Mantunu Tedong sebagai situs ideology : analisis ideologi dalam tradisi pengorbanan kerbau pada ritual pemakaman di Toraja.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK
Globalisasi kapitalisme membuat kajian akademik tentang tradisi etnik menjadi
sangat diperlukan, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang dilanda
oleh kebangkitan tradisi etnik. Penelitian ini adalah upaya kajian tentang salah
satu tradisi etnik di Toraja, Sulawesi Selatan, dengan menggunakan perspektif
kajian ideologi, sebuah perpektif kajian keilmuan yang ditawarkan oleh Cultural
Studies.


Penelitian ini mengambil tradisi pengorbanan kerbau di Toraja, mantunu
tedong, sebagai obyek kajian. Melalui observasi dan wawancara, penelitian ini
mengumpulkan data-data yang dianggap perlu untuk melakukan analisis dari
sudut pandang ideologi yang dikembangkan oleh Louis Althusser. Secara umum,
ada dua jenis data yang dikumpulkan: konteks sosial orang Toraja yang secara

signifikan memberi pengaruh di dalam kelangsungan ritual tersebut dan
pemaknaan narasumber tesis ini terhadap tradisi. Pada dasarnya, penelitian ini
diawali dengan menganalisis bagaimana mantunu tedong menjadi aparatus
ideologis yang berfungsi sebagai penopang konsistensi struktur sosial orang
Toraja.

Analisis lebih jauh ditujukan untuk memproblematisir ritual dengan
menggunakan konsep-konsep kunci dari Althusser seperti kontradiksi,
overdeterminasi dan subyek. Dengan pendekatan tersebut, penelitian ini mampu
menyingkap kompleksitas ideologi yang menopang mantunu tedong, yakni adat,
agama Kristen dan ideologi kapitalisme. Ideologi-ideologi yang dalam banyak hal
tidak saling bersesuaian tersebut membuat tradisi mantunu tedong menjadi situs
kontestasi pemaknaan dan pada gilirannya melahirkan inkonsistensi pemaknaan
dan ambiguitas subyek.

Tesis ini tiba pada kesimpulan bahwa kontradiksi ideologi-ideologi tersebut
ter-overdeterminasi oleh ideologi dominan, kapitalisme. Sebagai ideologi dominan,
ideologi kapitalisme tidak menghapuskan ideologi-ideologi yang lain, melainkan
serba-hadir dan serba-menentukan. Tetapi, adanya ambiguitas dalam subyek yang
menjalankan tradisi, menunjukan ketidakmungkinan adanya pemaknaan yang

tetap, yang total mendominasi.



viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT


In the realm of global capitalism, it is necessary to conduct academic studies on
ethnic tradition, especially in the context of contemporary Indonesian where
ethnic tradition is rising significantly. This research is an attempt to study one of
Torajanese ethnic traditions in South Celebes utilizing ideological perspective

offered by Cultural Studies.


This research takes the tradition of sacrificing buffalo in Toraja, namely
mantunu tedong, as object of study. Through observation and interview, this
research collected necessary data for the analysis of ideology developed by Louis
Althusser. Generally, there are two kinds of data having been collected: social
context of Torajanese that significantly influences the ritual and the respondents’
significations to their tradition. Basically, this research begins by analyzing how
mantunu tedong becomes ideological apparatus functioning as the backbone of
Torajanese social structure.

Further analysis is dedicated to problematize the ritual using key concepts
from Althusser, such as contradiction, overdetermination, and subject. Using
Althusserian approach, this research finds out that there are at least three
ideologies supporting mantunu tedong, namely custom, Cristianity, and capitalism.
Thus, mantunu tedong becomes a site of basically conflicting ideologies and hence
engenders inconsistent signification and subject ambiguity.



This thesis concludes that the contadiction of those ideologies are
overdetermined by the dominant ideology, capitalism. As the dominant ideology,
capitalism does not eliminate other ideologies; yet, it is always-present and
always-determining. However, the presence of ambiguities in the subjects running
the tradition shows that there is no fixed signification which is totally dominating.









ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK

TIDAKTERPUJI
TERPUJI

MANTUNU TEDONG SEBAGAI SITUS IDEOLOGI:
ANALISIS IDEOLOGI DALAM TRADISI PENGORBANAN KERBAU PADA
RITUAL PEMAKAMAN DI TORAJA

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta






Oleh:
Frans Pangrante

116322008

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI



HALAMAN JUDUL

MANTUNU TEDONG SEBAGAI SITUS IDEOLOGI:
ANALISIS IDEOLOGI DALAM TRADISI PENGORBANAN KERBAU PADA RITUAL
PEMAKAMAN DI TORAJA


Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta








Oleh:
Frans Pangrante
116322008

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

HALAMANPE*SgrLrIIlAN

rflilfiN'ffi'

TEI'ONG SEBAGAI SITUS IDEOLOGI:

ANALISE IDEOLOGI DAI.AII

TRAffiI

PEilGOBBANAN IGRBAU PADA NTTdAT


PXUAKATIAX.a|

fi]BAtA

I}r-StSunardi

&knn{t"

Pembimbing

.

:: . :l : ::::,:i: "::
a r:.r::::::j-:

:

,.::;=!:-::f .-. :..
.=.: i+.:_; :- '

:1:..:qi.r:.:::

B.-,

tf,

.

.I

-

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PENGESA}IAN TESIS


MANTUNU TEDONrSEBAGAI SITUS

IDEOIOGL

,/

ANATISIS IDEOTOGI DAIIIM TRADISI PENGORBANAN KERBAU PADA RITUAL
PEMAKAMAN DI TORAIA

0leh:
Frans Pangrante
LL6322A08

T-elah

dipertahankan di depan -Dewan Penguii Tesis, pada hari .Iumat, 31 Iuli 20 1-5,
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguii:

Moderator : Ik-BaskarallilardayqSf

Penguii

: f-Y-TriSuhagr+lllJl

Z Dr-Yissia Ita Yulianto
3

Dr- GregoriousBud.i Subanar,Sl
Yogyakarta, 31 fuli 2015
r Program Pascasarjana

lil

I
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Program Studi IImu R6ligi

dan Budaya, bernama: Frans Pingrante (NIM: L1:6rzzootl), menyatakan bahwa

judul: MANTUNL TEDoNc SEBAGAI sITUs IDEoLoGI: ANALISIS
IDEOLOGI, DALAM TRADISI PENGORBANAN KERBAU PADA RITUAL
tesis dengan

PEMAKAMAN DI TORAIA, merupakan karya dan hasil penelitian saya sendiri.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya orang rain yang diaiukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi manapun. Tesis ini bukan hasil
plagiat, melainkan saya susun sendiri. Penggunaan karya-karya kesarjanaan lain
semata-mata untuk keperluan ilmiah, menunjang penulisan dan dikutip secara
bertanggungiawab.

Yoryakarta,31|uli 2015
Pembuat pernyataan,

Frans Pangrante

lv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

TEMBAR PERNYATAAN PERSETUIUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma/

Nama

:

Frans Pangrante

Nomor Induk Mahasiswa :1163220O8

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya setuju memberikan

kepada

perpustakaan universitas sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
MANTUNU TEDONG SEBAGAI SITUS IDEOLOGI:
ANATISIS IDEOTOGI DALAM TRADISI PENGORBANAN KERBAU PADA RITUAL
PEMAKAMAN DI TORAJA
beserta perangkat yang diperlukan fiika ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam

bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya

di internet atau di media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

ry
Yoryakarta,3l fuli 2015

Frans Pangrante

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


Syukur kepada Tuhan!

KATA PENGANTAR

Belajar di IRB tidak sekedar mengejar materi kuliah dan teori-teori yang

sebagian besar asing di telinga saya pada awal kuliah, tetapi kesan yang mendalam
adalah ketika masuk kampus rasanya seperti masuk ‘rumah’. Ada suasana

kekeluargaan yang sangat terasa di antara teman-teman mahasiswa, dengan para
dosen, staf dan beberapa pegawai kampus lainnya yang sering saya jumpai selama
kuliah.


Saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada

pembimbing saya, Dr. St. Sunardi, yang telah banyak membekali selama penulisan

tesis. Juga Dr. Katrin Bandell bersama mahasiswa(i) bimbingan Mbak Katrin, yang

dalam jangka waktu yang cukup lama menjadi tempat ‘curhat’ tesis. Terima kasih

juga kepada Sekretariat Prodi: Mbak Hengkie Samoedra dan Mbak Desi yang

dengan sabar telah direpotkan oleh administrasi kami, mahasiswa(i). Juga Mas

Mul, yang selalu ramah. Kurre sumanga’ (terima kasih)!


Persahabatan yang terjalin dengan teman-teman sesama mahasiswa(i)

sangat berarti dan akan selalu terkenang: Arham, Muji, Vini, Lamser, Imran, Doni,

Kurniasih, Gogor, Kak Ippang, Alud, Anto’, pokoke semua yang pernah berinteraksi
dan saling berbagi bersama di kampus maupun di luar kampus. Kalian keren!

Saudara(i)ku sesama mahasiswa ‘Toraja rantau’ yang ada di Gereja Toraja Pos

Pelayanan Jogja, IKAPMAJAYA, Toraja Student Centre (TSC), dan lain sebagainya.

Manasu mo raka?


Terima kasih kepada para orang-tua yang telah memberi perhatian yang

sangat berharga buat saya dalam menempuh studi, berupa doa, nasihat, dorongan

semangat, rekomendasi-personal dan dukungan finansial: Pdt. S. Manguling, Pdt. S.
Batti’, Pdt. I.Y. Panggalo, Pdt. Y. Andilolo, Pdt. Andrew Buchanan, Pdt. Lidya

Tandirerung, Pak Acis Tomasoa, Pak Dedi Palimbong. Puang umpasakke ki sola

nasang. Secara khusus kepada Gereja Toraja, tempat saya bertumbuh dan merasa

terpanggil untuk nantinya menjadi pelayan di dalamnya; dan rekomendasi studi

dari Badan Pekerja Sinode (BPS) Gereja Toraja untuk melanjutkan studi di
vi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saudara(i) seperjuangan di Jogja: Marlin,

Richard, Sandi, Sari, sukses selalu.


Tesis ini kupersembahkan kepada keluarga-ku: Yunus Bunga Tampang

(Bapak) dan Grice Lisu Bulawan (Almh. Ibu), saudara-saudaraku (Andri, Ober,

Apet, Juan), Kak Ulva dan ponakanku Naya. Terima kasih atas dorongan doa dan

semangat. Juga buat Orpa, kaboro’ku.


Menulis tesis ini, bagi saya tidak sekedar untuk meraih gelar kesarjanaan,

tetapi merupakan pergulatan akademik dan pergulatan realitas sosial sekaligus.

Semoga bermanfaat bagi kita mintu’ sangtorayan.






Frans Pangrante















vii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK
Globalisasi kapitalisme membuat kajian akademik tentang tradisi etnik menjadi
sangat diperlukan, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang dilanda
oleh kebangkitan tradisi etnik. Penelitian ini adalah upaya kajian tentang salah
satu tradisi etnik di Toraja, Sulawesi Selatan, dengan menggunakan perspektif
kajian ideologi, sebuah perpektif kajian keilmuan yang ditawarkan oleh Cultural
Studies.


Penelitian ini mengambil tradisi pengorbanan kerbau di Toraja, mantunu
tedong, sebagai obyek kajian. Melalui observasi dan wawancara, penelitian ini
mengumpulkan data-data yang dianggap perlu untuk melakukan analisis dari
sudut pandang ideologi yang dikembangkan oleh Louis Althusser. Secara umum,
ada dua jenis data yang dikumpulkan: konteks sosial orang Toraja yang secara
signifikan memberi pengaruh di dalam kelangsungan ritual tersebut dan
pemaknaan narasumber tesis ini terhadap tradisi. Pada dasarnya, penelitian ini
diawali dengan menganalisis bagaimana mantunu tedong menjadi aparatus
ideologis yang berfungsi sebagai penopang konsistensi struktur sosial orang
Toraja.

Analisis lebih jauh ditujukan untuk memproblematisir ritual dengan
menggunakan konsep-konsep kunci dari Althusser seperti kontradiksi,
overdeterminasi dan subyek. Dengan pendekatan tersebut, penelitian ini mampu
menyingkap kompleksitas ideologi yang menopang mantunu tedong, yakni adat,
agama Kristen dan ideologi kapitalisme. Ideologi-ideologi yang dalam banyak hal
tidak saling bersesuaian tersebut membuat tradisi mantunu tedong menjadi situs
kontestasi pemaknaan dan pada gilirannya melahirkan inkonsistensi pemaknaan
dan ambiguitas subyek.

Tesis ini tiba pada kesimpulan bahwa kontradiksi ideologi-ideologi tersebut
ter-overdeterminasi oleh ideologi dominan, kapitalisme. Sebagai ideologi dominan,
ideologi kapitalisme tidak menghapuskan ideologi-ideologi yang lain, melainkan
serba-hadir dan serba-menentukan. Tetapi, adanya ambiguitas dalam subyek yang
menjalankan tradisi, menunjukan ketidakmungkinan adanya pemaknaan yang
tetap, yang total mendominasi.



viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT


In the realm of global capitalism, it is necessary to conduct academic studies on
ethnic tradition, especially in the context of contemporary Indonesian where
ethnic tradition is rising significantly. This research is an attempt to study one of
Torajanese ethnic traditions in South Celebes utilizing ideological perspective
offered by Cultural Studies.


This research takes the tradition of sacrificing buffalo in Toraja, namely
mantunu tedong, as object of study. Through observation and interview, this
research collected necessary data for the analysis of ideology developed by Louis
Althusser. Generally, there are two kinds of data having been collected: social
context of Torajanese that significantly influences the ritual and the respondents’
significations to their tradition. Basically, this research begins by analyzing how
mantunu tedong becomes ideological apparatus functioning as the backbone of
Torajanese social structure.

Further analysis is dedicated to problematize the ritual using key concepts
from Althusser, such as contradiction, overdetermination, and subject. Using
Althusserian approach, this research finds out that there are at least three
ideologies supporting mantunu tedong, namely custom, Cristianity, and capitalism.
Thus, mantunu tedong becomes a site of basically conflicting ideologies and hence
engenders inconsistent signification and subject ambiguity.


This thesis concludes that the contadiction of those ideologies are
overdetermined by the dominant ideology, capitalism. As the dominant ideology,
capitalism does not eliminate other ideologies; yet, it is always-present and
always-determining. However, the presence of ambiguities in the subjects running
the tradition shows that there is no fixed signification which is totally dominating.









ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL.................................................................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................................................ ii

PENGESAHAN TESIS .......................................................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ................................................................................................... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................................................................. viii

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................................x

DAFTAR ISTILAH PENTING (GLOSARI) ...................................................................................xiii

BAB I MERAYAKAN KEMATIAN ..................................................................................................... 1
A. Pendahuluan ............................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 9

C. Tujuan Penelitian .................................................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian................................................................................................................10

E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................................11
1. Tinjauan Sosio-Historis Toraja ...................................................................................11

2. Tinjauan Literatur Mengenai Ritual Pemakaman ................................................15

F. Kerangka Konseptual ..........................................................................................................19

1. Fungsi Ideologi ..................................................................................................................20
2. Representasi Relasi Imajiner dan Eksistensi Material Ideologi .....................21

3. ISA Sebagai Situs Perebutan dan Perjuangan Ideologi-idelogi .......................23

4. Subyek ..................................................................................................................................26

G. Metode Penelitian .................................................................................................................30
1. Data dan Sumber Data ....................................................................................................30

2. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................................31

H. Sistematika Penulisan .........................................................................................................32

BAB II MANTUNU TEDONG DALAM KONTEKS SOSIO-HISTORIS .................................33

A. Pendahuluan ...........................................................................................................................33
x

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B. Pengorganisasian Sosial Berbasis Tongkonan (Kinship-House) .........................35

1. Mengantar Ke Puya, Menegaskan Relasi Primordial ..........................................35

2. Dari Silsilah Ke Teritorial ..............................................................................................37

3. Keturunan dan Harta ......................................................................................................41

C. Gereja (Agama Kristen) ......................................................................................................43
D. Penetrasi Ekonomi Modern ..............................................................................................48

1. Perantau dan Pasar Kerbau ..........................................................................................48

2. Turisme ................................................................................................................................56

3. Pajak Potong Hewan .......................................................................................................59

BAB III PESTA KEMATIAN .............................................................................................................61
A. Semaraknya Sebuah Perkabungan.................................................................................62

1. Pemakaman Ne’ Ritha .....................................................................................................62

2. Tongkonan To’ Ao’ ...........................................................................................................79

3. Saroan ...................................................................................................................................82

B. Kontestasi dan Reproduksi Status Sosial Melalui Mantunu Tedong .................86

1. Barani Mantunu versus Dena’ ......................................................................................86

2. Kebebasan Yang (Harus) Sadar Posisi .....................................................................89

C. Mantunu Tedong Sebagai Pengalaman Hidup ...........................................................93

1. Nama Baik Keluarga dan Hutang-Daging ................................................................94

2. Menyoal Jalan Keselamatan..........................................................................................97

3. Menggagas Perubahan ...................................................................................................99

4. Ayah Anak Beda Warna............................................................................................... 100

BAB IV IDEOLOGI MANTUNU TEDONG KONTEMPORER........................................... 107

A. Mantunu Tedong sebagai Situs Ideologi .................................................................... 108

1. Menyatukan Masyarakat ............................................................................................ 108
2. Jalan Keselamatan dan Ke(tidak)sederajatan Manusia .................................. 111

3. Membeli dan Menjual (Daging) Kerbau ................................................................ 116

4. Kesimpulan ...................................................................................................................... 118

B. Memaknai Tradisi .............................................................................................................. 119

1. Membayangkan Identitas ........................................................................................... 120
xi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

2. Ragam Ideologi, Ragam Interpelasi ........................................................................ 122

BAB V PENUTUP ............................................................................................................................. 126

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 129
A. Buku ........................................................................................................................................ 129

B. Skripsi, Tesis, Disertasi dan Orasi Ilmiah ................................................................. 130

C. Situs Internet ....................................................................................................................... 131

LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 132


Susunan Panitia Pemakaman Ne’ Ritha ............................................................................. 132















xii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISTILAH PENTING (GLOSARI)

Badong

: Nyanyian dan tarian dukacita, dinyanyikan sambil
membentuk lingkaran dan gerakan memutar perlahanlahan. Biasanya hanya dilakukan dalam ritual-ritual besar,
terutama untuk menyambut tamu / kerabat yang datang.
Kaunan
: Kelas sosial terendah, yang banyak diterjemahkan sebagai
hamba (bahasa Indonesia) atau slave (bahasa Inggris).
Mantunu Tedong : Harafiah: mengorbankan kerbau, merujuk kepada
pelaksanaan ritual maupun sebagai tradisi turun temurun.
Nene’
: Harafiah: nenek. Sebutan ini biasanya digunakan untuk
menyebut orang-orang yang sudah tua baik laki-laki maupu
perempuan, atau untuk menyebut leluhur biasanya
ditambahkan dengan Nene’ To Dolo (to dolo: orang duludulu).
Rapasan
: Ritual pemakaman tingat tinggi yang pada masa lalu hanya
dilakukan untuk kalangan atas. Ritual tingkatan rapasan
terbagi-bagi ke dalam beberapa level, tergantung pada jenis
dan jumlah kerbau. Ragam bentuk dan tingkatan rapasan
bisa berbeda-beda di daerah-daerah di Toraja.
Saroan
: Komunitas-komunitas sosial yang merupakan
perkembangan dari sistem kekerabatan tongkonan (kinshiphouse).
Simbuang
: Pancang dari berbagai jenis tanaman sebagai penanda
tingkatan ritual tingkat tinggi (rapasan). Juga menjadi
penanda jenis kerbau yang dikorbankan. Pada ritual tingkat
tertinggi, biasanya juga didirikan simbuang batu.
To Kapua
: ‘Orang Besar’, penyebutan yang umum untuk menyebut
orang-orang yang memiliki pengaruh yang besar di dalam
komunitas. Penyebutan tersebut parallel, tetapi tergantung
konteks kalimat, dengan To Sugi’ (Orang Kaya), Ambe’
Tondok / Ambe’ Saroan (tetua kampung / tetua saroan), To
Parengnge’ (pemimpin komunitas), Puang (kalangan
aristokrat di wilayah Tallu Lembangna, selatan Toraja).
Tongkonan
: Rumah adat Toraja. Dalam tesis ini, penggunaan kata
tongkonan lebih merujuk kepada sistem kekerabatan rumah
(kinship-house).

xiii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
MERAYAKAN KEMATIAN

A. Pendahuluan


Sebagai seorang Toraja yang lahir dan besar di perantauan, saya baru mengenal

adat Toraja secara lebih dalam ketika kuliah pada jenjang Strata-1 (S1) di Toraja.

Pengalaman-pengalaman awal mengikuti ritual-ritual pemakaman membuat saya

takjub sekaligus bangga, dimana saya seakan-akan menemukan sebuah keagungan

budaya yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Bagaimana tidak, ritual-ritual

pemakaman di Toraja dilaksanakan dengan begitu meriah, arena ritual yang

megah dan sarat dengan simbol-simbol etnik, dihadiri ratusan hingga ribuan

orang, berlangsung dalam beberapa hari, dan berbagai hal lainnya yang menurut
saya sangat fenomenal. Saya yakin semua orang yang baru mengikuti ritual

tersebut secara langsung, apalagi kalau mengikuti keseluruhan rangkaiannya, akan

mengalami ‘keterkejutan’ seperti yang saya alami.


Semakin sering mengikuti, semakin saya sadar bahwa kerumitan dan

kompleksitas ritual pemakaman di Toraja tidak hanya terletak pada penampakan

fisiknya saja (ritualnya yang besar). Di balik ritual, atau apa yang

direpresentasikan melalui ritual tersebut, terdapat berbagai macam aspek sosial

yang kompleks dan saling berhubungan satu sama lain. Secara sekilas dapat

dikatakan bahwa ritual tersebut merepresentasikan struktur sosial masyarakat
Toraja yang meliputi struktur kekerabatan, status sosial, kepercayaan/religiusitas,

situasi ekonomi dan politik, dan lain sebagainya. Karena itulah, melaksanakan
ritual pemakaman ataupun menghadiri ritual pemakaman yang dilakukan oleh
orang lain yang memiliki relasi dengan dirinya (baik relasi kekerabatan maupun

relasi-relasi lainnya), adalah sebuah hal yang sangat penting.


Dalam tesis ini, saya tidak akan membahas ritual pemakaman Toraja secara

keseluruhan melainkan mengambil salah satu bagian dari ritual tersebut, yaitu
1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pengorbanan kerbau atau mantunu tedong, yang menurut saya merupakan kunci
untuk memahami kompleksitas yang melingkupi ritual tersebut. Penelitian-

penelitian tentang kebudayaan Toraja juga sudah ada yang mengangkat tentang

mantunu tedong. Tetapi kebanyakan mengangkat mantunu tedong sebagai obyek

sekunder karena obyek utamanya adalah ritual pemakaman. Saya mengangkat
mantunu tedong sebagai obyek utama tesis ini dengan berbagai tujuan dan dalam

korelasinya dengan kerangka konseptual yang saya gunakan (akan dijelaskan

dalam bagian-bagian berikutnya).

Jika diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Indonesia, mantunu

tedong artinya membakar kerbau (mantunu: membakar, tedong: kerbau). Tetapi

dalam prakteknya, kerbau-kerbau yang dikorbankan dalam ritual mantunu tedong
tidak dengan cara dibakar, melainkan ditebas atau ditombak1 sebelum dipotong-

potong dan dagingnya dibagi-bagikan. Karena itu, terjemahan yang lebih tepat
adalah ‘mengorbankan kerbau’. Apalagi jika menelisik apa yang menjadi alasan

dan tujuan kerbau-kerbau tersebut dibunuh dalam ritual pemakaman, maka

terjemahan ‘mengorbankan kerbau’ lebih mendekati makna ideologisnya. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa nilai ekonomis kerbau di Toraja sangat tinggi,

tetapi dikorbankan demi nilai yang lain yaitu nilai sosial yang terdapat di dalam

struktur sosial yang terepresentasi melalui tindakan tersebut. Dengan kata lain,
mantunu tedong adalah tradisi yang dilakukan dalam konteks sosial sebuah

kelompok masyarakat.


Dalam kepercayaan Aluk To Dolo2, terdapat pembedaan antara dunia yang

sekarang kita diami (disebut Lino), dengan dunia yang didiami sesudah manusia

meninggal dunia (disebut Puya). Kematian merupakan fase peralihan dari Lino ke
Puya. Puya adalah tempat dimana arwah orang-orang yang sudah meninggal

berkumpul kembali. Corak kekerabatan yang sangat kental dalam masyarakat

Toraja, terutama melalui kekerabatan tongkonan (rumah adat), sangat
1 Sebagian besar wilayah Toraja dilakukan dengan cara ditebas pada lehernya. Tetapi di daerahdaerah tertentu di bagian barat Toraja (misalnya di Simbuang) dilakukan dengan cara ditombak
dengan sasaran jantung kerbau.
2 Agama suku Toraja.

2

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

mempengaruhi pandangan orang Toraja tentang Puya. Puya dianggap menjadi

tempat untuk berkumpul dengan leluhur. Seperti yang tergambar dalam salah satu

syair badong (syair kedukaan yang dinyanyikan dalam sebuah tarian), orang yang

meninggal dianggap la sangbanua nene’ to dolona, la sang tondok nene’ tanda

tikunna (akan serumah dengan pendahulunya, akan sekampung dengan

leluhurnya). Tetapi fase peralihan tersebut tidak terjadi atau dimulai pada saat

seseorang menghembuskan nafas terakhir, melainkan ketika ritual pemakaman
mulai dilaksanakan. Selama masa antara putusnya nyawa seseorang dengan

dimulainya ritual pemakaman baginya, orang tersebut belum dianggap meninggal,
melainkan disebut sebagai to makula’ (orang yang sedang terbaring karena sakit).3

Roh dari to makula’ tersebut dipercaya masih berada di Lino, yakni di sekitar

rumah dan masih dekat dengan keluarganya yang masih hidup. Roh tersebut baru

akan memulai ‘perjalanan’ ke Puya ketika ritual pemakaman dilangsungkan.

Pelaksanaan ritual pemakaman menjadi sesuatu yang sangat menentukan apakah

seseorang dapat masuk ke dalam Puya atau tidak. Dalam Aluk To Dolo, tidak

dikenal konsep pembalasan di akhirat; yang paling menentukan seseorang dapat

masuk ke dalam Puya adalah jika ritual pemakamannya dipenuhi menurut aturan
Aluk (kepercayaan / agama).4 Bahkan juga dipercaya bahwa mengadakan ritual

tingkatan tinggi akan mengantarkan arwah si mati untuk membali Puang: si mati

menjadi sama dengan ilahi, dimana arwah si mati dapat memberkati keluarga yang

mengadakan ritual tersebut dengan rezeki yang berkelimpahan. Tetapi jika ritual

pemakaman tidak sesuai dengan aturan aluk, maka arwah si mati akan ditolak oleh
penguasa Puya yang bergelar Pong Lalondong dan akan mengganggu keluarga

yang masih tinggal.


Paham tersebut menjadi dasar religius dari mantunu tedong dalam ritual

pemakaman orang Toraja. Kerbau-kerbau yang dikorbankan dipahami sebagai
3 Anggapan inilah yang mendasari kebiasaan orang Toraja memperlakukan jenazah layaknya orang
yang masih hidup: disediakan makanan dan minuman (biasanya kopi), diajak berbicara, dan
berbagai hal lainnya.
4 Liku Ada’, Reinterpretasi Budaya Toraja Dalam Terang Injil: Menjelang Seabad Kekristenan di
Toraja, diterbitkan dalam buku Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja, Yogyakarta,
Penerbit Gunung Sopai, 2012, hlm. 23.

3

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kinallo lalan (bekal) yang dibawa oleh jiwa dari orang yang meninggal untuk

masuk ke Puya. Makin banyak ‘bekal’ yang dibawa, maka akan semakin baik

kehidupannya di dunia seberang, bahkan ia dapat naik ke langit untuk membali
Puang. Karena itulah keluarga akan berupaya untuk mengadakan ritual

pemakaman yang sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan adat yang bersumber

dari Aluk (kepercayaan religius). Oleh Kobong, ini dibahasakan sebagai bentuk

persekutuan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal,
baik dalam hubungan kekeluargaan maupun dalam komunitas pada umumnya.5

Selain itu, melaksanakan ritual pemakaman bagi orang Toraja juga merupakan

proyeksi kehidupan yang baik di dunia seberang.6 Hal ini tidak terlepas dari

mitologi orang Toraja yang menganggap bahwa kehidupan di bumi berasal atau

diturunkan dari langit, sehingga kehidupan di bumi ini adalah prototype dari

kehidupan di langit. Orang yang meninggal akan kembali ke asalnya sesuai dengan
status sosialnya selama berada di bumi. Dari sini, kita dapat melihat pada unsur

berikutnya yang mendasari ritual mantunu tedong, yaitu stratifikasi sosial

masyarakat Toraja.


Bentuk dan tingkatan ritual pemakaman di Toraja sangat bervariasi. Selain

itu, bentuk dan tingkatan tersebut bisa berbeda-beda antara satu daerah dengan

daerah lainnya. Tetapi pada dasarnya, bentuk dan tingkatan tersebut ditentukan

paling tidak oleh dua hal yang saling berkaitan erat satu sama lain, yaitu status

sosial dan jumlah kerbau yang dikorbankan. Situasi historis pada masa-masa pra-

kolonial telah mengubah bentuk pengorganisasian sosial masyarakat Toraja

berbasis kekerabatan tongkonan (rumah adat) yang cenderung egaliter menjadi

hierarkhis dan terfragmentasi ke dalam kelas-kelas sosial. Secara umum, kelas-

kelas sosial tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian: bangsawan (To

Kapua), masyarakat kebanyakan (To Buda) dan hamba (kaunan). To Kapua adalah

golongan yang mengontrol kekuasaan politik dan ekonomi di setiap wilayah adat.

Selain menjadi pemimpin, mereka juga memiliki kekayaan yang besar seperti

sawah, ternak (khususnya kerbau dan babi), dan berasal dari tongkonan yang
5 Th. Kobong, Injil dan Tongkonan, BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 52
6 Ibid, hlm. 51

4

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

berpengaruh. To Buda adalah golongan masyarakat kebanyakan, yang tidak

memiliki pengaruh yang besar dan kepemilikan ekonomi yang terbatas. Kaunan

adalah kelas sosial paling rendah, dimana mereka tidak memiliki pengaruh politik
sama sekali dan kelangsungan hidup mereka sangat bergantung pada kalangan

bangsawan. Kelas sosial ini tercipta karena berbagai faktor pada masa lalu, seperti

perang-perang lokal, kelaparan, perjudian, dan lain sebagainya. Struktur tersebut

bisa lebih kompleks lagi untuk daerah-daerah tertentu, tetapi untuk daerah-daerah
yang lainnya bisa lebih sederhana.


Ritual pemakaman menjadi arena untuk menegaskan status sosial tersebut.

Pada masa lalu, ritual pemakaman tingkat tinggi beserta simbol-simbol kebesaran

yang mengikutinya hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berasal dari

kalangan bangsawan. Semakin ke bawah, maka akan semakin sederhana ritual
yang diadakan. Untuk menentukan tingkatan mana yang akan digunakan, di sinilah

kerbau memegang peranan yang sangat penting: jumlah kerbau menjadi patokan
untuk menentukan tingkatan ritual yang dipersiapkan. Secara singkat dapat

dikatakan bahwa semua itu telah diatur di dalam tatanan adat sehingga dalam hal
ini mantunu tedong menjadi arena yang menunjukkan seperti apa posisi seseorang

di dalam tatanan masyarakat.

Perubahan sosial yang terjadi di Toraja membawa pengaruh yang sangat

besar terhadap kelangsungan tradisi mantunu tedong dalam ritual pemakaman di

Toraja. Belakangan ini, mantunu tedong dianggap telah menjadi sebuah tradisi

yang semakin liar, tak terkendali dan menjelma menjadi kontestasi. Ini didasarkan
pada kenyataan semakin maraknya ritual pemakaman yang akbar yang

mengorbankan kerbau dalam jumlah yang sangat besar, harga kerbau yang terus

melambung tinggi dan berbagai persoalan sosial yang timbul akibat ‘kontestasi’

mantunu tedong tersebut. Kontestasi tersebut terjadi karena berbagai faktor

seperti terdobraknya tatanan sosial lama, penetrasi ekonomi global dan konversi

kepercayaan religius.

Pada masa lalu, kekayaan primordial yang meliputi kepemilikan tanah

(utamanya sawah), hewan ternak dan berbagai macam harta benda lainnya
5

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menjadi faktor ekonomi paling utama yang mempengaruhi status sosial seseorang.
To Kapua (orang besar / bangsawan) sudah pasti adalah seorang To Sugi’ (orang

kaya). Kontrol ekonomi dan kekuasaan politik adalah dua hal yang nyaris tidak

dapat dipisahkan. Sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, status sosial

tersebut ditegaskan melalui ritual pemakaman yang akbar, dimana banyak kerbau

dipotong. Dagingnya dibagi-bagikan kepada orang banyak. Ketika ekonomi masih

terbatas pada sumber-sumber lokal, maka hanya orang-orang tertentu, yakni

mereka yang berasal dari status sosial tinggi dan berpengaruh yang dapat

menyelenggarakan ritual pemakaman yang besar. Ini kemudian terdobrak oleh

penetrasi ekonomi global, terutama melalui gelombang perantauan yang membuat

situasi ekonomi berubah, dimana sumber-sumber ekonomi tidak lagi bergantung

pada sumber-sumber lokal. Di kalangan orang Toraja, terdapat pameo yang

mengatakan bahwa seng mentia’(uang terbang) yang berbicara sekarang ini. Ini

adalah ungkapan simbolis untuk menyatakan semakin tingginya ketergantungan

penyelenggaraan ritual pada uang-uang kiriman dari luar Toraja melalui transaksi
perbankan. Perubahan situasi ekonomi ini seakan menantang bentuk stratifikasi

sosial lama, dimana kesuksesan di perantauan tidak bergantung pada garis

keturunan seseorang, tetapi lebih kepada peluang, keuletan dan keterampilan.
Pada akhirnya, penyelenggaraan ritual pemakaman pada umumnya dan

kemampuan mantunu tedong pada khususnya menjadi arena perebutan status
sosial.

Kontestasi mantunu tedong juga telah menyebabkan harga kerbau

melambung. Orang Toraja mengklasifikasikan jenis-jenis kerbau yang masing-

masing memiliki nilai simbolik yang berbeda di dalam ritual pemakaman. Kerbau

istimewa seperti saleko (kerbau belang) bahkan dapat mencapai harga ratusan juta
sampai milyaran rupiah per ekor, sementara kerbau pudu’ (kerbau hitam)
harganya mencapai puluhan juta rupiah per ekor. Berdasarkan catatan misionaris,

Nooy-Palm mengungkapkan bahwa pada masa awal kolonialisme (awal abad 20)

di Toraja, perbandingan kerbau saleko dan kerbau pudu' adalah satu berbanding

6

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

empat (satu saleko nilai tukarnya sama dengan empat kerbau pudu’).7

Perbandingan tersebut tentunya sudah sangat jauh berbeda jika dibandingkan

dengan situasi sekarang. Kebutuhan akan kerbau yang terus meningkat juga

menyebabkan perdagangan kerbau terus melebar, tidak lagi terbatas pada kerbau-

kerbau lokal. Pasar kerbau di Rantepao adalah pusat dari jalur perdagangan

kerbau, dimana sebagian besar kerbau-kerbau yang diperdagangkan didatangkan

dari luar Toraja, bahkan hingga luar Sulawesi.

Ritual mantunu tedong juga dianggap semakin didominasi oleh kepentingan

yang bersifat materialistik. Istilah ‘politik daging’ atau ‘politik kampung’ menjadi

ungkapan yang menggambarkan situasi ini, dimana ada sebentuk pengkondisian

atas nama adat Toraja oleh oknum-oknum yang berpengaruh di setiap kampung
untuk mendorong orang-orang Toraja agar mengadakan ritual pemakaman yang

akbar dengan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang besar. Semakin banyak

kerbau yang dipotong, maka akan semakin banyak jatah daging yang dibagikan.

Fatalnya, daging-daging yang dibagikan sebagai bentuk penghargaan (penanda

status sosial) tidak jarang dijual ke pasar atau ke pedagang-pedagang kiloan. Selain

itu, telah berkembang bentuk baru dari pembagian daging kerbau, dimana kerbau
yang dibagikan tidak dipotong melainkan dijual dalam keadaan hidup. Distribusi

atau pembagian jatah-daging digantikan dengan pembagian uang hasil penjualan

kerbau tersebut. Penetrasi ideologi kapitalisme ke dalam ritual ini dalam skala

yang lebih luas juga terjadi dalam bentuk turisme, dimana ritual pemakaman dan

mantunu tedong secara khusus menjadi salah satu primadona wisata yang

ditawarkan kepada turis-turis yang datang ke Toraja.

Agama yang dianut oleh orang Toraja juga mengalami perubahan besar

sejak tahun 1950-an, dimana terjadi konversi besar-besaran dari Aluk To Dolo ke

agama Kristen. Gereja Toraja yang merupakan hasil dari kegiatan misi Protestan

sejak zaman kolonial, menjadi lembaga keagamaan terbesar di Toraja. Sebaliknya,

Aluk To Dolo, yang menjadi rahim religius dari ritual-ritual di Toraja (termasuk

pengorbanan kerbau), semakin ditinggalkan. Walaupun demikian, tradisi
7 Nooy-Palm, The Sa’dan Toraja, A Study of Their Social Life and Religion (I): Ritual of The East and
West,1979, hlm. 196-197

7

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pengorbanan kerbau terus berjalan, bahkan semakin berkembang menjadi ajang
kontestasi di kalangan orang-orang Toraja. Hal ini tidak sesuai dengan anggapan

para misionaris pada masa-masa awal penyebaran agama Kristen di Toraja yang

beranggapan bahwa perlahan-lahan tradisi-tradisi yang didasari oleh animisme

akan hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, jika melihat ritual pemakaman di

Toraja, dimana mantunu tedong menjadi salah satu unsur utama di dalamnya, kita

seakan-akan melihat bagaimana adat Toraja dan agama Kristen hadir bersama-

sama, sekalipun perdebatan teologis tentang dasar dari mantunu tedong terus

berlangsung.

***

Jadi, yang dimaksud dengan konteks sosial berlangsungnya tradisi mantunu

tedong adalah situasi sosial masyarakat Toraja masa kini. Pertanyaannya,

mengapa ekspektasi orang Toraja terhadap mantunu tedong begitu besar, yang jika

dilihat dengan kecenderungan logika ekonomi modern, ritual tersebut tampak

sebagai bentuk ‘pemborosan’ materi? Pertanyaan ini didukung oleh fakta bahwa
belakangan ini ritual-ritual pemakaman yang akbar (dan mahal tentunya) semakin

marak. Ada sebuah stigma terkait dengan fenomena ritual pemakaman di Toraja

yang mengatakan bahwa ‘orang Toraja itu hidup untuk mati’. Seakan-akan, orang

Toraja bekerja keras mengumpulkan harta (materi) hanya untuk dihabiskan dalam

ritual-ritual pemakaman.

Seperti yang sudah saya uraikan dari atas, tesis ini tidak akan mengkaji

ritual pemakaman secara keseluruhan. Tesis ini juga tidak akan membahas tentang

perubahan-perubahan sosial masyarakat Toraja secara historis. Berbagai

penelitian tentang masyarakat Toraja yang telah dilakukan dapat menjadi

referensi untuk itu. Misalnya penelitian antropologi yang dilakukan oleh Hetty
Nooy-Palm yang dituangkan dalam buku The Sa’dan Toraja, A Study of Their Social

life and Religion (part II): Ritual of The East and West (Forish Publication, 1986).

Dengan mengumpulkan data dari berbagai ritual pemakaman di berbagai tempat
di Toraja, Nooy-Palm mendeskripsikan secara cukup terperinci mengenai

kepercayaan religius yang mendasari pelaksanaan ritual pemakaman tersebut
8

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

serta bentuk dan tingkatan-tingkatan ritual. Penelitian antropologis lain yang lebih

mutakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Shinji Yamashita yang dituangkan

dalam tulisan berjudul Manipulasi Tradisi Etnik:Upacara Pemakaman, Pariwisata
dan Televisi: Kisah dari Tana Toraja (Interfidei, 1996). Yamashita memaparkan

bagaimana sebuah tradisi etnik, yaitu tradisi pemakaman di Toraja, dilakukan

dalam konteks sosial, ekonomi dan budaya yang lebih luas (tidak terbatas pada

konteks lokal, tetapi juga nasional dan global). Masih ada beberapa penelitian

lainnya, yang akan saya bahas secara khusus di dalam sub-bab Tinjauan Pustaka.

Tesis ini disusun untuk mengkaji tradisi mantunu tedong sebagai arena

ideologi dalam konteks sosial masyarakat Toraja masa kini dengan menggunakan

pendekatan teori ideologi Louis Pierre Althusser. Tujuannya adalah untuk

menelusuri reproduksi makna mantunu tedong di Toraja dan bagaimana fungsi

ideologis mantunu tedong bagi orang Toraja. Dengan demikian, penelitian ini juga
dimaksudkan untuk mengkaji pengalaman subyektifitas orang Toraja melalui

ritual mantunu tedong.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar-belakang penelitian yang telah saya uraikan dalam sub-bab

Pendahuluan di atas, maka menyusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Ideologi macam apa yang membentuk tradisi mantunu tedong dalam ritual
pemakaman orang Toraja kontemporer?

2. Bagaimana orang Toraja (narasumber) pada masa kini memaknai tradisi
mantunu tedong?

C. Tujuan Penelitian
Dengan merujuk pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penulisan adalah sebagai berikut:

1. Mantunu tedong adalah sebuah ritual yang menjadi medan makna dalam

tatanan masyarakat Toraja. Penelitiam ini akan menelusuri bagaimana
9

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pemaknaan terhdap mantunu tedong direkonstruksi dan direproduksi dan

bagaimana pemaknaan tersebut eksis di dalam struktur sosial sosial

masyarakat Toraja kontemporer. Dengan demikian, penelitian ini

bermaksud untuk menelusuri ideologi-ideologi yang membentuk tradisi
mantunu tedong kontemporer.

2. Tujuan penelitian yang kedua terkait dengan poin pertama di atas, yakni
menganalisis cara orang Toraja (narasumber) memaknai tradisi mantunu
tedong dalam konteks sosial kekinian.

D. Manfaat Penelitian

Bagi saya, tesis ini saya tulis tidak sekedar sebagai syarat untuk menyelesaikan

studi, tetapi merupakan hasil dari pergulatan akademik dan pergulatan sosial

sekaligus. Karena itu, saya berharap penelitian yang saya lakukan dapat

bermanfaat secara akademis maupun se