Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Di Kota Medan

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tugas Negara adalah melakukan pembangunan dengan tujuan akhir
yaitu kesejahteraan rakyat yang merata. Tugas untuk melakukan pembangunan
tersebut dapat terlaksana dengan adanya organisasi yang luas beserta segala cabangcabang memungkinkan Negara dapat menunaikan tugasnya itu dengan sempurna, di
mana tentunya untuk hal itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber
biaya untuk melaksanakan tugas Negara tersebut berasal dari sektor pajak. Pajak
sebagai sumber utama penerimaan Negara dipandang sangatlah perlu untuk terus
ditingkatkan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri
berdasarkan prinsip kemandirian. 1
Dari berbagai jenis pajak yang dikenakan terhadap masyarakat sebagaimana
dikemukakan di atas, salah satunya adalah pajak yang dikenakan akibat terjadinya
perbuatan hukum atas peralihan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini disebabkan
karena Negara menganggap tanah dan bangunan merupakan salah satu aset yang
mendatangkan nilai ekonomis. Jenis-jenis pajak ini dikenakan bagi pihak-pihak yang
mengalihkan hak ataupun yang menerima hak atas tanah dan atau bangunan tersebut.2
Untuk dapat mengenakan pajak, satu syarat yang mutlak yang harus dipenuhi

adalah adanya objek pajak yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak. Pada
dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatbestand (keadaan yang
1
2

Tjipto Ismail, Pengaturan Pajak Derah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, 2007, hal.1.
Masdianto, Perpajakan, Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta, 2002, hal.1.

1

Universitas Sumatera Utara

2

nyata). Dengan demikian taatbestand adalah keadaan, peristiwa, atau
perbuatan yang menurut Peraturan Perundang-Undangan dapat dikenakan
pajak. Kewajiban pajak dari seorang wajib pajak muncul (secara objektif)
apabila ia memenuhi taatbestand. Tanpa dipenuhinya taatbestand tidak ada
pajak terutang yang harus dipenuhi atau dilunasi.3
Dalam praktek masyarakat, pungutan pajak daerah sering kali disamakan

dengan retribusi daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa keduanya
merupakan pembayaran kepada pemerintahan, pandangan ini tidak sepenuhnya benar
karena pada dasarnya terdapat perbedaan yang besar antara pajak dan retribusi. Oleh
sebab itu, sebelum membahas pajak daerah dan retrubisi daerah yang dipungut di
Indonesia, perlu kiranya diketahui kedua jenis pungutan tersebut. ekonomi secara
umum dalam bentuk uang oleh pemerintah kepada masyarakat guna membiayai
pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk melakukan tugas pemerintah atau
melayani kepentingan masyarakat. Penarikan pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah kepada masyarakat, harus memenuhi syarat, yaitu harus ditetapkan
dengan Undang-Undang atau peraturan lainnya, dapat dipaksakan, mempunyai
kepastian hukum, dan adanya jaminan kejujuran dan integritas si pemungut (petugas
yang ditunjuk oleh pemerintah) serta jaminan bahwa pungutan tersebut akan
dikembalikan lagi kepada masyarakat. Dengan adanya jaminan tersebut pungutan
dapat dilaksanakan kepada masyarakat.
Saat ini di Indonesia, khususnya daerah, penarikan sumber daya ekonomi
melalui pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan dengan aturan hukum
yang jelas, yaitu dengan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah
sehingga dapat diterapkan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah. Hal
3


Marihot P. Siahaan. Pajak Daerah Dan Restribusi Daerah, Raja Grafindo Persada. Jakarta,
2005, hal. 55

Universitas Sumatera Utara

3

ini menunjukan adanya persamaan antara pajak dan retribusi, yaitu
pemungutan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat yang didasarkan
kepada aturan hukum yang jelas dan kuat. Pajak dan retribusi daerah sebagai
sumber penerimaan daerah telah dipungut di Indonesia sejak awal
kemerdekaan Indonesia. Sumber penerimaan ini terus dipertahankan sampai
dengan era otonomi daerah. Penetapan pajak dan retribusi daerah sebagai
sumber penerimaan daerah ditetapkan dengan dasar hukum yang kuat, yaitu
dengan undang-undang, khususnya undang-undang tentang pemerintahan
daerah maupun tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.4
Besarnya peran yang diberikan oleh pajak daerah sebagai sumber dana dalam
pembangunan nasional, maka tentunya perlu lebih digali lagi potensi pajak yang ada
dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian serta
perkembangan bangsa ini. Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali sesuai

situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang
ini adalah jenis Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).5
Pajak BPHTB adalah jenis pajak daerah yang masih tergolong baru sebab
sebelumnya ditangani oleh Pemerintah Pusat dan saat ini telah dialihkan kepada daerah.
Oleh karena jangka waktu pelaksanaannya di daerah masih baru yaitu mulai berlaku
sejak bulan Januari 2011, sehingga masih banyak penyesuaian di lapangan yang harus
dilakukan oleh Pemerintah Daerah terutama dibidang pelayanan.

Dalam perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, bagi
pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima pengalihan masing-masing telah
ada ketentuan-ketentuan yang mengatur dan menetapkan dalam peraturan yang
berbeda mengenai kewajiban masing-masing pihak dalam hal pembayaran. Tujuan
4

Ibid hal 30
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan
Praktek, Edisi I ,Cetakan. I, Raja Grafindo, Jakarta, 2003, hal. 6.
5

Universitas Sumatera Utara


4

adanya ketentuan ini adalah agar dapat memaksimalkan penerimaan pajak bagi kas
Negara.6
Dalam pelaksanaanya, BPHTB melibatkan banyak pihak yang terkait seperti :
Kantor Pertanahan, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Bank,
Pemerintahan Daerah, Pengadilan termasuk lembaga-lembaga yang ada di bawahnya,
selain itu peraturan-peraturan yang mendukung pelaksanaan BPHTB juga saling
terkait antara satu dengan lainnya. Karena saling keterkaitan tersebut, baik
keterkaitan peraturan maupun lembaga-lembaganya, maka dalam prakteknya tidak
jarang malah menimbulkan masalah.
Dasar yuridis pemungutan BPHTB terdapat didalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, telah mengatur dengan
jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus
ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini berarti untuk dapat diterapkan dan
dipungut pada suatu daerah kabupaten, atau kota, harus terlebih dahulu ditetapkan
peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut.
Sehubungan pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kota dan Kabupaten sesuai

amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah, maka
Pemerintah Kota Medan menerbitkan sejumlah peraturan, yakni, Peraturan Daerah

6

Kartasapoetra G., Pajak Bumi dan Bangunan Prosedur dan Pelaksanaannya, Bina Aksara,
Jakarta, 1989, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

5

Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011, Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2011 dan
Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan.7
Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah diundangkan dalam lembaran
daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah tidak dapat
berlaku surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan Pasal 1 bahwa Peraturan Daerah

Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
menyatakan bahwa sistem untuk pembayaran BPHTB terutang menggunakan self
assestment system, begitu juga dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 tahun
2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Peraturan Walikota
Nomor 34 Tahun 2011.
Beberapa masalah yang timbul disebabkan karena tindakan penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan Kadispenda Medan melalui surat edarannya yang

7

Harian Analisa, IPPAT Nilai Verifikasi Dispenda Medan Munculkan Berbagai Masalah,
diterbitkan tanggal 26 Pebruari 2012, hal.9.

Universitas Sumatera Utara


6

mewajibkan para wajib pajak terlebih dahulu melakukan verifikasi (pemeriksaan) ke
dinas tersebut. Padahal aturan verifikasi tidak diatur dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota.8 Maka dari itu self assestment system tidak
dapat terlaksana lagi.
Perolehan hak atas tanah yang telah bersertifikat yang dilakukan para pihak
harus dibuat dengan menggunakan akta otentik dan dilakukan di hadapan PPAT.
Oleh karena peralihan hak atas tanah itu, merupakan merupakan salah satu perbuatan
hukum yang dibuat dengan akta otentik oleh PPAT, maka salah satu kewajiban PPAT
dalam pembuatan akta itu adalah memastikan bahwa pembayaran BPHTB yang
terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak dengan memperlihatkan bukti Surat Setoran
Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSPD).
Bagi Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SSPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang
tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Dan bagi Wajib Pajak yang
dengan sengaja tidak menyampaikan SSPD atau mengisi dengan tidak benar atau
tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan

keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang bayar.9

8

Ibid
Richard, Sistem Perpajakan di Indonesia, www.Sumaterautara.go.id/index.php/bphtb.html
diakses 11 Juni 2012
9

Universitas Sumatera Utara

7

Verifikasi Dispenda Kota Medan memunculkan beberapa masalah yang
mengganggu lalu lintas penyetoran BPHTB ke kas Pemko Medan. Selain itu,
berakibat kevakuman dan stagnasi kegiatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). 10
Penelitian/verifikasi yang dilakukan oleh Dispenda Kota Medan, bukan saja
terhadap kebenaran dari surat setoran BPHTB dan kelengkapan dokumen

pendukungnya, akan tetapi penelitian/verifikasi dilakukan juga terhadap tunggakan
pembayaran PBB mulai sejak tahun 1994 sampai tahun 2011, dan verifikasi terhadap
Surat Setoran BPHTB baru dapat diberikan apabila tunggakan PBB yang ada sejak
tahun 1994 sampai dengan tahun 2011 dilunasi oleh pemohon, dalam hal ini pembeli
yang terakhir dari objek pajak (tanah/bangunan), walaupun data tunggakan yang
disodorkan masih diragukan kebenarannya. Hal ini jelas menyimpang dari rasa
keadilan dan kepatutan.11
Adapun hal-hal yang harus diverifikasi antara lain, kebenaran data tanah atau
bangunan yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Bumi dan
Bangunan (SPPT-BB) dengan kondisi lapangan. Selain itu, kaharusan
membayar pajak tunggakan pajak bumi dan bangunan (PBB) sampai 15 tahun
kebelakang. Keharusan verifikasi menjadi bermasalah karena mempengaruhi
lamanya proses transaksi pemindahan dan peralihan hak atas tanah.
Selanjutnya, keharusan membayar tunggakan PBB melanggar Peraturan
Walikota karena dalam peraturan itu kadaluarsa pajak adalah sepuluh tahun
dan menimbulkan ketidak-adilan bagi masyarakat terutama pihak penjual
yang belum tentu pemilik tanah selama 15 tahun kebelakang.12
Masalah lain juga muncul diakibatkan Peraturan Walikota yang menentukan
pengurangan pembayaran BPHTB terhadap warisan dan hibah dapat diberikan oleh
10


Harian Analisa, Loc.Cit
Anthony, Tata cara pembayaran BPHTB di Kota Medan, www.analisadaily.com diakses
19 April 2012
12
Ibid
11

Universitas Sumatera Utara

8

Kepala Dinas Pendapatan melalui Surat Keputusan pemotongan maksimal dengan
jumlah 50 persen. Mereka menilai pemotongan itu membuka peluang kemungkinan
terjadi kolusi dan nepotisme.
Pihaknya telah berupaya membahas persoalan-persoalan tersebut dengan
pihak terkait yaitu, Komisi C DPRD Medan, Dispenda Medan, Kantor
Pertahanan Medan namun tidak membuahkan hasil apapun, bahkan pertemuan
terakhir dengan Kadispenda Medan, para notaris itu merasa dilecehkan.Selain
itu, soal pernyataannya ada PPAT yang lain bukan melecehkan profesi PPAT
tapi memang jika tidak mau bekerjasama dengan Dispenda masih ada PPAT
yang mengganti. “Bukan PPAT yang lain, tapi PPAT pengganti. Kalau
mereka berhenti kan ada penggantinya. Soalnya dari pertemuan itu ada salah
satu orang yang ngotot betul, dan menyalahkan Dispenda bahkan
menyampaikan kami capek-capek kerja, makanya saya bilang, kalau tidak
sanggup jadi PPAT masih ada PPAT pengganti. Dispenda disini, lanjutnya
sebenarnya tidak ada mempersulit hanya membantu bagaimana masuknya
dana Anggaran Dasar ke Dinas Pendapatan Kota Medan.13 Dia juga
menegaskan soal adanya tudingan intervensi bank. pihak bank tidak mau
menerima sebelum Dispenda melakukan Verifikasi. Artinya, verifikasi untuk
menyelamatkan dana yang terjadi di lapangan. “Kita harus verifikasi supaya
jangan ada kekurangan bayar di lapangan, kalau tidak diverifikasi ternyata di
lapangan ada tanah sebelumnya tidak ada bangunan, ternyata ada bangunan
ini kita tarik lagi BPHTB sebelum mereka bayar.14
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah
diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4
Tahun 1999 Pasal 35 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, sebagai
berikut;
a.

Pembinaan dan Pengawasan pelaksanaan Tugas PPAT dilakukan dengan :
1) Penetapan peraturan mengenai ke-PPAT-an sebagai pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;

13
14

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara

9

2) Penetapan peraturan dan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan tugas PPAT;
3) Sosialisasi kebijaksanaan dan peraturan pertanahan serta petunjuk teknis
kepada para PPAT;
4) Pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban-kewajiban PPAT; serta
5) Pengenaan tindakan administratif terhadap PPAT yang melangar larangan
atau melalaikan kewajibanya.
b.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT Kantor
Pusat Badan Pertanahan Nasional;
1) Memberikan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT, serta
2) Menyampaikan dan menjelaskan kebijaksanaan dan peraturan pertanahan
serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas jabatan PPAT yang telah ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan.

c.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan PPAT Kepala Kantor Wilayah;
1) Menyampaikan dan menjelaskan kebijaksanaan dan peraturan pertanahan
serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan;
2) Melaksanakan fungsinya dalam rangka pengenaan tindakan administrasi
kepada PPAT yang melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya sesuai
ketentuan dalam peraturan ini.

d.

Dalam rangka pembinaan pengawasan PPAT Kepala Kantor Pertanahan;
1) Menyampaikan dan menjelaskan kebijaksanaan dan peraturan pertanahan
serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang ditetapkan oleh pejabat

Universitas Sumatera Utara

10

yang berwenang menurut peraturan perundangan yang berlaku dalam
koordinasi Kepala Kantor Wilayah;
2) Melaksanakan fungsinya dalam rangka mengenakan tindakan administratif
kepada PPAT yang melanggar larangan atau melalaikan kewajiban sesuai
ketentuan dalam peraturan ini;
3) Memeriksa akta PPAT dalam rangka pendaftaran peralihan atau pembebanan
hak atas tanah yang bersangkutan dan memberitahukan alasannya secara
tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila akta tersebut tidak
memenuhi syarat dasar pendaftaran peralihan atau pembebanan hak;
4) Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.
Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban
operasional PPAT, Kepala Kantor Pertanahan dapat menugaskan staf Kantor
Pertanahan

untuk

melakukan

pemeriksaan

di

Kantor

PPAT

yang

bersangkutan. Petugas ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan harus
disertai surat tugas.
Self assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif
untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di Wajib Pajak.15 Untuk bisa
meningkatkan penerimaan pajak tidak mudah, karena sistem self assessment yang
diterapkan di Indonesia mengandung banyak kelemahan. Salah satunya adalah sangat
tergantung pada kejujuran wajib pajak. Apabila wajib pajak tidak jujur, maka tidak
mudah bagi petugas pajak untuk menghitung pajak yang terutang hingga benar.
15

Safri Nurmanu, Pengantar Perpajakan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 110

Universitas Sumatera Utara

11

Apalagi masih terdapat kendala seperti kerahasiaan bank dan terbatasnya data
transaksi keuangan pajak.16
Sistem pemungutan pajak di Indonesia saat ini menganut self assessment
system. Dalam sistem ini, wajib pajak atau pengusaha kena pajak diberi
kepercayaan untuk melakukan kewajiban pajaknya dengan menghitung
sendiri dasar pengenaan pajak, menghitung sendiri pajak yang terutang,
memperhitungkan sendiri pembayaran pajak baik yang dibayar sendiri
maupun yang dibayar melalui pemotongan atau pemungutan oleh orang lain,
membayar sendiri jumlah pajak terutang yang dimaksud dan melaporkan
sendiri perhitungan tersebut dengan mengisi Surat Pemberitahuan dan
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.17
Sistem ini juga berlaku bagi wajib pajak dalam hal peralihan hak yaitu
perhitungan pajak PPh (Pajak Penjual) dan BPHTB (Pajak Pembeli) . Jadi
Perhitungan lembaran SSP dan SSPD tersebut diisi dan dibayar oleh wajib pajak
tersebut terlebih dahulu sebelum melakukan penanda tanganan akta di hadapan
PPAT/Notaris, sesuai dengan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah secara tegas menyatakan: “Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak”.
Konsekuensi yang akan diterima oleh PPAT/Notaris, terhadap pelanggaran
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 91 ayat (1) akan dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
16
Siti Zubaidah, Sistem Self Assestment dalam pembayaran BPHTB, www.wikipedia.org/wiki/Pajak,
diakses 9 Juni 2012
17
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 26.

Universitas Sumatera Utara

12

untuk setiap pelanggaran.18 Sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 dan sesuai juga dengan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Medan nomor 01 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam bentuk tesis tentang hal tersebut dengan judul : “Kajian Yuridis Terhadap
Pelaksanaan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kota Medan.”
B. Perumusan Masalah
Adapun pokok masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh PPAT/Notaris
terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB atas pengalihan hak atas
Tanah dan Bangunan di Kota Medan?

2. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB di Kota Medan?
3. Bagaimana kepastian hukum atas pembayaran BPHTB terutang yang akta
pengalihan hak atas tanah dan bangunannya telah dibuat oleh PPAT/Notaris
di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian
Sebagai tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh PPAT/Notaris
terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB atas pengalihan hak atas
18

Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara

13

Tanah dan Bangunan di Kota Medan
2. Untuk mengetahui sistem pemungutan BPHTB di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui kepastian hukum atas pembayaran BPHTB terutang yang
akta pengalihan hak atas tanah dan bangunannya telah dibuat oleh
PPAT/Notaris di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam
membuat kebijakan yang strategis dalam peningkatan pajak daerah dan retribusi
daerah khususnya di Kota Medan.

2.

Untuk menambah wawasan keilmuan penulis terutama berkaitan dengan Hukum
Pajak dalam hal ini Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

3.

Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai untuk pengembangan dalam rangka
mencari dan untuk mendapatkan pemikiran baru mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah untuk menunjang pembangunan Daerah di Kota Medan.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara khususnya di Magister Kenotariatan, diketahui bahwa
penelitian tentang “Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah di Kota Medan”. belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan

Universitas Sumatera Utara

14

masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik yang mirip, namun jelas berbeda
dengan penelitian ini.
Ada ditemukan beberapa penelitian sebelumnya tentang perpajakan (Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), namun topik permasalahan dan bidang
kajiannnya berbeda dengan penelitian ini, peneliti tersebut antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Belinda Siti Ayesha, Mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak pemungutan pajak
penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (Studi di
Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota”.
Pokok masalah dari penelitian adalah:
a. Apakah pemungutan PPh dan BPHTB dapat dikenakan terhadap semua jenis
Bangunan?
b. Bagaimana upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengajukan keberatan
terhadap pemungutan PPh dan BPHTB atas setiap perolehan hak atas tanah
dan bangunan?
c. Apakah kendala-kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB
hak atas PPh/atau bangunan tersebut?
2. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Elisabeth Siallagan, Mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Pembebanan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap Pemisahan dan
Pembagian Warisan”.
Pokok masalah dari penelitian adalah:

Universitas Sumatera Utara

15

a. Kapankah peralihan hak atas tanah dan bangunan karena pewarisan terjadi
dengan sempurna sehingga dapat dikenakan BPHTB?
b. Apakah perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemisahan dan
pembagian warisan merupakan objek BPHTB, sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan BPHTB?
c. Apakah kendala-kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pemungutan Pajak
Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan?

3. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Lusiana, Mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Hukum Atas
Perbuatan Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran BPHTB (studi kasus
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2601/PD.B/2003/PN.MDN)”.
Pokok masalah dari penelitian adalah:
a. Bagaimanakah keabsahan sebuah akta yang dibuat oleh notaris yang
menimbulkan delik hukum?
b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap notaris yang melakukan penerimaan
penitipan pembayaran BPHTB?
c. Bagaimanakah kebijakan hukum dalam upaya mengatasi perbuatan notaris
yang menerima penitipan pembayaran BPHTB?
4. Penelitian yang dilakukan oleh M. Syahrizal, Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Tinjauan Yuridis atas pelaksanaan
pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) terhadap peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan di Kota

Universitas Sumatera Utara

16

Kisaran”.
Pokok masalah dari penelitian adalah:
a. Bagaimana pengaturan PPh dan BPHTB tentang mengharuskan wajib pajak
melakukan pembayaran terutang?
b. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan PPh
dan BPHTB di Kota Kisaran?
c. Bagaimana penyelesian terhadap kendala-kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pembayaran PPh dan BPHTB?
Dengan demikian jelas bahwa penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara akademis.

F. Teori dan Konsepsi
1. Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau
pegangan teoritis dalam penelitian.19
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada
berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soejono Soekanto
bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas

19

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Cetakan ke I, Bandung, 1994,

hal.80.

Universitas Sumatera Utara

17

penelitian dan imajinasi sosial, juga semangat ditentukan oleh teori.20 Suatu teori
harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidak benaranya.21 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa
gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Teori menguraikan jalan pikiran menurut
kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan
didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah
tersebut.23
Teori diartikan sebagai ungkapan mengenal kausal yang logis diantara
perubahan variabel dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
kerangkan pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan
yang timbul dalam bidang tersebut.24
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.25
Dalam teori konvensional, tujuan hukum adalah “mewujudkan keadilan
(rechtsgerchtigheid),

kemanfaatan

(rechtsutiliteit)

dan

kepastian

hukum

(rechtszekerheid).”26 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790),
Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow
20

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, penyunting M. Hisman, UI Press
Jakarta, 1996, hal. 203
22
Ibid, hal. 122
23
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi,
Yogyakarta, 2006, hal. 6
24
Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung,
Jakarta, 1998, hal. 12
25
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
hal. 35
26
Achmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung
Agung, Jakarta, 2002, hal. 85
21

Universitas Sumatera Utara

18

University pada tahun 1750,27 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).
Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari
kerugian” (the end of justice is to secure from injury).28
Dalam literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. Kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak
menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam arti karena menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontenstasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma.29
Hans Kalsen sebagai salah satu eksponen genre of legal positivism
mengonstrusikan suatu model mengenai stufenbau des recht atauthe hierarchy of
norms yang dijadikan referensi teoritis oleh banyak Negara dalam konstruksi tata
urutan

perundang-undangannya.

Walaupun

ada

beberapa

pemikir

yang

menngontruksi hirarki peraturan perundang-undangan, tetapi dengan model atau
anasir-anasir yang berbeda.30
Eksplorasi pemikiran Hans Kalsen mengenai hirarki peraturan perundangundangan yang ab initio harus didalam konteks nalar legal positivism atau the
hierarchy of norms Hans Kalsen intheren dengan nalar hukum legal positivism. Hans
Kalsen mengkualifikasikan hukum sebagai sesuatu yang murni formil. Jadi, tata

27

Bismar Nasution, mengkaji Ulang sebagai landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada
Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU- Medan, 17 Aprul 2004, hal. 4-5. sebagaimana dikutip dari Neil
Mac Cormick, “Adam Smith On law” Valvaraiso University Law Review,Vol. 15. 1981, hal. 244
28
Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of
Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Found, Tahun 1982, hal. 9
29
Denny Maulana, Tujuan dan fungsi hukum, www.Praktishkm.com, diakses tanggal 9
Agustus 2010
30
Muhammad Egi Prayoga, Teori Hans Kelsen, www.ghafais.blogspot.com/2012/01/teorihans-kalsenhans-nawiaski-di.html diakses 21 Mei 2012

Universitas Sumatera Utara

19

hukum adalah suatu sistem norma, sistem norma merupakan suatu susunan
berjenjang (hirarki) dan setiap norma bersumber pada norma yang berada di atasnya,
yang membentuknya atau yang menentukan validasinya dan menjadi sumber bagi
norma yang ada dibawahnya. Puncak dari hirarki tersebut adalah suatu norma dasar
yaitu konstitusi. Norma dasar tersebut merupakan menjadi dasar tertinggi validitas
keseluruhan tata hukum. Konstitusi yang dimaksud disini adalah konstitusi dalam arti
materil, bukan formil.
Teori the hierarchy of norms yang diintrodusi Hans Kalsen di atas dapat
dimaknai sebagai berikut : 1) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 2) isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.31
Lebih lanjut, Hans Kalsen mempustulasikan bahwa sifat keputusan final
yang dibuat otorita yang berkompeten tersebut adalah bersifat konstituif,
bukan deklaratif. Jadi, keputusan yang membatalkan suatu norma dengan
alasan tertentu pada norma hukum tersebut adalah batal (null) ab initio.
Pembatalan tersebut adalah suatu pembatalan dengan kekuatan berlaku surut.
Jadi pada prinsipnya setiap norma hukum selalu valid, tidak batal (null), tetapi
ia dapat dibatalkan oleh suatu lembaga atau organ yang berkompeten dengan
alasan tertentu menurut tata hukum. Konsekuensinya, suatu norma hukum
harus selalu dianggap valid sampai ia dibatalkan manakala lembaga yang
berkompoten memutuskan demikian melalui judicial review atau jika norma
hukum tersebut adalah undang-undang, maka ia pula lazimnya dibatalkan oleh
undang-undang lain menurut asas Lex posterior derogate priori atau dengan
desuetude.32
31

Hans Kalsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Empirik-Deskriptif, diterjemahan oleh Somardi Ahli Bahasa , Rimdipress, 1993, hal 7.
32
Ibid, hal.8.

Universitas Sumatera Utara

20

Dari penjelasan diatas maka dapat diketahui sistem pendaftaran tanah tidak
lepas dari sistem perpajakan. Hal ini tentunya dalam model manajemen modern
terhadap tanah yang dimiliki dua pokok kepentingan Negara, yaitu berkenaan dengan
kepentingan devisa dari pajak dan kepentingan rakyat (kewajiban Negara) untuk
aspek kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemilikan tanah.
2.

Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.33 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai.34 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional
diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Pasal 25 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dinyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak Atas Tanah
dan/atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa
Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
33
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal.
10.
34
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara., Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35

Universitas Sumatera Utara

21

mengenai hak atas tanah. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.35
Demikian halnya dalam pemberian hibah atas tanah dan bangunan.
Selanjutnya dapat definisi konsepsi dasar dalam penulisan ini yaitu:
1. Kewajiban perpajakan adalah sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan
sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.36
2. Retribusi adalah suatu pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena
adanya jasa tertentu yang diberikan Negara bagi penduduk secara perorangan.37
3. Kepatuhan adalah seseorang yang langsung mentaati kepada sesuatu hal
yangtelah menjadi perintah atau larangan38 berdasarkan peraturan perundangundangan.
4. Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (pajak pembeli).39
5. Verifikasi adalah proses pengecekan data apakah sudah sesuai dengan aturan atau
tidak. Apakah sudah sesuai dengan data yang ada atau berbeda.
35

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
36
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
37
Amin Widjaya Tunggal, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perorangan, Rineka Cipta,
Jakarta, 1995 hal 6.
38
Supandi, .Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara di Medan., Disertasi, SPs-USU, Medan, 2005, hal. 62.
39
Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara

22

6. PPAT ( Pejabat Pembuat Akta tanah) adalah adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
7. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
8. Self assessment

merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan

kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk

berinisiatif

mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
serta menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak
terutang.

G. Metode Penelitian
1.

Sifat Penelitian
Sifat penelitian penulisan ini yaitu deskriptif analitis. Bersifat deskriptif

maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan
sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis mengungkapkan karakteristik
objek dengan cara menguraikan dan menafsirkan fakta-fakta tentang konvensi bahasa
dan pokok persoalan yang diteliti40.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (normative legal
research), yaitu dengan

meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang

40

Effendy, Tata Cara Pembuatan Tesis, www.universitaspendidikanIndonesiaonline.com
diakses tanggal 01 Mei 2012

Universitas Sumatera Utara

23

meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta
mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum
lainya.41 Penelitian normatif merupakan prosedur penelitian Ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 42 Penelitian
normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian yang objek
kajiannnya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan.43
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif tersebut karena yang akan
diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
penelitian.44
2.

Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis

normatif, pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti ketentuan yang
mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada PPAT/Notaris
terhadap Akta pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang pajak BPHTBnya
dibayarkan sebelum ditanda-tanganinya akta tersebut, untuk menghindari adanya

41
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, 2005, hal. 336
42
Ibid, hal. 57
43
Soejono H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 2003, Hal. 56
44
Ibid, hal. 302

Universitas Sumatera Utara

24

permasalah hukum dikemudian hari, dimana di dalam pengaturannya masih terdapat
hal-hal penting agar diatur secara tegas dan jelas.
3.

Sumber Data Penelitian
Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data

sekunder yang diperoleh dari sumber kepustakaan.45Data sekunder yang dipakai
adalah bahan hukum.
Berdasarkan kekuatan yang mengikatnya, bahan hukum untuk memperoleh
data terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :
a. Bahan hukum primer yaitu hukum yang mengikat dari sudut norma dasar
peraturan dasar dan perundang-undangan.46
Didalam Penelitian ini penulis mengkaji ketentuan yang berasal dari
perundang-undangan

yang

mengatur

perlindungan

hukum

terhadap

Notaris/PPAT yang terdiri dari :
1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945
2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah.
3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah.

45

Ibid , hal. 57
Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 55
46

Universitas Sumatera Utara

25

4) Peraturan Daerah Kota Medan, Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
5) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
6) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
b. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi
mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik
para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.47 Bahan hukum sekunder
yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, yang terdiri atas :
1) Buku-buku

literatur

atau

bacaan

yang

menjelaskan

mengenai

Perlindungan Hukum Bagi Notaris/PPAT terhadap sanksi/denda yang
dikenakan atas pembayaran BPHTB
2) Pendapat ahli yang berkompeten dengan penelitian peneliti.
3) Tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan sanksi/denda atas
pembayaran BPHTB

47

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Praditya Paramitha, Jakarta, 2005, hal. 141

Universitas Sumatera Utara

26

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
terdapat dalam penelitian yaitu :48
1) Kamus Bahasa Indonesia
2) Kamus Ilmiah Populer
3) Surat Kabar
4) Internet, makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
4.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode Penelitian

Kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan
data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literaturliteratur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah yang berkaitan dengan
penelitian ini.49
Pengumpulan data mana yang akan dipergunakan di dalam suatu penelitian
hukum, senantiasa tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian yang
dilakukan yaitu50 untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini
digunakan teknik penelitian dengan cara studi dokumen (documentary study).

48

Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, Op.Cit., hal. 55
Riduan, Metode& Teknik Menyusun Tesis, Bina Cipta, Bandung, 2004, hal. 97
50
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1984, hal. 66
49

Universitas Sumatera Utara

27

Namun apabila dari studi dokumen tidak dapat mendapatkan data yang
lengkap maka untuk melengkapi dan menambah data dalam penelitian ini akan
dipergunakan cara memperoleh data dari informan bila diperlukan51.
5.

Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke

dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.52
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat
dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan
kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan kategori-kategori
atas dasar pengertian dasar sistem hukum tersebut. Hasil pengumpulan data
akan ditabulasi dan di sistematisasi. Kemudian menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat
rasio/logika berfikir deduktif induktif.53
Selanjutnya bahan hukum yang telah ada akan dianalisis berdasarkan untuk
melihat bagaimana ketentuan hukum perpajakan Indonesia mengatur mengenai
sanksi/denda atas pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

51

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 91
Lexi J. Moleong, Op.Cit, hal.103
53
Jhony Ibrahim, Op.Cit, hal. 393.

52

Universitas Sumatera Utara