verlin 1 3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa
pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak
asasi setiap rakyat Indonesia. Sistem pangan tidak hanya dituntut untuk
memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup
(nutritionally adequate), tetapi juga aman (safe). Peraturan Pemerintah no 28
Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, memberikan wewenang
kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia untuk
melakukan pengawasan keamanan, mutu, dan gizi pangan yang beredar di
Indonesia.
Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index) adalah kesehatan. Faktor gizi memegang peranan yang sangat penting
dalam meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan akan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu manusia yang sehat, cerdas
dan produktif. Perbaikan dan peningkatan gizi harus selalu dilakukan pada setiap
siklus kehidupan manusia, yaitu mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anakanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut.
Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah adalah
generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh
kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)

harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh
kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat
gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada
anak tidak selalu dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan
gangguan pada organ-organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2008).
Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak
menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan
makanan yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya
adalah makanan jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan
sekitar sekolah dan umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah.
Berdasarkan hasil ‘’Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh
SEAFAST Center, LPPM IPB, sebagian besar (>70%) penjaja PJAS menerapkan
praktek keamanan pangan yang kurang. Sebanyak 14.3% memiliki persepsi
bahwa pangan jajanan yang dijual tidak aman (Andarwulan et al 2008). Wijaya
(2009) menyatakan bahwa dari 47 sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor,
pengetahuan tentang keamanan pangan dengan kategori baik masih sedikit yaitu
pada pengelola kantin sebanyak 38.5% dan penjaja PJAS sebanyak 23.5%.
Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh kebijakan
keamanan dari kepala sekolah.


Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya
setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0% sekolah yang
disurvei telah memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian
besar dikeluarkan oleh pihak sekolah (95.0%) meskipun ada juga yang
dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas Kabupaten/Kota/Pusat.
Peraturan tersebut sebagian besar mengatur tentang siswa (68.7%) kemudian
mengatur tentang penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang pengelola kantin
(57.0%).
Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan,
namun banyak terdapat permasalahan mengenai perilaku yaitu pengetahuan dan
praktek keamanan pangan yang meliputi higiene, penanganan dan penyimpanan
makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama,
sanitasi tempat dan peralatan. Permasalahan tersebut bisa diakibatkan oleh
kurangnya perhatian dari pihak sekolah. Penerapan kebijakan keamanan pangan
sekolah sangat mempengaruhi dalam mengurangi bahaya kesehatan terhadap
anak sekolah akibat makanan yang tidak sehat dan aman.
Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi praktek keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS,
perlu diketahui penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya

dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di lingkungan Sekolah
Dasar.
1.1 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Kantin Sehat ?
2. Apa saja upaya dalam meningkatkan mutu dan terjaminnya makanan?
3. Bagaimana cara menjaga lingkungan kantin sekolah dasar tetap asri dan
bersih?
1.2 Tujuan Masalah
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui adakah pengaruh penerapan kantin sehat terhadap terjaminnya
mutu makanan pada lingkungan sekolah dasar.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian kantin sehat.
2. Untuk mengetahui upaya dalam meningkatkan mutu makanan dan
terjaminnya makanan.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara menjaga lingkungan kantin sekolah
dasar tetap asri dan bersih.
1.4 Manfaat penelitian
1. Bagi Responden


Hasil penelitian ini diharapkan mampu membantu responden, yang
terpenting orang yang kurang dalam hal kurangnya pengetahuan kantin
sehat.
2. Bagi instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuhan untuk membantu
mahasiswi-mahasiswi di instansi-instansi kesehatan maupun bukan. Agar
mengetahui penerapan kantin sehat untuk menjaga mutu makanan.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengatasi masalah kurangnya
pengetahuan kantin sehat. Sehingga si peneliti dapat membantu terwujudnya
kantin sehat.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Anak sekolah dasar
2.1.1 Pengertian anak sekolah dasar
Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12
tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak.
Walaupun pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif

lambat, tetapi terdapat perubahan yang mencengangkan dalam hal
intelektualnya dan dalam hal membina hubungan dengan orang lain
(Harris & Liebert 2007). Jika dibandingkan dengan periode awal masa
kanak-kanak, pertumbuhan fisik berjalan dengan lambat. Walaupun
kemampuan motoriknya terus meningkat, perubahannya tidak
sedramatis perubahan selama enam tahun pertama kehidupan. Hal ini
dikarenakan tingkat perubahan dari hari ke hari anak-anak usia
sekolah tidak terlihat begitu nyata (Papalia & Olds 2009). Kelompok
anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik
daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah sudah
mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan
oleh pemerintah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun
oleh kelompok swasta berupa program suplementasi makanan
tambahan di sekolah atau program makan siang sekolah (School
Lunch Program). Kelompok anak sekolah merupakan kelompok yang
mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya
(Sediaoetama 2008).
2.1.2 Pengertian Sikap Anak
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku dalam
menghadapi suatu rangsangan. Sikap ini bisa terjadi terhadap benda,

situasi, orang, 6 kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat
disekitar manusia (Muljono 2000 dalam Fitriyanti 2009). Sikap
merupakan suatu kuadran jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya
nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu
hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku, begitu
juga halnya dengan sikap terhadap makanan (Engel et al. 2009).
Sikap anak terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh
pengalamanpengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh
orang lain terhadap makanan. Pengalaman yang diperoleh ada yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga setiap individu
dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka terhadap makanan
(Suhardjo 2010).
2.1.3 Kebijakan Penanganan Pangan
Di Indonesia, secara formal nilai strategis dari mutu, gizi, dan
keamanan pangan ini telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini
dibuktikan dengan diberlakukannya undang-undang tentang
pangan yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1996. Kondisi mutu, gizi
dan keamanan pangan yang ada masih kurang memadai bahkan

sering membahayakan, hal ini disebabkan 1) Infrastruktur yang

belum mantap, 2) Tingkat pendidikan produsen, 3) Sumber dana
yang terbatas, dan 4) Produksi makanan masih didominasi oleh
industri kecil dan menengah. Namun demikian, harus diakui bahwa
akar masalah utamanya adalah arti strategis mutu, gizi dan
keamanan pangan ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat
dan pelaksana kebijakan. Perlu disadari oleh pembuat kebijakan
bahwa isu mutu, gizi dan keamanan pangan di suatu negara
merupakan isu daya saing yang sangat strategis. Secara
mendasar, upaya jaminan mutu, gizi dan kondisi keamanan pangan
berarti pula menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping
itu, peningkatan status dan kondisi mutu, gizi dan keamanan
pangan suatu negara akan menyebabkan peningkatan status
kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan
produktivitas individu. Peraturan makanan jajanan di sekolah pada
umumnya diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah.
Kepala sekolah adalah pejabat berwenang tertinggi dalam
penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan pangan di
sekolah, termasuk keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS), juga 7 menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi
tanggung jawab pihak sekolah dengan kepala sekolah sebagai

pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah (Andarwulan et
al. 2009). Selanjutnya, Andarwulan et al (2009) menyatakan bahwa
berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada
umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS.
Sebanyak 55.0 % sekolah yang disurvei telah memiliki peraturan
tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95.0%)
dikeluarkan oleh pihak sekolah meskipun ada juga yang
dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68.7%)
mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS
(65.7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57.0%).
Pengawasan
pangan
merupakan
faktor
penting
untuk
meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan
pangan di indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum
dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya

kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan
pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM
yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawasan
pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah
sarana produksi pangan yang mendapat pengawasan (Yusuf 2014).
Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah
untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat
diperlukan. Misalnya dalam memberikan penyuluhan kepada

penjual makanan jajanan, melatih penjaja agar membuat pangan
jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan yang
mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain
sebagainya. Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga
dapat membantu mengatasi masalah ini dengan cara mengatur
makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekitar lingkungan
sekolah (Muhilal dan Damayanti 2009).
2.2 Kantin dan Penjaja PJAS
2.2.1 Pengertian Kantin dan Penjaja PJAS
Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan
anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin

sekolah mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesanpesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan siswa seharihari melalui penyediaan makanan jajanan 8 sekolah. Kantin sekolah
dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan
makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat. Mengingat
pentingnya asupan makanan pada saat jam sekolah, maka anak perlu
mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan ini dapat diperoleh
dengan dibeli di lingkungan sekolah baik pada penjaja di sekitar sekolah
maupun di kantin sekolah. Hasil beberapa studi menujukkan bahwa
anak sekolah di perkotaan lebih sering membeli makanan jajanan di
kantin sekolah. Sedangkan di pedesaan, anakanak lebih sering
membeli makanan/minuman pada penjaja. Adapun tujuan dari kantin
sekolah adalah untuk memenuhi keperluan murid dengan menyediakan
makanan yang enak, bergizi, terjamin kebersihannya dengan harga
yang terjangkau.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari adanya kantin sekolah adalah :
a.
Meningkatkan kesehatan murid dengan menyediakan makanan
yang bernilai gizi tinggi dan terjamin kebersihannya. Makanan jajanan di
sekolah sangat potensial di dalam memberikan kontribusi gizi. Kantin
berada di bawah pengelolaan guru atau orang tua murid, maka dalam
menentukan makanan yang disajikan dapat lebih leluasa memilih

makanan yang berasal dari sumber bahan makanan yang bernilai gizi
tinggi. Selain itu, kebersihan lebih mudah diawasi baik terhadap
peralatan yang dipakai, air yang digunakan dan makanan yang
disajikan.
b.
Dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan dan pendidikan
gizi. Penyuluhan dan pendidikan gizi dapat dilakukan berbagai cara
seperti lewat penyajian poster yang ditempel di dinding kantin, dengan
gambar-gambar sumber makanan yang bernilai gizi tinggi, atau kalimat
yang berisi pesan-pesan gizi yang sederhana dan mudah dimengerti
oleh murid.
2.2.2 Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari
pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domein yang sangat penting bagi
terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan
(Notoatmodjo 1993). Pengetahuan merupakan kesan dalam fikiran manusia
sebagai hasil panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui
pendidikan formal dan informal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar,
pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Pengetahuan gizi adalah
pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi
terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat
menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal.
Selain itu, juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau
melalui alatalat komunikasi, selain membaca surat kabar dan majalah,
mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui
penyuluhan kesehatan/gizi (Suhardjo 1996). Pengetahuan yang baik dapat
menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pengetahuan
gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan informal. Selain
itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio atau
melalui penyuluhan kesehatan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan.
Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi seseorang dapat
menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi pangan
berubah menjadi asal kenyang (Suharjo 1989).
2.2.3 Pengelolaan Kantin sehat
Adapun hal yang perlu diperhatikan di dalam kantin adalah pengelola kantin,
dimana pengelola kantin perlu mempunyai pengetahuan mengenai gizi dan
kesehatan (Nuraida 2008). Penjaja PJAS mempunyai potensi yang
menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan
jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam
mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang
menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga kantin
yang belum menyediakan makanan yang bergizi. Kepala sekolah dan guru
belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan 9
makanan yang sehat, bergizi dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan
Damayanti 2009).
2.3 Persepsi Pada Kantin Sehat
2.3.1 Pengertian Persepsi Kantin Sehat
Persepsi dapat dinyatakan sebagai proses menafsirkan sensasisensasi dan memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan
penafsiran realitas dan masing-masing orang memiliki persepsi yang
berbeda dalam memandang realitas (Winardi 2007). Persepsi menurut

Ely (2008), diacu dalam Pranadji (2008) adalah proses yang
berhubungan dengan penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk
yang membimbing kegiatan motorik. Petunjuk ini dimulai dari kesadaran
terhadap adanya stimulus sampai memilih tugas yang relevan untuk
menerjemahkan persepsi tersebut ke dalam kegiatan dalam suatu
kegiatan.
Menurut Stanton, diacu dalam Setiadi (2013) persepsi dapat
didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan
pengalaman masa lalu dan stimuli yang kita terima melalui panca
indera. Pengenalan terhadap suatu objek, gerakan, intensitas, dan
aroma adalah petunjuk yang mempengaruhi persepsi. Persepsi
merupakan proses yang terjadi karena adanya sensasi. Sensasi
merupakan aktivitas merasakan atau penyebab keadaan yang
menggembirakan. Persepsi manusia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli dengan sekelilingnya
dan kondisi-kondisi di dalam diri manusia itu sendiri.
2.3.2 Praktek keamanan pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan
dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta
bermutu dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan,
pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan
kecerdasan masyarakat. Sistem pangan yang ada saat ini meliputi
segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan, pembinaan
atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan
dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang
yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan
wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai dengan ketentuan
peraturan 11 perundangan-undangan yang berlaku. Keamanan
pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia (Undang-undang RI no.7
tentang Pangan Tahun 1996).
Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping
mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap
santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan
konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya.
Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor
penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang
sangat memperhatikan bagi kesehatan dan berat badan.
Food safety (Keamanan pangan) akhir-akhir ini telah menjadi isu
nasional dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan

kemampuan
ekonomi
masyarakat,
semakin
tinggi
pula
kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk
dikonsumsi. Kemungkinan-kemungkinan bahaya pangan dapat
terjadi karena beberapa sebab, antara lain : 1) Adanya residu bahan
kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian
misalnya insektisida, pestisida, fungisida, antibiotik dan hormon; 2)
Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik
jenis maupun dosisnya; 3) Penyerapan logam yang berbahaya oleh
tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan dan industri; 4)
Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan
pangan dan produk pangan sejak pertama sampai tingkat
pengolahan akibat kurangnya sanitasi; 5) Kurang cukupnya kondisi
proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat
penyimpanan dan pemasaran; dan 6) Ekses dari penggunaan
teknologi yang belum tuntas penelitiannya, misalnya senyawasenyawa baru, teknik radiasi dan sebagainya (Tjahja 2008).
Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya
keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologi/mikrobiologis,
kimia dan fisik. Bahaya makanan terdiri dari (Depdiknas 2009) :
1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang
dapat
menyebabkan penyakit seperti salmonella, E.coli, virus, parasit dan
kapang penghasil mikotoksin.
2. Bahaya kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan
digunakan untuk pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan,
bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya,
peptisida,
bahan
kimia
pembersih,
racun/toksin
asal
tumbuhan/hewan dan sejenisnya.
3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan
dan dapat menyebabkan luka, misalnya pecahan gelas, kawat
steples, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik
dan sebagainya. Badan POM RI mengidentifikasikan beberapa faktor
yang diduga turut mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan
PJAS, antara lain pada saat ini program nasional pengawasan
jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas yang tidak memadai,
dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komunikasi risiko,
anak sekolah jajan sembarangan, orangtua tidak menyediakan bekal,
pedagang penjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan
PJAS yang tidak aman) (Andarwulan et al 2009). Berdasarkan hasil
monitoring PJAS yang dilakukan oleh POM RI pada tahun 2006 di 26
ibukota provinsi di Indonesia, dari 478 SD dengan jumlah sebanyak
2903 sampel, jumlah PJAS yang memenuhi syarat adalah sebesar
50.6% dan sebanyak 49.3% sampel jajanan anak sekolah tidak
memenuhi persyaratan terhadap satu atau lebih dari beberapa
parameter yang diuji. Selain itu, lebih dari 39.0% sampel tidak

memenuhi syarat mikrobiologi (BPOM 2007) Total praktek keamanan
pangan adalah gabungan dari keselurahan praktek yaitu praktek
higiene, praktek penanganan dan penyimpanan serta praktek sarana
dan fasilitas.
2.3.3 Makanan yang bermutu
Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan
setiap saat dan harus ditangani dan dikelola dengan baik dan
benar agar bermanfaat bagi tubuh. Namun, apabila
penanganan dan pengelolaannya tidak baik dan benar maka
makanan tersebut tidak terjamin dalam hal aspek gizi dan
keamanan pangannya. Makanan tersebut jika dikonsumsi
manusia dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis
yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi dan
kesehatan
seseorang.Sebagian
besar
anak
sekolah
mengkonsumsi makanan jajanan yang dijajakan di lingkungan
sekolah, yaitu di kantin sekolah atau penjaja pangan jajanan di
sekitar sekolah. Namun, banyak terdapat permasalahan
mengenai praktek keamanan pangan yang meliputi kurangnya
higiene dari penjual atau penyaji, penanganan dan
penyimpanan makanan serta pengendalian hama, sanitasi
tempat dan peralatan. Permasalahan keamanan pangan
disebabkan kurangnya perhatian dari pihak sekolah dalam
membuat kebijakan mengenai keamanan pangan untuk
pengelola kantin dan penjaja PJAS.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku keamanan
pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS. Faktor pertama
merupakan faktor internal, yaitu karakteristik pengelola kantin
dan penjaja PJAS. Yang kedua adalah faktor eksternal,
diantaranya adalah karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah
dan penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah.
Penerapan kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah mengenai
keamanan pangan yang ditujukan kepada pengelola keamanan
pangan jajanan anak sekolah. Kebijakan sekolah dapat
mempengaruhi perilaku pada pengelola kantin dan penjaja
PJAS.
Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi perilaku keamanan pangan
pengelola kantin dan penjaja PJAS, perlu diketahui melalui
penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan saran
yang mendukung dalam peningkatan perilaku keamanan
pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS.
2.4 Kerangka Konsep

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat at
au ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang ses
uatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010).
Variabel
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel independen atau bebas
Yaitu variabel yang nilainya menentukan variabel lain.Variabel b
ebas biasanya nilainya diamati, diukur, untuk diketahui pengaruh atau
hubungannya dengan variabel lain (Nursalam, 2003) [ CITATION Dja13
\l 1057 ].
Pada penelitian ini variabel idependennya (bebas) adalah “Penerapan
KantinSehat”,variabel independen ini di pengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, faktor pendorong.
2. Variabel dependen atau terikat
Yaitu variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursal
am, 20013) (Djauhar Arif, Rusnoto, Dewi Hartinah, 2013).
Pada penelitian ini variabel dependenya (terikat) adalah
“Penjaja PJAS”.
3.2 Definisi Oprasional
N
o
1.

variabel
(Independen)
Hubungan
Penerapan
Kantin Sehat

Def. Oprasional
-

-

2.

(Dependen)
Terhadap
Penjaja PJAS

-

Mengelola
Kantin
Praktek
Keamanan
Pangan
Pengetahu
an
Keamanan
Pangan
Kebijakan
Penerapan
Kantin
Sehat
Penyimpa
nan
Sarana
dan
Fasilitas

Cara
ukur

Hasil

Skala