Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Etiologi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan rinosinusitis yaitu alergi, system

imun, virus, bakteri, jamur, genetic, kimia beracun, polutan dan merokok (Singh
et al, 2014). Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktorfaktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit rinosinusitis dibagi dalam 2
besar, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti
genetik/kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi/kondisi
imun tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan
metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi
(virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik
(medikamentosa ataupun pembedahan).
Rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu
virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus
yang menginfeksi antara lain: rhinovirus (50,0%), coronavirus (20,0%), influenza,
parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara
rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenza (sekitar 60,0% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya

disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus
aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis,
dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides
spp., dan Fusobacteria ditemukan pada kasus sinusitis maksilaris yang merupakan
infeksi sekunder terhadap penyakit gigi (Issing, 2010). Jenis jamur yang paling

8
Universitas Sumatera Utara

9

sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida
(Mangunkusumo, 2011). Rinosinusitis Kronik umumnya merupakan lanjutan dari
rinosinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat (Hueston WJ, 2003).
Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan
berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut
secara perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam
hidung dan sinus paranasal (Mangunkusumo, 2011).
2.2


Defenisi Rinosinusitis Kronik
Rinosinusitis Kronik adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal

yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari
12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor (Staikuniene, 2008).
Rinosinusitis Kronik (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena
sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi mukosa
hidung. Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum inflamasi dan infeksi mukosa
hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat
inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah
berlangsung sekurangnya 12 minggu (Benninger, 2008).
Rinosinusitis Kronik dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang antara
lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan polip dan atau sekret mukopurulen yang
berasal dari meatus medius dan atau edema/obstruksi mukosa pada meatus
medius; dan CT-Scan, dapat ditemukan perubahan mukosa pada kompleks
osteomeatal dan atau sinus paranasal (Fokkens, 2012).

Universitas Sumatera Utara


10

Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan
sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.
Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus
etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang
(Mangunkusumo, 2011).
Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan Rinosinusitis Kronik
dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk
dibanding pasien dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru obstruksi
kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit
Rinosinusitis Kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan
penyakit kronik lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik
yang lain, penyakit Rinosinusitis Kronik sebaiknya ditangani secara proaktif
(Desrosiers, 2011).
2.3

Anatomi Sinus Paranasal

(Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal)

Sinus paranasal merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

Universitas Sumatera Utara

11

pasang sinus paranasal, dimulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung
(Soepardi, 2011).
Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernafasan;
penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara;
peredam perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk
membersihkan rongga hidung (Bambang, 2010).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang

berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soepardi,
2011). Sinus membesar semenjak erupsi gigi permanen dan sesudah pubertas,
yang secara nyata mengubah ukuran dan bentuk wajah.
2.4

Pembagian Sinus Paranasal

2.4.1

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal pertama yang muncul (7-10

minggu masa janin). Sinus ini adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir

Universitas Sumatera Utara

12


sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 2002).
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial ostium maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dn palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelahsuperior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus seminularis melalui
infundibulum etmoid (Mangunkusumo, 2011).
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol
kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah

ini

dapat

menghalangi

drenase

sinus

maksila

dan

selanjutnya

menyebabkan sinusitis.

Universitas Sumatera Utara


13

2.4.2

Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan

bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel
etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin
tidak ada sama sekali (5,0%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah
septum intersinus (Walsh, 2006).
Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari
resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior
dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur
mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi.
Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid
anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat,
proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu,
pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-Scan pada akhir tahun usia
pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada

usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut
selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat
penting dalam menentukan variasi (Stammberger, 2008).
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm
(dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk
(Mangunkusumo, 2011).

Universitas Sumatera Utara

14

2.4.3

Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-

akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 di bagian posterior

(Anggraini, 2005).
Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang
tawon, terdapat di dalam massa bagian lateral ostium etmoid dan terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita (Mangunkusumo, 2011). Tulang-tulang
etmoid mempunyai bidang horizontal dan bidang vertikal yang saling tegak lurus.
Bagian superior bidang vertikal disebut krista gali dan bagian inferiornya disebut
lamina perpendikularis ostium etmoid. Bidang horizontalnya terdiri dari bagian
medial, yang tipis dan berlubang-lubang disebut lamina kribrosa dan bagian
lateral yang lebih tebal dan merupakan atap-atap sel-sel etmoid (Ballanger, 2002).
2.4.4 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior
(Staikuniene, 2008). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga
intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian
menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada
usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun
mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3
(dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Mangunkusumo, 2011).

Universitas Sumatera Utara


15

Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan
menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Mangunkusumo, 2011).
2.5

Patofisiologi
Pada dasarnya patofisiologi Rinosinusitis Kronik terkait dua faktor yaitu

patensi ostium dan klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut
merubah fisiologi sinus dan menimbulkan rinosinusitis. Kegagalan transport
mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya
Rinosinusitis Kronik (Hueston WJ, 2003).
Rinosinusitis Kronik berawal dari adanya sumbatan akibat oedem hasil
proses radang di daerah kompleks ostiomeatal. Sumbatan di daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia
menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus menjadi lebih
kental (Mangunkusumo , 2011).
Sumbatan yang berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksia dan retensi lendir yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob
untuk berkembang biak. Selain itu, bakteri juga memproduksi toksin yang akan
merusak silia sehingga terjadi hipertrofi mukosa dan memperberat sumbatan di

Universitas Sumatera Utara

16

kompleks ostiomeatal yang selanjutnya dapat menyebabkan polip atau kista
(Hilger P, 1997).
2.6

Gejala Klinis
Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery (1997), gejala dan tanda rinosinusitis
dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain: obstruksi
hidung/sumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti
hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah
seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam (hanya pada rinosinusitis
akut). Sedangkan gejala minor antara lain: sakit kepala, demam (non-akut),
halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa
penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1
gejala mayor dan 2 gejala minor (Benninger, 2008).
2.7

Epidemiologi Rinosinusitis Kronik

2.7.1 Distribusi Rinosinusitis Kronik
a.

Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Orang
Hasil penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan

110 penderita Rinosinusitis Kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun
19,1% dan ≥ 18 tahun 80,9%. Penderita laki-laki 49,09% dan perempuan 50,91%,
dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila 70,51%.
Hasil penelitian Nabila Adani Lubis (2015) di RSUP Haji Adam Malik
Medan Tahun 2013 diperoleh bahwa angka kejadian penyakit tertinggi terjadi
pada kelompok usia 46-52 tahun 19,2%, lebih banyak ditemukan pada perempuan

Universitas Sumatera Utara

17

55,8%, pekerjaan pegawai negeri 24,2%, keluhan utama berupa sumbatan hidung
74,2%, sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila 55,8%, faktor yang sering
mempengaruhi adalah alergi 29,2%, dan terapi yang lebih sering diberikan berupa
terapi medikamentosa 79,2%.
b.

Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Tempat dan Waktu
Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika.

Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14,0%
penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya.
Prevalensi Rinosinusitis Kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu
5,7% dan laki-laki 3,4%. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di Skotlandia Utara dan
Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3% (Lubis, 2013).
Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita
Rinosinusitis Kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48
orang (39,6%) menderita asma. Penelitian See Goh, et al (April 2001 – Agustus
2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita Rinosinusitis Kronik dimana 8 orang
(26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari
spesimen pembedahan.
2.7.2 Determinan Rinosinusitis Kronik
a.

Faktor Host
Rinosinusitis Kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua

kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras. Penelitian Hedayati et al
tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, proporsi penderita Rinosinusitis Kronik
tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun 42,0%. Penderita terdiri dari

Universitas Sumatera Utara

18

laki-laki 52,0% dan perempuan 48,0%, dimana keluhan terbanyak yaitu hidung
tersumbat 96,0%.
b. Faktor Agen
Rinosinusitis Kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus

pyogenes,

Staphylococcus

aureus,

Bacteroides,

Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida)
(Hueston WJ, 2003).
c.

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya Rinosinusitis Kronik

yaitu polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan
silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan Rinosinusitis
Kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa
sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di
dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut
(Mangunkusumo, 2011).
2.8

Pencegahan

2.8.1 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit

Universitas Sumatera Utara

19

(Budiarto, 2003). Upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi
lengkap kepada bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan
yang bergizi, dan meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami
influenza atau penyakit saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan
(CDC, 2010).
2.8.2 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang
telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari
komplikasi (Budiarto, 2003). Upaya yang dilakukan antara lain:
a.

Diagnosis
Diagnosis

rinosinusitis

kronis

menurut

EPOS

2012

ditegakkan

berdasarkan penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Penilaian subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12
minggu yaitu: (1) obstruksi hidung atau kongesti, (2) sekret hidung
(anterior/posterior nasal drip), umumnya mukopurulen, (3) nyeri wajah/tekanan,
nyeri kepala dan (4) penurunan/hilangnya daya penghidu.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok Rinosinusitis Kronik tanpa
dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip/jaringan polipoid
pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos
sinus, transiluminasi, CT-Scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar,

Universitas Sumatera Utara

20

penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium
(Fokkens, 2012).
1.

Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam

menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronis yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan
subjektif yang dapat menjadi dasar Rinosinusitis Kronik adalah: obstruksi nasal,
sekret/discharge nasal, nyeri/tekanan fasial dan abnormalitas daya penghidu.
2.

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi

yang

diperhatikan

adanya

pembengkakan

pada

muka.

Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan
mungkin menunjukkan sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas
mungkin menunjukkan sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan
pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Mangunkusumo, 2011).
Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari
depan. Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang
berkaitan dengan rinosinusitis kronis seperti edema konka, hiperemi, sekret
mukopurulen (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi

Universitas Sumatera Utara

21

posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung
sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring (Soepardi,2011; Shah,2008).
3.

Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai

kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan
merupakan pengganti radiografi dalam evaluasi penyakit sinus (Selvianti, 2008;
Siegel, 2013).
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik
dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius
dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan (Selvianti, 2008).
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan
dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal
ini diperlukan pada Rinosinusitis Kronik yang akan dilakukan pembedahan
(Fokkens, 2012).
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain (Fokkens,
2012):
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi

Universitas Sumatera Utara

22

2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar: kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium: pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
b. Pengobatan
Pengobatan

pada

Rinosinusitis

Kronik

pada

prinsipnya

adalah

memperbaiki drainase dan menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa
yang telah mengalami kerusakan. Pengobatan pada Rinosinusitis Kronik dibagi 2
yaitu:
1.

Penggunaan obat
Obat yang digunakan meliputi obat anti alergi dan dekongestan, obat

mukolitik untuk mengencerkan sekret, obat analgetik untuk mengurangi rasa
nyeridan obat antibiotik. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah golongan
penisilin seperti amoksilin, diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik
sudah hilang (Mangunkusumo, 2011).
2.

Operasi
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi pembedahan, yaitu

mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang
terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk
sinus etmoid dilakukan etmoid-ektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung

Universitas Sumatera Utara

23

(intranasal) atau dari luar hidung (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus sfenoid
dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) dan sinus frontal dapat dilakukan
dengan operasi Killian.
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini
untuk Rinosinusitis Kronik yang memerlukan operasi. Prinsipnya ialah membuka
sumbatan di daerah kompleks osteomeatal dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami (Mangunkusumo, 2011).
2.8.3

Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitasi (Budiarto, 2003). Upaya yang dapat dilakukan antara
lain: makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk
mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik
(CDC, 2010).
2.9

Komplikasi
Kompikasi yang terjadi pada Rinosinusitis Kronik yaitu berupa komplikasi

orbita dan intrakranial. Komplikasi orbita biasanya disebabkan oleh rinosinusitis
etmoid, frontal dan maksila. Hal ini dikarenakan letak sinus yang berdekatan
dengan mata (orbita) sehingga infeksi pada sinus dapat menyebar ke mata melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang timbul yaitu berupa edema
palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, dan abses orbita. Komplikasi
intarakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak
dan trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo, 2011).

Universitas Sumatera Utara

24

2.10

Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka diatas, maka kerangka

konsep dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Suku
Agama
Pekerjaan
2. Keluhan
3. Lokasi Rinosinusitis
4. Banyak sinus yang Terlibat
5. Riwayat Penyakit
6. Komplikasi
7. Penatalaksanaan Medis
8. Lama Rawatan Rata-rata
9. Keadaan Sewaktu Pulang

Universitas Sumatera Utara