Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pedophilia Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tetang Perlindungan Anak Dikaitkan Dengan Psikologi Kriminal

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar belakang
Setiap orang memiliki hak yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi

oleh masyarakat, pemerintah dan negara. Demikian halnya dengan seorang anak,
setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 4
Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang kelak akan
menjadi generasi penerusbangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, agar
setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawabtersebut, maka sudah
selayaknya anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental
maupun sosial serta berhak mendapatkan perlindungan dalam segala hal, termasuk
dari segala bentuk kejahatan.
Kejahatan merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada
tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku

dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari beberapa segi antara lain; pathokogis
yakni dengan mengadakan pendekatan secara penelitian atas simtom-simtom
klinis tertentu pada pelaku dengan kemungkinan adanya sejenis penyakit jiwa atau
kepribadian yang kacau; statistik yakni dengan mengadakan pendekatan secara
grafis dan matematis mengenai masalah siapa yang disebut normal atau abnormal;
dan dari segi kultural budaya, yakni dengan mengadakanpendekatan secara

4

Pasal 4 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

1
Universitas Sumatera Utara

2

lingkungan, sosial/atau kemasyarakatan dalam konteks yang berhubungan dengan
lingkungan kebudayaan atau tempat tinggal seseorang. 5
Seiring dengan perkembangan jaman, jenis-jenis kejahatan terhadap
anak semakin berkembang. Anak-anak seringkali menjadi korban dari perlakuan

meyimpang yang dilakukan oleh orang dewasa. Peyimpangan perilaku yang
biasanya dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak diantaranya adalah
perdagangan, eksploitasi, dan bahkan kejahatan seksual.
Kejahatan seksual merupakan perilaku seksual menyimpang yang
merugikan korban serta meresahkan masyarakat dan selalu saja berkembang
seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Pelaku kejahatan seksual tidak
lagi memandang siapa saja untuk menjadi korban, baik itu tua-muda atau bahkan
anak-anak sekalipun untuk memenuhi hasrat seksualnya. Orang dewasa yang
melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak disebut dengan pedophilia.
Pedophilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang
dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (usia 16 tahun keatas) ditandai
dengan suatu daya tarikseksual terhadap anak-anak dibawah umur 13 tahun untuk
memenuhi hasrat seksualnya. 6
Pelakupedophilia biasanya adalah laki-laki. Para pelakupedophilia tidak
hanya mengincar anak-anak yang berbeda jenis kelamin dengannya untuk
dijadikan korban (istilah biologis: heteroseksual)melainkan juga biasanya korban

5

Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi


Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, hlm. 32.
6

http://id.wikipedia.org/wiki/pedophilia (diakses 30 Januari 2016, pukul 11.58 WIB).

Universitas Sumatera Utara

3

adalah anak yang berjenis kelamin sama dengan pelaku (istilah biologis:
homoseksual).
Umumnya penderita pedophilia adalah orang yang takut gagal dalam
berhubungan secara normal terutama meyangkut seks dengan wanita yang
berpengalaman, sehingga ia mengalihkan pada anak-anak karena kepolosan anak
tidak mengancam harga dirinya. 7
Kekerasan jarang menjadi bagian dalam kejahatan seksual pedophilia,
tetapi tidak benar apabila berasumsi bahwa pencabulan terhadap anak tersebut
terjadi tanpa adanya paksaan atau ancaman. Para pedofil (sebutan untuk seorang
pelakupedophilia) tidak melukai korbannya secara fisik, beberapa diantaranya

sengaja menakut-nakuti korban dengan, misalnya, membunuh hewan peliharaan
korban dan mengancam akan lebih menyakitinya jika korban melapor kepada
orang tuanya. Pedofil biasanya senang membelai rambut korban, memainmainkan alat kelamin korban, mendorong korban untuk memain-mainkan alat
kelamin pelaku dan tidak jarang juga seorang pedofil mencoba memasukkan alat
kelaminnya ke alat kelamin korban. Pencabulan tersebut dapat terus berlangsung
selama beberapa minggu, bulan atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa
lain atau jika si anak (korban) tidak memprotesnya. 8
Perbuatan cabul yang dialami seorang anak secara terus menerus, akan
memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan fisik maupun psikis anak,
serta tidak menutup kemungkinan anak korban pedofil juga akan menjadi seorang
7

Tristiadi Ardi Ardani, Psikologi Abnormal, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 166.

8

Gerald C.Davison, dkk,Psikologi Abnormal, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006,

hlm. 624.


Universitas Sumatera Utara

4

pedofil di masa yang akan datang, sebab di tangan orang dewasa ini, anak-anak
telah dirampok, dirampas, atau dijarah harkat martabat kemanusiaannya, atau
diperlakukan tidak layak khususnya secara seksiologis.
Lambroso mengemukakan jenis penjahat itu ada penjahat kelahiran;
penjahat karena hawa nafsu yakni orang-orang yang karena sifatnya bernafsu
melaksanakan kemauan seenaknya saja; dan bentuk campuran antara penjahat
kelahiran/bakat ditambah dengan kesempatan, dan penjahat yang melakukan
kejahatan disebabkan karena keadaan yang kurang sempurna. 9Berdasarkan
pendapat yang dikemukakan Lombroso tersebut, pelaku pedophilia merupakan
penjahat yang melakukan perbuatannya akibat mengalami gangguan psikologis
atau kejiwaan sehingga dapat melakukan perbuatan abnormal karena hawa nafsu
dan keadaan yang kurang sempurna.
Menurut teori psikologi, yang menyebabkan seseorang menjadi
penjahat adalah bahwa kejahatan terjadi melalui studi proses mental dalam hal ini
penyakit


kejiwaan,

kehancuran

dari

pusat/kegugupan,

neurasthenia

ketidakmampuan (inadequete) seluruh kemampuan mental. 10
Kejahatan ditinjau dari segi psikologis jelas menitik beratkan, sejauh
manakah pengaruh kejiwaan yang dapat menimbulkan tingkah keabnormalan
individu dalam tingkah lakunya yang dapat digolongkan perbuatan jahat sesuai
dengan penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat. 11
9

Chainur Arrasjid, Op.cit., hlm. 35.


10
11

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 44.
Chainur Arrasjid, Op.cit., hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara

5

Peraturan

Perundang-Undangan

di

Indonesia

tidak


ada

yang

menyebutkan secara khusus tindak pidana pedophilia, hanya saja peraturan
perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam Pasal 82 telah menjelaskan hukuman yang akan
dijatuhkan bagi pelaku penyimpangan seksual yang menjadikan anak-anak
sebagai korbannya, yang berbunyi sebagai berikut: 12
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
ataumembujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul,dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling sedikit 3(tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000
(enam puluh juta rupiah)”
Sehingga dapat dinilai bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk
memberikan perlindungan serta payung hukum agar kehidupan seorang anak bisa
berjalan dengan normal.
Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih
adanya tumpang tindih antar Peraturan Perundang-Undangan sektoral terkait
dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak ditengahtengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak
dilakukan oleh orang dewasa terdekat sang anak. Berdasarkan paradigma tersebut
maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang
saat ini sudah berlaku kurang lebih 12 tahun akhirnya diubah dengan UndangUndang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

12

Pasal 82, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

6

23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang mempertegas perlunya
pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak
terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera,
serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis
dan sosial anak. 13

Menurut tinjauan psikologi kriminal, hal tersebut perlu dilakukan guna
mengantisipasi anak sebagai korban pedophilia dikemudian hari tidak menjadi
pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat
pelaku kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia) diperiksa di persidangan,
ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami kejahatan pedophilia
sewaktu pelaku masih berusia anak, sehingga pelaku memiliki trauma masa lalu
dalam hal kejahatan seksual sehingga terdapat gangguan psikis dalam dirinya
yakni memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak yang kemudian mendorongnya
untuk melakukan tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pembahasan mengenai kejahatan
seksual terhadap anak khususnya pedophiliaadalah penting, mengingat anak
merupakan generasi penerus suatu negara di masa yang akan datang. Keadaan
negara dimasa yang akan datang sangat bergantung kepada kondisi anak di masa
kini. Pembahasan mengenai Tindak Pidana pedophiliayang ditinjau menurut
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dikaitkan
dengan

Psikologi Kriminal,
13


PN

Palopo,

diharapkan

“Paradigma

Baru

dapat

Hukum

memberikan
Perlindungan

pemahaman

Anak”

www.pn-

palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-perlindungananak.%2020%20Agustus%202015 (diakses 30 Januari 2016, Pukul 17.47 WIB).

Universitas Sumatera Utara

7

mengenaibetapa

pentingnya

perlindungan

terhadap

seorang

anak

dan

meningkatkan kesadaran akan penyebab dan dampak daripada tindak pidana
pedophilia kepada semua elemen masyarakat, pemerintah, serta penegak hukum
agar Tindak Pidana Kejahatan Seksual Terhadap Anak khususnya pedophiliayang
sudah marak terjadi, tidak menjadi bumerang bagi keberlangsungan hidup
masyarakat, pemerintah dan negara di masa yang akan datang.
B.

Perumusan Masalah
Penulis dalam penulisan ini menitikberatkan permasalahan kepada

pencegahan serta penanggulangan korban kejahatan seksual terhadap anak
(pedophilia) menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia) dimasa
yang akan datang ditinjau menurut ketentuan hukum yang berlaku serta dikaitkan
dengan psikologi kriminal.
Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam
penulisan skripsi ini adalah:
1.

Bagaimanakah ketentuan hukum terhadap tindak pidana Pedophilia?

2.

Bagaimanakah tinjauanPsikologi Kriminal terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pedophilia?

3.

Bagaimana penerapan

sanksi pidana terhadap

tindak pidana

pedophilia menurut Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor
1204/Pid.B/2014/PN.LP/LD?
C.

Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi yang

berjudul,Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana PedophiliaMenurut

Universitas Sumatera Utara

8

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dikaitkan dengan Psikologi Kriminalini adalah:
1.

Mengidentifikasi serta menganalisis ketentuan hukum tindak pidana
pedophilia

2.

Mengidentifikasi serta menganalisis tinjauan Psikologi Kriminal
terhadap Pelaku Tindak Pidana Pedophilia

3.

Mengidentifikasi serta menganalisis penerapan sanksi pidana terhadap
Pelaku Tindak Pidana Pedophilia

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
1.

Manfaat Teoritis
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada
umumnya dan hukum pidana pada khususnya dengan memberikan
masukan-masukan bagi masyarakat dan Penegak hukum dalam upaya
penanggulangan, pencegahan, dan pengurangan dampak yang timbul
dari kejahatan tersebut

2.

Secara Praktis
Anak sebagai korban tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak
khususnya pedophilia haruslah diberikan perlindungan hukum serta
mencegah terjadinya dampak buruk terhadap perkembangan fisik,
psikis serta sosial anak korban tindak pidana pedophilia, agar anak
tidak mengalami trauma dan justru menjadi pelaku kejahatan yang
sama di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

9

D.

Keaslian penulisan
Dalam penulisan skripsi ini pada dasarnya penulis membuatnya sendiri

dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui data-data yang diperoleh
penulis dari beberapa literatur, pendapat-pendapat ahli, jurnal ilmiah serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Putusan Pengadilan Negeri.
Bila ternyata terdapat kesamaan judul serta permasalahan kedepannya, Penulis
bertanggungjawab penuh terhadap segala akibatnya.
E.

Tinjauan Kepustakaan

1.

Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana berasal dari istilah strafbaar feit yang

ditemukandi dalam Hukum Pidana Belanda yang diterjemahkan oleh beberapa
ahli hukum Indonesia ke dalam bahasa Indonesia. Tim Penerjemah Badan
Pembinaan Hukum Nasional dalam menerjemahkan KUHP dari bahasa Belanda
ke bahasa Indonesia menerjemahkan istilah strafbaar feit ini sebagai tindak
pidana. 14
Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan
istilah tindak pidana, seperti UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi jo. UU No. 20
Tahun 2001, dan peraturan perundang-undangan lainnya. 15Sedangkan ahli hukum
yang biasa menggunakan istilah Tindak Pidana ini, antara lain Prof. Dr. Wirjono

14

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT Grafindo

Persada, Jakarta, 2012, hlm. 55.
15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana : Edisi Kedua, USU Press,

Medan, 2013, hlm.73

Universitas Sumatera Utara

10

Prodjodikoro, S.H., sebagaimana yang tertulis dalam bukunya yang berjudul
“Tinda k-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”. 16 Wirjono Prodjodikoro,
menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana. 17
Selain istilah Tindak Pidana, di dalam beberapa literatur hukum
ditemukan beberapa istilah lain sebagai terjemahan dari istilah strafbaar Feit,
yaitu antara lain:
Perbuatan Pidana 18

a.

Moeljatno memberi definisi Strafbaar Feit sebagai perbuatan pidana,
yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Peristiwa Pidana 19

b.

R. Tresna menyatakan pendapatnya bahwa, Peristiwa Pidana itu
adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang
bertentangan

dengan

Undang-Undang atau

peraturan-peraturan

lainnya. 20 Oleh karena itu, R. Tresna menyatakan, dapat diambil

16

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana di Indonesia : Cetakan kedua, Eresco,

Jakarta, 1974, hlm. i.
17

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 85

18

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54.

19

Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, PT Pradnya

Pramita, Jakarta, 1983, hlm. 53.
20

R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 1959, hlm. 27

Universitas Sumatera Utara

11

sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syaratsyarat berikut ini: 21
1)

Harus ada suatu perbuatan manusia;

2)

Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum;

3)

Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu
orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4)

Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5)

Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya
dalam Undang-Undang.

Suatu peristiwa pidana itu dapat atau tidak dapat dipidana, ditentukan
oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan oleh pendapat
umum. 22
Menurut R. Tresna perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh undangundang dijadikan sebagai peristiwa pidana, merupakan perbuatanperbuatan yang (dapat) membahayakan kepentingan umum. 23
Delik 24

c.

21

Ibid., hlm. 27-28.

22

J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,Bina Aksara, Jakarta,

1987, hlm. 135.
23

R. Tresna, Op.cit., hlm. 28

24

Frans Maramis, Op.cit., hlm. 57. Disebutkan, delik berasal dari bahasa latin (kata

benda): delictum, yang artinya pelanggaran, perbuatan yang salah, kejahatan.

Universitas Sumatera Utara

12

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Delik diberi pengertian
sebagai berikut: “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. 25
Perbuatan yang dapat dihukum 26

d.

Istilah ini digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam UU
No.12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3). 27
Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dihukum atau disingkat
perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum
pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk
missdaadsbegrip), yang terwujud secara in-abstracto dalam peraturanperaturan pidana. 28
Perbuatan yang boleh dihukum 29

e.

Istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau yang berjudul
“Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga dengan Schravendijk
dalam bukunya yang berjudul “Buku Pelajaran Tentang Hukum
Pidana Indonesia”. 30

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, 2001.
26

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1983, hlm. 37. Disebutkan Undang-Undang Drt. No. 12 Tahun 1951 tentang perubahan
Ordonantie tijdelihk bezondere strafbepalingen menggunakan istilah perbuatan yang dapat
dihukum tersebut.
27

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 74

28

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm. 38.

29

R. Tresna, Op.cit., hlm. 27

30

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara

13

Pelanggaran pidana 31

f.

Pelanggaran

pidana

ialah

perbuatan

mana

yang

dilakukan

bertentangan dengan Undang-Undang pidana. Menurut Barda Nawawi
Arief, dengan tidak adanya batasan yuridis tentang tindak pidana,
dalam praktik selalu diartikan, bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang telah dirumuskan didalam Undang-undang. 32
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui berbagai perbedaan dan
persamaan pendapat para ahli mengenai terjemahan istilah strafbaar feit. Namun,
pada intinya para ahli merumuskan bahwa pengertian istilah strafbaar feit ialah
sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum yang bertentangan dengan undangundang.
Pasal 1 KUHP menyebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan
pidana yang telah ada (asas legalitas). Kemudian asas legalitas inilah yang
menjadi dasar dari perbuatan pidana. 33 Hal ini didasarkan pada perumusan asas
legalitas dalam pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine legs”
dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. 34

31

M.H. Tirtaatmidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 1955, hlm. 18.

32

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 80.
33

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, 2014, hlm. 90.
34

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 87

Universitas Sumatera Utara

14

Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah
perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materiil. 35
Pasal 11 konsep KUHP Baru menyebutkan:
1)

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau

tidak

melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarag dan diancam dengan
pidana.
2)

Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan
tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundangundangan,

harus

juga

bersifat

melawan

hukum

atau

bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3)

Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum
kecuali ada alasan pembenar.

Dalam penjelasan Pasal 11 Konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa
hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak
pidananya (daad-dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas
dan asas kesalahan. 36
Oleh karena itu bukanlah berarti semua perbuatan yang melawan
hukum yang sifatnya merugikan masyarakat dapat disebut perbuatan pidana atau
tindak pidana. Melainkan dalam hal ini sesuatu perbuatan kejahatan atas pidana
haruslah terlebih dahulu sudah ada aturan yang menetapkannya. 37
35

Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 77.

36

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 88

37

Chainur Arrasjid, Op.cit., hlm.28

Universitas Sumatera Utara

15

2.

Tindak Pidana Pedophilia
Pedophilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia; pais (anak-anak)

dan philia (cinta, persahabatan). Jadi pedophilia dapat diartikan sebagai cinta
anak-anak. 38 Dalam hal ini, rasa kecintaan pada anak-anak tersebut diartikan
dengan rasa kecintaan orang dewasa atas hasrat seksual terhadap anak-anak
dibawah umur. Istilah pedophilia diartikan sebagai suatu kelainan pada
perkembangan psikoseksual seseorang dimana individu tersebut memiliki hasrat
erotis yang abnormal terhadap anak-anak. 39
Pedophilia adalah kelainan seks dengan melakukan seksual untuk
memenuhi hasratnya dengan cara menyetubuhi (pencabulan) anak-anak dibawah
umur. Hal ini dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak yang secara
seksual belum matang (biasanya dibawah 13 tahun) yang mana hampir semua
yang mengalami gangguan ini adalah pria. 40
Dalam Penjelasan Pasal 289 KUHP menyebutkan bahwa, perbuatan
cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada
dan sebagainya. Persetubuhan termasuk dalam perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP

38

http://id.wikipedia.org/wiki/pedophilia (diakses 6 Februari 2016, pukul 15.18 WIB).

39

Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika

Aditama, Jakarta, 2005, hlm. 71.
40

Tristiadi Ardi Ardani, Op.cit., hlm. 166

Universitas Sumatera Utara

16

tidak hanya melarang memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi
juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. 41
Pedophilia merupakan kejahatan seksual yang bersifat khusus yang
dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak. Hal ini merupakan suatu perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh orang dewasa dan dapat dikatakan sebagai
tindak pidana pedophilia karena telah melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan
oleh Undang-Undang (melawan hukum), sebagaimana yang tertera didalam Pasal
82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Erich

Fromm

mengidentifikasikan

pedophilia

adalah

penyakit

penyimpangan seksual yang masuk dalam kategori sadisme. Fromm mengatakan,
dengan perilaku sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap
korbannya dan semakin korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuh maka
semakin berkuasalah si pelaku. 42
Pornografi anak dianggap sebagai faktor penting yang memotivasi
beberapa orang untuk melakukan pencabulan anak, namun sebuah studi yang
belum lama berselang terhadap 11 orang pria pedofil mengindikasikan bahwa
material semacam itu bahkan bisa tidak diperlukan. 43 Banyak diantara pelaku
tindak pidana pedophilia mengalami pelecehan seksual serupa di masa kanakkanak. Sehingga para pedofil dinilai memiliki kematangan sosial, harga diri,

41

Penjelasan Pasal 289 KUHPidana

42

Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual

Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2015, hlm. 44.
43

Gerald C.Davison, dkk, Op.cit.,hlm.625.

Universitas Sumatera Utara

17

pengendalian impuls, dan keterampilan sosial yang rendah 44,kemudian hal
tersebut yang akhirnya mendorong menjadi pelaku pedophilia.
Tindak pidana pedophilia pada intinya merupakan bentuk kejahatan
seksual terhadap anak dan harus dibedakan dari kejahatan nonseksual terhadap
anak, meskipun kedua bentuk kejahatan terhadap anak tersebut (seksual dan
nonseksual) sama-sama memberikan dampak yang buruk terhadap anak, namun
kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia) perlu ditangani serius berkaitan
dengan kondisi fisik, psikis, sosial anak kedepannya.
3.

Pengertian Perlindungan Anak
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, menyatakan bahwa, Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
telah membantu memberikan tafsir mengenai apa saja yang menjadi bagian
hukum anak di Indonesia yang dimulai dari hak keperdataan anak di bidang
pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak, juga mengatur masalah
eksploitasi anak-anak dibidang ekonomi, sosial dan seksual. 45Perlindungan Anak
dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan mengatur juga bagaimana
44

Ibid., Hlm. 625.

45

Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema dan Solusinya, PT.

Sofmedia, Medan, 2012, Hlm.2.

Universitas Sumatera Utara

18

penghukuman bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan pada anak-anak dan
tanggung jawab orang tua, masyarakat serta negara dalam memberikan
perlindungan terhadap anak.
Perlindungan Anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak
serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial melainkan perlindungan
anak juga menyangkut aspek pembinaan terhadap anak sebagai generasi
mudapenerus bangsa. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 46
4.

Pengertian Anak
Anak adalah individu yang berada pada rentangaan usia 2 - 13 tahun.

Masa 2 - 6 tahun disebut masa kanak-kanak awal dan usia 6 - 13 tahun disebut
masa kanak-kanak akhir. Masa kanak-kanak akhir ini sering disebut masa sekolah
karena diharapkan pada usia ini anak memperoleh pengetahuan yang dianggap
penting untuk keberhasilan dimasa dewasa. 47
Batas usia anak memberikan pengelompokkan usia maksimum terhadap
seorang anak dapat dikatakan sebagai anak, hingga anak tersebut beralih status
menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung

46

Pasal 3, Op.cit,.

47

Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan, 1998, hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

19

jawab secara mandiri atas setiap perbuatan atau ditindakan hukum yang
dilakukan.
Peraturan

Perundang-Undangan

di

Indonesia

sangat

beragam

menentukan batas usia seseorang disebut sebagai anak dalam beberapa pengertian
anak, diantaranya adalah :
a.

Menurut

Undang-Undang

Nomor

4

Tahun

1979

tentang

Kesejahteraan Anak
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum kawin” 48
b.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam Pasal 330 menyebutkan bahwa:
“yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka
21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa.” 49

c.

Menurut Undang-UndangNo. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia memberikan pengertian tentang anak, disebutkan
bahwa:

48

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

49

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd).

Universitas Sumatera Utara

20

“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin” 50
d.

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tetang Perlindungan
Anak
Dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 51

e.

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, membagi kategori batas usia anak kedalam
tiga bagian yaitu, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak yang
menjadi Korban Tindak Pidana dan Anak yang menjadi Saksi Tindak
Pidana.
Dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa:
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.”
Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa:
“Anak yang menjadi Korban Tidak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”
Dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa:
“Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
50

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

51

Pasal 1 ayat (1), Op.cit,.

Universitas Sumatera Utara

21

tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri.” 52

5.

Pengertian Psikologi Kriminal
Sebelum mengarah kepada pengertian Psikologi Kriminal, terlebih

dahulu akan diuraikan mengenai pengertian dari ilmu psikologi itu sendiri pada
umumnya.
Psikologi menurut pendapat Drs. Bimo Walgito merupakan suatu ilmu
yang menyelidiki serta mempelajari tentang sikap, tingkah laku atau aktivitasaktivitas dimana tingkah laku atau aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup
kejiwaan. 53 Dengan demikian, ilmu kejiwaan atau psikologi adalah ilmu yang
memepelajari perilaku manusia sekaligus memberi batasan adanya tingkah laku
manusia yang normal dan abnormal berdasarkan kondisi kejiwaannya.
Woodwoorth

menyatakan

juga

bahwa

Psikologi

adalah

ilmu

pengetahuan yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas dari pada individuindividu di dalam hubungannya dengan lingkungan 54
Seperti yang diketahui, masalah utama yang dikaji dalam ilmu
psikologi ialah tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia itu meliputi pelajaran
tentang pengamatan, perasaan dan kehendak. Psikologi Kriminal dalam hal ini
juga merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku individu itu, khususnya
mengenai sebab-sebab munculnya tingkah laku a-sosial yang bersifat kriminal
dari dalam diri seseorang.
52

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Bimo Walgito, Psikologi Umum : Cetakan Kedua, Yayasan Penerbitan Fakultas

53

Psikologi UGM, Yogyakarta, 1975, hlm. 6.
54

Chainur Arrasjid, Op.cit., hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

22

W.A. Bonger memberikan pengertian Psikologi Kriminal sebagai suatu
ilmu pengetahuan tentang kejahatan dipandang dari sudut kejiwaan. Penyelidikan
mengenai jiwa dari penjahat dapat semata-mata ditujukan untuk kepribadian
perseorangan (umpama jika dibutuhkan untuk memberikan keterangan pada
hakim) tetapi dapat juga untuk menyusun tipologi atau golongan-golongan
penjahat. 55
Chainur Arrasjid dalam hal ini juga memberikan pendapatnya mengenai
pengertian dari psikologi kriminal, sebagai berikut:
“psikologi kriminal adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
psikologi si penjahat serta semua atau golongan yag berhubungan baik
langsug maupun tidak langsung dengan perbuatan yang dilakukan dan
keseluruhan akibat-akibatnya.” 56
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi
kriminal merupakan ilmu yang mempelajari psikologi khusus berhubungan
dengan sebab-sebab terjadinya kejahatan serta keseluruhan akibatnya berdasarkan
aspek-aspek kejiwaan si penjahat dalam melakukan perbuatan jahat.
F.

Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan

metode deskriptif analis, yaitu mengelola dan menafsirkan data yang diperoleh
sehingga dapat memberikan gambaran keadaan dan kesimpulan dari keseluuhan
hasil penulisan.

55

W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia,

1982, hlm. 25.
56

Chainur Arrasjid, Pengantar Psikologi Kriminal Jilid I, Yani Corporation, 1988,

hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

23

Metode deskriptif analis adalah suatu metode yang dapat digunakan
untuk meneliti sekelompok manusia, suatu situasi kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis, antara lain:
1.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan
penelitian terhadap sinkronisasi hukum. 57 Metode penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu
suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam
buku (law as it is in the book), maupun hukum yang diputuskan hakim
melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through
judicial process). 58
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,
karena permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini mengenai
keterkaitan suatu peraturan perundang-undangan dalam mengatur
suatu perbuatan pidana dengan ilmu Psikologi Kriminal sebagai dasar
untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbuatan pidana tersebut
serta keseluruhan akibatnya dan kebijakan penanggulangannya, dalam
hal ini ialah mengenai tindak pidana pedophilia yang diatur didalam

57

Soerjono Soekanto dan Srimahmudji, Penelitian Hukum Normatif, UI Press, Jakarta,

2003, hlm. 15.
58

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Grafitti Press,

Jakarta, 2006, hlm. 118.

Universitas Sumatera Utara

24

Pasal 82

Undang-Undang Nomor

23

Tahun

2002 Tentang

Perlindungan Anak.
2.

Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
menggunakan data sekunder, yang terdiri dari:
a.

Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak

3.

c.

Buku-buku

d.

Jurnal ilmiah

e.

Putusan Pengadilan

f.

Dan bahan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

Metode Pengumpulan Data
Dalam mendapatkan data sekunder dalam penulisan skripsi adalah
dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Alat
yang digunakan dalam metode ini adalah studi dokumen dimana
selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan fakta-fakta
yang didapat dari studi kepustakaan sebagai acuan umum dan
kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk
mencapai kejelasan masalah yang dimaksud berdasarkan sumbersumber bacaan, seperti buku-buku, jurnal ilmiah, media elektronik,
serta memepelajari dan menganalisis putusan dan bahan lainnya yang
berkaitan dengan skripsi.

Universitas Sumatera Utara

25

4.

Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif,
yaitu apa yang diperoleh dari penelitian ini kemudian dipelajari secara
utuh dan menyeluruh untuk mendapatkan jawaban dari permasalahanpermasalahan dalam skripsi.

G.

Sistematika Penulisan
Untuk mempertegas penguraian isi dari penulisan skripsi ini serta untuk

lebih mengarahkan pembaca, maka berikut dibawah ini penulis membuat
sistematika penulisan atau gambaran dari skripsi ini sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Dalam Bab pendahuluan ini berisikan latar belakang penulisan
skripsi, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan
manfaat

penulisan,

tinjauan

kepustakaan

yang

membahas

mengenai pengertian tindak pidana, tindak pidana pedophilia,
pengertian perlindungan anak, pengertian anak dan pengertian
psikologi kriminal serta menguraikan metode penelitian dan
sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II

BENTUK - BENTUK TINDAK PIDANA PEDOPHILIA DAN
KETENTUAN HUKUMNYA DALAM UU NO. 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO. UU NO. 35
TAHUN

2014

TENTANG

PERUBAHAN

ATAS

UU

PERLINDUNGAN ANAK

Universitas Sumatera Utara

26

Pada Bab II ini, menguraikan tentang bentuk-bentuk dari tindak
pidana pedophilia dan ketentuan hukum yang mengatur mengenai
tindak pidana pedophilia khususnya yang diatur di dalam UndangUndang Perlindungan Anak serta ketentuan hukum baru mengenai
tindak pidana pedophilia pasca dikeluarkannya UU No. 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan
Anak.
BAB III

TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PEDOPHILIA
Pada pembahasan Bab III ini, menjelaskan tentang peranan ilmu
Psikologi Kriminal dalam hukum pidana, bagaimana psikologi
kriminal terhadap pelaku tindak pidana pedophilia terkait dengan
sebab-sebab terjadinya, keseluruhan akibatnya serta bagaimana
upaya penanggulangannya.

BAB IV

ANALISIS KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
LUBUK PAKAM NO.1204/Pid.B/2014 /PN.LP/LD
Bab IV ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kasus
posisi seperti kronologis terjadinya tindak pidana Kejahatan
Seksusal terhadap anak (pedophilia) yang terjadi di Lubuk Pakam,
dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, putusan Hakim di
Pengadilan

Negeri

Lubuk

Pakam

No.1204/Pid.B/2014

/PN.LP/LDserta analisis terhadap kasus tersebut.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Universitas Sumatera Utara

27

Bab V berisi tentang kesimpulan dari permasalahan yang telah
dibahas pada bab-bab sebelumnya dan saran atas permasalahan
yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi terjadinya
Tindak Pidana Pedophilia di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara