EFEKTIVITAS PROGRAM BIMBINGAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN EMPATI DAN DISABILITY AWARENESS PESERTA DIDIK NON ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS): Studi Eksperimen Kuasi pada Peserta Didik Non ABK kelas IV A SD Laboratorium UPI Setiabudi, Bandung.

(1)

EFEKTIVITAS PROGRAM BIMBINGAN KETERAMPILAN SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN EMPATI DAN DISABILITY AWARENESS

PESERTA DIDIK NON ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS) (Studi Eksperimen Kuasi pada Peserta Didik Non ABK kelas IV A

SD Laboratorium UPI Setiabudi, Bandung)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

ERNIE C. SIREGAR 1103930

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013


(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH

PEMBIMBING :

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Diketahui oleh


(3)

ABSTRAK

Ernie C. Siregar. (2013), Efektivitas Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness pada Peserta Didik Non ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) (Studi Eksperimen Kuasi pada Peserta Didik Non ABK Kelas IV A SD Laboratorium UPI Tahun Ajaran 2012-2013).Pembimbing 1: Dr. Nandang Rusmana, M.Pd.,Pembimbing II: Dr. Mubiar Agustin,M.Pd.

Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK di kelas IV SD (inklusi) dengan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah eksperimen kuasi dengan membandingkan dua kelompok (between-group design). Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang mengukur tingkat empati dan disability awareness. Sampel dalam penelitian ini adalah peserta didik non ABK kelas IV (Inklusi) SD Laboratorium UPI Bandung di Setiabudi dan di Cibiru. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan program bimbingan keterampilan sosial belum efektif untuk meningkatkan kemampuan empati namun efektif dalam meningkatkan disability awareness.

Kata kunci : Program Bimbingan Keterampilan Sosial, Empati, Disability Awareness, Inklusi.


(4)

ABSTRACT

Ernie C. Siregar. (2013), Effectiveness of Social Skills Guidance Program to Enhance Empathy and Disability Awareness in Student Without SEN (Special Education Needs) (Quasi-Experimental Study of Fourth Grade Student Without SEN in Elementary School UPI Laboratory Bandung). Supervisor 1: Dr . Nandang Rusmana, M.Pd., Supervisor II: Dr. Mubiar Agustin, M.Pd.

This study aims to test the effectiveness of social skills guidance program to enhance empathy and disability awareness in fourth grade student without SEN with a quantitative approach. The method used was a quasi experiment with comparing the two groups (between-group design). Techniques of data collection using a questionnaire that measures the level of empathy and disability awareness. The samples in this study were fourth grade student without SEN in Elementary School UPI Laboratory Setiabudi and Cibiru, Bandung. Sampling was done by using purposive sampling. Data analysis technique using t-test. The results showed social skills guidance program has not been effective to increase the capacity for empathy but effective in increasing disability awareness.

Keywords: Social Skills Guidance Program, Empathy, Disability Awareness, Inclusion.


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSEMBAHAN LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GRAFIK xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah 1

B.Identifikasi Masalah 8

C.Rumusan Masalah 10

D.Tujuan Penelitian 11

E. Manfaat Penelitian 12

II. EMPATI DAN DISABILITY AWARENESS SERTA PROGRAM

BIMBINGAN KETERAMPILAN SOSIAL

A. Empati dan Disability Awareness 15

1. Definisi Empati 15

2. Proses Terbentuknya dan Perkembangan Empati 18

3. Definisi Disability Awareness 22

4. Empati dan Disability Awareness

sebagai Bagian dari Keterampilan Sosial 26

B. Bimbingan Keterampilan Sosial

1. Pendidikan Inklusi 28

a. Landasan Empiris, Konsep, Pengertian serta

Model Pendidikan Inklusi 28

b. Definisi Disabilitas dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 32 c. Dampak Positif Penempatan Peserta didik Non ABK

di Sekolah Inklusi 36

d. Peran Konselor di Sekolah Inklusi 40

2. Bimbingan di Sekolah Dasar 43


(6)

4. Pentingnya Kelompok dan Teman Sebaya dalam Bimbingan

Keterampilan Sosial 48

5. Program Bimbingan Keterampilan Sosial 50

C. Asumsi Penelitian 54

D. Hipotesis Penelitian 61

E. Penelitian Pendahuluan 61

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Desain Penelitian 66

B. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian 68

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 71

1. Variabel Penelitian 71

2. Definisi Operasional Variabel 71

D. Pengembangan Instrumen Penelitian 75

1. Program Bimbingan Keterampilan Sosial 75

2. Kisi Kisi Instrumen Empati 76

3. Kisi Kisi Instrumen Disability Awareness 78

4. Pedoman Skoring 79

5. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 80

E. Rancangan Intervensi Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness pada

1. Rasional 82

2. Tujuan Intervensi 82

3. Deskripsi Kebutuhan 86

4. Asumsi Intervensi 87

5. Sasaran Intervensi 89

6. Prosedur Pelaksanaan Intervensi 90

7. Sesi Intervensi 92

8. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan 96

F. Teknik Pengumpulan Data 97

G. Teknik Analisa Data 98

1. Kriteria Tingkat Empati 99

2. Kriteria Tingkat Disability Awareness 100

3. Uji Hipotesis 102

H. Langkah Langkah Penelitian 104

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian 107

1. Hasil Studi Pendahuluan 108

a. Profil Umum Kemampuan Empati dan Aspek Empati 108


(7)

c. Kondisi Awal Kemampuan Empati dan Disability Awareness 113 2. Deskripsi Implementasi Program Bimbingan Keterampilan Sosial

untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness 117 3. Gambaran Efektivitas Program Bimbingan Keterampilan Sosial

untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness 132

a. Uji Asumsi Statistik 133

b. Uji Hipotesis 134

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Hasil Studi Pendahuluan 142

a. Pembahasan Gambaran Tingkat Empati serta Aspek Empati 142 b. Pembahasan Gambaran Tingkat Disability Awarenes

serta Aspek Disability Awareness 144

c. Kondisi Awal Kemampuan Empati dan Disability Awareness 147 2. Efektivitas Program Bimbingan Keterampilan Sosial

untuk meningkatkan Empati dan Disability Awareness 149

3. Keterbatasan Penelitian 153

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 156

B. Rekomendasi 158

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Kuesioner Empati dan Disability Awareness

2. Program Hipotetik Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness pada Peserta didik non ABK

3. Hasil Uji Statistik

4. Data Konseling Peserta didik ABK

5. Program Teruji Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness pada Peserta didik non ABK

6. Surat Penelitian 7. Dokumentasi


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1 Perkembangan Empati 20

2.2 Perkembangan Perspective Taking 21

2.3 Mitos dan Fakta Mengenai Disabilitas 24

3.1 Kisi Kisi Kuesioner Empati 78

3.2 Kisi Kisi Kuesioner Disability Awareness 79

3.3 Pedoman Skoring Kuesioner Empati 80

3.4 Pedoman Skoring Kuesioner Disability Awareness 80

3.5 Pedoman Interprestasi Koefisien Korelasi 82

3.6 Kategorisasi Tingkat Empati 99

3.7 Kategorisasi Skor Tingkat Empati 99

3.8 Kategorisasi Skor Aspek Empati 99

3.9 Kategorisasi Tingkat Disability Awareness 100

3.10 Kategorisasi Skor Tingkat Disability Awareness 101

3.11 Kategorisasi Skor Aspek Disability Awareness 109

4.1 Profil Umum Tingkat Empati 108

4.2 Profil Umum Aspek Empati 109

4.3 Profil UmumTingkat Disability Awareness 111

4.4 Profil Aspek Disability Awareness 111

4.5 Kondisi Awal Tingkat Empati 113

4.6 Kondisi Awal Aspek Empati 114

4.7 Kondisi Awal Tingkat Disability Awareness 115

4.8 Kondisi Awal Aspek Disability Awareness 115

4.9 Uji Normalitas Data Normalized Gain 133

4.10 Hasil Uji Homogenitas Varias Data Normalized Gain 134

4.11 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 135

4.12 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 136

4.13 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 138


(9)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Hal

4. 1 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 136

Kelompok Eksperimen dan Kontrol

Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Empati

4. 2 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 137

Kelompok Eksperimen dan Kontrol

Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Aspek Empati

4. 3 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 139

Kelompok Eksperimen dan Kontrol

Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Disability Awareness

4.4 Hasil Uji T Independen Data Normalized Gain 141 Kelompok Eksperimen dan Kontrol

Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Aspek Disability Awareness


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1 Langkah dan Proses dari Eksklusi menjasi Inklusi 36


(11)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan penelitian yang membahas tentang latar belakang masalah yang menjadi titik tolak penelitian, identifikasi, rumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Konflik yang terjadi pada umat manusia saat ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan diantara umat manusia itu sendiri (Unesco, 2005). Perbedaan karena agama, ras, etnik, fisik, tingkat hidup, kemampuan, cara pandang dan lain lain menimbulkan rasa superior, kompetisi dan inferior diantara manusia yang akhirnya menjurus kepada terciptanya konflik dunia yang tiada berkesudahan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai badan dunia secara terus menerus merespon kondisi tersebut dengan mengemukakan suatu pemikiran dan usaha menghindari konflik di masa depan dengan mengajarkan anak-anak yang ada di dunia melalui pendidikan formal mengenai kebersamaan, harmoni, perilaku anti kekerasan dan menjadi pribadi yang sosial. Hal tersebut didapat dengan cara belajar menerima dan menyukai orang lain, menghargai perbedaan dan melakukan kegiatan yang dilakukan bersama. Salah satu cara yang dilakukan oleh PBB untuk mewujudkan tercapainya dunia yang damai melalui sektor pendidikan tersebut adalah dengan menggerakkan negara di dunia untuk berkomitmen menyelenggarakan dan mendukung pendidikan inklusi.


(12)

Pendidikan inklusi berarti menempatkan dan mengakomodasi anak pada sekolah reguler tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak-anak dan anak-anak jalanan, anak-anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Unesco, 2005). Usaha ini secara berkala digaungkan PBB dengan berbagai macam kegiatan serta perjanjian antara lain Declaration of Rights of Disabled Persons (1975), The Convention on The Rights of the Child (1989), The World Conference of Education for All (1990), The World Conference of Special Needs Education on Salamanca-Spain (1994), dengan keyakinan bahwa: (1) setiap anak mempunyai hak untuk mendapat pendidikan; (2) setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda dan unik; (3) perancangan sistem pendidikan dan pengimplementasian program pendidikan harus dibuat dengan mengakomodasikan berbagai macam karakteristik dan kebutuhan anak; (4) setiap anak yang berkebutuhan khusus harus mempunyai akses memasuki sekolah regular dan sekolah tersebut harus menyediakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus tersebut, dan; (5) sekolah regular dengan orientasi pendidikan inklusi adalah cara yang paling tepat dalam mencapai tujuan memerangi sikap diskriminasi pada masyarakat, menciptakan komunitas masyarakat yang ramah dan dapat menerima perbedaan serta menyediakan pendidikan untuk semua. (Salamanca Statement, butir 2, 1994).


(13)

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia merespon dan mendukung komitmen dunia terhadap pendidikan inklusi dengan mengeluarkan beberapa perangkat undang undang, antara lain UU No. 20 th 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang kesamaan hak pendidikan tanpa memandang kondisi fisik, emosional, mental, kecerdasan maupun kondisi geografis.

Selain memberikan keadilan pendidikan untuk semua anak, tujuan pendidikan inklusi adalah sedini mungkin memperkenalkan anak pada perbedaan fisik, mental dan sosial dan belajar menerima dan menyukai orang lain, menghargai perbedaan dan melakukan kegiatan yang dilakukan bersama. The merit of such [inclusive] schools is not only that they are capable of providing quality education to all children; their establishment is a crucial step in helping to change discriminatory attitudes, in creating welcoming communities and in developing an inclusive society (Salamanca Statement, Spain 1994).

Komitmen terhadap pendidikan inklusi dikuatkan oleh Komisi Pendidikan Dunia/United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dalam Task Force on Education for the Twenty-First Century yang menekankan bahwa salah satu dari empat pilar pendidikan adalah „Belajar Untuk

Hidup Bersama‟ (www.unesco.org). Menurut UNESCO, pendidikan harus dilengkapi dengan dua pendekatan yaitu sedini mungkin peserta didik diberikan pendidikan untuk belajar menerima serta mengenal perbedaan dan peserta didik terlibat dalam suatu kegiatan bersama berupa aktivitas sosial. Ini berarti bahwa pendidikan selain bertujuan untuk mengembangkan kemampuan secara akademik


(14)

dan personal, juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan sosial. Hasil akhirnya adalah anak dapat bersikap, berperan dan berperilaku sosial yang dapat diterima serta menjadi bagian dari masyarakat di lingkungannya dan masyarakat dunia.

Pada pendidikan inklusi, tujuan menciptakan masyarakat dunia yang harmoni, penuh toleransi serta menghargai setiap perbedaan diantara umat manusia dimulai dengan mewujudkan terjalinnya interaksi sosial sosial antara peserta didik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan peserta didik non ABK. Interaksi sosial ini diharapkan dapat mengembangkan keterampilan sosial anak sehingga menjadi pribadi yang sosial, sensitif, peduli, dapat memahami perasaan dan persepsi seseorang dari sudut pandang yang berbeda, menerima kekurangan, mengenal kebersamaan, mempunyai keyakinan dan sikap yang positif terhadap setiap orang, hidup harmoni, perilaku anti kekerasan seperti yang diharapkan dunia.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Pergeseran ini berimbas pada pergeseran filosofi, nilai, sikap serta metode. Berdasarkan data di lapangan relevansi pelaksanaan pendidikan inklusi memang tidak semulus konsep teori. Terdapat perdebatan dalam penerapan pendidikan inklusi ini, baik dari pihak sekolah, pengajar serta orang tua murid terhadap manfaat pendidikan inklusi bagi peserta didik ABK dan peserta didik non ABK. Pihak yang pro terhadap penerapan pendidikan inklusi, meletakkan argumennya


(15)

pada filosofi dan moral akan kebebasan, kesempatan yang sama untuk memperoleh akses pendidikan pada semua anak terlepas dari apapun kondisi yang ada, serta dampak positif pada perkembangan akademis dan sosial pada peserta didik ABK dan non ABK. Sedang dari pihak yang kontra meletakkan argumennya pada kesiapan sekolah, pengajar serta peserta didik dalam penerapan pendidikan inklusi serta tidak terlihatnya dampak positif yang signifikan pada perkembangan akademis dan sosial pada peserta didik ABK dan non ABK, malah cenderung menimbulkan hambatan pada perkembangan kedua golongan peserta didik. Khusus untuk peserta didik non ABK, perdebatan manfaat pendidikan inklusi bagi peserta didik non ABK dilatar belakangi oleh aspek tujuan yang harus diperhatikan sekolah dan pengajar di saat yang bersamaan. Aspek pertama yaitu memenuhi standar yang tinggi pada pencapaian akademis dari sekolah dan negara, sedangkan aspek kedua adalah penerapan pendidikan inklusi tidak boleh menganggu atau menurunkan pencapaian prestasi pada peserta didik non ABK baik secara akademis dan sosial (Peter Farrel, 2005).

Serangkaian penelitian mengenai dampak penerapan pendidikan inklusi pada peserta didik non ABK dari sisi perkembangan akademis dan sosial menunjukkan dampak positif pada perkembangan akademis dan sosial pada peserta didik non ABK yang berada pada kelas inklusi. Perkembangan yang paling menonjol adalah perkembangan keterampilan sosial, dimana peserta didik non ABK dapat belajar menghargai perbedaan, menerima kekurangan serta berperilaku terhadap perbedaan dan kekurangan tersebut. Salah satu keterampilan sosial tersebut antara lain empati dan kesadaran adanya individu yang mempunyai


(16)

kebutuhan khusus (disability awareness). Baik empati dan disability awareness membutuhkan kemampuan untuk memahami secara kognitif dan harus ditempuh dengan proses belajar, karena proses belajar adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh seorang anak untuk dapat berperilaku, berperan dan bersikap sosial (Hurlock,1978).

Pernyataan diatas mengantar peneliti untuk mendapatkan data mengenai tingkat empati serta disability awareness pada peserta didik non ABK serta realita penerapan pendidikan inklusi di beberapa Sekolah Dasar (SD) inklusi di Bandung, Jawa Barat pada bulan Juni 2012. Asumsi yang digunakan adalah dampak positif penempatan peserta didik non ABK di kelas inklusi yang dilakukan penelitian sebelumnya dapat digeneralisasikan pada peserta didik non ABK di sekolah inklusi yang ada di Bandung-Jawa Barat.

Penelitian pendahuluan dilakukan pada tanggal 3 sampai 8 Juni 2012 dengan membagikan kuesioner yang bertujuan mengukur tingkat empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK di sekolah inklusi dan hasilnya kemudian dibandingkan dengan tingkat empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK di sekolah non inklusi. Sampel yang diambil adalah anak umur 8-10 tahun, yang mengacu pada teori mengenai tingkat perkembangan kemampuan anak untuk dapat mengambil perspektif dari sudut pandang orang lain. Selman (1980) mengemukakan teori yang menyatakan anak yang berumur 8 tahun sudah mempunyai kemampuan untuk dapat mengambil sudut pandang orang lain dengan merefleksikan sudut pandangnya dan sudut pandang orang lain.


(17)

Kemampuan untuk dapat mengambil perspektif orang lain atau perspective taking adalah persyaratan timbulnya kemampuan empati.

Sampel yang diambil adalah peserta didik non ABK kelas IV SD di empat SD yang ada di kota Bandung. Dua SD dengan kelas inklusi yaitu SD Al-Gifari, Cisaranten (29 peserta didik ) dan SD Tulus Kartika, Ranca Bolang (33 peserta didik) yang kemudian dibandingkan dengan dua SD kelas non inklusi yaitu SD Karang Pawulang, Turangga III (34 peserta didik) dan SD Harapan 2, Geger Kalong (32 peserta didik).

Berdasarkan data hasil kuesioner, tingkat empati dan disability awareness baik peserta didik non ABK di kelas inklusi dan kelas non inklusi sama sama berada pada rentang rata rata kategori sedang. Sebanyak 30 % peserta didik non ABK di kelas inklusi tidak menyadari kehadiran peserta didik ABK di kelasnya, yang tercermin dari jawaban “tidak” pada pertanyaan mengenai apakah di kelasnya terdapat peserta didik yang berkebutuhan khusus/cacat/gangguan lain, padahal di kelas itu terdapat peserta didik dengan gangguan berbicara dan gangguan lambat belajar.

Informasi yang didapat dari beberapa SD Inklusi di Bandung yaitu SD Cerdas Ceria, SD AL Gifari, SD Mutiara Bunda, SD Mutiara Hati menunjukkan tidak terdapat metode atau materi khusus yang diberikan pada kelas untuk mengajarkan kebersamaan, menerima perbedaan, kesadaran akan adanya individu yang berkebutuhan khusus untuk meningkatkan keterampilan sosial yang bertujuan meningkatkan interaksi sosial antara peserta didik non ABK. Interaksi


(18)

sosial antara peserta didik ABK dan peserta didik non ABK terjadi secara alamiah.

Hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa tidak terdapatnya perbedaan tingkat empati antara peserta didik non ABK di kelas inklusi dan kelas non inklusi serta belum timbulnya kesadaran peserta didik non ABK terhadap peserta didik ABK mengindikasikan belum terlihatnya dampak positif yang signifikan dari pendidikan inklusi terhadap perkembangan sosial peserta didik non ABK seperti yang diharapkan dunia dan penelitian sebelumnya. Salah satu penyebab adalah karena belum adanya intervensi dari sekolah, pengajar dalam memberikan keterampilan sosial secara khusus pada peserta didik non ABK terkait sikap dan perilaku pada peserta didik ABK. Pada kelas inklusi, mempelajari empati sebagai salah satu bentuk keterampilan sosial ditambah disability awareness bertujuan agar peserta didik non ABK mempunyai kepedulian dan kemauan untuk berinteraksi dengan peserta didik ABK dan proses akhirnya adalah perilaku untuk berinteraksi dengan individu dengan disabilitas. Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian pengaruh pemberian program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati serta disability awareness peserta didik non ABK.

B. Identifikasi Masalah

Mewujudkan tujuan pendidikan inklusi yang dimulai dari interaksi sosial antara peserta didik non ABK dan peserta didik ABK tidak bisa diwujudkan dengan hanya menempatkan peserta didik ABK dan peserta didik non ABK pada


(19)

satu ruangan yang sama dan secara alamiah mengharapkan terjadi interaksi, komunikasi, lalu empati (Hinnat, 2007). Penempatan peserta didik ABK dan peserta didik non ABK dalam satu kelas yang sama tanpa intervensi dari pendidik tidak akan menimbulkan interaksi sosial yang signifikan antara peserta didik ABK dan non ABK (DeSchryver, 2008. Taylor, 2002) yang akan menghantar kepada keterampilan sosial yang dibutuhkan (Taylor, 2002).

Macam keterampilan sosial antara lain empati dan kesadaran adanya individu yang mempunyai kebutuhan khusus (disability awareness). Baik empati dan disability awareness membutuhkan kemampuan untuk memahami secara kognitif dan harus ditempuh dengan proses belajar, karena proses belajar adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh seorang anak untuk dapat berperilaku, berperan dan bersikap sosial (Hurlock,1978).

Dalam mempelajari keterampilan sosial, intervensi dengan melibatkan teman sebaya sangat penting pada individu yang sedang berkembang. Intervensi keterampilan sosial dapat diberikan kepada peserta didik ABK (Social-Skill Instruction, Hart 2011), kepada teman sebaya (Pelatihan dan Reinforcement, Timmons 2005), dan melibatkan keduanya (Peer-Support, Harrower 2001).

Peran sentral dari penerapan pendidikan inklusi berada di pundak konselor sekolah untuk menumbuhkan kesadaran inklusi terhadap guru sejawat, peserta didik, sekolah, masyarakat dan otoritas pendidikan (Farrel,2005). Konselor sekolah yang dibekali ilmu hubungan antar manusia, dinamika kelompok, dan keterampilan interpersonal dapat memainkan peran penting dalam pendidikan inklusi (Dahir, 2012) dengan cara melakukan intervensi memberikan materi


(20)

berupa keterampilan sosial sedini mungkin terhadap peserta didik untuk dapat belajar hidup bersama, memahami perbedaan ataupun kekurangan yang ada, bersikap dan berperilaku empati.

Intervensi berupa pemberian program bimbingan keterampilan sosial diharapkan dapat meningkatkan empati dan disability awareness peserta didik non ABK di sekolah inklusi untuk mengantar terjadinya sebuah interaksi sosial antara peserta didik non ABK dan peserta didik ABK dan selanjutnya berujung kepada timbulnya keterampilan sosial yang dibutuhkan.

C. Rumusan Masalah

Fenomena tidak terdapatnya perbedaan tingkat empati antara peserta didik non ABK di kelas inklusi dan kelas non inklusi, serta terdapat peserta didik non ABK yang belum sadar akan kehadiran peserta didik non ABK di kelasnya mengindikasikan belum terlihatnya dampak positif yang signifikan dari pendidikan inklusi terhadap perkembangan sosial peserta didik non ABK seperti yang diharapkan. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah belum adanya intervensi dari pihak sekolah dalam memberikan bimbingan keterampilan sosial secara khusus pada peserta didik non ABK untuk belajar mengembangkan kemampuan empati, kesadaran, pengetahuan, keyakinan serta sikap yang positif pada peserta didik ABK. Intervensi berupa pemberian program bimbingan keterampilan sosial diharapkan dapat meningkatkan empati dan disability awareness peserta didik non ABK di sekolah inklusi untuk mengantar terjadinya


(21)

sebuah interaksi sosial antara peserta didik non ABK dan peserta didik ABK dan selanjutnya berujung kepada timbulnya keterampilan sosial yang dibutuhkan.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana program bimbingan keterampilan sosial efektif dalam meningkatkan kemampuan empati dan disability awareness peserta didik non ABK di kelas inklusi. Secara rinci penelitian ini dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana profil umum tingkat empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab UPI Setiabudi Bandung dan SD Lab UPI Cibiru Bandung ?

2. Bagaimana kondisi awal tingkat empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) yang menjadi sampel penelitian di SD Lab UPI Setiabudi Bandung dan SD Lab UPI Cibiru Bandung ?

3. Bagaimana pelaksanaan intervensi program bimbingan keterampilan sosial yang diberikan kepada peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab UPI Setiabudi Bandung ?

4. Apakah program bimbingan keterampilan sosial efektif untuk meningkatkan empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab UPI Setiabudi Bandung ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah dihasilkannya program bimbingan keterampilan sosial yang efektif untuk meningkatkan kemampuan empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab


(22)

UPI Setiabudi Bandung. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan fakta empirik tentang :

1. Profil umum tingkat empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab UPI Setiabudi Bandung dan SD Lab UPI Cibiru Bandung.

2. Kondisi awal tingkat empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) yang menjadi sampel penelitian di SD Lab UPI Setiabudi Bandung dan SD Lab UPI Cibiru Bandung.

3. Pelaksanaan intervensi program bimbingan keterampilan sosial yang diberikan kepada peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab UPI Setiabudi Bandung.

4. Efektivitas program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV SD (Inklusi) di SD Lab UPI Setiabudi Bandung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat secara teoretis dan praktis. 1. Secara Teoretis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu cara dalam

perjuangan mencapai suatu keidealan program “Belajar Untuk Hidup Bersama” yang dilandasi oleh konvesi PBB dengan tujuan akhir masyarakat dunia yang harmoni, penuh toleransi serta menghargai setiap perbedaan diantara umat manusia.


(23)

b. Hasil penelitian diharapkan dapat membuktikan bahwa program bimbingan keterampilan sosial yang diberikan dapat meningkatkan kemampuan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK sehingga anak menjadi pribadi yang sosial, sensitif, peduli, dapat memahami perasaan dan persepsi seseorang dari sudut pandang yang berbeda, menerima kekurangan, mengenal kebersamaan, mempunyai keyakinan dan sikap yang positif terhadap setiap orang, hidup harmoni, perilaku anti kekerasan seperti yang diharapkan dunia. 2. Secara Praktis

a. Bagi Kepala Sekolah

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan kebijakan Kepala Sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi di sekolahnya.

b. Konselor Sekolah

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi guru Bimbingan dan Konseling di kelas inklusi dalam upaya mengembangkan materi keterampilan sosial, khususnya empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK untuk meningkatkan kemampuan empati dan disability awareness pada peserta didik ABK di kelas inklusi.


(24)

c. Bagi Dunia Pendidikan

Hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai bahan masukan, koreksi, retrospeksi dan refleksi penerapan pendidikan inklusi di Indonesia.

d. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dan bahan referensi serta kajian bagi pengembangan penelitian untuk meningkatkan kemampuan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK di kelas inklusi.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang pendekatan dan desain penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, rancangan intervensi program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati dan disability awareness pada peserta didik, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan langkah langkah penelitian.

A. Pendekatan dan Desain Penelitian

Penelitian mengenai efektivitas program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah tipe dari penelitian dimana peneliti yang menentukan apa yang diteliti, mengajukan pertanyaan yang spesifik, mengumpulkan data kuantitatif dari responden, menganalisa data yang didapat melalui statistik dan menyajikan hasil yang didapat secara obyektif tanpa bias (Creswell, 2008). Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan pada data berupa angka (numerical) yang pengolahan datanya dilakukan dengan metode statistik. Dalam konteks penelitian ini, pendekatan kuantitatif ditujukan untuk mengetahui perubahan antara sebelum dilakukan intervensi (treatment) dan setelah dilakukan intervensi.

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian, guna menguji efektivitas program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan


(26)

kemampuan empati dan disability awareness peserta didik non ABK kelas IV (Inklusi) SD Laboratorium UPI Bandung, maka penelitian dilakukan menggunakan desain eksperimental dengan membandingkan dua kelompok (between-group design), dimana peneliti menguji apakah suatu aktivitas atau materi menghasilkan perbedaan diantara kelompok partisipan penelitian (Creswell, 2008).

Metode yang dipilih adalah metode eksperimen kuasi, yaitu rancangan penelitian eksperimen tapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol/mengendalikan variabel-variabel luar yang dapat mempengaruhi eksperimen. Dalam eksperimen kuasi tidak dilakukan penugasan random (random assignment) melainkan pengelompokkan kelompok berdasarkan kelompok yang terbentuk sebelumnya (Azwar, 2008); (Creswell, 2008). Alasan peneliti mengunakan metode penelitian eksperimen kuasi karena peneliti tidak mungkin menempatkan subyek penelitian dalam situasi laboratorik murni yang bebas sama sekali dari pengaruh lingkungan sosial selama diberikan perlakuan eksperimental.

Dalam desain ini, peneliti memilih kelompok ekperimen dan kelompok kontrol, kemudian dua kelompok yang ada diberi pretest. Setelah pretest, hanya kelompok eksperimen yang diberi intervensi (treatment) program bimbingan keterampilan sosial, setelah itu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberikan posttest. Alasan peneliti menggunakan desain ini adalah sebagai manipulasi untuk menjadikan variabel bebas menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti, dan dapat membedakan antara kelompok yang memperoleh intervensi dengan kelompok yang tidak memperoleh intervensi. Pada penelitian


(27)

ini yang akan diubah adalah tingkat empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK. Adapun desain penelitiannya adalah sebagai berikut :

Select Kontrol Group (CG) Pretest- No Treatment Posttest Select Experimental Group (EG) Pretest- Experiment Treatment-(ET) Posttest (Creswell, 2008)

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan

ET = Program bimbingan keterampilan sosial CG = Kelompok Eksperimen

EG = Kelompok Kontrol

B. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan di kedua SD Laboratorium Percontohan UPI, baik yang terletak di Kampus UPI Cibiru dan berlokasi di Jl. Raya Cibiru KM. 15 Cileunyi-Bandung serta yang terletak di Kampus UPI Setiabudi dan berlokasi di Jln. Setiabudi-Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik non ABK kelas IV di SD Laboratorium Setiabudi serta Cibiru yang berjumlah 50 orang. Adapun hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan populasi adalah sebagai berikut :

1. Peserta didik non ABK kelas IV berada dalam rentang usia 9-10 tahun, suatu usia yang dianggap sudah mempunyai kemampuan untuk dapat mengambil sudut pandang orang lain, dengan merefleksikan sudut


(28)

pandangnya dan sudut pandang orang lain tersebut. Kemampuan untuk dapat mengambil perspektif orang lain (perspective taking) adalah persyaratan timbulnya kemampuan untuk memahami secara sosial, mengidentifikasi dan menyebutkan perasaan secara tepat yang diperlukan sebagai syarat adanya kemampuan empati yang sempurna.

2. Peserta didik non ABK kelas IV yang ada di kelas inklusi sudah mendapatkan pengalaman dengan kehadiran peserta didik ABK di ruangan kelas yang sama.

3. Peserta didik non ABK di SD Lab UPI berada pada satu manajemen pendidikan yang sama.

Sampel penelitian adalah sumber data untuk menjawab masalah penelitian, penentuan sampel ini disesuaikan dengan keberadaan masalah dan jenis data yang ingin dikumpulkan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling. Non probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Secara spesifik teknik yang dilakukan dalam pengambilan sampel ini adalah purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan atas dasar pertimbangan tertentu (Sugiono, 2010).

Sampel dalam penelitian ini adalah peserta didik non ABK kelas IV (Inklusi) SD Laboratorium UPI Bandung yang ada di dua lokasi yaitu SD Laboratorium UPI di Setiabudi dan SD Laboratorium UPI di Cibiru. Peserta didik non ABK kelas IV A SD (Inklusi) di SD Laboratorium UPI kampus Setiabudi berfungsi sebagai kelompok eksperimen dan peserta didik non ABK kelas IV D SD


(29)

(Inklusi) di SD Laboratorium UPI kampus Cibiru sebagai kelompok pembanding/kontrol.

Penentuan sampel didasarkan atas data hasil pengukuran tingkat empati dan disability awareness pada populasi. Sampel yang dipilih untuk menjadi kelompok subyek penelitian dalam kelompok eksperimen adalah peserta didik yang mempunyai tingkat empati pada kategori rendah dan sedang. Dalam menentukan jumlah sampel penelitian, penelitian ini mengacu pada pendapat Creswell (2008), dimana pada penelitian eksperimen, estimasi jumlah sampel yang dibutuhkan untuk prosedur pengolahan statistik sehingga dapat mewakili populasi secara tepat adalah sekitar 15 orang (Creswell,2008), sehingga jumlah sampel yang diambil berjumlah 17 peserta didik pada kelompok eksperimen dan 17 peserta didik pada kelompok kontrol.

Pada saat intervensi dilakukan, peserta didik non ABK yang ada di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberi prettest untuk mengukur kondisi awal tingkat empati dan disability awareness. Setelah dilaksanakan prettest, pada kelompok eksperimen diberikan intervensi berupa pemberian program bimbingan keterampilan sosial. Untuk menguji efektivitas program bimbingan keterampilan sosial tersebut dilakukan posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah itu berdasarkan hasil pretest dan posttets dilihat peningkatan yang terjadi. Peningkatan yang terjadi diantara kedua kelompok itu kemudian dibandingkan untuk melihat seberapa efektivitas intervensi yang diberikan.


(30)

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat yang ada dalam penelitian ini adalah tingkat empati dan disability awareness, sedangkan variabel bebas yang ada dalam penelitian ini adalah program bimbingan keterampilan sosial.

2. Definisi Operasional Variabel a. Empati

Empati adalah kapasitas afektif dalam memahami perasaan orang lain disertai kemampuan kognitif untuk memahami perspektif orang lain serta kemampuan mengkomunikasikan perasaan dan pemahamannya secara empatik terhadap orang lain baik dengan verbal maupun non verbal. (Cotton, 2001 dalam Garton, 2005). Definisi empati sebagai aspek afeksi harus dipisahkan dengan proses internal terbentuknya empati yang merupakan hasil perpaduan antara kognitif dan emosi (Hoffman dalam Hinnant, 2007) atau perpaduan antara thinking dan feeling, perpaduan antara pikiran dan rasa (Garton, 2005). Pengukuran empati dilakukan dengan mengukur aspek pembentuknya yaitu dengan melihat bagaimana kemampuan individu untuk melakukan perspektif taking, kepedulian secara empatik, personal distress serta kemampuan membayangkan (Davis, 1980 dalam Garton, 2005),

Salah satu faktor pembentuk empati adalah kemampuan mengambil perspektif orang lain/perspective taking. Perspective taking adalah


(31)

kemampuan untuk melihat dari sudut pandang seseorang (Hurlock, 1978), kesadaran terhadap kemampuan, karakteristik, ekspektasi, perasaan serta reaksi yang akan dilakukan seseorang (Selman dalam Mendelson, 1999) dan berpengaruh terhadap tumbuhnya interaksi. Perspective taking berkembang berdasarkan usia.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka definisi operasional empati pada penelitian ini adalah kemampuan secara afektif dan kognitif peserta didik non ABK dalam memahami emosi dan persepsi dari sudut pandang individu dengan disabilitas. Empati terdiri dari kemampuan afektif dan kemampuan kognitif. Kemampuan afektif dapat dilihat dari kepedulian secara empatik yaitu kemampuan dalam memahami perasaan orang lain sedangkan kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk memahami bagaimana sesuatu hal dialami dari sudut pandang orang lain/perspective taking.

b. Disability Awareness

Definisi operasional dari disability awareness pada penelitian ini adalah proses berkembangnya kesadaran, pengetahuan, keyakinan dan sikap yang positif pada peserta didik non ABK terhadap individu dengan disabilitas. Aspek dari disability awareness adalah kesadaran, dapat melihat persamaan, penerimaan serta kemauan untuk berinteraksi. Indikatornya dapat dilihat dari: (1) dapat melihat persamaan; (2) dapat menerima keadaan


(32)

disabilitas;(3) dapat menerima keunikan; dan (4) dapat bergabung dan berinteraksi dengan individu dengan disabilitas. (Dierks dkk, 2007).

c. Program Bimbingan Keterampilan Sosial

Bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota untuk belajar berpartisispasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya mengembangkan wawasan, sikap dan atau ketrampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau dalam upaya pengembangan pribadi (Rusmana, 2009). Keterampilan Sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai-nilai yang ada di masyarakat dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain, berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu (Hurlock, 1978), kemampuan mengembangkan sikap yang positif seperti kesadaran sosial, sikap menolong dan mengasihi sesama (Deutsch, 1993 dalam Desmita, 2010), kemampuan mengenal secara objektif lingkungan, baik lingkungan sosial dan ekonomi, lingkungan budaya maupun lingkungan fisik dan menerima berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis (PP no 28/1990).

Empati adalah salah satu keterampilan sosial yang dibutuhkan dan diidentifikasikan sebagai aspek yang paling penting dan dasar dari


(33)

kepribadian karena empati memotivasi terbentuknya perilaku sosial (Reichl, 2011), Namun empati tidak akan berjalan tanpa keinginan untuk mengenal, peduli dan menerima orang yang dituju (Engelen, 2012), sehingga antara empati dan disability awareness terdapat suatu hubungan.

Mempelajari empati sebagai salah satu bentuk keterampilan sosial ditambah disability awareness bertujuan agar peserta didik non ABK mempunyai kepedulian dan kemauan untuk berinteraksi dengan peserta didik ABK dan proses akhirnya adalah perilaku untuk berinteraksi dengan individu dengan disabilitas.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka definisi operasional program bimbingan keterampilan sosial yang ada pada penelitian ini adalah proses pemberian bantuan kepada peserta didik non ABK di kelas inklusi melalui suasana kelompok dalam upaya menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, keyakinan serta sikap yang positif terhadap individu dengan disabilitas dengan cara mengembangkan kemampuan secara afektif dan kognitif dalam memahami perasaan dan sudut pandang individu dengan disabilitas tersebut.

C. Pengembangan Instrumen Penelitian

Berdasarkan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini maka dikembangkan instrumen penelitian berupa program keterampilan sosial serta instrumen alat pengumpul data berupa kuesioner tingkat kemampuan empati dan disability awareness yang digunakan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat


(34)

kemampuan empati dan disability awareness peserta didik non ABK di kelas inklusi.

1. Program Bimbingan Keterampilan Sosial

Program keterampilan sosial yang ada dalam penelitian ini mengadaptasi dan memodifikasi materi yang terdapat pada Disability Awareness Activity Packet (Adcock, 2006), Educating Children about Autism in an Inclusive Classroom (Timmons, 2005) serta Disability Awareness Toolkit Center on Disability Studies ( Dierks, 2007).

Sebelum diberikan sebagai intervensi, program keterampilan sosial ini telah diuji oleh para ahli yaitu Nandang Rusmana (ahli pertama), Mubiar Agustin (ahli kedua), Rahayu Ginintasasi (ahli ketiga). Program keterampilan sosial yang diajukan oleh peneliti disempurnakan dengan pertimbangan dari para ahli yaitu :

a. Ahli pertama

Penyempurnakan konstruksi program bimbingan keterampilan sosial, metode yang digunakan, isi materi serta kompetensi yang akan dikembangkan, bimbingan kelompok yang diberikan serta tahap tahap yang ada dalam bimbingan tersebut.

b. Ahli kedua

Penyempurnakan konstruksi program bimbingan keterampilan sosial, tata bahasa, metode yang digunakan, isi materi, pelaksanaan program serta kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan pihak pihak terkait yang ada dalam penelitian.


(35)

c. Ahli ketiga

Penyempurnakan program bimbingan keterampilan sosial mengenai isi program, analisa terhadap kondisi psikologis dan tingkat perkembangan subyek penelitian serta pelaksanaan kegiatan, khususnya dengan melibatkan pihak orang tua.

2. Kisi Kisi Instrumen Empati

Instrumen untuk mengukur tingkat empati yang ada dalam penelitian ini merupakan modifikasi instrumen Interpersonal Reactivity Index dari M.H Davis pada tahun 1980 yang mengukur empat aspek empati yaitu: perspective taking, kepedulian secara empatik, personal distress serta kemampuan membayangkan (Garton dan Gringart, 2005). Instrumen Interpersonal Reactivity Index /IRI yang dibuat oleh M.H Davis terdiri dari 28 butir tes dan menggunakan skala penilaian model Likert dari “Sangat Tidak Sesuai” sampai “Sangat Sesuai”.

Pada tahun 2005, kedua ahli psikologi perkembangan, Alison F.Garton dan. Eyal Gringart dari Universitas Edith Cowan-Australia, melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen Interpersonal Reactivity Index tersebut. Tes IRI yang semula diperuntukkan untuk orang dewasa diuji cobakan kepada anak berumur 8-9 tahun dengan cara mengubah bahasa yang dipahami oleh anak, dengan dibantu oleh ahli bahasa, dan mencoba tes ini pada anak-anak dari usia yang sama untuk memastikan mereka mengerti. Pada jurnal psikologi perkembangan dan pendidikan yang memuat penelitian mereka,


(36)

dinyatakan bahwa uji coba penelitian tersebut menghasilkan suatu kata yang sudah paten dan tidak membutuhkan modifikasi yang lebih lanjut.

Dari hasil uji coba diambil satu kesimpulan bahwa untuk anak anak yang berumur 8-9 cukup diberikan 12 butir tes, dari 28 butir tes yang semula ada. Konstruksi tes yang semula mengukur empat komponen dimodifikasi dengan hanya memuat dua komponen yaitu kepeduliam secara empati (afektif) dan perspective taking (kognitif). Kepedulian secara empatik adalah kemampuan memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, sedangkan perspective taking secara kognitifif atau kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk membayangkan bagaimana sesuatu hal dialami dari sudut pandang perspektif orang lain. Komponen personal distress dimasukkan kedalam dua komponen tersebut dan komponen kemampuan membayangkan, yang sebelumnya ada di tes IRI oleh M.H David, dihilangkan. Hal itu dilakukan dengan alasan menyesuaikan tingkat perkembangan anak, dimana anak dengan usia 8-9 tahun belum dapat memahami butir tes yang menuntut anak memahami secara abstrak.

Skala Likert yang semula terdiri dari 5 skala dari “Sangat Tidak Sesuai” “Tidak selalu sesuai”, Kadang kadang sesuai”, Seringkali Sesuai” sampai “Sangat Sesuai” yang ada dalam tes IRI dimodifikasi dengan hanya tiga skala penilaian yaitu “ Sangat Sesuai” , “Kadang kadang” dan “Sangat Tidak Sesuai”, hal ini karena anak dianggap sulit membedakan kata “Tidak Selalu” dan “Seringkali”. Hasil reliabilitas tes yang dilakukan oleh Garton dan Gringart pada tahun 2005 menunjukkan kedua komponen yang diujikan


(37)

reliable dengan skor 0,69 untuk perspektif kognitif serta 0,54 untuk perspektif afektif. Semakin tinggi suatu skor, semakin tinggi kemampuan empati anak.

Tabel 3.1

Kisi Kisi Kuesioner Empati

EMPATI

ASPEK INDIKATOR No

AFEKTIF

Kepedulian secara empatik,

kemampuan memahami

perasaan orang lain

1,2,3,4,5,6 6

KOGNITIF

Perspektive taking kognitif, kemampuan untuk merasakan bagaimana sesuatu hal dialami dari sudut pandang orang lain

7,8,9,10,1

1,12 6

3. Kisi Kisi Instrumen Disability Awareness

Instrumen berupa kuesioner disability awareness dikembangkan dari definisi operasional variabel. Aspek dari disability awareness adalah kesadaran, dapat melihat persamaan, penerimaan serta kemauan untuk berinteraksi. Indikatornya dapat dilihat dari kesadaran adanya individu dengan disabilitas, dapat melihat persamaan diantara individu tanpa disabilitas dan individu dengan disabilitas, dapat menerima keberadaan individu dengan disabilitas, dapat menerima keunikan yang ada pada individu dengan disabilitas, dapat bergabung dan berinteraksi dengan individu dengan disabilitas.


(38)

Instrumen berisi 15 butir tes yang pertanyaannya berisi “Setuju” “Ragu Ragu” dan “Tidak Setuju”.

Tabel 3.2

Kisi Kisi Kuesioner Disability Awareness

DISABILITY AWARENESS

ASPEK INDIKATOR

NOMOR

ITEM

+ -

KESADARAN

Kesadaran adanya individu dengan disabilitas

1,13 6 3

DAPAT MELIHAT PERSAMAAN

Dapat melihat

persamaan diantara

individu tanpa

disabilitas dan individu dengan disabilitas

8,12 3 3

PENERIMAAN

Dapat menerima

keberadaan individu dengan disabilitas

5 2,10 3

Dapat menerima

keunikan yang ada

pada individu

dengan disabilitas

7 4,14 3

KEMAUAN BERINTERAKSI

Dapat bergabung dan berinteraksi dengan individu dengan disabilitas

9

11,1 5

3

3. Pedoman Skoring

Instrumen yang mengukur tingkat kemampuan empati menggunakan modifikasi skala Likert dengan tiga skala yaitu “Sangat Tidak Sesuai” (STS), “Kadang kadang ” (K) dan “Sangat Sesuai” (SS). Adapun kriteria untuk mendapat skor dari kuesioner tingkat kemampuan empati dapat dilihat pada tabel berikut :


(39)

Tabel 3.3

Pedoman Skoring Kuesioner Empati

PERNYATAAN

SKOR

STS KK SS

1 2 3

Instrumen yang mengukur disability awareness menggunakan “Setuju” (S) “Ragu Ragu” (TT) dan “Tidak Setuju” (STS) . Adapun kriteria untuk mendapat skor dari kuesioner disability awareness dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.4

Pedoman Skoring Kuesioner Disability Awareness

PERNYATAAN SKOR

S RR STS

Positif

3 2 1

Negatif

1 2 3

4. Uji Validitas Program dan Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur (Riduwan, 2004), valid juga berarti menunjukkan instrumen yang digunakan dalam penelitian mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2004 dalam Riduwan, 2004). Uji validitas


(40)

dilakukan untuk melihat apakah skor yang didapat dari hasil penelitian berarti dan memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan dari sampel yang diteliti pada populasi, sedangkan uji reliabilitas dilakukan untuk melihat apakah skor yang didapat dari hasil penelitian stabil dan konsisten untuk digunakan pada penelitian selanjutnya (Creswell, 2008).

Uji validitas untuk instrumen program adalah validitas isi (content validity), suatu bentuk validitas dengan menguji rencana dan prosedur yang digunakan didalam instrumen dengan meminta pendapat ahli (Creswell, 2008). Sedangkan untuk instrumen kuesioner dilakukan uji validitas isi dan validitas konstruk, yaitu suatu bentuk uji validitas yang menguji secara statistik dan kepraktisan apakah skor yang didapat signifikan, mempunyai arti, dapat digunakan dan bertujuan (Creswell, 2008).

Uji validitas isi instrumen program, validitas isi dan konstruk instrument kuesioner disability awareness dilakukan dengan meminta pendapat para ahli yaitu Nandang Rusmana (ahli pertama), Mubiar Agustin (ahli kedua), Rahayu Ginintasasi (ahli ketiga). Untuk uji validitas isi instrumen kuesioner empati dilakukan dengan meminta pendapat ahli bahasa Inggris dan psikologi, yaitu Lili Nuzuliah dan Rahayu Ginintasasi. Uji validitas instrumen kuesioner dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPPS version 16.0 for Windows. Uji Validitas Item digunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment. Dalam uji ini, setiap item akan diuji relasinya dengan skor total variabel yang dimaksud. Agar penelitian ini lebih teliti, sebuah item sebaiknya memiliki korelasi (r) dengan


(41)

skor total masing-masing variabel ≥ 0,25. Item yang punya r hitung < 0,25 akan disingkirkan akibat mereka tidak melakukan pengukuran secara sama dengan yang dimaksud oleh skor total. Uji reliabilitas dengan menggunakan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach. Titik tolak ukur koefisien reliabilitas menggunakan pedoman koefisien korelasi dari Sugiyono (2010) yang disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 3. 5

Pedoman Interprestasi Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Tinggi

0,80 – 1,00 Sangat Tinggi

Uji reliabilitas kuesioner disability awareness dilakukan dengan skor 0,675 artinya derajat kestabilan tergolong sedang.

E. Rancangan Intervensi Program Bimbingan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Empati dan Disability Awareness pada Peserta didik Non ABK kelas IV SD (Inklusi)

1. Rasional

Sekolah regular dengan orientasi pendidikan inklusi adalah cara yang paling tepat dalam mencapai tujuan memerangi sikap diskriminasi pada masyarakat, menciptakan komunitas masyarakat yang ramah dan dapat


(42)

menerima perbedaan serta menyediakan pendidikan untuk semua. Peserta didik diajar untuk menerima perbedaan di antara umat manusia baik perbedaan agama, ras, etnik, fisik, tingkat hidup, kemampuan, cara pandang dan lain lain dengan cara mengajarkan kebersamaan, harmoni, perilaku anti kekerasan dan menjadi pribadi yang sosial sehingga meminimalisir rasa superior, kompetisi dan inferior.

Sekolah merupakan salah satu agen dan konteks sosial yang berperan dalam pengembangan keterampilan perilaku sosial pada anak dalam mengembangkan sikap yang positif seperti kesadaran sosial, sikap menolong dan mengasihi sesama (Deutsch, 1993 dalam Desmita, 2010) dengan cara memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengenal secara objektif lingkungan, baik lingkungan sosial dan ekonomi, lingkungan budaya maupun lingkungan fisik dan menerima berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis (PP no 28/1990). Implementasi dari sekolah sebagai salah satu agen sosial adalah sekolah mengajarkan keterampilan sosial dan strategi pemecahan sosial pada peserta didik dalam bentuk pengetahuan tingkah laku interpersonal yang efektif, memberikan label perilaku yang pantas, mengembangkan program mediasi teman sebaya (Desmita, 2010), menyiapkan program untuk menghadapi persoalan masa depan dan menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat (Sunaryo, 2011). Salah satu keterampilan sosial yang diajarkan sekolah adalah kemampuan empati dan disability awareness, khususnya pada kelas inklusi.


(43)

Empaty dan Disability Awareness merupakan salah satu keterampilan sosial yang dibutuhkan seorang anak dalam mengembangkan sikap, belajar berperan dan berperilaku sosial untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat ideal di dunia, yaitu masyarakat yang ramah, dapat menerima perbedaan serta tidak diskriminatif. Pada sekolah inklusi, hal itu dimulai dengan terciptanya hubungan dan interaksi yang positif antara peserta didik ABK dan non ABK didalam kelas inklusi. Tetapi untuk membentuk hubungan dan interaksi positif tidak cukup dengan hanya menempatkan peserta didik ABK dan non ABK dalam satu ruangan yang sama. Berdasarkan penelitian, hubungan peserta didik ABK dan peserta didik non ABK dapat terbentuk jika terdapat program intervensi untuk membangun hubungan dengan teman sebaya (Hunt, 1996 dalam Hall, 2000). Program bimbingan keterampilan sosial yang diberikan kepada peserta didik non ABK yang ada di kelas inklusi diyakini akan memberikan pengaruh positif pada peserta didik dalam menerima perbedaan dan lebih nyaman berhubungan dengan individu dengan disabilitas (Peck, 1992 dalam Taylor, 2002).

Intervensi diberikan dengan teknik bimbingan kelompok dan dikemas dalam sebuah pola sistematik dan sekuensial (Rusmana, 2009) dan mempunyai instruksi yang jelas (Taylor, 2002). Pola yang sistematis dan sekuensial berarti didalam bimbingan terdapat aspek perkembangan yang akan dituju, standar kompetisi, kompetisi dasar, indikator, tujuan, materi, metode dan teknik yang digunakan,alat/bahan yang diperlukan serta peserta


(44)

didik yang menjadi target bimbingan kelompok. Cara dan strategi yang efektif disesuaikan dengan kondisi psikologis dan tingkat perkembangan anak.

Satu sesi materi bimbingan kelompok yang diberikan terencana, fokus dan terapeutik serta dibuat dengan waktu yang tidak terlalu lama (5-8 kali pertemuan) dan masing masing pertemuan berkisar 30 – 50 menit (Brown, 1994). Karena peserta didik yang menjadi target adalah peserta didik sekolah dasar yang mempunyai konsep verbal dan kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaan yang belum sempurna, maka teknik bimbingan dilakukan dengan menggunakan metode tidak langsung (permainan, membacakan suatu cerita,permainan imajinatif, lembar kerja) (Brown, 1994); (Geldard, 2012).

Salah satu simulasi yang dilakukan adalah simulasi disabilitas, dimana individu tanpa disabilitas ditempatkan pada kondisi mengalami disabilitas. Simulasi disabilitas dan pemberian materi informasi dan edukasi merupakan teknik terbaik dalam menciptakan suatu kondisi yang dapat membangun hubungan diantara individu tanpa disabilitas dengan individu dengan disabilitas. (Flower, 2007).

Materi Disability Awareness yang diberikan berisi Informasi yang akurat dan edukasi mengenai individu dengan disabilitas yang dapat meluruskan suatu persepsi, sikap dan keyakinan yang selama ini menjadi mitos. Materi untuk meningkatkan kemampuan empati mengacu kepada


(45)

penelitian dari Cotton (2001) dalam meningkatkan empati pada peserta didik yaitu :

a. Mempelajari perbedaan dirinya dan orang lain untuk meningkatkan empati secara kognitif dan afektif.

b. Mempelajari bahwa orang lain mempunyai sudut pandang tersendiri. c. Melatih persepsi interpersonal dan bagaimana cara merespon yang

empatik

d. Mempelajari bagaimana perasaan peserta didik itu sendiri terhadap suatu situasi, sebelum mempelajari perasaan orang lain.

e. Bermain peran, cara ini dianggap yang tepat untuk meningkatkan pemahaman dan empati pada individu dengan disabilitas.

f. Memberikan stimulus yang membangkitkan emosi.

2. Deskripsi Kebutuhan

Deskripsi kebutuhan program yang disusun ini berdasarkan hasil penelitian studi pendahuluan yaitu :

a. Belum adanya intervensi dari sekolah, pengajar dalam memberikan keterampilan sosial secara khusus pada peserta didik non ABK terkait sikap dan perilaku pada peserta didik ABK

b. Peserta didik yang mempunyai tingkat empati pada kategori rendah dan sedang.


(46)

c. Siswa ABK cenderung bermain sendiri di dalam kelas. Kalaupun mereka diterima oleh teman sebaya yang non ABK, mereka cenderung mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

3. Tujuan Intervensi

Intervensi ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK di kelas IV SD (inklusi) dengan cara memberikan program bimbingan keterampilan sosial. Secara khusus, intervensi ini bertujuan untuk mengembangkan :

a. Pemahaman bahwa setiap orang mempunyai keunikan dalam perbedaan serta persamaan.

b. Kemampuan memahami dan merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain.

c. Kemampuan untuk peduli terhadap perasaan dan pikiran orang lain. d. Kemampuan mengidentifikasi emosi dirinya dan orang lain dan

merespon emosi tersebut dengan tepat dalam bahasa verbal dan non verbal,

e. Kesadaran, pengetahuan, keyakinan dan sikap positif terhadap individu dengan disabilitas.


(47)

Program bimbingan keterampilan sosial didasarkan pada asumsi sebagai berikut :

a. Peserta didik yang dituju adalah peserta didik yang berumur 8-9 tahun, dengan asumsi pada usia tersebut anak telah mempunyai kemampuan perspektif taking terhadap perasaan dan pikiran orang lain, perspektif taking tersebut berperan dalam kemampuan untuk memahami secara sosial, mengidentifikasi dan menyebutkan perasaan secara tepat yang diperlukan sebagai syarat adanya kemampuan empati yang sempurna (Selman,1980).

b. Pada usia 8-9 tahun, interaksi dan peran teman sebaya meningkat dalam kehidupan anak sehingga melakukan intervensi program bimbingan keterampilan sosial yang dilakukan dengan melibatkan teman sebaya merupakan teknik yang dianggap tepat.

c. Program bimbingan keterampilan sosial membimbing anak untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai-nilai yang ada di masyarakat dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain, berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu (Hurlock, 1978).

d. Keterampilan sosial yang diberikan akan membuat anak lebih sensitif terhadap perasaan orang lain, lebih paham akan konsekuensi perbuatannya, lebih bisa menganalisa situasi dan bertindak tepat


(48)

(Hurlock, 1978), memberikan pengaruh positif pada peserta didik ABK dan peserta didik non ABK. Peserta didik ABK dapat belajar tugas perkembangan dengan model teman sebayanya dan peserta didik non ABK dapat menerima perbedaan dan lebih nyaman berhubungan dengan individu dengan disabilitas (Peck, 1992 dalam Taylor, 2002). e. Intervensi dengan menggunakan metode tidak langsung (permainan,

membacakan suatu cerita, permainan imajinatif, lembar kerja) merupakan teknik yang tepat digunakan jika anggota bimbingan kelompok adalah anak anak, dasar pemikirannya adalah tidak semua anak mempunyai konsep verbal dan kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaan secara sempurna (Brown, 1994; (Geldard, 2012). f. Keterampilan sosial akan lebih efektif jika dilakukan melalui kelompok (Brown, 1994); (Geldard, 2012), karena anggota kelompok dapat mempraktekkan keterampilan yang diberikan kepada anggota kelompok lain, serta menyediakan model dan kesempatan untuk belajar dengan cara observasi terhadap anggota kelompok yang ada (Corey, 2012),

g. Peserta didik non ABK yang mendapat keterampilan sosial dan ditempatkan di kelas inklusi mempunyai kemajuan dalam keterampilan sosial, berkurangnya respon negatif, pengetahuan akan berperilaku terhadap perilaku spesifik tertentu, beraktifitas bersama sama (Hepler, 1998).


(49)

5. Sasaran Intervensi

Sasaran intervensi pada penelitian ini peserta didik non ABK kelas IV A yang ada di SD (Inklusi) di SD Laboratorium UPI, Kampus Setiabudi Bandung.

6. Prosedur Pelaksanaan Intervensi

Tahapan intervensi program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK kelas IV SD dilaksanakan dalam 5 tahap selama 5 sesi pertemuan. Sebelum memulai kegiatan intervensi terlebih dahulu diberikan pemahaman kepada peserta didik beserta orang tua peserta didik ABK bahwa kegiatan yang akan dilakukan adalah kegiatan yang diperuntukkan kepada teman sekelas yang non ABK dengan tujuan untuk membantu peserta didik non ABK meningkatkan empati dan disability awareness dan hasil akhirnya adalah pemahaman serta perilaku sosial peserta didik non ABK terhadap peserta didik ABK. Tahap pertama serta tahap kelima merupakan kegiatan yang juga dilakukan juga oleh kelompok kontrol. Tahapan kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Tahap I : Asesmen awal

Langkah pertama yang dilakukan adalah mendapatkan kondisi awal gambaran empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK dengan memberikan kuesioner yang bertujuan mengukur tingkat empati serta disability awareness peserta didik.


(50)

b. Tahap II : Tahap Awal Intervensi

Tahap ini merupakan awal dari pemberian materi program bimbingan keterampilan sosial pada kelompok eksperimen. Pada tahap ini bimbingan diberikan didalam kelas yang merupakan kelompok eksperimen, dimana setiap peserta didik non ABK adalah anggota kelompok. Di tahap kedua dilakukan kegiatan sebagai berikut :

1)Menyampaikan tujuan dari bimbingan.

2)Menyampaikan apa yang diharapkan dari bimbingan tersebut. 3)Membuat kelompok kelompok kecil.

4)Menyampaikan secara garis besar kegiatan yang akan dilakukan baik waktu, teknik serta peran dari masing masing anggota kelompok. 5)Membuat norma kelompok.

c. Tahapan III : Tahap Kerja Intervensi

Tahapan ini merupakan tahap dimana intervensi program bimbingan keterampilan sosial pada kelompok eksperimen diberikan kepada peserta didik. Di tahap ketiga dilakukan kegiatan sebagai berikut:

1) Memberikan materi informasi 2) Memberikan tugas kelompok 3) Melakukan diskusi

4) Bermain peran serta simulasi

5) Melakukan intervensi jika ditemukan pikiran pikiran negatif yang muncul pada anggota kelompok.


(51)

Pada tahap ini intervensi program bimbingan keterampilan sosial pada kelompok eksperimen dihentikan dan kelompok dibubarkan. Di tahap kelima ini dilakukan kegiatan sebagai berikut :

1) Meminta masing masing kelompok memberikan rangkuman mengenai apa yang mereka pelajari selama kegiatan intervensi. 2) Meminta masing masing kelompok membuat makna pelajaran itu

untuk mereka.

3) Meminta masing masing kelompok membuat suatu komitmen apa yang akan mereka lakukan dikemudian hari.

4) Memberikan umpan balik kepada anggota kelompok dan memberikan motivasi.

e. Tahap V : Asesmen Akhir

Pada tahap ini, diberikan kuesioner yang mengukur tingkat empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK pada kelompok kontrol dan kelompok ekesperimen. Kegiatan penyebaran kuesioner empati dan disability awareness bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai tingkat empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK kelompok eksperimen setelah diberikan intervensi dan peserta didik non ABK kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi.


(52)

Program bimbingan keterampilan sosial untuk meningkatkan empati dan disability awareness pada peserta didik non ABK dilakukan selama lima sesi pertemuan, dengan waktu durasi +/- 60 menit dengan tujuh tema yaitu :

a. Tema pertama “Persamaan dalam Perbedaan” b. Tema kedua “Identifikasi Emosi “

c. Tema ketiga “Apakah Disabilitas itu “

d. Tema keempat “Mengenal Jenis Disabilitas (Autisme dan Gangguan Belajar)”

e. Tema kelima “Mengenal Jenis Disabilitas (Gangguan Komunikasi dan Retardasi Mental) ”

f. Tema keenam “Mengenal Jenis Disabilitas (Gangguan Fisik, Gangguan Penglihatan dan Gangguan Pendengaran) ”

g. Tema keenam “ Individu dengan Disabilitas yang Berprestasi”

Sesi pertama berisi tahap awal intervensi, dimana peneliti menyampaikan tujuan dan apa yang diharapkan dari bimbingan tersebut, menyampaikan secara garis besar kegiatan yang akan dilakukan baik waktu, membuat kelompok kelompok kecil teknik serta peran dari masing masing anggota kelompok, serta membuat norma kelompok.

Sesi kedua adalah tahap kerja intervensi dengan pemberian materi program bimbingan keterampilan sosial dengan tema “Persamaan dalam Perbedaan” serta“Identifikasi Emosi”. Tema pertama bertujuan agar peserta didik dapat menerima perbedaan, mengenal keunikan dan menghargai


(53)

keragaman diantara manusia. Strategi yang digunakan adalah diskusi, simulasi/bermain peran dan serta creative props. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah peserta didik dapat menyebutkan perbedaan, persamaan serta keunikan diantara dirinya dan individu lain dan mengetahui bagaimana menghargai perbedaan tersebut. Tema kedua bertujuan agar peserta didik belajar memahami dan mengenal emosi diri sendiri dan orang lain serta belajar merespon emosi dengan bahasa verbal dan non verbal yang tepat. Materi tema ini diberikan dengan menggunakan strategi diskusi, menulis serta simulasi. Alasan dipilihnya tema ini karena memahami emosi dan merespon emosi dengan tepat adalah salah satu keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah peserta didik dapat mengidentifikasi emosi diri sendiri dan orang lain dengan tepat dan dapat merespon emosi orang lain dengan bahasa verbal dan non verbal yang tepat.

Sesi ketiga adalah tahap kerja intervensi dengan pemberian materi yangbertema “Apakah Disabilitas itu “ serta “Mengenal Jenis Disabilitas”. Jenis disabilitas yang diperkenalkan pada sesi ini adalah gangguan autisme serta gangguan belajar dengan strategi yang digunakan adalah diskusi, simulasi/bermain peran dan pemutaran video. Tema pertama bertujuan peserta didik memperoleh pengetahuan yang dapat membantu mereka memahami dan menghargai orang lain dengan disabilitas dan tema kedua bertujuan peserta didik belajar memahami pikiran dan perasaan orang lain, mempelajari perbedaan dirinya dan orang lain untuk meningkatkan empati


(54)

secara kognitif dan afektif, memperoleh sikap, pengetahuan dan ketrampilan interpersonal yang dapat membantu mereka memahami dan menghargai orang lain dengan disabilitas. Keberhasilan dari sesi ini adalah peserta didik dapat menyebutkan apa itu disabilitas dan macam disabilitas, peserta didik dapat mengidentifikasi pikiran dan perasaan individu dengan disabilitas. Alasan peneliti menggunakan tema ini adalah karena informasi mengenai disabilitas merupakan pengetahuan atau unsur kognitif yang dibutuhkan dalam meningkatkan empati atau kesadaran terhdap disabilitas. Peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga diajarkan untuk paham dan merasakan apa yang dirasakan oleh individu dengan disabilitas.

Sesi keempat adalah tahap kerja intervensi dengan pemberian materi yang bertema “Mengenal Jenis Disabilitas”. Jenis disabilitas yang diperkenalkan pada sesi ini adalah gangguan komunikasi, retardasi mental, gangguan fisik, pendengaran serta penglihatan. Sesi ini diberikan dengan strategi strategi yang digunakan adalah diskusi, simulasi/bermain peran dan pemutaran video dengan tujuan peserta didik belajar memahami pikiran dan perasaan orang lain, mempelajari perbedaan dirinya dan orang lain untuk meningkatkan empati secara kognitif dan afektif , memperoleh sikap, pengetahuan dan ketrampilan interpersonal yang dapat membantu mereka memahami dan menghargai orang lain dengan disabilitas. Keberhasilan dari sesi ini adalah peserta didik dapat menyebutkan jenis dan macam disabilitas serta dapat mengidentifikasi pikiran dan perasaan individu


(55)

dengan disabilitas. Alasan peneliti menggunakan tema ini adalah karena informasi mengenai disabilitas merupakan pengetahuan atau unsur kognitif yang dibutuhkan dalam meningkatkan empati atau kesadaran terhdap disabilitas. Peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga diajarkan untuk paham dan merasakan apa yang dirasakan oleh individu dengan disabilitas.

Sesi kelima berisi tiga tahap yaitu tahap kerja intervensi berupa pemberian materi bertema “Individu dengan Disabilitas yang Berprestasi”, tahap akhir intervensi serta asesmen akhir. Pada sesi ini dihadirkan contoh profil invidu dengan disabilitas yang berprestasi dan peserta didik kemudian melakukan wawancara terhadap sosok tersebut. Kegiatan ini bertujuan agar peserta didik memperoleh informasi secara langsung dan dapat melihat profil nyata sosok individu dengan disabilitas yang berprestasi. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah meningkatnya kesadaran, pengetahuan, keyakinan serta sikap positif dalam memahami dan menghargai orang lain dengan disabilitas. Alasan peneliti menggunakan tema ini adalah karena informasi secara langsung yang didapat peserta didik terhadap sosok individu dengan disabilitas yang berprestasi diharapkan dapat meningkatkan disability awareness peserta didik terhadap individu dengan disabilitas. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan merangkum apa saja yang sudah dipelajari peserta didik dan ditutup dengan pemberian kuesioner empati dan disability awareness.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adcock, B. dan Remus, M. L. (2006). Disability Awareness Activity Packet : Activities and Resources for Teaching Students About Disabilities. Phoenix: Possibilities. Inc.

Agustin, M. (2008). Mengenali dan memahami Dunia Anak. Bandung: Lotus Press. Ainscow, M. dan Susie, M. (2009). Developing Inclusive Education System : How

We can Move Policies Forward ?. UK : University of Manchester.

Azwar, Saifudin. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baker, D. et al. (2004). “Measuring Empathy: Reliability and Validity of The

Empathy Quotient”. Psychological Medicine. 34, (5), 911-919.

Brown, N.W. (1994). Group Counseling for Elementary and Middle School Children. Connecticut: Praeger Publishers.

Cartledge, C. dan Milburn, J. F. (1995). Teaching Social Skills to Children and Youth Inovative Approach. (Third edition). Massachusetts: Allyn and Bacon.

Connecticut School Counselor Association. (2000). Comprehensive School Counseling Program. Tersedia: www.schoolcounselor.org/files/Conn Model.pdf

Corey, G. (2012). Theory and Practice of Group Counseling. (Eight edition). Belmont: Brooks Cole.

Cotton, K. (2001). Developing Empathy in Children and Youth. School Improvement Research Series. Tersedia: www.nwrel.org.

Creswell, J. W. (2008). Educational Research. New Jersey: Pearson Education Inc. Dahir, C. A. dan Stone, C. B. (2012). The Transformed School Counselor.(Second


(2)

Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Mandikdasmen. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2007). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

DeSchryver, O. et al. (2008). “Promoting Social Interactions Between Students With Autism Spectrum Disorders and Their Peers in Inclusive School Settings”. Focus Autism Other Dev Disabl. 23,(1), 15-28.

Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosda.

Dierks, K. et al. (2007). Disability Awareness Toolkit Center on Disability Studies. Tersedia: www.ist.hawaii.edu.

Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Rambu Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Dyah S. (2008). Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia: journal.uny.ac.id/in. Engelen, E. dan Birgitt, R. (2012). “Current Disciplinary and Interdisciplinary Debates

on Empathy”. Emotion Review. 4, (1), 3–8.

Farrell, P. (2005). The Impact of Population Inclusivity in Schools and Student Outcomes. Review conducted by the Inclusive Education Review Group. Institute of Education. London: University of London.

Flower, A., Matthew, K. B. dan Nicole, A. B. (2007). “Meta-Analysis of Disability Simulation Research”. Remedial and Special Education. 28. (2), 72-79.

Furqon. (2009). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung:Alfabeta.

Garton, A. F. dan Gringart, E. (2005). “The Development of a Scale to Measure Empathy in 8- and 9-year Old Children”. Australian Journal of Education and Developmental Psychology. 5, 17-25.

Geldard, K. dan Geldard, D. (2012). Konseling Anak: Sebuah Pengantar Praktis. Edisi ketiga. Jakarta: PT Indeks.


(3)

Gribble, J. dan Graham O. (1973). “Empathy and Education”. Studies In Philosophy and Education. 8,(1). 3-29.

Hall, L. J. dan McGregor, J. A. (2000). “A Follow-Up Study of the Peer Relationships of Children with Disabilities in an Inclusive School”. Journal Special Education. 34, (3), 114-126.

Harrower, J. K. dan Glen D. (2001). “Including Children With Autism in General Education Classrooms”. Behavior Modification. 25, (5), 762-784.

Hart, J. E. dan Kelly J. W. (2011). Creating Social Opportunities for Students With Autism Spectrum Disorder in Inclusive Settings. Phoenix: University Phoenix. Hinnant, J. B. dan O’Brien, M. (2007). “Cognitive and Emotional Control and

Perspective Taking and Their Relations to Empathy in 5-Year-Old Children”. The Journal of Genetic Psychology. 168, (3), 301-22.

Hurlock, Elizabeth. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Jacobs, E. et al. (2012). Group Counselling, Strategies and Skills. (Seventh edition). Belmont: Brooks Cole.

Kamps, D. Et al. (2002). “Peer Training to Facilitate Social Interaction for Elementary Students With Autism and Their Peers”. Council for Exceptional Children. 68, (2), 173-187.

Kartadinata, S., Ahman dan Sugandi, N. (2002). Bimbingan di Sekolah Dasar. Bandung: CV Maulana.

Kartadinata, S. (2011 ). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis, Kiat Mendidik Sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung: UPI Press.

Kerem, E., Fishman, N. dan Ruthellen J. (2001). “The Experience of Empathy in Everyday Relationships : Cognitive and Affective Elements”. Journal of Social and Personal Relationships. 18, (5), 709-729.


(4)

McInerney, D.M. (2006). Developmental Psychology for Teachers. Boston: Allen & Uwin Pub.

Mendelsohn, M. dan Gill, S. (1999). “Social Perspective Taking and Use of Discounting in Children's Perceptions of Others' Helping Behavior”. The Journal of Genetic Psychology. 160, (1), 69 – 83.

Mickel, J. dan Griffin, J. (2007). “Inclusion and Disability Awareness Training for Educators, in the Kids Like You, Kids Like Me Program”. Beyond the Journal - Young Children on the Web. Tersedia:   www.journal.naeyc.org

Nasatir, D. dan Horn, E. (2003). “Addressing Disability as a Part of Diversity : Through Classroom Children's Literature”. Young Exceptional Children. 6, (2), 3-10.

O’Neil, J. (1994). Can Inclusion work? A Conversation With James Kauffman and Mara Sapon-Shevin. Educational Leadership. 52, (4),7-11.

Peter, K. S. dan Craig, H. H. (2002). Blackwell Handbook of Childhood Social Development. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Reichl, K. (2011). “Promoting Empathy in School-Aged Children : Current State of the Field and Implications for Research and Practice”. Early Preventive Interventions. New York: Routledge.

Riduwan. (2004). Belajar Mudah Penelitian, untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.

Rusmana, N. (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah (Metode, Tekhnik dan Aplikasi). Bandung: Rizqi Press.

Santrock, J. (2010). Child Development. (Thirtenth edition), New York: McGraw Hill.

Shih, M. et al. (2009). “Perspective Taking : Reducing Prejudice Towards General Outgroups and Specific Individuals”. Group Processes Intergroup Relations.


(5)

Staub, D. (2005). Inclusion and the Other Kids: Here’s What Research Shows so Far About Inclusion’s Effect on Nondisabled Students. Arizona: National Institute for Urban School Improvement

Sudjana. (1996). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R dan D. Bandung :Alfabeta.

Supriatna, M. (2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Keckapan Pribadi Mahasiwa. Disertasi Doktor pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Surya, M .(1975). Bimbingan dan Penyuluhan . Bandung: C.V. Ilmu.

Taylor, A. et al. (2002). “Social Skills Interventions : Not Just for Children With Special Need”. Young Exceptional Children. 5, (4), 19-26.

Timmons, V. dan Marlene, B. dan Melissa M. (2005). Educating Children about Autism in an Inclusive Classroom. dalam UPEI Research Coordinator. (902). 894-2820.

UNESCO. (2005). Guidelines for Inclusion : Ensuring access to Education for All. Walter, H. (2012). “Social Cognitive Neuroscience of Empathy : Concepts, Circuit,

and Gene”. Emotion Review. 4, (1), 9-17.

Wertheimer, A. (1997). Inclusive Education a Framework for Change National and International Perspectives. Bristol: CSIE (Centre for Studies on Inclusive Education).

Wurst, S. A. dan Karen, W. (1994). “Integrating Disability Awareness into Psychology Courses: Applications in Abnormal Psychology and Perception. Teaching of Psychology”. Department of Psychology. 21, (4), 233-235.

www.dlf.org.uk. Disabled Living Foundation(2006), Disability Awareness, Howard-London


(6)

www. akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/06/13/standar-kompetensi-b ...

www. purwanto, hery. (2008). Silabi dan Handout .Universitas Negeri Yogyakarta : Pengantar ABK. // staff. uny. ac.id.

www.dikdas.kemdiknas.go.id/pages/history.html

www.puslitjaknov.depdiknas.go.id, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. www.unesco.org/delors/

www.unesco.org/education/pdf/SALAMA_E.PDF . The Salamanca Statement And Framework For Action On Special Needs Education. Adopted By The World Conference On Special Needs Education: Access And Quality Salamanca, Spain, 7-10 June 1994.

www.unesco.org/education/pdf/SALAMA_E.PDF . The Salamanca Statement And Framework For Action On Special Needs Education. Adopted By The World Conference On Special Needs Education: Access And Quality Salamanca, Spain, 7-10 June 1994.

Yusuf, S. dan Nurihsan, J. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda