEGORI

Rentang

CARA
INDENTIFIKASI

CONTOH

Waktu

Berapa lamanya?

Selama tiga jam
Setiap tiga jam
Dia berjalan tiga jam

Tempat

Berapa jauhnya?

-------

Sejauh enam kilo meter

Universitas Sumatera Utara

Lokasi

Waktu

Kapan?

Tempat

Dimana?

Dalam Minggu ini

Di Medan, Di Kelas

‫ي‬

‫ا ج‬

/ Wa anna yaṡriba ḥarāmun
jaufuhā /
„Sesungguhnya Yatsrib
(madinah) itu tanahnya
“haram” (suci)‟
Cara

‫ع ف‬

Bagaimana?

‫ا قسط‬
/yafdūna „āniyahum bil-ma‟rūfi
wal-qisṭi/
Sebab

Mengapa?

„membayar tebusan tawanan

‫ح يف‬

‫ث ا‬



/annahu lam ya΄ṡami imru΄u bi
ḥalīfihi/

Lingkungan

Dalam situasi apa?

„Seseorang tidak menanggung
hukuman akibat (kesalahan)
sekutunya‟

‫ا‬

‫ا ا ح ي‬

‫ا‬

/yahūda yunfiqūna ma‟al
mu΄minīna mā dāmū
muḥāribīna/
„Yahudi memikul biaya bersama
mukminin selama dalam
peperangan‟
Penyerta

Dengan siapa?

‫عا‬

‫ا ا‬

‫ا‬

/yahūda yunfiqūna ma‟al

mu΄minīna mā dāmū
muḥāribīna/
„Kaum Yahudi memikul
biaya bersama mukminin
selama dalam peperangan‟

Universitas Sumatera Utara

Peran

‫ا قي‬

Sebagai apa?

‫ا‬

/wa anna al-mu΄minīna almuttaqīna/
„orang-orang mukmin yang
takwa‟
Masalah

‫ا‬
‫ا صحيف‬

Tentang apa?

/wa annahu lā yaḥullu
limu΄minin aqarra bi mā fī
haża as-śaḥīfatu/
„bahwa ia Tidak dibenarkan
bagi orang mukmin yang
mengakui piagam ini‟
Pandangan

Menurut siapa?

‫ج‬
.

‫ه‬
‫ص ه‬

/fa inna maraddahu ilā allāhi
azza wajalla wa ilā
muḥammadin ṣallā allahu
„alaihi was-salāmu/
„penyelesaiannya menurut
(ketentuan) Allah „azza wa
jalla dan (keputusan)
Muhammad SAW‟
Dengan menggunakan tabel yang telah diuraikan, yakni tabel untuk proses,
partisipan dan sirkumstan maka dari itu realisasi fungsi eksperiensial dapat
dianalisis dalam setiap klausa berdasarkan fungsi atau makna eksperiensial.
2.4 Konteks dan Konteks Sosial
2.4.1

Pengertian Konteks
Menurut Halliday (1978) dan Martin (1985), konteks merupakan

keseluruhan dari lingkungan tutur (verbal) atau lingkungan tempat teks diproduksi
(diucapkan atau ditulis), maka untuk memahami konteks diperlukan adanya
pengetahuan tentang 1) medan wacana 2) pelibat wacana dan 3) sarana wacana 4)
struktur skematika wacana dan ideologi wacana. Medan wacana adalah merujuk
pada aktifitas sosial yang teijadi dan menjadi latar belakang tempat munculnya

Universitas Sumatera Utara

sebuah bahasa, maka untuk memahami hal demikian perlu diketahui ranah
pengalaman, tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Sedangkan pelibat
wacana merujuk hubungan antar partisipan yang termasuk di dalamnya tentang
peran dan status konteks yang dilahirkan teks. Demikian juga sarana wacana
merupakan bagian dari bahasa yang sedang digunakan dalam situasi yang menjadi
saluran yang dipilih dalam bentuk lisan atau tulisan.Struktur skematika wacana
adalah berlangsungnya sebuah wacana dari awal teks dihasilkan sampai teks
berakhir.
Secara fungsional, konteks bersifat linguistik dan non-linguistik (ekstra
linguistik).Konteks linguistik menjadi wilayah kajian tata bahasa dan semantik,
sedangkan konteks non-linguistik (ekstra linguistik) menjadi wilayah kajian
konteks situasi, budaya dan ideologi.
Perspektif LSF konteks bahasa mencakup dua pengertian, yaitu 1) konteks
linguistik yang disebut juga konteks internal dan 2) konteks sosial yang disebut
konteks eksternal. Konteks linguistik ini mengacu pada unit bahasa yang sedang
dibicarakan dan konteks sosial mengacu pada segala sesuatu yang di luar yang
tertulis atau terucapkan yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa
pemakaian bahasa atau interaksi sosial.
Konsep teks dan konteks yang dikemukakan dalam penelitian ini, wacana
yang dimaksudkan adalah teks dan konteks yang ada dalam PM dalam bentuk
wacana tulis sebagaimana yang dijadikan landasan masyarakat dalam banyak
momen kegiatan sosial dan budaya. Sebagaimana diketahui bahwa PM merupakan
sebuah teks yang menggunakan bahasa Arab yang berisi tentang perjanjian antara
suku-suku yang berbeda untuk menghentikan segala kegiatan yang dapat merusak

Universitas Sumatera Utara

dan merugikan suku lainnya.
Teori semiotik sosial Halliday juga berpandangan bahwa bentuk- bentuk
bahasa merupakan repsentasi dari dunia yang dikonstruksikan dalam sosial
dengan berfokus pada konteks sosial bahasa untuk menentukan bagaimana bahasa
tersebut berkembang (Halliday, 1977). Secara teknis, Halliday memandang bahwa
bahasa sebagai sejumlah sistem makna yang ada dalam sistem tradisi, sistem mata
pencaharian dan sistem tata krama secara bersamaan membentuk budaya manusia.
Sinar (2004) relasi teks dan wacana ini selalu berkaitan dengan ikatan
bahasa yang terdiri atas konteks situasi (register), konteks budaya {genre) dan
konteks ideologi (ideology). Untuk memudahkan pemahaman tentang konteks yang
dimaksud akan dijelaskan konteks-konteks yang disebut.
2.4.2

Konteks Sosial
Konteks sosial terbagai ke dalam tiga kategori, yaitu konteks situasi,

konteks budaya (disebut juga genre), dan konteks ideologi (Martin, 1992 dalam
Saragih, 2011:187).

2.4.2.1 Konteks Situasi
Konteks situasi merupakan suatu unsur konteks sosial yang paling dekat
ke bahasa dalam sistem semiotik (pemakaian) bahasa yang berstrata. Beranalogi
dengan dan merupakan realisasi metafungsi bahasa, masing-masing fungsi bahasa
yakni ideasional, antarpesona, dan tekstual yang terealisasi dalam Medan (field),
Pelibat (Tenor), dan Sarana (Mode). Medan (Field) adalah realisasi fungsi
ideasional, Pelibat (Tenor) adalah realisasi fungsi antarpesona, dan sarana (mode)
adalah realisasi fungsi tekstual. Masing-masing unsur konteks situasi merupakan

Universitas Sumatera Utara

unsur yang berdiri sendiri dan tidak saling pengaruh-mempengaruhi serta terjadi
dari sejumlah komponen. (Saragih,2011: 187)
Medan (field) makna yang menunjukkan apa yang terjadi di dalam teks
(Halliday & Hasan, 1985:12). Medan (field) yang mencakupi peristiwa terjadinya
teks dan sifat hakiki terjadinya teks dengan tumpuan pada keriteria apakah
peristiwa itu ditentukan atau terikat oleh (aturan) sesuatu intitusi (LeckieTarry,1995:36).
Unsur yang membangun Medan terdiri atas tiga aspek, yakni
arena/kegiatan, ciri partisipan atau pelibat, ranah semantik. (Saragih, 2011:188)
Arena/kegiatan menunjuk lokasi interaksi terjadi, yang secara khusus
terdiri atas ciri kegiatan atau ciri institusi yang menetapkannya. Ukuran yang
digunakan adalah kontinum yang membagi dua titik sebaran kegiatan; di satu sisi
mencirikan sesuatu kegiatan sebagai (+) terintitusi, yang berarti kegiatan itu
ditentukan oleh (aturan) satu institusi dan di sisi lain (-) terintitusi, yang berarti
kegiatan itu berlangsung tanpa pengaruh atau aturan sesuatu institusi.
Ciri pelibat secara spesifik dalam kegiatan unsur isi menunjukkan ciri fisik
dan/atau mental dan pengetahuan para pelibat saat berinteraksi dalam teks. Ciri
pelibat ini mencakup ras, kelamin, kelas sosial, kekayaan, umur, penampilan,
kecerdasan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan. Semua unsur ini
berpengaruh dalam tampilan bahasa atau teks pemakai bahasa.
Ranah semantik menyatakan isi atau pokok yang digarap atau dibicarakan.
Pokok masalah yang dibahas berada pada dua kontinum (+) spesialisasi di satu
sisi dan (-) spesialisasi di sisi lain. Dengan ini bahasan, hal, masalah atau isi yang
(+) spesialisasi adalah topik yang hanya dapat diikuti oleh para spesialis, seperti

Universitas Sumatera Utara

para pakar botani, fisika, kimia, atau sastra yang membicarakan masalah tanaman,
bahan, dan novel, sementara topik yang (-) spesialisasi adalah bahasan yang tidak
memerlukan pengetahuan khusus karena semua orang dapat ikut serta
membicarakannya seperti topik pembicaraan mengenai cuaca, hobi, dan makanan.
Figura di bawah ini diringkas keterkaitan ketiga unsur Medan (field) dalam sistem
jejaring.
(+) terintitusi
Arena
Medan

(-) terintitusi

Ciri Pelibat
(+) spesialisasi
Ranah Semantik
(-) spesialisasi
Gambar 1.1 Sistem Jejaring Medan (field). (Saragih, 2011:189)
Pelibat (tenor) sebagai unsur konteks situasi secara ringkas mengacu
kepada siapa yang ikut serta dalam satu interaksi dan sifat hubungan antara
partisipan di dalam interaksi. Dengan cakupan ini pelibat diidentifikasi sebagai
mencakupi beberapa unsur, yakni status, formalitas, afeksi (affection), dan kontak.
Status mengacu pada posisi pelibat atau kedudukan pemakai bahasa dalam
interaksi. Status memberikan peran bagi seseorang partisipan. Selanjutnya, peran
itu menentukan status seseorang. Munculnya status bertaut dengan beberapa
unsur, seperti umur, jenis kelamin, bentuk fisik, ras, pengetahuan, kekayaan,
jabatan, atau kedudukan sosial. Status dua pelibat dalam satu interkasi dapat sama

Universitas Sumatera Utara

atau tidak sama. Dalam status sama hubungan antarpelibat berada pada posisi
seimbang atau sama. Misalnya dua orang sahabat dan sebaya membicarakan
pengalamannya masing-masing akan berinteraksi dengan status sama. Dalam
hubungan status tidak sama, satu partisipan lebih tinggi dari pada partisipan lain.
Seperti dikemukakan sebelumnya perbedaan ini dapat berupa perbedaan umur
(satu lebih tua dari lain), pengetahuan (satu lebih berpengetahuan dari yang lain),
atau kedudukan sosial (satu lebih tinggi status sosialnya dari yang lain).
Formalitas merupakan tata cara keterlibatan partisipan dalam interaksi
yang sudah ditentukan sebelumnya. Jika sebelum suatu interaksi sedang
berlangusng, aturan telah diberikan tentang bagaimana interaksi itu dilakukan,
interaksi yang dilakukan disebut interaksi formal. Aturan dapat mencakupi
berbagai hal, seperti siapa yang berbicara lebih dahulu, siapa kemudian berbicara,
siapa yang berbicara kepada seseorang, dimana seseorang harus mengambil
posisi, siapa yang mendampingi sesorang ketika berbicara, pakaian apa yang
digunakan dalam interkasi, bahasa apa yang digunakan dalam interaksi, dan lain
sebagainya. Tingkat formalitas berada pada kontinum denga (+) formal di satu sisi
dan (-) formal di sisi lain.
Afeksi menunjukkan keterlibatan emosi. Secara spesifik, hubungan
antarpelibat dapat berada pada afeksi positif dengan pengertian bahwa keduanya
adanya hubungan antara pelibat yang saling berseteru, membenci, atau
bermusuhan. Afeksi menentukan pemakaian bahasa sebagai kontinum (+)
interpersonal di satu sisi dan (+) ideational di sisi lain. Dengan interakasi (+)
interpersonal berarti dua orang terlibat dalam interaksi penuh kesukaan atau
kebencian yang melibatkan unsur emosi. Sedangkan interaksi dua orang pakar

Universitas Sumatera Utara

dalam bidang kepakaran mereka melibatkan ciri (+) ideational.
Kontak mengacu kepada keseringan. Hubungan antara dua pelibat dalam
interkasi berada pada kontinum (+) sering di satu sisi kontinum dan (-) sering di
sisi lain. Kontak dua orang partisipan dalam teks yang baru pertama sekali
dilakukan atau (-) sering berbeda dengan kontak antar pelibat yang sudah sering
berjumpa.
Sarana, Cara (mode),

menunjukkan bagaimana peran bahasa dalam

interaksi. Secara rinci, cara menunjukkan peran bahasa dalam satu interaksi,
harapan pelibat terahdap peran bahasa dalam suatu situasi, status bahasa, dan
medium atau saluran (channel). Unsur yang membangun sarana, cara (mode)
terbagi atas keterencanaan (planning), jarak, dan medium atau saluran.
Keterencanaan menenjukkan persiapan yang dilakukan untuk mewujudkan
teks. Interaksi dapat terjadi dengan skenario yang telah direncanakan lebih dahulu
dan dapat pula terjadi tanpa rencana, terjadi sebagaimana adanya, atau
berlangsung secara spontan. Dengan pengeertian ini keterencanaan berada pada
kontinum (+) terencana di satu sisi dan (-) terencana di sisi lain.
Jarak mengacu pada umpan baik (feedback) yang saling diberikan antar
pelibat atau antarpemakai bahasa dan keterbabitan atau keikut sertaan bahasa
dengan realitas yang diwakilinya.yang digunakan mengukur jarak antarpelibat
dalam satu interaksi adalah umpan balik, yakni apakah umpan balik yang
diberikan seorang pelibat dapat langsung ditanggap oleh pelibat lainnya atau
tidak. Dengan keadaan ini jarak berada pada kontinum dengan ciri (+) jarak
waktu/tempat di satu sisi, yang berarti factor waktu/tempat sangat menentukan
dalam memberikan umpan balik seperti interaksi melalui walkie talkie yang

Universitas Sumatera Utara

membutuhkan waktu selang umpan balik dan dengan ciri (-) jarak waktu/tempat di
sisi lain, yang berartifaktor waktu/tempat tidak menghalangi pelibat dalam umpan
balik seperti interaksi bersemuka.
Medium atau saluran menunjukkan sarana (mode) yang merealisasikan
bahasa. Medium terdiri atas dua unsur yang merupakan kontinum, yaitu lisan dan
tulisan. Di satu sisi kontinum terdapat teks lisan dengan pengertian bahwa bahasa
direalisasikan oleh bunyi atau suara dengan intonasi, seperti berdiskusi, bercakapcakap, bersyair yang pada umumnya merupakan kegiatan bersemuka. Unit
realisasinya adalah bunyi atau fonem. Di sisi lain kontinum itu, terdapat bahasa
tulisan yang dikodekan oleh goresan, garis, huruf, gambar, atau tanda pada kertas,
batu (seperti batu bersurat), pelepah daun tumbuhan, kulit kayu dll. Unit
realisasinya adalah huruf dan gambar. (Saragih, 2011:194)
Hubungan antara unsur yang membentuk Sarana (mode) ini diringkas di
dalam sistem jejaring seperti dalam gambar berikut ini :
(+) terencana
Keterencanaan
Sarana (Mode)

(-) terencana
eksperiensial
Jarak
Antarpesona
Lisan
Medium
Tulisan

Gambar 1.2. Sarana (Mode) dalam sistem jejaring (Sargih, 2011:195 )

Universitas Sumatera Utara

2.4.2.2 Konteks Budaya
Budaya dibatasi sebagai pemahaman dan tingkah laku yang dipelajari dan
dibuat manusia agar hidupnya lebih baik dalam fungsinya sebagai anggota
masyarakat. Budaya menentukan tujuan atau capaian yang dituju dalam suatu
pemakaian bahasa. Dengan kata lain, budaya mengontrol Medan, Pelibat, Sarana
dan tujuan. Produk pemakaian bahasa yang didasarkan pada budaya diistilahkan
sebagai genre. (Saragih, 2011: 206)
Genre atau konteks budaya adalah suatu proses sosial kegiatan berbahasa
yang mana „budaya‟ penutur atau komunitas penutur terlihat jelas di setiap
keadaan sewaktu mengadakan interaksi baik lisan, tulis maupun visual. Di dalam
setiap interaksi sosial kegiatan berbahasa yang dilakukan masyarakat budaya
dalam suatu komunitas tertentu mempunyai struktur yang menjadi ciri budaya
setiap teks dan kecirian ini kemudian menjadi salah satu dari faktor-faktor yang
menentukan perkembangan interaksi sosial. (Sinar, 2012: 71)
Manusia sebagai anggota masyarakat adalah pencipta genre yang kreatif.
Penulis/penutur genre menghasilkan genre yang memiliki ciri tersendiri dan
sangat beragam. Ada jenis genre cerita seperti narasi, kisah, kemudian ada pula
jenis genre faktual seperti laporan, deskripsi, prosedur, instuksi, eksplanasi,
eksposisi, argumentasi dan diskusi. (Sinar, 2012: 72)
Dari beberapa jenis genre/budaya yang disebut di atas teks PM memiliki
jenis genre prosedur. Genre prosedur (procedure genre) adalah suatu teks faktual
yang dibangun atas kejadian yang beruntun untuk menjelaskan bagaimana sesuatu
terjadi secara bertahap dengan memakai bahasa intruksi dan bahasa direktif.
Genre prosedur juga disebut denga genre intruksi. Ciri-ciri genre prosedur lebih

Universitas Sumatera Utara

bersifat umum (general) dan mempunyai langkah-langkah juga memiliki fungsi
instruktif untuk menuliskan tata cara melakukan sesuatu. Genre proseudur dalam
hal mengeneralisasikan pengalaman-pengalaman dengan langkah yang bertahap.
Ada dua unsur dalam skematika genre prosedur yaitu :
a. Sasaran (goal) adalah unsur di dalam genre prosedur yang merupakan
pernyataan untuk menyatakan tujuan yang akan dicapai.
b. Langkah-langkah (steps) adalah unsur yang wujud dalam genre
prosedur menyatakan kejadian yang berurutan atau langkah-langkah
dalam melakukan sesuatu. (Sinar, 2012: 78)
2.4.2.3 Konteks Ideologi
Ideologi merupakan sebuah konsep, konstruksi, atau pemikiran sosial yang
diidealkan atau diidamkan, menjadi panduan (guide) dalam bereaksi atau
bertindak, yang menjadi penapis (filter) dalam bereaksi atau menanggapi sesuatu
yang berasal dari luar oleh pemakai bahasa sebagai anggota masyarakat. (Saragih,
2011:232)
Ideologi adalah pemahaman atau kepercayaan, nilai yang dianut atau
dipakai bersama oleh masyarakat misalnya seperti ideologi pancasila, marxisme
dll. Ideologi juga menjadi suatu konsep sosial yang menentukan nilai yang
terdapat dalam masyarakat. Dengan kata lain ideologi dikontrol oleh suatu
kekuasaan dari kelompok yang mendominasi masyarakat dalam arti positif.
Dikatakan positif karena ide atau seperangkat nilai ini menjadi cara-cara
masyarkat mengatur dan menjustifikasi kehidupan mereka sebagai representasi
diri mereka dalam hubungan dengan kondisi keberadaan mereka dalam
masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Saragih (2006:6), ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial
yang menetapkan apayang seharusnya atau yang tidak seharusnya dilakukan oleh
seseorang dalam suatu interaksi sosial. Jadi, ideologi merupakan konsep atau
gambar ideal yang diinginkan atau yang diidamkan oleh anggota masyarakat
dalam suatu komunitas, yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak
diinginkan teijadi walaupun tahap yang diidealkan atau diidamkan sering tidak
masuk dan merasuk ke semua tingkah laku sosial termasuk ke dalam pemakaian
bahasa. Dengan demikian, bahasa tidak terlepas dari ideologi. Seperti yang
dikatakan Trew (1979 : 95), ideologi merupakan sistem konsep atau citra yang
dengan itu seseorang sebagai anggota suatu komunitas memahami, menangkap
dan menginterpretasikan apa saja yang dia lihat, dengar atau baca. Oleh karena
ideologi telah melalui ujian lintas waktu, maka ideologi ini telah berakar di dalam
setiap praktik kehidupan bermasyarakat.
Konteks idiologi (Sinar : 2010) merupakan pemahaman atau kepercayaan,
nilai yang dianut atau dipakai bersama oleh masyarakat.Kress (1993) mengatakan
idiologi dapat tercipta dengan adanya pengaruh kekuasaan terhadap sejarah
politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya sehingga meyakini suatu
“konsep”.
Ideologi dalam kaitannya dengan teks merupakan sebuah ikatan yang
bersifat kontruk yang bersifat saling menentukan dan menunjukkan pada konteks
sosial. Menurut Lemke (dalam Zainuddin, 2000: 2), sebenarnya bahasa dalam
penggimaanya tidak diperlukan sebagai instrument saja karena sebuah teks tidak
pernah berdiri sendiri diluar nilai dan ideologi.Konteks ideologi dalam teks
merupakan bentuk yang berpengaruh di dalam teks tersebut. Menurut Halliday,

Universitas Sumatera Utara

konteks ideologi dalam wacana dapat dijelaskan dalam dua bentuk, yaitu ideologi
inheren yang bersifat sosial bukan individu dan ideologi internal yang ada dalam
komunitas.
Secara teknis, konteks ideologi berhubungan dengan bahasa, budaya, dan
situasi seperti yang digambarkan dalam gambar di bawah ini.

Gamabr 3. Hubungan Konteks Dengan Bahasa (Saragih, 226 : 2006)
Gambar 1.3 Hubungan bahasa dengan Situasi, Budaya dan Ideologi (Saragih)
Konteks terdiri dari tiga unsur yaitu konteks situasi (register), konteks
budaya, dan konteks ideologi. Ketiga unsur ini dikatakan mendampingi bahasa
atau teks secara bertingkat atau berstrata dan membentuk hubungan semiotic
bertingkat (stratified semiotic) dengan teks atau bahasa. Konteks yang dekat
kepada teks disebut lebih konkret atau nyata dan konteks yang lebih jauh dari teks
disebut konteks abstrak seperti yang diringkas dalam figura diatas.
Konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena konteks ini
langsung berhubungan dengan bahasa. Dengan kata lain, konteks situasi adalah
pintu konteks sosial kepada bahasa. Konteks yang sanngat abstrak adalah konteks
ideologi karena unsur ini paling jauh dari teks. Antara konteks situasi dan konteks

Universitas Sumatera Utara

ideologi terdapat konteks budaya.
Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas, penelitian konteks
sosial dalam teks PM ini merupakan bagian dari kajian LSF yang akan dianalisis
dalam bentuk wacana bahasa Arab dengan berfokus pada konteks situasi, konteks
budaya, dan konteks ideologi yang berkaitan dengan LSF.

Universitas Sumatera Utara