LAPORAN PERTANIAN ORGANIK.docx

LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM PERTANIAN ORGANIK

DORPAIMA LUMBANGAOL
05121007028

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Pertanian organik menjadi hal yang saat sedang dikembangkan dengan
pesat. Tanah semakin kering, semakin miskin kandungan hara organik yang pada
akhirnya merugikan petani dan pertanian saat ini.Atas dasar itulah diperlukan
upaya dalam peningkatan kebutuhan bahan organik bagi tanaman.
Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan
terpadu,


dengan

cara

mengoptimalkan

kesehatan

dan

produktivitas

agroekosistem, keragaman hayati, siklus bologi, dan aktifitas biologi tanah secara alami,
sehingga

menghasilkan pangan dan

serat


yang

cukup,

berkualitas,

dan

berkelanjutan. sistem pertanian organik menggunakan bahan secara alami atau
menghindari penggunaan pestisida, pupuk kimia, atau hormon/zat tumbuh kimia.
Oleh karena itu, pertanian organik merupakan salah satu upaya dalam
mewujudkan pertanian sistem berkelanjutan dengan menerapkan teknologi atau
teknik yang menyesuaikan agar ekosistem tetap berjalan seperti apa adanya dan
tidak menggangu keseimbangan lingkungan.
Petanian Organik adalah sebuah bentuk solusi baru guna menghadapi
kebuntuan yang dihadapi petani sehubungan dengan maraknya intervensi barangbarang sintetis atas dunia pertanian sekarang ini. Pertanian organik dapat memberi
perlindungan terhadap lingkungan dan konservasi sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui, memperbaiki kualitas hasil pertanian, menjaga pasokan produk
pertanian sehingga harganya relatif stabil, serta memiliki orientasi dan memenuhi
kebutuhan hidup ke arah permintaan pasar.

Bahan organic memiliki peranan penting dalam membentuk kemampuan
tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organic tanah
menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
menurun. Bahan organic adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu system
kompleks dan dinamnis yang bersumber dari sisa tanaman dan aau binatang yang
terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena
dipengaruhi oleh factor biologi, fisika, dan kimia.

Terkadang kita tidak menyadari bahwa sampah organik sangat
banyakjumlahnya dan memiliki nilai yang lebih bermanfaat seperti dijadikan
kompos dan pupuk dari pada dibakar yang hanya menghasilkan polutan bagi
udara. Dengan mengolah menjadi kompos akan membuat tanah menjadi subur
karena kandungan unsur hara bertambah. Pengolahan sampah organik untuk
keperluan pembuatan kompos dapat dilakukan secara sederhana. Sampah berupa
dedaunan dimasukan ke dalam mesin perajang sampah agar ukuran sampah
menjadi lebih kecil sehingga memudahkan dalam proses decomposingdengan
bantuan mikrobakteri pengurai untuk hasil yang maksimal.
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam
dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses
pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk

mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologiteknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang,
maupun teknologi tinggi. Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan
didasarkan pada proses penguraian bahan organic yang terjadi secara alami.
Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat
berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi
sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organic,
seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik
industri, serta limbah pertanian dan perkebunan.
Saat ini telah dilakukan beberapa penelitian pembuatan kompos
denganmenggunakan bantuan aktivator, diantaranya aktivator EM4 dan aktivator
Stardec.Aktivator EM4 dan Stardec merupakan aktivator kompos yang
mengandungmikroorganisme

yang

dapat

meningkatkan

keragaman


mikroorganisme tanah dandapat meningkatkan kualitas tanah, kesehatan tanah
serta mempercepat prosespengomposan. Berdasarkan penelitian Utomo B. (2010),
penggunaan bioaktivator(aktivator kompos) pada tanah gambut menghasilkan
peningkatan

tinggi

padatanaman

sebesar

39,44%

dan

penggunaan

mikroorganisme efektif (EM4),menurunkan C-organik dan meningkatkan N, P, K
dan Ca yang terlarut dalamtanah serta memperbaiki sifat kimia tanah. Berdasarkan

penelitian Rahayu M. S. dan Nurhayati (2005), penggunaanEM4 dalam

pengomposan limbah teh padat dapat mempengaruhi kecepatanpengomposan, hal
ini dapat dilihat dari perlakuan lama pengomposan nyatameningkatkan kandungan
N-total, P-tersedia, K-dd dan Mg, serta menurunkansuhu, C-organik, dan nisbah
C/N kompos. Unsur mikro cenderung meningkat danpH cenderung menurun
dengan lama pengmposan. Sampah merupakan masalah yang harus diatasi oleh
seluruh kalangan masyarakat. Kampus 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memiliki taman yang cukup luas yang ditumbuhi beraneka jenis rumput dan
pepohonan lainnya. Dan setiap harinya menghasilkan sampah organik yang cukup
banyak. Kami, sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi ingin memanfaatkan
sampah organik dari hasil pemotongan rumput di Kampus 1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat. Dan karena,
jarak kampus tidak terlalu jauh dari pasar Ciputat, kami pun mengambil beberapa
sampah sayuran dari tukang sayur yang ada di Pasar tersebut.
Untuk dapat mengetahui kompos yang baik dan lebih efisien, kami
menggunakan

bioaktivator


EM4

dan

bioaktivator

air

sampah

sebagai

perbandingannya. Dilihat dari efisiensi harga dan kemudahan mendapatkannya,
serta kompos yang dihasilkan. Penelitian kali ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang bioaktivator yang baik dan efisien dalam pembuatan kompos.
Serta perbandingan kompos yang menggunakan bioaktivator EM4 dan yang
menggunakan bioaktivator air sampah.
B. Tujuan
Untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan pada sistem pertanian organik
mulai dari pembuatan kompos, pembuatan silase pakan ternak, biogas, dan

pembuatan pakan ikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengomposan
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran
bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau
anaerobik (J.H. Crawford, 2003).
Menurut Sutedjo (2002), kompos merupakan zat akhir suatu proses
fermentasi, tumpukan sampah/ seresah tanaman dan ada kalanya pula termasuk
bingkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentas suatu pemupukan,
dirincikan oleh hasil bagi C/N yang menurun. Perkembangan mikrobia
memerlukan waktu agar tercapai suatu keadaan fermentasi yang optimal. Pada
kegiatan mempercepat proses dipakai aktifator, baik dalam jumlah sedikit
ataupun banyak, yaitu bahan dengan perkembangan mikrobia dengan fermentasi
maksimum. Aktifator misalnya: kotoran hewan. Akhir fermentasi untuk C/N
kompos 15 – 17.
Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Ratarata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%,sehingga pengomposan

merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk
dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang
dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan
lepasnya gas metana ke udara. (Rohendi, 2005).
Pertanian organik menjadi hal yang saat ini sedang dikembangkan
dengan pesat.Hal ini dilata rbelakangi dengan masalah,dimana semakin jenuhnya
pemberian pupuk yang berasal dari industri. Tanah semakin kering, semakin
kurangnya

kandungan

hara

organik

yang

pada

akhirnya


merugikan petani.Dasar inilah diperlukan upaya dalam peningkatan kebutuhan
bahan organik bagi tanaman.Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sisa-sisa
bahan organik untuk diolah menjadi kompos. Secara garis besar membuat kompos
berarti merangsang pertumbuhan bakteri (mikroorganisme) untuk menghancurkan

atau menguraikan bahan-bahan yang dikomposkan sehingga terurai menjadi
senyawa lain.
Proses yang terjadi adalah dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan organik
molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO2 dan
H2O serta penguraian lanjutan yaitu transformasi ke dalam mineral atau dari
ikatan organik menjadi anorganik. Proses penguraian tersebut mengubah unsur
hara yang terikat dalam senyawa organik yang sukar larut menjadi senyawa
organik yang larut sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Membuat kompos
adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat
terbentuk lebih cepat. Proses pengomposan oleh bahan organik mengalami
penguraian secara biologis,khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan
bahan organik sebagai sumber energi.Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses
ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup,

mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : mengandung unsur
hara dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan
unsur secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas dan mempunyai
fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Kehadiran kompos
pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas
pada tanah dan, meningkatkan meningkatkan kapasitas tukar kation. Hal yang
terpenting adalah kompos justru memperbaiki sifat tanah dan lingkungan,
(Dipoyuwono, 2007).
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh proses
pengolahan, sedangkan proses pengolahan kompos sendiri sangat dipengaruhi
oleh kelembaban dan perbandingan C dan N bahan baku, maka untuk menentukan
standarisasi kompos adalah dengan membuat standarisasi proses pembuatan
kompos serta standarisasi bahan baku kompos, sehingga diperoleh kompos yang
memiliki standar tertentu. Setelah standar campuran bahan baku kompos dapat
dipenuhi yaitu kelembaban ideal 50 – 60 persen dan mempunyai perbandingan C /
N bahan baku 30 :terdapat hal lain yang harus sangat diperhatikan selama proses
pembuatan kompos itu berlangsung, yaitu harus dilakukan pengawasan terhadap:

1. Temperatur
2. Kelembaban
3. Odor atau Aroma, dan
4. pH
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pengomposan yaitu :
1.

Rasio C/NRasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar
antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber
energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di
antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk
sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan
N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.

2.

Ukuran PartikelAktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan
udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara
mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat.
Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Untuk

meningkatkan

luas

permukaan

dapat

dilakukan

dengan

memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3.

AerasiPengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup
oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi
peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang
lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh
posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat,
maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak
sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau
mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.

4.

Porositasadalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan
volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan
mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi
oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan
juga akan terganggu.

5.

Kelembaban (Moisture content)Kelembaban memegang peranan yang
sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak
langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Kelembaban 40 – 60 % adalah
kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di
bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih
rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari
60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas
mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang
menimbulkan bau tidak sedap.

6.

Temperatur/suhu panas dihasilkan dari aktivitas mikroba.

2.2. Budidaya Cacing Lumbricus Rubellus
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai
tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili
terpenting dari kelas ini Megascilicidae dan Lumbricidae Cacing tanah bukanlah
hewan yang asing bagi masyarakatkita, terutama bagi masyarakat pedesaan.
Namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan
dan kesejahteraan manusia.
Jenis-jenis yang paling banyak dikembangkan oleh manusia berasal dari
famili Megascolicidae dan Lumbricidae dengan genus Lumbricus, Eiseinia,
Pheretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus. Beberapa jenis cacing tanah yang
kini banyak diternakan antara lain: Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga
jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang
dan sisa-sisa tumbuhan. Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh
pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak
pada segmen 27-32. Biasanya jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain
sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan besar tubuhnya bisa
menyamai atau melebihi jenis lain.
Cacing

tanah

jenis

Pheretima

segmennya

mencapai

95-150

segmen. Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik
panjang dan silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk
jenis Pheretima antara lain cacing merah, cacing koot dan cacing kalung. Cacing

tanah jenis Perionyx berbentuk gilik berwarna ungu tua sampai merah kecokelatan
dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17.
Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam pemeliharaannya diperlukan
perhatian yang lebih serius. Cacing jenis Lumbricus Rubellus memiliki
keunggulan lebih dibanding kedua jenis yang lain di atas, karena produktivitasnya
tinggi (penambahan berat badan, produksi telur/anakan dan produksi bekas cacing
“kascing”) serta tidak banyak bergerak.
2.3. Pembuatan Silase Pakan Ternak Sapi
Silase sendiri mempunyai keuntungan untuk meningkatkan kwalitas pakan
dan bertujuan juga untuk proses pengawetan pakan, sehingga jika seluruh
peternak di Indonesia mengetahui cara membuat dan menerapkan pakan silase,
maka program peningkatan swasembada daging 2014 dengan mudah dapat
tercapai. Kondisi pakan di Indonesia secara de facto sangat berlimpah, hal ini
ditunjukan banyaknya areal persawahan di Indonesia ini, sedangkan pemanfaatan
jerami untuk di olah secara silase masih sangat kurang. Disamping itu kondisi
tanah sebagian besar di Indonesia sangat subur, sehingga penanaman rumput
mampu tumbuh dengan baik dan subur, namun pada saat musim kemarau panjang
peternak selalu di repotkan oleh masalah pakan sapi dan berakibat banyak diantara
mereka menjual sapi-sapinya. Secara hukum ekonomi semakin banyak peternak
menjual sapi di musim kemarau maka harga sapi di musim kemarau akan
menurun. Itu tidak akan terjadi jika teknologi pembuatan silase diterapkan oleh
peternak sapi di Indonesia.
Ada dua pokok masalah yang menyebabkan pakan sapi tidak memenuhi
kecukupan gizi baik secara kwalitas maupun kwantitas. Rendahnya kwalitas
pakan sapi disebabkan karena :
1. Bahan pakan sapi yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami
mempunyai kadar protein kasarnya yang rendah dan serat kasarnya tinggi,
tingginya serta kasar ini disebabkan adanya komponen lignoselulosa
(karbohidrat kompleks) yang sulit dicerna oleh saluran pencernaan sapi.
2. Keterbatasan ketersediaan pakan yang tidak terus menerus akibat
kelangkaan pakan pada saat musim kemarau, sehingga perlu dibuat

teknologi terobosan untuk meningkatkan nilai gizi dari pakan ternak yang
umum dilakukan adalah membuat hijauan kering (hay), penambahan urea
(amoniasi) dan awetan hijiauan (silase).
Pada prinsipnya dasar pembuatan silase pakan sapi adalah menciptakan
terjadinya kondisi anaerob dan menjadikannya pakan rumput/jerami dalam
keadaan asam secara singkat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
membuat kondisi anaerob dan asam pada pakan yaitu : bagaimana menghilangkan
O2 dengan cepat dan mencegah masuknya oksigen kedalam silo pakan sapi ,
menciptakan asam laktat yang untuk menurunkan pH, dan menghambat
pertumbuhan jamur selama penyimpanan silase tersebut.
Proses fermentasi silase dimulai pada saat oksigen telah habis digunakan oleh
sel tanaman rumput atau jerami. Bakteri yang kita tumbuhkan akan memakai
karbohidrat untuk menghasilkan asam laktat sehingga pH silase akan menurun
secara cepat pada kisaran 3,6-4,5. Tanaman rumput di lapangan mempunyai pH
yang bervariasi antara 5 dan 6, setelah difermenatsi turun menjadi 3.6- 4.5.
Keuntungan penurunan pH yang cepat adalah untuk mencegah pemecahan protein
dan menghambat pertumbuhan bakteri anaerob yang merugikan di dalam pakan
sapi seperti enterobacteria dan clostridia.
2.4. BioGas
Biogas adalah
gas
yang
dihasilkan
oleh aktifitas
anaerobik atau fermentasi dari
bahan-bahan organik termasuk
diantaranya:
kotoran manusia dan hewan,limbah
domestik
(rumah
tangga),
sampah biodegradable atau setiap limbah organik yangbiodegradable dalam
kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metanadan karbon
dioksida.
Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik
dengan bantuan bakteri. Proses degradasi material organik ini tanpa melibatkan
oksigen disebut anaerobik digestion. Gas yang dihasilkan sebagian besar (lebih 50
%) berupa metana. Material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan
diuraikan menjadi dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama
material organik akan didegradasi menjadi asam-asam lemah dengan bantuan
bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah pada tingkat
hidrolisis dan asidifikasi. Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks atau
senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi senyawa yang

sederhana. Sedangkan asidifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa
sederhana.
Setelah material organik berubah menjadi asam-asam, maka tahap kedua
dari proses anaerobik digestion adalah pembentukan gas metana dengan bantuan
bakteri pembentuk metana seperti methanococus, methanosarcina, methano
bacterium.
Perkembangan proses anaerobik digestion telah berhasil pada banyak
aplikasi. Proses ini memiliki kemampuan untuk mengolah sampah/limbah yang
keberadaanya melimpah dan tidak bermanfaat menjadi produk yang lebih bernilai.
Aplikasi anaerobik digestion telah berhasil pada pengolahan limbah industri,
limbah pertanian limbah peternakan dan municipal solid waste (MSW).
2.5. Pembuatan Pakan Ikan
Pakan merupakan komponen paling penting dalam usaha budidaya ikan,
termasuk ikan lele. Sialnya, harga pakan lele tidak murah. Sebagian besar bahan
bakunya diimpor. Hal ini banyak dikeluhkan para peternak ikan. Untuk menjawab
kendala di atas, ada baiknya kita mengetahui bagaimana cara membuat pakan lele
alternatif dan sebagai subtitusi pelet buatan pabrik. Terdapat dua tipe pakan
alternatif yang akan dipaparkan di sini, yakni pakan dari bahan-bahan utama dan
pakan yang memanfaatkan bahan sisa-sisa. Pakan dari bahan utama dibuat dari
bahan-bahan yang memiliki kandungan nutrisi sesuai dengan kebutuhan ikan lele.
Sedangan pakan tambahan didapatkan dari bahan-bahan organik sisa atau yang
harganya murah dan ketersediaanya melimpah.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Pengomposan

2. Silase

3. Budidaya cacing

4. Pakan ikan

B. Pembahasan
Berdasarkan sumber, untuk mendapatkan hasil kompos yang baik yaitu dengan
melihat perubahannya terutama pada warna, semakin hitam bertandakan kompos
ini sudah jadi atau siap untuk digunakan. Dilihat dari data hasil praktikum, kedua
kompos yang kami buat mengalami pembusukan dengan menunjukan perubahan
warna tetapi warna dari kedua kompos belum terlihat hitam hanya berwarna
coklat, ini mungkin disebabkan substrat yang kami pakai hanyalah dedaunan dan
sedikit penambahan tanah serta serpihan kayu gergaji, selain itu dedaunan yang
kami gunakanpun bukanlah dedaunan kering tetapi dedaunan yang sengaja
dipotong

karena

pertumbuhannya

sudah

melebihi,

seperti

rumput

dan

penambahan lainnya adalah daun singkong hijau sisa pasar. Pada aerasi pertama
belum terlihat perubahan spesifik dari dedaunan kedua kompos tetapi pada aerasi
kedua sudah terlihat kondisi pengomposan yaitu dedaunan mulai melayu
berwarna coklat muda terlihat kedua kompos mengalami ini hanya saja perbedaan
juga nampak pada kompos dengan starter air sampah organik membuat substrat
lebih lunak atau melayu, sedangkan pada EM4 tidak selayu pemakaian air

sampah, nampak masih terdapat dedaunan yang agak terlihat segar. Disini terlihat
kerja air sampah organik lebih baik dibanding starter EM4.
Dalam beternak cacing tanah ada dua hasil terpenting (utama) yang dapat
diharapkan, yaitu biomas (cacing tanah itu sendiri) dan kascing (bekas cacing).
Panen cacing dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan
mengunakan alat penerangan seperti lampu petromaks, lampu neon atau bohlam.
Cacing tanah sangat sensitif terhadap cahaya sehingga mereka akan berkumpul di
bagian atas media. Kemudian kita tinggal memisahkan cacing tanah itu dengan
medianya. Ada cara panen yang lebih ekonomis dengan membalikan sarang.
Dibalik sarang yang gelap ini cacing biasanya berkumpul dan cacing mudah
terkumpul, kemudian sarang dibalik kembali dan pisahkan cacing yang tertinggal.
Jika pada saat panen sudah terlihat adanya kokon (kumpulan telur), maka sarang
dikembalikan pada wadah semula dan diberi pakan hingga sekitar 30 hari. Dalam
jangka waktu itu, telur akan menetas. Dan cacing tanah dapat diambil untuk
dipindahkan ke wadah pemeliharaan yang baru dan kascingnya siap di panen.
Teknologi biogas pada dasarnya memanfaatkan proses pencernaan yang
dilakukan oleh bakteri methanogen yang produknya berupa gas methana (CH4).
Gas methana hasil pencernaan bakteri tersebut bisa mencapai 60% dari
keseluruhan gas hasil reaktor biogas, sedangkan sisanya didominasi CO2. Bakteri
ini bekerja dalam lingkungan yang tidak ada udara (anaerob), sehingga proses ini
juga disebut sebagai pencernaan anaerob (anaerob digestion).
Bakteri methanogen akan secara natural berada dalam limbah yang
mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah
organik rumah tangga. Keberhasilan proses pencernaan bergantung pada
kelangsungan hidup bakteri methanogen di dalam reaktor, sehingga beberapa
kondisi yang mendukung berkembangbiaknya bakteri ini di dalam reaktor perlu
diperhatikan, misalnya temperatur, keasaman, dan jumlah material organik yang
hendak dicerna.
Tahap lengkap pencernaan material organik adalah sebagai berikut
(Wikipedia, 2005):

1. Hidrolisis : Pada tahap ini, molekul organik yang komplek diuraikan
menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti karbohidrat (simple sugars),
asam amino, dan asam lemak.
2. Asidogenesis: Pada tahap ini terjadi proses penguraian yang menghasilkan
amonia, karbon dioksida, dan hidrogen sulfida.
3. Asetagenesis : Pada tahap ini dilakukan proses penguraian produk
acidogenesis; menghasilkan hidrogen, karbon dioksida, dan asetat.
4. Methanogenesis : Ini adalah tahapan terakhir dan sekaligus yang paling
menentukan, yakni dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap
sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari
proses ini berupa karbon dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas
lainnya.
Di dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan,
yakni bakteri asam dan bakteri methan. Kedua jenis bakteri ini perlu eksis dalam
jumlah yang berimbang. Kegagalan reaktor biogas bisa dikarenakan tidak
seimbangnya populasi bakteri methan terhadap bakteri asam yang menyebabkan
lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang selanjutnya
menghambat kelangsungan hidup bakteri methan (Garcelon dkk).
Keasaman substrat/media biogas dianjurkan untuk berada pada rentang pH 6.5
s/d 8 (Garcelon dkk). Bakteri methan ini juga cukup sensitif dengan temperatur.
Temperatur 35oC diyakini sebagai temperatur optimum untuk perkembangbiakan
bakteri methan (Garcelon dkk). Untuk cara membuat pakan ikan nila sendiri
sebenarnya cukup sederhana. Ada beberapa bahan yang harus disiapkan. Yang
pertama aneka tepung yang terbuat dari ikan, udang, tulang maupun jeroan.
Secara khusus, tepung ikan ini bisa dibuat sendiri atau membeli dalam bentuk
jadi. Sedangkan untuk tepung udang biasanya bisa didapat dari perusahaan yang
olahan udang. Untuk bahan ini dipakai minimal 10% dari total bahan. Bahan
kedua adalah bahan yang bersifat perekat.
Bahan ini berupa tepung gaplek, onggok, tapioka, jagung pipilan halus dan
polar katulnya gandum. Untuk bahan perekat biasanya dipakai sekitar 10%
sampai 30%. Bahan ketiga adalah bahan pelengkap. Beberapa campuran yang
bisa dipakai yaitu dedak halus, bungkil kedelai, bungkil kelapa, minyak ikan,

vitamin dan mineral untuk ikan. Untuk bahan campuran yang berupa minyak ikan,
maksimal dipakai 10 % dari total bahan. Jika anda memakai terlalu banyak
minyak ikan, gelatinasi pakan akan terganggu.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun dalam praktikum ini yang dapat disimpulkan yaitu:
1. Dengan teknologi anaerobik, selain memperoleh biogas, manfaat lainnya
adalah akan diperoleh pupuk organik dengan kualitas yang tinggi, yang
sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Bahkan,
unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose, lignin, dan lain-lain yang
tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia.
2. Pakan tersebut harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin
dan mineral. Protein berfungsi sebagai sumber energi utama.
3. Silase merupakan hijauan yang diawetkan dg cara fermentasi dalam
kondisi air yang tinggi (40-80%).
4. Keberhasilan beternak cacing tanah tidak terlepas dari pengendalian
terhadap hama dan musuh cacing tanah.

5. Salah satu cara mengatasi permasalahan sampah adalah dengan
membuatnya menjadi kompos. Kompos adalah hasil penguraian
parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat
dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam
kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik.
6. Pengomposan

dapat

dipercepat

dengan

beberapa

strategi

seperti

Memanipulasi kondisi / faktor-faktor yang berpengaruh pada proses
pengomposan,Menambahkan Organisme yang dapat mempercepat proses
pengomposan,Menggabungkan strategi pertama dan kedua.
C. Saran
Dalam

praktikum

ini

sebaiknya

pengamatan

lebih

efektif

dan

pemeliharaan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Asep.2011. Wawancara dengan Peternak Cacing Tanah. Bandung.
Budiarti, A.P.R..2008. Beternak Cacing Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2005-11-30-Reaktor-Biogas
Skala-Kecil%20or%20Menengah-(Bagian-Pertama).shtml
http://id.wikipedia.org/wiki/Biogas
Nuryani dan Rachman.2002. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan volume 3.
Yogyakarta: UGM press
Sofian. 2006. Sukses Membuat Kompos dari Sampah. Surabaya : Agromedia
Pustaka.
Sudrajat. 2006. Seri Agriteknologi. Mengelola Sampah Kota. Surabaya : Penebar
Swadaya
www.google.com//isroi.kompos_dan_proses_pengomposan diakses 06 mei 2015.

LAMPIRAN