Kesejahteraan Sosial sebagai Basis Utama Pemerintahan.

KESEJAHTERAAN SOSIAL SEBAGAI BASIS UTAMA PEMERINTAHAN
Oleh: GPB Suka Arjawa
Terhadap Brazil, bagi yang mengetahui, paling dikenal adalah sepakbola atau Pele.
Tetapi tidak boleh lupa disana juga ada Rivelino, Zico, Socrates, Ronaldo sampai
Neymar. Justru karena sepakbola itu mereka dibuat pusing. Percakapan seperti ini sering
membuat pelatih uring-urngan. Kesebelasan Brazil harus bermain cantik. Tetapi dia
harus juga selalu menang dan juara. Kemenangan tidak boleh dengan angka tipis, harus
dengan selisih besar. Dan juara tidak boleh sekali tetapi berkali-kali. Untuk yang terakhir
ini Brazil sudah melakukannya, dengan menjadi juara sebanyak lima kali. Masyarakat
masih belum puas. Tidak cukup lima kali, mereka meminta lebih dari itu. Mungkin ada
yang mengatakan masyarakat itu sombong. Namun, di dalamnya ada sebuah kewajaran
karena Brazil memang negara yang sepakbolanya jagoan, menjadi kiblat dunia dan
dikagumi. Tahun ini Brazil menjadi tuan rumah Piala Konfederasi, dan tahun depan
menjadi tuan rumah Piala Dunia. Tidak ada kompromi lagi, masyarakat menginginkan
mereka menjadi juara. Jika bisa menumbangkan Spanyol yang menguasai sepakbola
sekarang. Inilah kesempatan memperlihatkan keunggulan sepakbola Brazil dibanding
Spanyol.
Tetapi, disamping kecanduannnya kepada sepakbola dan kehebatannya di blantika dunia,
rakyat Brazil juga mempunyai kesadaran politik tinggi. Di saat berlangsungnya Piala
Konfederasi ini, mereka beramai-ramia melakukan unjuk rasa menentang kekuasaan
pemerintah yang menghambur-hamburkan uang untuk membangun stadion dan menjadi

penyelenggara Piala Dunia. Protes masyarakat ini boleh dikatakan berbanding terbalik
dengan kebanggan mereka dalam menyikapi sepakbola. Minggu yang lalu, sekitar 1,2
juta turun ke jalan si seluruh Brazil memprotes kebijakan pemerintah yang
menghamburkan uang 20 milyar dolar untuk pembuatan stadion, penyelenggaraan Piala
Konfederasi dan Piala Dunia.
Dari fenomena itu hal paling awal yang harus dilihat bahwa eksistensi kebanggan
nasional tidak berbanding lurus dengan tuntutan kesejahteraan. Apa yang terjadi di Brazil
harus dilihat di negara-negara sedang berkembang karena amat mungkin membalikkan
teori, nilai dan keyakinan politik yang selama ini berkembang. Baik kalangan akademisi
maupun politisi percaya bahwa kebanggan nasional mempunyai hubungan signifikan
dengan tuntutan kesejahteraan. Artinya, apabila negara itu mempunyai ikon besar,
membuat rasa bangga itu akan menyusup kepada nilai rasa masyarakat sehingga tuntutantuntutan terhadap kesejehateraan bisa lebih ditekan (bukan dihilangkan). Masyarakat
akan bangga memiliki Rudi Hartono sebagai juara All Englang delapan kali, karena itu
kemudian mereka merasa cukup dengan kehidupannya sekarang, meski misalnya
lingkungan hidupnya masih kumuh. Kebanggan nasional itulah yang menekan untuk
sementara tuntutan kesejahteraan itu. Dengan pola pikir seperti inilah di masa lalu,
terutama di negara komunis dan sedang berkembang atau di negara-negara yang baru
merdeka, pembangunan yang sifatnya mercusuar digalakkan. Membangun monumen
yang besar, tinggi atau menjulang, patung yang besar dan sejenisnya adalah sebuah
keperluan politis demi membangkitkan rasa nasionalis itu, bangga bernegara yang


selanjutnya mampu ”meminimalkan” tuntutan kesejahteraan. Pada masa Pasca Perang
Dunia II dan masa Perang Dingin, hal ini lumrah.
Fenomena yang terlihat di Brazil ini adalah kebalikan dari apa yang disebutkan diatas.
Brazil memang benar menghasilkan para pesepakbola hebat dan mencetak milyuner dari
lapangan. Akan tetapi, di tengah demikian banyak pemain bola hebat yang menjadi
milyuner itu, masih dijumpai perkampungan kumuh yang menjadi tempat pemukiman
orang miskin di sana. Brazil adalah negara yang terkatagori sedang berkembang juga.
Tetapi unjuk rasa melibatkan secara total jutaan orang di seluruh Brazil, yang
memprotes pemerintah mengeluarkan uang demikian banyak untuk membangun stadion
olahraga, memperlihatkan bahwa apa yang bersifat kebanggan nasional itu tetap tidak
mampu menekan keinginan untuk sejahtera tersebut. Ini merupakan pandangan yang
wajar dilihat dari keperluan dasar manusia. Bisa dikatakan bahwa tuntutan yang
dilakukan masyarakat Brazil itu sangat rasional, mengatasi ide-ide politik yang bersifat
takhyul. Katakanlah misalnya, sebuah bangunan mercusuar yang mempunyai wujud
paling tinggi di seluruh dunia, tidak akan mampu menahan tingkat kelaparan
masyarakat, tidak mampu mencegah pengangguran dan tidak mampu memberikan
peningkatan penghasilan secara lebih besar dan jelas tidak akan mampu menghilangkan
kemiskinan. Bangunan-bangunan mercusuar itu tidak lain hanya sebuah simbol politik
yang berupaya membuai rakyat lewat kebanggan nasional. Politisi negara mencoba

memanfaatkan itu untuk meredam segala kekurangan yang ada pada masyarakat. Karena
itulah ia bisa disebut sebagai tahayul yang hanya membuai khayalan penduduk tanpa
mampu memberikan pemecahan terhadap persoalan.
Penyelenggaraan Piala Konfederasi 2013, Piala Dunia 2014, Olimpiade 2016 bahkan
menjadi juara Piala Konfederasi, Juara Dunia dan juara umum Olimpiade, mungkin saja
dipandang sebagai sebuah monumen mercusuar bagi Brazil. Protes itu bermunculan
justru dimulai dari masalah kecil, yakni kenaikan ongkos angkot di kota itu. Rakyat
menafsirkan kenaikan itu dipicu oleh biaya yang dikeluarkan terhadap turnamenturnamen besar yang diselenggarakan. Di balik kemampuan menyelenggarakan turnamen
tersebut, ternyata banyak persoalan sosial yang tersembunyi. Protes atas kenaikan tarif
angkot tersebut ternyata juga merembet kepada protes atas maraknya korupsi,
banayaknya pengangguran, tingginya pajak, naiknya harga, buruknya layanan publik
yang kesemuanya membuat kualitas hidup menjadi menurun.
Pelajaran yang harus dicermati oleh pemerintah Indonesia sekarang (maupun yang akan
datang), tidak lain adalah waspada dengan wujud-wujud simbolis dalam kebijakan
publik. Di ranah publik Indonesia saat ini sering kali muncul wujud simbolis
kemakmuran. Di televisi misalnya tayangan kemewahan menodminasi hiburan. Pada
tingkat sosial, simbol kemakmuran itu banyak tergenggam lewat berbagai fitur gatget
yang modern dan diperbarui hampir setiap 3 bulan. Di jalan raya, simbol-simbol
kemewahan itu terlihat dari mondar-mandirnya kendaraan roda empat keluaran terbaru.
Di jalan raya juga muncul alternatif jalan tol yang mencoba menjanjikan kenyamanan

berkendara. Pada jagat dunia maya, misalnya melalui jalur interaksi sosial, berseliweran
muncul diskusi sosialita tentang barang-barang konsumtif yang dimiliki atau perjalanan
ke luar negeri. Dan berbagai simbolik kemapanan lainnya.

Padahal, berdampingan dengan fenomena tersebut, bahkan pada lokus yang bersisian
dengan berbagai simbol kemewahan itu, justru hidup juga simbol-simbol kehancuran.
Di televisi pun ditayangkan kerusuhan dan kasus korupsi. Meski setiap individu kini
memegang gadget mewah, tetapi banyak juga yang harus berutang untuk membeli
gadget tersebut. Di balik mewahnya kendaraan roda empat di jalan raya, terbersit sifat
kepemilikan yang sementara (berutang misalnya), dan munculnya jalan tol merupakan
reaksi balik dari dunia kemacetan jalan raya.
Jika simbol-simbol itu hanya sekedar pemanis kehidupan sosial saja tanpa berakar pada
rasionalitas, ke depan orang Indonesia akan bisa bangkrut. Dan dari situlah sindrom
Brazilia ini bisa mengancam pemerintah. Jutaan orang yang turun ke jalan raya di
berbagai kota di Indonesia, bukan merupakan kabar positif bagi pemerintah sekarang
maupun di masa mendatang. Yang paling utama bukanlah simbolis, tetapi pemenuhan
kesejahteraan sosial. ****
Penulis adalah staf pengajar FISIP Universitas Udayana.