NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda.
DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL
MASYARAKAT SUNDA
(Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda)
Diajukan
Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Penyelesaian Studi Program Doktor Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana – Universitas Pendidikan Indonesia
Oleh
Solihin Ichas Hamid Al-lamri NIM 0908024/S3/PKn
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
(2)
Oleh
Solihin Ichas Hamid Al-lamri NIM 0908024/S3/PKn
Drs. IKIP Bandung, 1984 M. Pd. UNJ Jakarta, 2002
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Sekolah Pasca Sarjana
© Solihin Ichas Hamid Al-lamri 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
September 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
(4)
(5)
Kewarganegaraan dalam Artefak Kehidupan Sosial Kultural Masyarakat Sunda” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko / sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini”
Bandung, 13 Agustus 2013 Yang membuat pernyataan, Ttd.
Solihin Ichas Hamid NIM 0809024
(6)
Tema pokok studi ini mengangkat Nilai Moral Kewarganegaraan (NMK) yang secara konseptual ada pada jejak-bangun (artefact) pada system kebudayaan terdalam dari satuan etnik pendukung mozaik kebudayaan suatu bangsa. Karena itu, pemilihan sampling etnik Sunda di dalam kerangka besar studi ini, tidaklah bermaksud mengecilkan pilihan yang lainnya, kecuali pertimbangan kemudahan dan kedekatan dari langkah permulaan dalam melihat entitas Nusantara.
Sebagai deskripsi pengetahuan yang bersifat normatif, sejauh arti dan maknanya barulah merupakan konstruksi kebenaran pandangan etik (kebaikan) yang tidak dengan sendirinya merefleksikan kekuatan dalam ruang kesadaran hingga semangat (spirit) subjektif diri warganegara – jika tidak dilakukan upaya menghidupkannya atas nama proses pendidikan dan kebudayaan. Karena itu, di dalam tradisi lokal budaya Sunda, deskripsi pengetahuan moral yang menjadi sumber ajaran kehidupan bagi khalayak pendukungnya mendapatkan lahan pengartikulasiannya secara berulang dalam ragam bentuk reka-seni dan permainan hingga pertunjukkan yang memikat dan menggetarkan bagian terdalam potensi psikologis diri manusia – melalui kegiatan apresiasi budaya. Dengan swendirinya, proses dan produk seni-budaya di dalam masyarakat tradisional Sunda menunjukkan fungsinya sebagai model aktual pendidikan itu sendiri.
Bahwa penetapan setting kehidupan sosial-budaya dalam studi ini menjadi pilihan, didasarkan pada pertimbangan bahwa dari banyak isu-isu yang telah menarik perhatian para peneliti dalam berbagai perspektif, mulai dari landasan filosofik keilmuan, relasinya dengan tuntutan perkembangan kekinian hingga fenomena kebudayaan sebagai sumber dan muara aktualisasi kehidupan itu sendiri dalam berbagai dimensinya, menyisakan lahan menarik yang belum banyak disentuh oleh peneliti lain di tanah air, khususnya dari perspektif pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik.
Selebihnya, Pendidikan Kewarganegaraan di tanah air, dalam arti sempit sebagai mata pelajaran di persekolahan dan luas ditengah kehidupan masyarakat; menyisakan bagian yang belum tersentuh banyak pihak. Sementara era kesejagatan telah menyita penuh minat dan tantangan kehidupan generasi kini. Citizenship Education di berbagai belahan dunia sejatinya tidaklah mencerabut setiap anak suatu bangsa dari akar budayanya. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermakna, baik dalam pengembangan pembelajaran bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan, maupun apresiasi dan pemeliharaan situs kebudayaan sebagai laboratorium studi kewarganegaraan di tengah masyarakat.
Bandung, 24 April 2014. Penulis
(7)
Prof. (Em) DR (HC) Muhamad Nu’man Sumantri M.Sc. selaku Ko-promotor, dan Prof. (Em) Dr.H. Abdul Aziz Wahab MA., selaku Anggota Promotor yang telah meluangkan waktu membimbing penulisan disertasi ini; Prof.DR. H.Fuad Abdul Hamied, MA, sebagai Ketua tim Reviewer bersama Prof Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si, dan Dr.H.Dadang Sundawa, M.Pd., yang telah memberikan banyak masukan atas kealfaan keseluruhan tulisan disertasi ini disana-sini; Prof.Dr. H. Sapriya selaku Ketua Prodi PKn SPs UPI, dan khususnya Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Pd. sebagai Ketua Prodi Pendidikan Umum SPs UPI sekarang, yang dalam kedudukannya sebagai Ketua prodi PKn (2009) telah membukakan peluang bagi penulis untuk melanjutkan studi program doktoral setelah menunda cukup lama untuk beroleh kesempatan ini.
Rasa terima kasih dan salam perjuangan juga ingin penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa program S3 Prodi PKn angkatan 2008/2009; Selanjutnya hutang budi harus juga penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah membantu memberikan kemudahan di dalam pengumpulan data lapangan, antara lain : Rama
Sepuh Pangeran Djatikusumah, Rama Anom Pangeran Gumirat Barna Alam, segenap
tokoh sesepuh dan pemuda masyarakat Adat Cigugur Kuningan, Bapak Kepala Desa dan segenap aparat Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan; Ibu Dra. Ria Intani, Bapak Drs. Nandang Koswara, M.Si., Staf Balai Pemeliharaan Nilai Tradisional Jawa Barat yang telah memfasilitasi dan menjadi teman diskusi selama pengumpulan bahan yang diperlukan melengkapi studi ini; Rekan Budi Rahayu Tamsyah, Yayan Sofyan sahabat lawas sejak bergelandang di Perpustakaan Sundanologi Gedung Merdeka hingga hijrah ke Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung (1987-1989) yang selama penukilan fokus studi ini telah menyumbangkan sumber tertulis yang diperlukan dan diskusi panjang antara 2010-2011, Kang Adang S. Pupuhu Caraka Sundanologi; Kang Hidayat Susanto (Alm), Tatang Sumarsono, penulis Seni-budaya / Sastra Sunda, Kang Totong, Kang Dadang Iwan, Juru Adat / Praktisi Seni, Kang (Aom) R. Wiraatmaja serta segenap baraya Kandaga Sawala Kalang Sunda – Komara Wibawa Jaya di Buwana (KSKS), dan Salakanagara – Sunda Sadu Santa Budi, dua jejaring komunitas yang kegiatan sosialnya penulis ikuti melengkapi
keperluan penukilan artefak seni-budaya Sunda, terakhir kepada isteri dan kedua anakku : Tuti Istianti, Aria Bagiasa C. & Dyah Hastiasa C. serta segenap handai taulan yang telah mendorong penuntasan studi ini, disampaikan rasa terima kasih tak terhingga. Semoga segala amal baiknya mendapat balasan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa. Amien.
Billlahi taufiq wal hidayah, wassalamu alaikum wr.wb.,
Bandung, 13 Agustus 2013 Penulis
(8)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
Solihin Ichas Hamid (2014) Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Artefak Kehidupan Sosial Kultural Masyarakat Sunda (Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda)
Studi ini dimaksudkan memperoleh gambaran berkenaan dengan konsep Nilai-Moral dalam konteks Kewarganegaraan yang terdapat pada ‘jejak-bangun’ kehidupan kultural masyarakat Sunda. Penelitian diawali secara tekstual pada himpunan ungkapan yang telah ditulis para ahli sebagai kekayaan sastra lisan masyarakat dan selebihnya dari kehidupan langsung anggota lingkungan pemelihara adat kebudayaan Sunda. Nilai Moral Kewarganegaraan sebagai ide
normatif telah cukup memenuhi standar acuan baik secara kurikuler di sekolah maupun sub-institusi yang ada di tengah masyarakat, khususnya komunitas pemelihara
adat-budaya lokal di Jawa barat. Bahwa pendidikan di dalam praksisnya adalah proses
dinamis timbal-balik antara sekolah dan masyarakat yang berlangsung terus-menerus, secara sinergis diharapkan dapat saling membuahkan pengetahuan dan pemuliaan kehidupan yang dicita-citakan. Karena itu, penelusuran subtansi nilai sebagai rujukan ideal-filosofis dan praksis-pedagogisnya pada jejak-bangun kehidupan kultural lokal masyarakat menjadi pilihan strategis yang dapat dilakukan. Pertanyaan penelitiannya dirumuskan :1) Bagaimanakah konsep nilai-moral yang ada pada sejumlah simbol kepercayaan masyarakat Sunda memberi sumbangan pengayaan makna dan pertanda pada tujuan pembelajaran PKn di sekolah ?; 2) Bagaimana ragam artikulasi muatan nilai-moral yang hidup dalam ujaran lisan menjadi tindakan kultural dalam persfektif kehidupan politik masyarakat pendukung system budaya lokal, baik sebagai etika politik maupun etos kewarganegaraan masyarakat Sunda?; 3) Bagaimanakah model penanaman dan pengembangan nilai-moral kewarganegaraan sebagai alat dan tujuan pendidikan
politik baik dalam kurikulum sekolah dan organisasi kemasyarakatan berbasis sosial
kultural lokal di Tatar Sunda ?. Data yang digunakan antara lain : 1) Opsi konseptual sejumlah ungkapan dalam semiotika Sunda; 2) Ragam artikulasi dalam kehidupan sosial dalam bentuk reka-seni pertunjukan dan 3) Implementasi sosial sebagai model edukasi berupa ritual sosial / upacara. Penghimpunan artefak kehidupan kultural dapat dipetik dari beberapa sumber, baik bersifat tekstual dan tuturan lisan dari sejumlah subjek penelitian berkenaan dengan ungkapan dalam ragam dan jenisnya, bentuk pemeliharaan dan pengembangan model artikulasi dan implikasi edukasi pada masyarakat pendukungnya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan hermeneutik
yakni model penafsiran filosofik meliput analisis semiotik-semantik hingga tematik, yang dalam idiom Sunda disebut Pancacuriga : silib-sindir-sampir-siloka-sasmita. Sesuai dengan sifat kualitatif, deskripsi hasilnya dapat digambarkan bahwa : 1) Himpunan gagasan yang terdapat dalam ungkapan yang bersifat mendasar, khususnya berkenaan dengan isi berupa babasan, paribasa, uga dan caturrangga telah menjadi sumber ajaran moral. Sebagai karya sastra kolektif, memiliki dimensi artikulasinya sendiri. namun berdasar sifatnya yang melekat dalam dirinya meliput bentuk, isi, cara dan fungsinya sebagai media hinga model; 2) Memiliki medium artikulasi yang luas, komprehensif dan ekspresif selain konseptual-verbal, berupa atraksi pertunjukan dan pergelaran seni tradisional yang terpelihara sebagai peninggalan dan alat pembelajaran; dan 3)
Menunjukan aktualitas kompleksnya sebagai model pendidikan dan pembelajaran sosial kultural, yang bersifat praksis dan langsung melalui kegiatan tradisi upacara, baik bersifat personal maupun sosial yang bersifat masif.
(9)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
Nilai Moral Kewarganegaraan, Ethos, Artefak, Babasan, Paribasa, Uga, Caturrangga, Pancacuriga : Silib-Sindir-Sampir-Siloka-Sasmita
Abstract
Solihin Ichas Hamid (2014), The Citizenship Moral Values in Sundanese Ethnic Society Cultural
Lives Artefact (Explorative Study of the Citizenship Moral Values in Idiomatic Conseptual, Articulation of Art and Ritual Tradition of Sundanese Culture).
The study attempts to describe the concept of Moral Values in the context of citizenship which is written in the ‘path-built’ of Sundanese community cultural life.This study began textually from the set of utterances written by the experts as an oral literature wealth. Furthermore, it was also built from the real life of the member of the Sundanese-culture tradition keeper. The ‘Citizenship Moral Values’ as a normative idea has fulfilled the standard guidance as a curricular matter in a school context, as well as in a sub-institution among the society, especially the supporter of custom conservation communities in West Java. Practically, ‘education’ is a mutual dynamic process between school and society which happens continually, sinergically, it is hoped, resulted in knowledge and glorious of lives that have been dreamt about. Therefore, the searching of substantial values as references of ideal-philosophic and practical-pedagogy of local society cultural life artefact could be one of the strategic choices to be implemented. The research questions are formulated as follow: 1) How is the concept of values-moral that exists in the number of the Sundanese community’s faith symbol contributes to the meaning enrichment and premonition to the aims of Citizenship Education?; 2) How is the variety of moral values content articulation that lives in the spoken acts become cultural acts in the perspective of the local culture supporters society’s political lives, as a political ethic, as well as Sundanese society’s citizenship ethos?; 3) How is the implant and improvement model of citizenship moral values as a tool and a goal of ‘political education’ in the school curriculum as well as in the local socio cultural-based community organization in Sundanese area? The data being used in this study are: 1) Conceptual option of a number of Sundanese semiotic expressions, 2) Variety of articulation in the social life in the form of art-creation performance and 3) Social implementation as an educated model in a form of social ritual/ ceremonial. The collection of life artefacts could be withdrawn from several sources, such as textual spoken acts from a number of research subjects in relation with the expression in different manner and types, the form of maintenance and development of articulation model and educational implication to its supporter society. The data analysis was conducted using the hermeneutic approach, the philosophic exegesis model which covers semiotic-semantic to themes analysis, in Sundanese idioms called as Pancacuriga: silib-sindir-sampir-siloka-sasmita. In accordance to the qualitative traits, the result could be escribed as: `1) The compilation of ideas that is lay in the expression has a fundamental nature, especially related to the content in the form of babasan, paribasa, uga and caturrangga have become the source of moral teaching. As a collective literature, it has its own articulated dimension, according to its traits which covers its form, content, way and function as a media as well as a model; 2) It has a
(10)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
wide articulation medium, comprehensive and expressive besides conceptual-verbal, in a form of performance attraction and traditional art performance which is nurtured as a reminder and learning tool; and 3) It shows its complex actuality as an education model and socio-cultural learning, which has a practise and straight nature through the ritual/ceremonial activity, personally, socially and massively.
Keywords:
Citizenship Moral Values, Ethos, Artefact, Babasan, Paribasa, Uga, Caturrangga, Pancacuriga: Silib-Sindir-Sampir-Siloka-Sasmita
(11)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Penguatan Makna Pendidikan dalam Persfektif Keilmuan dan Kebudayaan ... 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Nilai dan Politik di dalam Sejarah Pendidikan Indonesia ... 4
3. Tantangan dan Problematika Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kekinian diantara Nasionalisme, Etnisitasisme dan Kosmopolitanisme ... 7
4. Model Pengembangan Aktualitas Kewarganegaraan sebagai Dasar Pembentukan Karakter pada Generasi Muda di Sekolah dan Masyarakat ... 12
5. Model Pendidikan Kewarganegaraan Sosial dalam Artefak Kehidupan Kultural Etnik Sunda ... 15
B.Fokus Masalah dan Tujuan Penelitian 1. Fokus Masalah ... 17
2. Tujuan dan Implikasi Penelitian ... 20
3. Kebermaknaan Penelitian ... 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Filsafat Pendidikan dan Kewarganegaraan ... 27
(12)
B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Nilai dan
Politik di dalam Sistem Pendidikan Indonesia ... 44
C. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kekinian di antara Nasionalisme, Etnisitasisme dan Kosmopolitanisme ... 71
D. Teori Kewarganegaraan dan Pengembangan Nilai-Moral Kewarganegaan sebagai Dasar Pembentukan Karakter ... 80
E. Makna Pendidikan Kewarganegaraan dalam Artefak Kehidupan Kultural Masyarakat Sunda ... 97
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Metode Penelitian ... 126
B.Subjek Penelitian ... 128
C.Defenisi Konseptual ... 130
D. Instrumen Penelitian ... 133
E. Prosedur Penelitian ... 133
F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 134
BAB IV PROSES PENGUMPULAN DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Pengumpulan dan Pengolahan Data Penelitian ... 145
1. Muatan Konsep Nilai-Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan Budaya Lokal Sunda ... 146
2. Aktualisasi Nilai-Moral Kewarganegaraan dalam Ragam Atraksi Seni Tradisional Sunda ... 169
3. Praksis Pendidikan Kewarganegaraan dalam Symbolisme Ritual Upacara Adat Tradisional Sunda ... 178
B. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Deskripsi Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Tradisi Lokal Budaya Sunda ... 192
a. Tatar (Lokal) Sunda ... 194
(13)
c. Muatan Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Artefak
Kehidupan Kultural Masyarakat Sunda ... 203 2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 206
a. Kerangka Konseptual Pendidikan Nilai Moral dan Aktualitas Kewarganegaraan dalam Ungkapan Petatah- Petitih Sunda ... 208 b. Artikulasi Pengungkapan Nilai-Moral dan Aktualitas
Kewarganegaraan dalam Atraksi Seni Tradisional
Sunda ... 222 c. Model Implementasi Pembelajaran Nilai-Moral dan
Aktualitas Kewarganegaraan dalam Ritual Upacara
Adat Tradisional Sunda ... 225 C. Pengembangan Implementasi Penelitian dalam Praksis
Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Kurikulum
Sekolah dan Kegiatan Masyarakat ... 230 1. Pengembangan Praksis PKn dalam Kurikulum Sekolah ... 235 2. Pengembangan Praksis PKn dalam Institusi Kemasya-
rakatan ... 256 BAB VI SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan ... 261 1. Konseptualisasi Nilai-Moral Umumnya dan Aktualitas
Kewarganegaraan dalam Ragam Ungkapan Tradisi
lisan Sunda ... 261 2. Artikulasi Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ragam Permainan, Atraksi Pertunjukan dan Pergelaran Seni
Tradisional Sunda ... 266 3. Fungsi dan Peran Ritual Upacara Adat Tradisional
sebagai Model Praksis Pendidikan / Pembelajaran Nilai-Moral Kewarganegaraan dalam Situs Komunitas
(14)
B. Rekomendasi ... 272
DAFTAR PUSTAKA ... 275
DAFTAR GAMBAR Gambar Hal 2.1 : Kerekatan Saling Tolak dan Penggenapan Aliran-aliran di dalam Filsafat Pendidikan ... 34
2.2 : Mencari Filsafat PKn Indonesia ... 38
2.3 : Hirarhi Nilai Menurut Notonagoro ... 45
2.4 : Rekonstruksi Hirarhi Nilai dalam Paradigma Kebutuhan Insaniah 47
2.5 : Skema Keterkaitan Model Ideal Kealaman, Kehidupan dan Kemanusiaan : Model Purwasasmita (2002:8) ... 50
2.6 : Skema Unsur Kemanusiaan menurut Urutan Upaya dan Urutan Nilai: Model Purwasasmita (2002: 13) ... 52
2.7 : Skema Unsur dan ilmu Kemanusiaan dalam Skala Masyarakat Bangsa: Model Purwasasmita (2002 : 16, 20) ... 53
2.8 : Dimensi Hak dan Kewajiban Keanggotaan / Kewargaan sebagai Individu pada lingkup Keluarga, Masyarakat, Negara hingga Dunia ... 88
2.9 : Rekonstruksi Model Pengembangan Etos Kewarganegaraan berbasis Etnisitas Lokal Nusantara ... 122
2.10 : Model Aktualisasi 7 Tema Indikator Moral Kewarganegaraan ... 125
3.1 : Bagan Komponen Analisis Data Model Interaktif (Miles & Huberman, 1992: 12) ... 136
3.2 : Langkah Teknis dan Hasil Penelitian ... 140
3.3 : Bagan Proses Pengolahan dan Pengorganisasian Data ... 143
3.4 : Bagan Alur Pengumpulan dan Siklus Pengolahan Data ... 144
4.1 : Rangkaian Upacara Adat Tradisional Sunda dalam Perkawinan .... 182
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : Konfigurasi Konsep Nilai-Faktual pada Kosntuks Organik
dan Institusi Normatifnya ... 55 Tabel 2.2 : Analisis Muatan Konsep Nilai dalam Tatanan Keluarga ... 56 Tabel 2.3. : Dimensi dan Klasifikasi Ajaran Moral dalam Artefak
Kehidupan Kultural Masyarakat Sunda ... 111 Tabel 4.1.0. : Rekapitulasi Pengelompokan Data berdasar Klasifikasi dan Karakterisasi Ungkapan dalam bentuk Babasan ... 147 Tabel 4.1.1 : Analisis Muatan Ungkapan Babasan Bertanda Positif Berdasar tema NMK 1 Kerendahan hati, Tahu diri ... 148 Tabel 4.1.2 : Analisis Muatan Ungkapan Babasan bertanda poistif berdasar tema NMK 2 Kesabaran, Keikhlasan, Kebesarhatian, dan
Keterbukaan / Kejujuran ... 149 Tabel 4.1.3. : Analisis Muatan Ungkapan Babasan bertanda poistif berdasar tema NMK 3 Kebersamaan, Kesetiakawanan social ... 149 Tabel 4.1.4. : Analisis Muatan Ungkapan Babasan Bertanda Positif Berdasar tema NMK 4 Kesiapsiagaan, Kewaspadaan ... 150 Tabel 4.1.5. : Analisis Muatan Ungkapan Babasan bertanda poistif berdasar tema NMK 5 Keberanian dalam membuat keputusan ... 150 Tabel 4.1.6. : Analisis Muatan Ungkapan Babasan bertanda poistif berdasar tema NMK 6 : Ulet, Ajeg, Kerjakeras,Tangguh ... 151 Tabel 4.1.7. : Analisis Muatan Ungkapan Babasan bertanda poistif berdasar tema NMK 7 Adil, Arif, Bijaksana ... 152 Tabel 4.2.0. : Rekapitulasi Pengelompokan Data berdasar Klasifikasi dan
Karakterisasi Ungkapan dalam bentuk Paribasa ... 153 Tabel 4.2.1. : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positifberdasar Tema NMK 1 Kerendahan hati, Tahu diri ... 154 Tabel 4.2.2 : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positif berdasar tema NMK 2 Kesabaran, Keikhlasan, Kebesarhatian, dan
Keterbukaan / Kejujuran ... 154 Tabel 4.2.3. : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positif berdasar tema NMK 3 Kebersamaan, Kesetiakawanan sosial ... 155
(16)
Tabel 4.2.4. : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positif Berdasar tema NMK 4 Pengabdian, Kesetiaan pada
Profesi,Kesiapsiagaan, Kewaspadaan ... 155 Tabel 4.2.5. : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positif
Berdasar tema NMK 5 Keberanian dalam membuat keputusan .. 156 Tabel 4.2.6. : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positif
Berdasar Tema NMK 6 Ulet, Ajeg, Kerjakeras,Tangguh ... 157 Tabel 4.2.7. : Analisis Muatan Ungkapan Paribasa Bertanda Positif berdasar tema NMK-7 Adil, Arif, Bijaksana ... 158 Tabel 4.3.1. : Muatan NMK-1 dalam Ungkapan Positif Babasan dan Paribasa Sunda ... 158 Tabel 4.3.2. : Muatan NMK-2 dalam Ungkapan Positif Babasan dan Paribasa
Sunda ... 159 Tabel 4.3.3. : Muatan NMK-3 dalam Ungkapan Positif Babasan dan Paribasa
Sunda ... 160 Tabel 4.3.4. : Muatan NMK-4 dalam Ungkapan Positif Babasan dan Paribasa
Sunda ... 160 Tabel 4.3.5. : Muatan NMK-5 dalam Ungkapan Positif Babasan dan Paribasa
Sunda ... .. 161 Tabel 4.3.6. : Muatan NMK-6dalam Ungkapan Positif Babasan dan Paribasa
Sunda ... 161 Tabel 4.3.7. : Muatan NMK-7 : Keadilan, Kearif-wijaksanaan Ungkapan
Positif Babasan dan Paribasa Sunda ... 162 Tabel 4.4. : Deskripsi Ungkapan Petatah-Petitih Sunda Dalam Bentuk Uga 164 Tabel 4.5. : Deskripsi Ungkapan Acuan Nilai Daya-Juang Ksatria dalam Bentuk Caturrangga ... 168 Tabel 4.6. : Analisis Parsial Ragam Permainan dalam Ungkapan Sastra
Lisan Sunda ... 170 Tabel 4.7. : Analisis Parsial Ragam Atraksi Seni Pertunjukkan Tradisional Sunda ... 173 Tabel 4.8. : Muatan Nilai Moral-Kewarganegaraan Dalam Cerita Pantun
Mundinglaya Dikusumah ... 177
Tabel 4.9. : Muatan Nilai Moral-Kewarganegaraan Dalam Sampel Cerita
Wayang “Kumbakarna Gugur” ... 178 Tabel 4.10. : Deskripsi Pembagian Ritual Upacara Adat Tradisional Sunda
(17)
Tabel 4.11. : Deskripsi Muatan Nilai –Moral Sosial dalam Ritual / Upacara Adat Tradisional Perkawinan Pada Masyarakat Sunda ... 185 Tabel 4.12. : Deskripsi Pelaksanaan Upacara Seren Taun Pada Masrarakat
Pemelihara Adat Sunda di Cigugur Kabupaten Kuningan ... 190 Tabel 4.13. : Deskripsi Pengembangan Nilai-Moral Sosial Kewarganegaraan pada Ritual Upacara Tradisional Sosial-Kolosal Masyarakat
Etnik Lokal Sunda ... 191
Tabel 4.14 : Klasifikasi Kronologi Terbentuknya Situs Kamandalaan dalam Bentuk Kampung Adat di Tatar Sunda ... 201 Tabel 4.15 : Lingkup Jejak-Bangun Kehidupan Kultural Masyarakat Sunda 204 Tabel 4.16 : Lingkup Hasil Penelitian ... 206 Tabel 4.17a. : Analisis Tema NMK-1 Kerendahan hati, tahu diri ... 211 Tabel 4.17b. : Analisis Tema NMK-2: Kesabaran, Keikhlasan, Kebesarhatian, dan Keterbukaan / Kejujuran ... 212 Tabel 4.17c. : Analisis Tema NMK-3: Kebersamaan, Kesetiakawanan social .. 212 Tabel 4.17d. : Analisis Tema NMK-4: Kesiap-siagaan, Kewaspadaan
Pengabdian, Kesetiaan pada Profesi ... 213 Tabel 4.17e. : Analisis Tema NMK-5: Keberanian dalam membuat keputusan 214 Tabel 4.17f. : Analisis Tema NMK-6: Ulet, Ajeg, Kerjakeras,Tangguh ... 214 Tabel 4.17g. : Analisis Tema NMK-7: Arief, Adil ... 215 Tabel 4.18. : Petikan Sampling Standar Kompetensi PKn menurut KTSP
2006 Pada Jenjang Kelas 1 s/d 12 ... 237 Tabel 4.19. : Petikan Sampling Standar Kompetensi Dasar PPKn menurut
Kurikulum 2013 pada Jenjang kelas 1 s/d 12 ... 239 Tabel 4.20. : Petikan Muatan Artefak Kehidupan Sosial Kultural dalam
bentuk Petatah-petitih Sunda ke dalam Pengembangan Materi Pembelajaran PKn di Kelas 1 s/d 12 : SD - SMP – SMA ... 243
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1 : Petikan data Idiomatik Konseptual NMK dalam bentuk
Petatah-Petitih Sunda yang telah dihimpun menjadi Bahan
Pelajaran Bahasa di Sekolah ... 283
Lampiran 2 : Petikan Uga dan Caturrangga sebagai bentuk Kultural Lainnya yang ada dalam kehidupan Masyarakat Sunda ... 352
Lampiran 3 : Sampel Catatan Lapangan ... 365
Lampiran 4 : Deskripsi Sampling Atraksi Seni Pertunjukkan Ria Jenaka Sunda ... 367
Lampiran 5 : Sampel Muatan Nilai-Moral Kewarganegsaraan dalam Tembang, Kawih dan Kakawihan ... 369
Lampiran 6 : Pantun Sunda - Tradisi Pitutur Carita ... 373
Lampiran 7 : Sampel Pagelaran Wayang Golek ... 377
Lampiran 8 : Sampel Ritual Upacara Adat Sunda ... 379
Lampiran 9 : Data Geografis dan Kependudukan Kelurahan /Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan ... 392
Lampiran 10 : Tokoh Informan Budayawan, Ilmuwan Budaya Sunda dan Aktifis / Praktisi Seni Budaya sebagai Subjek Penyumbang Data ... 496
Lampiran 11 : Sampel Bentuk Kegiatan Pendidikan Keanggotaanmelalui Saresehan / Gitra Sawala di Lingkungan Komunitas Kamandalaan SALAKANAGARA ... 399
Lampiran 12 : Sampel Hand Out Gotra Sawala Oleh Hilman Firdaus, Girang Pupuhu Salakanagara Bandung ... 400
(19)
Lampiran 13 : Sampel Tujuan Program Komunitas Kandaga Sawala Kalang Sunda – Panca Garap KSKS ... ... 404 Lampiran 14 : Deskripsi Filosofis Perangkat Tradisional yang menjadi Ikon, dan Salah satu Ikon Budaya Ornamental Pelengkap pakaian Etnik Sunda ... 405
Daftar Tabel Dalam Lampiran
Tabel 1.2. : Kodifikasi Isi Ungkapan Perilaku dalam Babasan Sunda
berkonotasi Positif ... 308 Tabel 1.3. : Kodifikasi Isi Ungkapan Perilaku dalam Babasan Sunda
Berkonotasi Negatif (Panyaram Lampah Salah) ... 312 Tabel 1.4. : Kodifikasi Isi Ungkapan Perilaku dalam Babasan Sunda
Berkonotasi Situasional ... 322 Tabel 1.5. : Analisis Tema Nilai Moral Kewarganegaraan dalam
Ungkapan Positif Babasan Sunda ... 323 Tabel 2.0 : Himpunan Petatah-Petitih Sunda dalam Bentuk Paribasa
Berdasar Buku Teks Penunjang Pelajaran Sekolah Karya
Rahayu Tamsyah dan Sumber lainnya ... 327 Tabel 2.1. : Kodifikasi Isi Ungkapan Tuntunan Perilaku dalam
Paribasa Sunda Berkonotasi Positif ... 338
Tabel 2.2. : Kodifikasi Isi Ungkapan Perilaku dalam Paribasa Sunda
Berkonotasi Negatif ... 341 Tabel 2.3. : Kodifikasi Isi Ungkapan Perilaku dalam Paribasa Sunda
Berkonotasi Situasional Positif-Negatif ... 347 Tabel 2.4. : Kodifikasi Isi Ungkapan Gambaran Keadaa /Situasi Sosial –
(20)
Tabel 2.5. : Analisis Tema Nilai Moral Kewarganegaraan Dalam
(21)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Persoalan kewarganegaraan adalah persoalan moral secara subjektif dan politik secara objektif. Secara subjektif setiap warganegara dinisbahkan menjadi pemilik atau pendukung keberadaan negara. Hal itu didasarkan pada salah-satu teori tujuan negara – seperti diajarkan Aristoteles dan yang sealiran dengannya seperti Dante, Epicurus hingga Thomas Aquinas, dan sebagaimana juga dianut oleh Mukadimah UUD 1945 yakni „untuk melindungi hajat kepentingan rakyat sebagai warganegara pendukungnya‟. Sedangkan kedudukan objektifnya, secara politik bahwa setiap warganegara juga adalah menjadi alat pencapaian tujuan atau kepentingan negara dengan segala kompleksitasnya, sehingga diperlukan adanya aturan yang mengikat kuat berupa kewajiban-moral selain hak-hak dasarnya sebagai warganegara. Sejarah panjang di dalam praktik penyelenggaraan negara sejak purba hingga akhir modern, mengisahkan problematika fenomenal tarik-menarik antara cita-cita kemanusiaan dan tujuan kekuasaan semata, antara tujuan mulia negara dan residu kemunduran peradaban. Untuk itu, latar permasalahan studi ini dapat diketengahkan meliput lima sub-tema pokok di dalam Pendidikan Kewarganegaraan di tanah air khususnya,yakni : 1) Penguatan makna pendidikan dalam perspektif keilmuan dan kebudayaan, sebagai tilikan filosofis; 2) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan politik dalam sejarah pendidikan Indonesia, sebuah refleksi historis; 3) Tantangan dan problematika pendidikan kewarganegaraan dalam kekinian diantara Nasionalisme, Etnisitasisme dan Kosmopolitanisme, dalam acuan empiris; 4) Pengembangan aktualitas Kewarganegaraan sebagai dasar pembentukan karakter generasi muda pada lingkup sekolah dan masyarakat, sebagai kajian teoritis;
(22)
dan 5) Makna Pendidikan Kewarganegaraan Sosial dalam artefak kehidupan kultural masyarakat Sunda, sebagai penelusuran alternatif praksis yang dicari dalam studi ini.
1. Penguatan Makna Pendidikan dalam Perspektif Keilmuan dan Kebudayaan Pendidikan sebagai sebuah proses, sejatinya merupakan naluri kehidupan itu sendiri. Jika realitas selain manusia menampakan pula pertanda tindakan belajar seperti yang dilakukan diri manusia – meski dapat dipastikan tanpa sadar akan tujuan atau terbatas padakebutuhan dasariahnya, yakni mempertahankan diri dari ancaman tantangan dan gangguan yang mengusik kehidupannya. Namun realitas adanya pola adaptasi yang dilakukan setiap makhluk selain diri manusia dalam mempersiapkan kekuatan, kemampuan menghindari bahaya yang mengancam dirinya hingga berakumulasi menjadi aktualitas pertahanan untuk kepentingan kelangsungan keberadaan hidupnya, pada dasarnya merupakan perilaku belajar. Bahwa tentu saja yang menjadikan sosok diri manusia mengatasi kemampuan makhluk selain jenis dirinya, adalah bukan lain dari keunggulan dalam membuat loncatan perubahan oleh potensi penyesuaian dan penciptaan yang dimilikinya. Tetapi meski dapat dikatakan yang menandakan diri manusia adalah sebagai hewan berpikir, yang dapat bertanya atas segala persoalan yang menjadi realitas di dalam kehidupannya, keberadaan diri manusia dalam komunitasnya hingga kuantitas tak terbatas tidaklah serta-merta menasbihkan kedudukan sama dengan sendirinya atas satu manusia dengan manusia lainnya. Langeveld (Rasyidin Dkk, 2007) menyebut manusia sebagai “Homo Educandum”, yakni makhluk yang memiliki potensi untuk
belajar, diajari (dididik) dan belajar terus-menerus terutama oleh dan dengan dirinya sendiri. Sebab keberadaan kemuliaan dirinya sebagai manusia di atas sekalian makhluk yang diciptakan, karena „isi kepalanya‟, tetapi beranjak lagi harkat yang bisa dicapai dari sesama dirinya sebagai umat manusia karena „integritasnya‟, yakni potensi penciptaan pada ranah penyatuan antara kekuatan intelektif dengan
(23)
pendalaman pengalaman peran dirinya sebagai bagian dari umat manusia lainnya. Untuk kepentingan kehidupan bersama itulah, kesadaran luhur manusia mampu menemukan tujuan yang dapat disepakati dan mengikat semua diri manusia melalui cara-cara pengembangan potensi seturut dan setaraf dengan fitrahnya. Karena itu, pendidikan dalam maknanya sendiri, dan Pendidikan Kewarganegaraan khususnya : disepakati untuk bermuara pada tujuan pencapaian terbentukna budi baik atau watak, tabiat atau sekurang-kurangnya dapat dinyatakan sebagai sikap dan sifat warganegara yang baik (good citizenship).
Jika warganegara yang baik, atau berkarakter bukan lain daripada individu manusia yang memiliki diri sebagai satu kesatuan jasmani dan rohani yang sehat dan matang secara moral, mental dan sosial. Kesehatan dan kematangan moral, mental dan sosial sebagai totalitas kepribadian dapat terbentuk melalui berbagai cara, pendekatan dan penghampiran proses pendidikan baik formal, informal, di sekolah, keluarga dan masyarakat. Ikhtiar pengembangan pendidikan moral di sekolah sebagai salah satu model pendekatan yang dapat dikontrol sekalipun, kerap dihadapkan pada ketidak hampiran dalam menggapai target pembentukan prilaku moral warganegara yang diharapkan, kecuali indikator pencapaian pengetahuan atau kesadaran kognitif-parsial. Aktualisasi moral pada ranah sikap dan prilaku nyata warganegara, tidak mudah diwujudkan baik dalam setting keluarga, sekolah dan masyarakat tanpa membangkitkan salah satu potensi dasar diri individu manusia, yakni spirit atau semangat dan ialah yang menguatkan semua isi dan kesadaran selain potensi intelektif. Dalam keseharian, dikaitkan dengan tuntutan kewajiban yang menjadi ruang aktualisasi praksisnya lajim disebut „Etos‟. Ialah „kekuatan yang menggerakan spirit menjadi isi di dalamnya, merupakan dasar bagi kehendak dan kemampuan untuk bertanggungjawab‟, boleh jadi terbentuk oleh kebiasaaan, yang mengkristal menjadi konsistensi diri dalam memaknai peran dan keterkaitan dengan kehidupan bersama, baik dalam konteks sosial, budaya dan alam. Maka sebagai
(24)
„spirit of ..’ bukan lagi sekedar kebenaran baku yang secara normatif telah final sebagai bagian dari kekayaan kultural dan peradaban, tetapi jawaban kontekstual atas apa yang harus menjadi pilihan benar dan baik dalam tindakan bagi kepentingan mulia tujuan hidup manusia dan kemanusiaan. Oleh sebab, ialah yang menggerakkan hati manusia, kekuatan yang menguatkan sebagai awal dan untuk pada akhirnya, yang dapat dan harus ditumbuhkan karenanya, agar diri manusia menjadi manusia sebagaimana harusnya, untuk menghampirinya harus ditumbuhkan sejak dari dalam prosesnya, tidak dari seperti memetik hasil akhirnya.
2. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Nilai dan Politik dalam Sejarah Pendidikan Indonesia
Bahwa pendidikan politik berbasis penanaman nilai-moral yang bermuara pada pembentukan karakter manusia dalam ikatan kolektif nation Indonesia telah dimulai dan mengalami perkembangan seiring dinamika historis negara-bangsa dalam konteks perubahan dan progress politik dunia global yang menjadi lingkupnya. Perkembangan progres global dengan segala dimensinya, selain merupakan tantangan terhadap upaya pemeliharaan kekayaan, penguatan nilai dan citra cultural bangsa, juga dapat ditenggarai sebagai ancaman nyata terhadap pelemahan hingga penghilangan identitas nasional tiap satuan bangsa. Semakna dengan apa yang diungkapkan Branson (1999:14) dalam Winataputra & Budimansyah (2007:1) betapa “globalisasi memiliki potensi untuk mengembangkan atau sebaliknya menunda ..” apa yang diperjuangkan umat manusia dalam menjaga kelangsungan dan kehormatan hidup bersama dalam masyarakat, dalam ujud berbangsa dan bernegara – bahwa hal itu tentu bergantung pada kemampuan suatu bangsa dalam menentukan pilihan. Sementara faktanya, pelemahan identitas oleh ekses arus global kasat mata bukan saja menghinggapi warganegara muda hingga dewasa yang kurang beruntung mendapatkan akses pendidikan, tetapi juga pada berbagai kalangan yang lebih bernasib baik mendapatkan fasilitas termasuk pendidikan yang diperlukan untuk
(25)
mengambil peran dalam jabatan dan kehormatan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika demikian, penyebab runtuhnya kesadaran dan berkurangnya kebanggaan akan harkat besar sebagai anak bangsa yang beradab dan bermartabat, dapat dialamatkan bukan pada tidak adanya pendidikan politik nasional, baik secara akademik dan kultural dalam kehidupan kemasyarakatan, sepanjang dinamika pembangunan dan pembaruan pendidikan di dalamnya yang terus digerakkan dari waktu ke waktu. Tetapi dapat dirasakan, kekurang berhasilan program value and moral education yang ada di dalam kurikulum persekolahan, dan secara eksplisit dilimpahkan pada pembelajaran PKn atau dalam sebutan sebelumnya: dari Budi Pekerti (1947), Pendidikan Budi Pekerti (1951), Civics (1957-1961), PKN (1962-1968), PMP (1975-1984), PPKn (1994), PS/PKPS (dalam KBK 2004), PKn di dalam KTSP 2006 dan kembali disebut PPKn melalui penetapan Kurikulum 2013, terentang pada sejumlah sebab yang dapat disadari sebagai “unavoidable”,
(Winataputera) yakni sebagai penyimpangan yang tak terhindari, yang sejatinya dapat diapresiasi sebagai bagian dari dinamika historis perjalanan bangsa. Bahwa kenyataan terkini belum juga beranjak dari apa yang sudah disinyalir Winataputra (1982), yakni “ .. masih kurang atau tidak dipahaminya karakteristik mata pelajaran ini secara utuh, baik oleh guru mata pelajaran di sekolah lanjutan dan menengah .. ” tidak kecuali pada keadaan sekarang, termasuk juga para guru kelas di sekolah dasar yang tidak secara khusus merupakan guru bidang studi – berakar pada persoalan pembinaan mutu sumberdaya pendidikan yang terabaikan dalam rentang waktu yang lama. Hingga kenyataan pengelolaan mata pelajaran ini dari waktu ke waktu cenderung dilakukan menurut mudah dan praktisnya bagi kepentingan pelaksanaan tugas parsial pengajaran yang menjadi tanggungjawab formalnya. Maka hasilnya dapat dipastikan sama sekali tidak memberikan kekayaan pengalaman belajar yang diperlukan bagi pembentukan sikap dan kepribadian peserta-didik sebagai warganegara.
(26)
Kendati reformasi telah bergulir, dan pendidikan sebagai sokoguru pembanguan bangsa menjadi bagian penting lain dari agenda reformasi bangsa dan negara ini, setidaknya sebagaimana tercakup dalam Amandemen konstitusi hingga produk yuridis lain,antara lain UU Nomor 14 tahun 2004 yang bermakna strategis dalam turut meningkatkan standar profesi, selain mengatur peran dan kedudukan sumberdaya pendidikan untuk mendukung pencapaian tujuannya. Dalam kerangka itu, beberapa hal yang menjadi sebab lain tidak efektifnya pencapaian tujuan mata pelajaran ini, seperti yang dikemukakan Winataputera (1999) maupun Wahab dan Sapriya (2011), masih relevan untuk direfleksi ; bahwa terhadap empat kelemahan esensial mata pelajaran ini, (tiga diantaranya) yakni : 1) konseptualisasi, 2) penekanan berlebihan pada proses pendidikan moral behavioristik, dan indoktrinatif, hingga 3) ketidak konsistenan penjabaran berbagai dimensi tujuan ke dalam kurikulum PKn; seiring hajat reformasi, telah dilakukan pembenahan dan progres yang dicapai melalui berbagai kebijakan, termasuk pembaruan dan penyesuaian kurikulum sejak digulirkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK-2004) hingga Kurikulum Standar Isi dan Standar Proses yang ditetapkan BSNP, yang telah mengacu pada tuntutan yuridis dan spirit otonomi daerah, yakni melalui pengembangan Kurikulum yang harus terbentuk pada satuan lokal dan potensial sekolah masing-masing – kecuali isyu kelemahan yang keempat, yakni “Keterisolasian proses pembelajaran dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya” sebagai ranah praksis,menjadi sangat bergantung pada „apa yang sebaiknya dan sedapatnya harus dilakukan‟ setiap pengembang kurikulum dalam intensitasnya di lapangan, yakni para guru. Untuk itu, kecuali penguatan konseptual keilmuan yang menjadi basisnya – di dalam kerangka Ilmu-ilmu Sosial : khususnya ilmu politik dan praksis hukum ketatanegaraan dalam dimensi nasional dan global, segenap potensi dan peluang ikhtiar pendidikan, terutama melalui proses kurikulum di sekolah ataupun institusi sosial lainnya dapat direorientasikan pada keberadaan makna dan sumbangan nyata
(27)
kehidupan budaya lokal yang ada di sekitarnya. Sehingga proses dan hasil Pendidikan Kewarganegaraan, baik secara konseptual keilmuan, dan moral behavioral yang menjadi harapan, dapat terbentuk secara alamiah karena berbagai dukungan penguatan dari lingkup sosial kulturalnya.
Bahwa kesadaran sebagai warganegara, dimanapun menjadi bagian penting upaya negara membangun kekuatan politik dan moralitas nasional sebagai pendukung kelangsungan hidup menegara. Tidak kecuali itu, upaya pendidikan yang bertujuan menanamkan moralitas kebersamaan telah jauh dilakukan bahkan sejak persekolahan era kolonial hingga awal kemerdekaan. Merunut perjalanan panjang dinamika keberadaan penyelenggaraan pendidikan politik dan moral pada persekolahan di tanah air, dapat ditelusur jejak historis penyebutan nama mata pelajaran ini, setidaknya sejak kurikulum nasional pertama disebut Rencana Pelajaran Terurai tahun 1947 hingga pemerintah menemukan rasio terbaiknya untuk mengembalikan pengembangan kurikulum ke tangan guru dan sekolah melalui KTSP tahun 2006. Perubahan nama mata pelajaran tersebut dari waktu ke waktu dipahami sebagai bagian dinamik perkembangan politik negara, pembangunan masyarakat dan bangsa, yang secara konseptual dan subtansial merupakan pilihan progress jamannya. Karena itu, merefleksi keberhasilan dan kurangnya tetap penting dilakukan terkait realitas kekinian dan proyeksi ke depan, baik konsep hingga penerapannya dalam praktik kewarganegaraan di persekolahan maupun lingkungan masyarakat luas pendukungnya. 3. Tantangan dan Problematika Pendidikan Kewarganegaraan dalam kekinian
diantara Nasionalisme, Etnisitasisme dan Kosmopolitanisme
Bahwa memasuki era kebersatuan dunia, yang diimpresikan oleh semakin pudarnya batas manual otoritas dan wilayah negara hingga entitas budaya di dalamnya, Pendidikan Kewarganegaraan pada tiap negara-bangsa di semua sudut bumi saat ini, memasuki momentum perluasan nuansa oleh terbukanya spirit dan rasionalitas global yang menjadi ciri jaman ini. Meski di atas perkembangan itu, jauh
(28)
ke dalam subtansi PKn tetaplah menjadi sandaran utama instrumentasi pelestarian dan penguatan etos dan entitas jatidiri bangsa. Maknanya, betapapun semua bangsa tak dapat menolak arus besar penyatuan dunia, tugas moral kesadaran bernegara-bangsa di sudut manapun akan jatuh pada pilihan turut bagian mewarnai keragaman dunia dalam kebersamaan meski dengan keberbedaan yang ada. Dengan demikian, meniti kembali warna dan rupa lokal Nusantara menjadi langkah strategis nasional pengokohan citra dan jatidiri bangsa.
Persoalannya, merefleksi perkembangan terakhir denyut nadi spirit dan aktualitas sosial politik yang merupakan citra kultural manusia berbangsa, bernegara dalam wadah NKRI hingga dua pertiga abad pasca proklamasi; tidak saja sebagaimana terjadi di pedalaman, di pedesaan bahkan dikota besar dan komunitas manusia lebih terdidik dari pelajar hingga mahasiswa; dari Satuan Polisi Pamong Praja hingga yang mulia anggota badan legislatif, kerap masih mencitrakan „keterseokan‟ pada peradaban purba. Meski realitas menggembirakan di sisi lain patut disyukuri bahwa dinamika kultural politik di tanah air telah dapat dikatakan melangkah jauh lebih baik, dalam arti lebih terbuka dibanding sebelum reformasi. Seiring dengan itu, cikal bakal generasi cerdas yang akan mengusung dan melanjutkan pada capaian lebih maju terus lahir dan dilahirkan ditengah kegosongan sisa kultural masa lalunya. Namun hidup berbangsa dan bernegara secara bermutu bersama tidaklah cukup disandarkan pada raihan sedikit dari manusia Indonesia yang mampu mewakili prestasi bangsa dalam persaingan memajukan dunia dan peradaban di dalamnya. Sebagai sebuah bangsa yang besar, anak bangsa ini telah biasa dan bisa belajar dari kemajuan peradaban besar umat manusia, sebagaimana telah diperankan pendahulu dari masa ke masa yang puncaknya tertorehkan menjadi dasar dan tujuan pendirian negara (Alinea IV Pembukaaan UUD 1945). Realitasnya, sebagai sebuah negara-bangsa yang berlimpah sumberdaya alam dan manusia, tidak serta merta menjadikan negara-bangsa ini besar pula dalam arti unggul atau memiliki
(29)
kemampuan yang meyakinkan dalam mengatasi tantangan besar dunia dan jamannya. Setelah sejarah kelam masa silamnya, kemerdekaan yang dicapai yang mestinya dapat membawa kepada keadaan yang lebih bermartabat, terlepas dari kebodohan kolektif, kemiskinan masal, dsb., masih harus terus diperjuangkan dengan segenap kekuatan di tengah potensi konflik dan keragaman yang menjadi salah satu ciri kebesarannya. Peluang dan tantangannya, kecuali belajar dari jejak maju pengayuh perkembangan global dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai bangsa lain, adalah juga terhadap etos dan semangat kulturalnya. Meski jatidiri nasional yang kita warisi tidak kurang bernas, tetapi nyata dan massif, bahwa diri kita sekarang yang tengah atausudah belajar sebagai warganegara dewasa; mulai dari sebagai pemuda, pelajar hingga mahasiswa, buruh, pegawai atau wiraswasta, perseorangan atau kolektif; dari sekedar orang biasa hingga termasuk elite yang tersebar pada semua profesi dan tingkatan perjuangan; jika dihadapkan pada perselisihan, persaingan dan konflik yang tak terelakan, kerap ujungnya menjadi perseteruan yang berkepajangan bahkan tak berkesudahan. Mendapati potret buram wajah diri bangsa sebagaimana tergambar di atas, tidak bisa tidak merefleksikan sosok kepemimpinan sebuah generasi yang kemudian diwarisi penerusnya. Maka buah jadinya, dalam unjuk kepiawaian dan kepahlawanan yang dilakukan para pemuda, pelajar dan mahasiswa kita di kelas dan kampus tempatnya belajar adalah tawuran dan adujotos yang tidak bertujuan, tidak kecuali para remaja perempuan di dalamnya. Potret buram tersebut, merefleksikan integritas kepemimpinan sebagai rujukan pendidikan informal dan sekolah sebagai institusi formal dalam menjaga, memelihara, melestarikan dan meningkatkan mutu kultural kehidupan di hadapkan pada tantangan, perhatian dan penyadaran bersama untuk mencari kembali kekuatan bangsa – betapapun keburaman yang tampak dimungkinkan sama besarnya dengan keadaan sebaliknya yang tidak terlihat, akan tetapi seandainya lebih kecil sekalipun dari yang bisa
(30)
dirasakan tentu tidak untuk dibiarkan, sepanjang nafas dalam helaan : kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan menjadi jalan panjang memahami kehidupan.
Bahwa pendidikan formal sebagai salah satu instrumentasi kekuatan negara-bangsa, telah menjadi wahana yang berperan besar dalam mewariskan : identitas, nilai dan cita-cita kultural kini dan ke depan. Tetapi ketidak berhasilan tak dapat dielakan senantiasa terlihat, ketika pendidikan yang ada kehilangan ruhnya sebagai alat sekaligus tujuan pembentukan watak (medium is massage). Memberai kembali dari mana dan bagaimana pembentukan karakter dalam rangka membangun citradiri bangsa melalui pendidikan, sejatinya menjadi pencarian yang harus terus dilakukan pada peluang yang paling mungkin, yakni mulai dari masa pembentukan pada lingkungan yang paling awal dalam kehidupan seorang anak, di mana masa sosialisasi seiring fase tumbuh-kembang berlangsung seiring pencarian dan pembentukan identitas sebagai seorang pribadi, hingga menjadi warganegara yang matang. Untuk itu, pendekatan multi dimensi, lintas area secara meta-sinergis dalam satu model program terpadu dan berkelanjutan, melalui pengorganisasian kurikulum sekolah bernuansa sosial kultural yang menjadi lingkup sekolah dan keluarga peserta didik berada dapat dilakukan menjadi bagian lanjut studi ini.
Negara-bangsa Nusantara telah dilahirkan oleh jamannya, menjadi sebuah pilihan seiring pergaulan modern pasca kolonialisme (lama) berakhir di beberapa belahan bumi, khususnya bangsa Asia dan Afrika. Indonesia sebagai nama yang dipilih dan dilahirkan untuk mempersatukan komunitas manusia nusantara baru, dalam konsep kedirian negara-bangsanya telah memilih bentuk organisasi modern dengan berasaskan nasionalisme yang saat itu tengah menjadi trend kebangkitan dan
modus perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang mengungkungnya. Di beberapa
negara bangsa eks jajahan, nasionalisme mengerucut menjadi ikon perlawanan, dan antitesa yang mendapat justifikasi dunia untuk menghentikan kolonialisme. Di negara-negara bangsa koloni sendiri, nasionalisme terpelihara dan diaksentuasikan
(31)
melalui spirit perluasan kekuasaan melalui penguasaan tanah dan bangsa lain (expansionisme) sebagai sumber penguatan kejayaan dan kesejahteraan internal negara-bangsanya. Dengan demikian, tanpa menjadi bersifat chauvinistic sekalipun semangat kebangsaan pada setiap negara bangsa yang mulai keluar dari Daratan Eropa telah menjadi ancaman bagi negara bangsa lain yang terlambat dalam melihat ancaman negatif dari perhubungan antar bangsa. Nasionalisme modern yang dianut negara bangsa baru, dan berhasil dibangun di atas kemerdekaannya, berkesempatan memilih akal sehat untuk tidak meniru praksis nasionalisme para koloni yang telah menindasnya, dengan mencitakan masa depan dunia yang lebih berkeadaban dan berkeadilan. Meski demikian, sejak nasionalisme baru menggelora mengantarkan spirit awal kemerdekaan, kekhawatiran akan kembalinya kolonialisme dan imperialisme baru disadari dan menjadi wacana pendidikan politik kebangsaan di tanah air, dan seiring perjalanan meniti „jembatan emas‟ kemerdekaanpun berlalu meninggalkan waktu demi waktu, trend kemajuan dunia baru membawa serta ancaman besar baru tak terelakan bernama globalisasi. Kendati neo-kolonialisme dan neo-imperialisme yang dicemaskan Sukarno jelas tidak pernah mendeklarasikan sebutan dirinya seperti apa adanya dalam realitasnya. Nasionalisme negara-bangsa baru merdeka termasuk Indonesia telah lama tergerus, selain yang tertinggal dalam buku pelajaran sekolah, dan orasi politik tak berakar. Kecuali persoalan mendasar diantara pergeseran kultural dan persaingan kekuatan politik di dalam, yang menjadi sebab negara bangsa ini tidak berhasil meletakan integralisme sebagai dasar perjuangannya, adalah tekanan luar yang sejak dalam wajah lama hingga berganti dengan trend barunya tak dapat dihindarkan. Alih-alih, membangun kekuatan sendiri terlepas dari dunia adalah mustahil, sesuai dengan cita-cita politik sebagaimana tertuang dalam akta pendirian negara bangsa ini, bahwa menjadi bagian dari dunia adalah sebuah keniscayaan, dan mampu mengatasi berbagai ekses negatif di dalamnya itulan satu-satunya pilihan. Untuk itu, menyertakan diri sebagai bagian
(32)
dari dunia cosmopolite adalah langkah elegan, dan namun seiring itu melakukan pencarian dan penguatan terhadap akar kultural nasional berbasis kekaya-ragaman etnik menjadi bagian penting yang tak pula dapat ditanggalkan.
Bahwa pudarnya nasionalisme, selain dapat ditempatkan pada determinant yang sangat kuat bersifat eksternal, harus juga dicari pada realitas berkurangnya andalan internal, yakni : spirit dan kesadaran kolektif pada bangunan kultural anak bangsa. Untuk itu, membangun kembali nasionalisme masih tetap menjadi kepentingan eksis sebuah negara-bangsa, terutama menghadapi arus negatif globalisme yang terus mengancam – sementara hajat menjadi bagian dari dunia kosmopolit tak dapat tidak menjadi pilihan, penguatan identitas dan entitas nasional tak dapat tidak menjadi salah satu andalan. Bahwa aktualisasi etos kebangsaan, lebih dari sekedar unjuk keberpihakan sikap pada pengukuhan simbolik, tetapi diprediksikan mengeras dan harus mampu menguras segala daya untuk mempertahankan makna yang lebih besar bagi kepentingan strategis bangsa. Menumbuhkan etos kebangsaan sebagai kristalisasi spirit dan kesadaran yang harus terbentuk, jelas tidaklah semudah memainkan layangan, seperti yang bisa terjadi dan dilakukan melalui event permainan dan ritual pertandingan persahabatan antar bangsa. Sekedar meresonansi keberpihakan simbolik terhadap identitas dan entitas setiap diri sebagai anak bangsa, dipastikan dapat mudah terjadi. Tetapi menunjukan esensi kekuatan, dalam ujud ketangguhan sikap dan keberanian memilih keputusan atau tindakan bagi kemuliaan negara dan bangsa di atas perhitungan lain dari pada itu, hanya itulah tiket yang dibutuhkan untuk penyelematan negara-bangsa, seperti yang telah dilakukan para perintis perjuangan kemerdekaan dan revolusi hingga reformasi. Tidak kecuali di tanah air, dan bagi bangsa-bangsa yang terlambat berkembang, membangun kekuatan ke dalam adalah pilihan utama dan pertama untuk kemudian siap memasuki tantangan dunia yang terus melaju menjadi bagian dari satu dunia yang terbuka dalam persaingan dan pencapaian tujuan bersama yang sehat.
(33)
4. Pengembangan Aktualitas Kewarganegaraan sebagai dasar pembentukan karakter generasi muda pada lingkup sekolah dan masyarakat
Bahwa karakter atau watak, disepakati harus menjadi muara dari urgensi proses pendidikan. Itu karenanya, sejak awal pendirian negara-bangsa ini; Sukarno, sebagai salah satu bapak bangsa ini tidak termasuk terlambat dalam melantangkan pentingnya “National Charracter Building”, demikian pula oleh rejim yang menggantikannya melalui pembangunan ordebaru, kendati dihindari penggunaan istilah yang sama. Melalui konsep “Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya .. dst.”, dan implementasinya yang diturunkan ke dalam doktrin “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)”, sejatinya merupakan modes lain dari babak lanjut upaya penjelmaan karakter atau watak manusia Indonesia yang diharapkan, baik secara kurikuler dan politik di dalam kerangka penyelenggaraan negara. Memasuki era ketiga; pasca reformasi, wacana kepentingan dan kesadaran kolektif atas National Charracter Building kembali mencuat bagai „gadis sampul‟ yang menarik banyak kalangan. Akan tetapi, sejauh dinamika politik dan kultural sejak republik ini berdiri hingga reformasi alot berlangsung, tidak terlihat titik tumpu antara visi ideal politik nasional di satu sisi dan realitas kepentingan praktis yang senantiasa menjadi bahan pertarungan dengan potensi kultural di sisi lainnya. Terlebih dihadapkan pada kompleksitas problematika loncatan kekinian yang terus menggerus dan menantang – diantara pengalaman mengenaskan oleh berbagai kekalahan di dalam persaingan dengan kemajuan dan kemakmuran negara/bangsa lain. Setiap kekalahan sebagaimana terjadi pada kehidupan semua bangsa dan jaman manapun, sesungguhnya tidak sukar ditemukan akar permasalahannya. Bahwa apa lagi yang tidak dimiliki oleh sebuah negara-bangsa yang tanah ait dan manusianya tidak kurang diliputi kekayaan tak bertepi, kecuali mental kolektifnya sebagai sebuah bangsa, dan itu tak bisa dibangun tanpa bersandar pada satu-satunya instrument penting di dalam gerak maju peradaban dan kebudayaan, bernama pendidikan.
(34)
Karakter atau watak, hanyalah label terminal dari tujuan akhir pembelajaran dan proses “ber-PKn” (Aziz Wahab) besertanya dalam lingkup sekolah atau studi kemasyarakatan. Untuk mendorong pencapaian terbentuknya ujud perilaku dalam keseharian secara bermakna, instrumentasi pendidikan secara mekanik; terbukti tidak pernah memenuhi cukup alasan untuk mengklaim keberhasilan dalam mencapai target utamanya, seperti yang tercanangkan pada sebutan : “Manusia Baru Indonesia” di masa ordelama, “Pancasilais sejati dan Manusia Indonesia seutuhnya” di masa ordebaru, hingga pencarian kembali “Manusia Indonesia baru” yang digulir spirit era reformasi. Hal itu dimungkinkan, karena penempatan tujuan ideal pendidikan diletakan pada konstruksi akhir dan menjadi harapan di depan, tidak pada hasil proses yang kongkrit saat program pembelajaran atan nama pendidikan berlangsung. Alih-alih mengukur hasil akhir dalam ujud indikator tersebut, tidak sertamerta pula menjadi kemampuan guru atau sekolah hingga pemerintah sekalipun melalui kementrian / dinas pendidikan. Sebab hasil akhir, senantiasa kongkrit terlahir pada realitas kecenderungan perilaku kolektif dan perubahan budaya masyarakat; manis dan pahitnya, indah dan jelek hingga baik dan buruknya ada dalam performansi kita bersama. Untuk itu, merancang keberhasilan pendidikan yang bermuara pada perubahan perilaku kolektif dalam kehidupan masyarakat, dimungkinkan melalui pengembangan apresiasi nilai, pemberdayaan, pengayaan, dan penguatan kekuatan yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, pengembangan pendekatan sosial-kultural; sejauh konstruks, isi dan metodologi pembelajaran hingga sosok personal guru yang menjadi aktornya, menjadi kata kunci penting di dalam menghampiri terjadinya perubahan perilaku warganegara yang diharapkan dalam sebuah komunitas, mulai dari lingkup sekolah hingga satuan kelompok masyarakat yang lebih luas.
Bahwa pada seburuk realitas personal yang tak dapat ditampikan adanya menghinggapi performansi sebagian kecil atau besar anak bangsa ini; di tengah krisis
(35)
integritas nasional yang melanda kehidupan kolektifnya, dapat dipastikan masih tersisa adanya etos kebangsaan yang melekat pada cita dan citra dirinya. Hal itu mudah terlihat dari masih tersedianya ruang pemihakan diri terhadap bagian dari ikon nasional di berbagai lapangan menghadapi perjuangan dalam ritus persaingan antar negara/bangsa. Tetapi kemauan dan kemampuan mengusung cita dan citra secara eksistensial dalam ujud „nyala‟ nasionalisme saja menjadi tidak mencukupi, terlebih sebagai luapan nasionalisme dalam perujudannya yang hinggar bingar. Sebab hal itu sangat mungkin bersifat parsial, temporer dan tidak mengikat pada entitas yang dapat mengangkat hingga menguatkan jatidiri bangsa yang diperlukan. Penguatan identitas dan integritas nasional yang diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti pada kemampuan menghalau kekuatan destruktif yang datang dari dalam hingga dari luar; terentang pada proses pewujudan dan pengembangan sosok utuh-penuh mental yang terakumulasi sebagai spirit yang menjelma dalam atau sebagai “aktualitas kewarganegaraan”. Dengan demikian, betapapun bernyalanya etos kebangsaan dan itu diperlukan adanya pada setiap dada dan hati anak bangsa, menjadi „berkurang artinya‟ jika tidak memberikan sumbangan yang diperlukan oleh isi di dalamnya, sejenis virus yang dapat menjadi garansi bagi sebuah tindak keberpihakan warganegara kepada kepentingan besar negaranya.
Aktualitas Kewarganegaraan, sebagai spirit adanya dimaksudkan tidaklah menjadi sekedar teks normatif diatas kertas dari manapun sumbernya, yang dengan gamblang mudah dikonstruksi sebagai bahan pengetahuan, untuk dihapalkan dan dipahami dengan harapan akhir dapat dihayati, hingga disadari: seperti nilai Moral pancasila yang dirumuskan di dalam 36 – 45 butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai disebut „Eka Prasetya Pancakarsa‟. Bulir bernas yang secara konseptual merupakan rekonstruksi dari realitas kultural yang telah ada dalam kehidupan praksis bangsa ini sekalipun, terbukti tinggal sebagai sebuah harapan bagi sebuah proses pembelajaran yang tidak mudah didekati, jika tanpa spirit berbasis
(36)
need internal yang mendasar berupa kehendak. Spirit adalah aktualisasi psychis yang
terbentuk melalui prakondisi yang diciptakan di dalam interaksi pendidikan dengan menggunakan pendekatan yang memungkinkan setiap satuan tujuan belajar (standar kompetensi) mudah dan menyenangkan untuk dilakukan melalui peniruan dan pembiasaan secara berulang dan berkelanjutan oleh subjek belajar.
Sejumlah studi berkenaan dengan sosok utuh program pendidikan kewarganegaraan baik dalam konteks sebagaimana disebut Civic Education seperti adanya di dalam kurikulum persekolahan di tanah air, hingga kehidupan masyarakat luas yang diartikan tersendiri dalam sebutan Citizenship Education, telah mulai dilakukan kembali menjelang pergantian millenium, seiring tuntutan reflektif perkembangan global sebagai gejala penyatuan dunia di berbagai negara. Beberapa studi yang menjadi tonggak penting penyatuan pandangan dunia dalam melihat Pendidikan Kewarganegaraan dalam perspektif internasional, dipelopori Cogan sejak awal tahun 1990-an, hingga Cheng dan Kerr pada akhir dekade tersebut (Winataputra & Budimansyah, 2007:2-7).
5. Makna Pendidikan Kewarganegaraan Sosial dalam Artefak Kehidupan Kultural Sunda
Mencermati dan mengapresiasi hasil studi para akhli dalam skala dunia tersebut, serta mempertautkannya dengan perkembangan dalam konteks ke-Indonesia-an. Harus dikatakan, bahwa hidup berbangsa dan bernegara bagi segenap komunitas kultural Nusantara tidaklah baru dimulai pada pertengahan abad 20, ketika sejarah kolonialisme harus berakhir, dan sejarah baru kebangkitan bangsa ini memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk modern organisasi puncak kenegara-bangsaan. Berbekal sejarah kulturalnya, hidup baru dalam wadah kenegara-bangsaan anak Nusantara sejak proklamasi, fase revolusi, orde pembangunan dan reformasi secara berkelanjutan mestinya bukan hanya menapak pengalaman tapi juga pembelajaran untuk menggapai tujuan yang menjadi impian sadarnya, yakni seraya
(37)
melepaskan diri dari kekuatan kolonialisme, berperanserta aktif dalam menciptakan ketertiban dunia yang adil dan abadi; adalah terutama mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga kesejahteraan dan kemuliaan sebagai sebuah bangsa yang melindungi hajat hidup kemanusiaan di dalamnya menjadi jalan terang yang ada bukan saja di atas kertas sekedar sebuah cita. Untuk itu, sebuah ikhtiar bernama pendidikan dan moral
behavior sebagai hasil akhirnya, khususnya dalam lingkup formal istitusi sekolah
dengan segala instrument yang dimilikinya, hanya mungkin mendekati sasaran yang ingin dicapainya, dengan berpijak pada pemahaman dasar terhadap proses tumbuh-kembang manusia kecuali sebagai zoon politicon (Aristoteles), adalah juga sebagai
zoon social-cultural. Karena itu rekonstruksi karakter kewarganegaraan, tanpa harus
mengurangi kepentingan pengembangan nalar-ilmiah dalam perspektif politik nasional hingga global, adalah sangat penting meletakan sosok utuh kedirian individu dan sosialnya dari ranah kultural lokalnya. Tanpa itu, seorang individu dalam kehampaan cita dan cinta dari lingkup sosialnya, dapat dipastikan tidak akan cukup memiliki etos nasonal yang kuat, yang diperlukan dalam pertarungan dan pertaruhan hubungan antar bangsa yang dapat memudarkan identitas.
Sebagai salah satu rumpun sub-etnik besar dalam jajaran penyangga keragaman budaya Nusantara, komunitas manusia Sunda di Jawa Barat, khususnya Priangan, seiring perjalanan historis jauh dimasa pra-kolonial, hingga awal kemerdekaan menunjukkan sejumlah catatan dan sumbangan yang tidak kecil dalam pembentukan sejarah nasional Indonesia. Hal itu, boleh jadi, selain dialasi faktor geografis-strategis, perkembangan demografis dan sosok kultural di dalamnya, sejauh catatan peristiwa yang ditinggalkannya, menunjukkan mutu hubungan dan keberadaban yang cukup representatif sebagai anak bangsa pemilik sub-kultur Nusantara. Tanpa mengecilkan peran historis komunitas kultural etnik lain pendukung Kebhinnekaan Nusantara dalam kesatuan Indonesia, penetapan pilihan
(38)
khususnya dalam kesempatan ini, selain pertimbangan subjektif peneliti, secara objektif : Bandung kecuali merupakan sentra komunitas kultur, juga menorehkan catatan historis yang kuat sebagai barometer politik perjuangan kebangsaan di masa pra-kemerdekaan hingga beberapa dekade sesudahnya. Hal itu dimungkinkan, karena Bandung telah menjadi kawah candradimuka-nya kaum muda pilihan dari berbagai sudut Nusantara yang datang untuk belajar, setidaknya mulai pada tingkat MULO, HBS dan THS (ITB) di tahun 1920-an hingga pasca kemerdekaan. Tumbuh-kembangnya nasionalisme sejak pra dan awal kemerdekaan di kalangan kaum muda terpelajar dalam keragaman etnik di Bandung khususnya, jelas tak terlepaskan dari spirit kultural yang hidup dan menjadi latar proses penerimaan dan pembentukan nasionalisme dan patriotisme Indonesia, yang akar dasarnya mendapatkan persemaian dan pengembangan sejalan dengan citra dan cita kultural masyarakat Sunda Jawabarat dalam hubungan konviguratif dengan aneka sub-kultur Nusantara lainnya. Untuk itu, sejauh data deskriptif temuan Proyek Pengkajian Kebudayaan Nusantara yang ada sebagai hasil kerja riset rintisan Proyek Sundanologi di Jawa Barat khususnya, dan yang setara pada pusat-pusat pemeliharaan dan pengkajian kebudayaan lokal di daratan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok dan lainnya dapat menjadi sumber rujukan dan perbandingan.
Karena itu, terkait dengan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai „ujung tombak‟ Sistem Pendidikan Nasional pemikiran dan pengkajian terhadap kebermaknaan mata pelajaran ini menarik untuk terus dilakukan seiring perkembangan dan perubahan baik kurikulum di persekolahan maupun kehidupan politik kemasyarakatan yang melingkupinya. Bahwa sebagai Civic Education yang ada di dalam kurikulum persekolahan, sering kali PKn hanya dipandang sebagai pelajaran sekolah masa kanak-kanak, terutama pada kalangan yang beroleh kesempatan pendidikan sekolah di masanya, dan tentu tidak bagi sebagian lain yang tidak mengalaminya – kecuali pendidikan di dalam keluarga dan pendidikan
(39)
kekeluargaan di dalam komunitas kultural tradisional masyarakatnya. Sementara PKn dalam makna sebagai Citizenship Education yang ada di tengah kehidupan masyarakat dalam keanekaannya, sungguhpun ada belum mendapat apresiasi sebagai bagian integral pendidikan politik kenegara-bangsaan. Sementara di sisi lainnya, di tengah kehidupan praksis politik kenegaraan kita, sering pula kalangan elit politik menyadari keperluan pendidikan politik kenegara-bangsaan yang ada dalam kemasan PKn, yang oleh Cogan (1999) disebut sebagai Citizenship Education. Selebihnya, PKn sebagai pendidikan politik dan nilai di dalamnya, secara teoritik harus memberikan pijakan dan keyakinan untuk saling menguatkan, bahwa menjadi bagian dari kemajuan global (kosmopolit) bagi setiap bangsa adalah hanya jika mampu berpijak pada identitas dan spirit nasional. Dibalik itu, spirit nasionalisme dalam kemajemukan Indonesia menyuruk jauh akarnya pada etnisitasme yang sehat – sebagaimana nasionalisme dikatakan Sukarno bukan chauvinisme, etnisitasme bukanlah pula sekedar etnisisme terlebih „etnosentrisme‟. Dengan demikian, kepentingan studi ini mengangkat artefak kehidupan kultural etnik lokal Sunda diharapkan dapat menjadi salah satu bagian dari penguatan akar budaya Nusantara sebagai jati-diri bangsa Indonesia di tengah kancah global.
B. FOKUS MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Adapun fokus masalah, tujuan, implementasidan kebermaknaan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Fokus Masalah
Bahwa pendidikan politik nasional, apapun sebutannya jelas selain bersifat konsepsional harus kontekstual dengan denyut nadi kehidupan masyarakat yang menjadi lingkupnya. Sebagai anak bangsa yang besar, manusia Indonesia bukanlah bangsa yang baru mengenal keberadaban pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945. Betapa hidup berbangsa dan bernegara dalam satuan kecil sudahlah terentang di era kejayaan Nusantara, lebih dari itu hidup berkebudayaan dalam tata masyarakat dan
(1)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Creswel, John W. (2003) Research Design : Qualitatif & Quantitatif
Approaches, Alih bahasa Angkatan III & IV KIK-UI Kerjasama
dengan Nur Khabibah, Cet. Kedua, Jakarta KIK Press.
Danadibrata, RA., (2006), Kamus Basa Sunda, Bandung : Panitia Penyusunan Kamus Basa Sunda Kerjasama Unpad dan Kiblat
Danesi, Marcel, (2012), Pesan, Tanda dan Makna, Yogyakarta : Jalasutra. Dewantara, Ki Hadjar, (1967), Kumpulan Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian
11 A Kebudayaan, Yogyakarta, Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa.
Dimyati & Mudjiono, (1994), Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud.
____________, (1994), Landasan Pendidikan. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud.
Djahiri, Kosasih. (1981), Hakikat Pengajaran PMP dan Model SBM serta
Disain Pengajaran PMP. Bandung: P3G Dep.P & K / Jurusan
PKNH IKIP Bandung
____________, (1996), Menelusuri Dunia Afektif. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung.,
Djayasudarma, Fatimah, (1993), Semantik (1), Makna Leksikal dan Gramatical, Bandung: Refika Aditama
___________, (1993), Semantik (2), Pemahaman Ilmu Makna, Bandung: Refika Aditama
Ekadjati,Edi S. (1993), Kebudayaan Sunda jilid 1, Suatu Pendekatan
Sejarah,Jakarta : Pustaka Jaya.
____________, (2003), Kebudayaan Sunda jilid 2, Jaman Pajajaran, Jakarta : Pustaka Jaya.
Fraenkel, Jack R. (1977), How to Teach About Values. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffts.
Freire, Paulo, (1999), Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan. Terj. Prihantono & Fudiyartanto; Yogyakarta:
REaD & Pustaka Pelajar.
Fuady, Munir., (2009), Teori Negara Hukum. Bandung, PT Refika Aditama. Goble, G Frank, (1987), Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham
Maslow. Yogyakarta: Kanisius.
Hadiwardoyo, AI. Purwa. (1990), Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Pustaka Filsafat Kanisius.
Hall, Calvin S., (1980), Suatu Pengantar ke Dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud. Jakarta: Pustaka Sarjana, PT Pembangunan.
Hamid Al-lamri, S. Ichas, (1984), PerbandinganHasil Belajar
Kuantitatif-Kualitatif & Perkiraan Perkembangan Moral Kognitif Atas Faktor Internal-Intelektif, Non-Intelektif dan Keaktifan Siswa di Dalam Interaksi Kelas PMP yang Integratif-Demokratik,
(2)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
____________, (2002), Persepsi Anak Usia Kelas Awal Sekolah Dasar
Terhadap Konsep Nilai (Tesis-S2) PPS-UNJ, Jakarta.
____________, (2005), Pengembangan Molekuler Semangat Kebangsaan dan
Kewarganegaraan dalam Format Pendidikan Politik di Persekolahan, Jurnal Pendidikan Dasar-ISSN 1829-5606
Volume II No. 4 April 2005.
____________ & Istianti, Tuti., (2006), Pengembangan Pendidikan Nilai dalam
Pembelajaran Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar, Buku Ajar
Nasional PGSD, Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti Depdiknas. ___________, (2009), Memintal Serat Halus Bernama Ethos Kewarganegaraan, Jurnal Civicus, Vol. 12 No. 1 Januari 2009. ISSN:1412-5463. Jurusan PKn FPIPS UPI.
____________, (2009), Membangun Nasionalisme Generasi Masa Depan
Melalui Penanaman Ethos Kewarganegaraan Pada Anak Usia Dini, Jurnal PKn Progresif Volume 4, Nomor 1, Juni 2009.
ISSN 1907-5332. Prodi PKn FKIP UNS Surakarta.
___________, (2010), Mengembangkan Karakter Kewarganegaraan melalui
Kegiatan Ekstrakurikuler Kepanduan di Sekolah dan Masyarakat, Prosiding Seminar Aktualisasi Pendidikan Karakter
Bangssa, Bandung : Widya Aksara Press & Prodi PKn SPs UPI. ___________, (2010), Mencari Filsafat Pendidikan Kewarganegaraan, Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Asosiasi PKn se Indonesia 2010. Bandung : Widya Aksara Press & Prodi PKn SPs UPI.
Hamilton, Richard & Elizabeth Ghatala. (1994), Learning and Instruction, New York: McGraw-Hill, Inc.
Haricahyono, Cheppy, (1988), Penddidikan Moral Dalam Beberapa
Pendekatan. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud.
Hardiman, F. Budi, (2007, 28 November), Demokrasi dan Kompleksitas, Sebuah
Tilikan dengan Teori System, Harian Kompas, (online), halaman
35 (42), Tersedia: http://www.kompasprint.com. (28 November 2007).
Hariwijaya, M, (2013), Semiotika Jawa, Kajian Makna Falsafah Tradisi, Yogyakarta: Paradigma Indonesia)
Hetherington, E Mavis & Ross D Parke (1999) Child Psychology: A
Contemporary Viwpoint. Boston: McGraw-Hill Company.
http://www.kalangsunda.net/rumpakalagu.htm http://www.kalangsunda.net/upacara adat.htm
Huntington, P Samuel, (1996), Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia. Terj. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam.
Isin, F Engin, & Turner, B.S., (2002), Handbook of Citizenship Studies, London-Thousand Oaks - New Delhi; SAGE Publication.
Ismatullah, & Gatara, AA Sahid,(2007), Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif. Bandung: CV Pustaka Setia.
(3)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Jalal, Fasli & Supriadi, Dedi (2001) Reformasi Pendidikan Dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Depdiknas-Bappenas-Adicita
Karya Nusa.
Jarolimek, J. Parker, WC (1993), Social Studies Elementry Education 9 th Ed., New York: MacMillan Publishing Co.
Jassin, Anwar, (1987) Pembaruan Kurikulum Sekolah Dasar di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Johnswon, DP (1986) Teori Sosiologi Klasik dan Modern: University of South
Florida, Buku I Terj. Robert MZ Lawang, Jakarta: PT
Gramedia.
Kalidjernih, K. Freddy. (2009) Puspa Ragam: Konsep dan Isu
Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.
_________, (2010), Kamus : Studi Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.
_________, (2008), Cita Civil Indonesia Pasca Colonial: Masalah lama,
Tantangan Baru. Acta Civicus, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Volume 1 Nomor 2, April 2008 ISSN : 1978-8428 Program Studi PKn SPs UPI.
_________, (2009), Globalisasi dan Kewarganegaraan. Acta Civicus, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Volume 2 Nomor 2, April 2009 ISSN : 1978-8428 Program Studi PKn SPs UPI.
Kaltsounist, T (1987), Teaching Sosial Studies in Eelementry School: The Basic
for Citizenship. Englewood Cliff, NJ: Prentice-Hall Inc.
Kuhn, TS. (1970), The Structur of Scientific Revolution, Chichago: The University of Chichago Press.
Kurtines, William M & Jacob Gerwitz (1992), Moralitas, Perilaku Mooral dan
Perkembangan Moral. Terj. MI Sulaeman dan MD Dahlan,
Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Kohlberg, Lawrence (1985), Tahap-tahap Perkembangan Moral, Terj. John de Santo & Agus Cremers, Yogyakarta; Kanisius.
Kymlica, Will., (2002), Kewarganegaraan Multikultural : Teori Liberal
Mengenai Hak-hak Minoritas, Jakarta : LP3ES.
Langeveld, M.J., (1980), Beknopte Theoritische Paedagogiek, (Terj. Simajuntak) Jemmars, Bandung.
Lee, WO Grossman, DL Kennedy, KJ & Fairbrother, GP., (Ed) (2004),
Citizenship Education in Asia and Pacific: Consept and Issues Comparative Education Research Centre, Kluwer Academic
Publisher, The University of Hongkong.
Linda & Richard Eyre (1997), Mengajarkan Nilai-nilai Kepada Anak. Terj. Alex Tri KW, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama.
Lickona, T (2004), Educating for Caracter : How Our Schools can Teach
(4)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Manan, Azzam & Thung Ju Lan (2011), Nasionalisme dan Ketahanan Budaya
di Indonesia Sebuah Tantangan, Jakarta: LIPI Press & Yayasan
Obor Indonesia
Mestoko Sumarsono & Sarifudin, U. (1981), Pendidikan Moral Pancasila. Bandung: Jurusan PKN & Hukum FKIS IKIP Bandung.
Megawangi, Ratna (2004), Pendidikan Karakter, BP Migas Energy.
Miles, Mathew B & A. Michael Huberman, (1992), Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjep Rohendi R., Jakarta: UI Press,
Monk, FJ & AMP Knoer (1999), Psikologi Perkembangan. Terj. Siti Rahayu, Haditono, Yogyakartya: Gajahmada University Press.
Muhadjir, Noeng, (1998), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta: Rakesarasin
Naisbitt, J (1998), Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah
Dunia, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama.
Natapraja, Ihwan, (2012) Falsafah Siksa Kanda Ng Karesian, Analisa Islami, Cetakan ke-3, Bandung : SKKS Publication, Yayasan Sawala Kandaga Kalang Sunda.
_____________, (2012), Dialog Batara Dharma Yudisthira, Cetakan ke-3, Bandung : SKKS Publication, Yayasan Sawala Kandaga Kalang Sunda.
_____________, (2013), Tinjauan Falsafah Pedalangan1-2, Cetakan ke-3, Bandung: SKKS Publication, Yayasan Sawala Kandaga Kalang Sunda.
_____________, dan Bahtiar, Lucky (2013), Pemekaran Wilayah dan Gerakan
Budaya, Tantangan Bagi kemajuan Etnis Sunda, Cetakan 1.
Bandung: SKKS Publication, Yayasan Sawala Kandaga Kalang Sunda
___________, (2014), Wangsit Sang Hyang Prabu Borosngora – Syeh Panjalu,
Bandung: SKKS Publication, Yayasan Sawala Kandaga Kalang Sunda.
NCSS (1995), Curiculum Standard for Social Studies. Washington DC.
Padmadinata, Tjetje Hidayat, (1988), Renungan Perjuangan, Manusia Indonesia
di Panggung Politik, Bandung: Angkasa.
Panitia Bersama Simposium FISIP UI, Tempo, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan Brigten Press (2006), Restorasi Pancasila. Pemerintah Republik Indonesia, (2010) Disain Induk : Pembangunan Karakter
Bangsa Tahun 2010-2025.
Piliang, Yasraf Amir, (2010) Semiotika dan Hipersemiotika; Bandung : Matahari.
Poespoprodjo, (1987), Interprestasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
___________, dan EKT Gilarso, (1999), Logika Ilmu Menalar, Bandung : Pustaka Grafika.
(5)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Purwasasmita, Mubiar, (2002) Kajian Fenomena Nilai : Bahan Kuliah Pascasarjana UPI, Bandung, Jurusan Teknik Kimia ITB- SPs UPI..
Ratna, Nyoman Kutha, (2010), Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ritzer, G & Goodman, JD (2008) Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam, Aalih bahasa Alimandan, Ed.: Triwibowo, Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group.
Rohman, Saifur, (2012), Hermeneutik, Panduan Ke arah Desain Penelitian dan
Analisis, Edisi Pertama, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Rosidi, Ayip, (2005), Babasan dan Paribasa. Kabeungharan Basa Sunda, Jilid 1 dan 2. Bandung: Kiblat Buku Utama.
___________, (2009), Manusia Sunda, Bandung: Kiblat Buku Utama.
___________, (2011), Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda, Bandung: Kiblat Buku Utama.
___________, (2011), Perspektif Kebudayaan Sunda Dalam Kesatuan Bangsa
Indonesia, Bandung : Pusat Studi Sunda.
___________, (2014), Wangsit Sang Hyang Prabu Borosngora – Syeh Panjalu,
Rusyana, Yus Dkk., (1987) Pandangan Hidup Orang Sunda : Dalam Tradisi
Lisan dan Sastra Sunda, Buku II (Laporan Penelitian) Proyek
Sundanologi Depdikbud RI
Smick, David M, (2009), Kiamat Ekonomi Global Terj. Dari The Wordl Curved
: Krisis 2007-2008 Barulah Awal .., Daras Books.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin (2003) Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Terj. M.Shodiq & Imam Mutaqin, Jogyakarta : Pustaka Pelajar. Su’eb, R.Ace Hasan, (2007), Wawasan Tembang Sunda, Bandung: Gegersunten.
Sudarto (1995), Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Grafindo Persada Sumantri, Muh Nu’man (2001), Menggagas Pembaruan Pendidikan IPS, Ed.
Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana, PPs-FPIPS UPI dan PT Remaja Rosdakarya.
Suryadi, Ace & Tilaar, HAR (1993) Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
___________ & Budimansyah, (2009), Paradigma pembangunan Pendidikan
Nasional : Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Widya Aksara Press.
___________, (2009) Peningkatan Mutu Dalam Perspektif Pemikiran Ekonomi
Pendidikan. (Makalah) Bandung, UPI..
Suryani, Elis, (2010) Ragam Pesona Budaya Sunda, Bogor, Galia Indonesia Tamsyah, Rahayu Budi, Dkk (1994), 1000 Babasan Jeung Paribasa Sunda.,
Bandung : Pustaka Setia.
___________, (1995), Kamus Ungkapan dan Peribahasa Sunda,Bandung : Pustaka Setia.
(6)
Solihin Ichas Hamid Al-Lamri, 2014
NILAI MORAL KEWARGANEGARAAN DALAM ARTEFAK KEHIDUPAN SOSIAL KULTURAL MASYARAKAT SUNDA : Studi Eksploratif Nilai Moral Kewarganegaraan dalam Ungkapan, Artikulasi Seni dan Ritual Adat Budaya Sunda
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Tilaar, HAR., (2004), Multikuralisme : Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Grasindo.
Ujan, Andre Ata dkk – Editor, (2011), Moralitas Lentera Peradaban Dunia, Jogyakarta : Kanisius.
Wahab, Abdul Azis & Sapriya (2011), Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan, Bandung : Alfabeta.
Warnaen Dkk., (1986) Pandangan Hidup Orang Sunda : Dalam Tradisi Lisan
dan Sastra Sunda, Buku I (Laporan Penelitian) Proyek
Sundanologi Depdikbud RI
Winataputra, US & Budimansyah, D., (2007), Civic Education: Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Prodi PKN SPs UPI.
Wiratmadja, Apung S., (2007), Mengenal Seni Tembang Sunda, Bandung : Wahana Iptek.