Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB IV

Bab IV
Aplikabilitas Teori Internasionalisme

Bab ini akan membahas secara umum mengenai
dasar

keberlakuan

pengadilan

hukum internasional di depan

domestik

atau

nasional

berdasarkan

otorisasi implisit dari konstitusi Indonesia dan secara

khusus

mengargumentasi

aplikabilitas

teori

internasionalisme sebagai dasar normativitas untuk
keberlakuan tersebut. Dengan demikian kesimpulan
yang

hendak

dijustifikasi

di

sini


adalah

konsep

konstitusi Indonesia jauh lebih besar atau lebih luas
daripada sekadar teksnya, konstitusi formal, yaitu UUD
NRI 1945. Di dalam konsepsi yang lebih luas tersebut
dapat dikonstruksikan pengertian bahwa semangat
internasionalisme inheren dalam konstitusi Indonesia,
meskipun sangat implisit. Inilah dasar argumen dari
penelitian ini dalam mengargumentasi bahwa teori
internasionalisme

aplikabel

di

dalam

konstitusi


Indonesia untuk selanjutnya mengotorisasi penggunaan
hukum internasional di depan pengadilan domestik
atau

nasional Indonesia. Lebih jauh lagi, hal ini

menjustifikasi

tindakan

hakim-hakim

pengadilan

Indonesia, khususnya MK RI, untuk menggunakan
hukum

internasional,


terutama

supaya

hukum

nasional Indonesia, undang-undang, harmonis dengan
tuntutan kewajiban internasionalnya.
Pendekatan

yang

digunakan

dalam

Bab

ini


adalah pendekatan historis dengan menilik sejarah
64

pembentukan konstitusi di Indonesia. Analisis yang
dilakukan bersifat kontekstual untuk menghasilkan
kesimpulan
digunakan

bahwa
di

teori

negara

internasionalisme

Indonesia.

Dalam


dapat
konteks

demikian maka pembahasan Bab ini diarahkan pada
tiga hal. Pertama, pemahaman tekstual dari konstitusi
Indonesia

mengenai

isu

ini

(kedudukan

hukum

internasional di depan pengadilan nasional). Kedua,
pemikiran


yang

melatarbelakangi

pembentukan

konstitusi Indonesia dengan melihat kemungkinan daya
dukung pemikiran yang ada untuk aplikabilitas teori
internasionalisme.

Ketiga,

menjelaskan

implikasi

temuan ini dalam praktik pengujian konstitusionalitas
undang-undang oleh MKRI.


A.Konstitusi Indonesia
Konstitusi

Republik

Indonesia

(RI)

telah

mengalami 3 fase rezim hukum yang berbeda yakni
rezim UUD 1945, UUD NRI Tahun 1945S 1949, dan
UUD

1950.

1

Pada


tahun

1959,

UUD

1945

diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden dengan
empat kali perubahan yang terjadi di tahun 19992002. Dalam beberapa fase yang dialami UUD NRI
Tahun

1945,

menyebutkan

nampak
secara


satu-satunya

eksplisit

pasal

mengenai

yang

hukum

internasional dalam arti sempit, yaitu perjanjian
internasional, adalah Pasal 11.

1 Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian
Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 U UD
1945” Opinio Juris Vol. 4, 2012, hlm. 1.

65


Hukum internasional dalam UUDS RI 1950
dinyatakan dalam Bagian 5 perihal Hubungan Luar
Negeri yang terdiri dari 4 Pasal sebagai berikut:

∑ Pasal 120
(1) “Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian
(traktat) dan persetudjuan lain dengan Negara-negara lain.
Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang,
perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan,
melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.”
(2) “Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan
persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan
kuasa undang-undang.”

∑ Pasal 121
“Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut
dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia
kedalam organisasi-organisasi antar-negara.”

∑ Pasal 122
“Pemerintah berusaha memetjahkan perselisihan-perselisihan
dengan negara-negara lain dengan djalan damai dan dalam
hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang
menerima pengadilan atau pewasitan antar-negara.”

∑ Pasal 123
“Presiden mengangkat wakil- wakil Republik Indonesia pada
Negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain
pada Republik Indonesia.”

Sedangkan

Undang-Undang

Dasar

Republik

Indonesia Tahun 1945 pada Pasalnya yang ke-11
mengalami perubahan setelah amandemen ke-3 di
Sidang Tahunan MPR pada tanggal 10 November
2001 dengan penambahan ayat (2) dan (3) seperti
berikut:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.”
(2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara,
dan/ atau
mengharuskan
perubahan
atau
(1)

66

pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
(3) “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan Undang-Undang.”

Apabila dicermati, bunyi kedua Pasal 11 di atas
hanya

mengatur

hubungannya
terkait

kewenangan

dengan

perjanjian

dewan

presiden

perwakilan

internasional

yang

dan
rakyat

dibuatnya,

namun Pasal a quo tidak menjelaskan isu yang lebih
luas dan fundamental yakni mengenai posisi hukum
internasional di ruang lingkup hukum nasional. Isu
tersebut juga tidak terjawab melalui teori Stufenbau
dari Hans Kelsen yang dianut Indonesia dalam
membangun secara bertingkat sumber hukum dan
tata urutan perundang-undangan. 2 Berbeda halnya
dengan Konstitusi Afrika Selatan yang telah dianggap
sebagai salah satu konstitusi negara paling progresif
karena telah menentukan secara tegas posisi hukum
internasional di pengadilan nasional.3
Ketiadaan norma eksplisit dalam UUD NRI
Tahun 1945 ini menciptakan inkonsistensi Indonesia
yang ditunjukkan dengan beragam pendapat para
ahli

hukum

dan

praktik

kedudukan

hukum

pengadilan

nasional.

pengadilan

internasional
Wisnu

Aryo

di

terkait
depan
Dewanto

merupakan salah satu yang menganggap Indonesia
adalah negara dualis karena perjanjian internasional

2

Damos
Dumoli Agusman,
“Indonesia
dan
Hukum
International: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum
Internasional” Jurnal Opinio Juris Vol. 15, 2014, hlm. 35.
3 Edwin Cameron, “Constitutionalism, Rights, and International
Law: The Glenister Decision” Duke Journal of Comparative &
International Law Vol. 23, 2013, hlm. 389.
67

bukanlah salah satu sumber hukum yang diakui
dalam

hierarki

peraturan

perundang-undangan

sehingga perlu berintegrasi dengan sistem hukum
nasional melalui proses transformasi. 4 Wisnu Aryo
Dewanto mendasarkan argumennya pada ketiadaan
norma eksplisit dalam Konstitusi, dan eksistensi UU
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
yang tidak terlepas dari Surat Presiden Republik
Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tentang Pembuatan
Perjanjian-Perjanjian

dengan

Presiden

merupakan

tersebut

Negara

Lain.

adopsi

Surat
model

Konstitusi Belanda yang dinyatakan sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat reformasi oleh karena
munculnya

praktik

penyimpangan

dalam

melaksanakan Surat Presiden tersebut. 5 UU No. 24
Tahun 2000 muncul menggantikan Surat Presiden

4 Wisnu Aryo Dewanto, “Perjanjian Internasional Tidak Dapat
Diterapkan Secara Langsung Di Pengadilan Nasional: Sebuah
Kritik Terhadap Laporan DELRI Kepada Komite ICCPR PBB
Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia” Jurnal Hukum
StaatRechts Vol. 1, 2014, hlm. 20. Hal sama juga dikemukakan
oleh Pan Mohammad Faiz Kusuma Wijaya, “Pengujian UndangUndang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di
Hadapan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1,
2006, hlm. 181-198.
5 Pada awalnya, UUD 1945 merujuk pada Konstitusi Meiji yang
tidak mengenal pembedaan jenis perjanjian. DPR menjadi
kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat
kemudian melirik Konstitusi Belanda yang membuat kriteria
tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan
parlemen, ini transplantasi hukum dan praktik Indonesia yang
menggunakan
dasar
konstitusional
Jepang
namun
mengembangkan model Konstitusi Belanda. Damos Dumoli
Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais
Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945”, Op.Cit., hlm. 6.

68

tersebut,

6

namun Undang-Undang ini mendapat

kritik dari Dumoli Agusman terkait proses ratifikasi
yang

diatur

di

dalamnya.

7

Pandangan

lain

disampaikan oleh Simon Butt yang mengemukakan
bahwa Indonesia tidak hanya dualis tapi juga monis.8
Kesimpulan Butt tersebut ditarik dari praktik-praktik
hakim di pengadilan yang tidak seragam, sehingga
menciptakan realita

mixed theories dalam suatu

negara. Ini semakin menunjukkan bahwa sebenarnya
teori monisme-dualisme sudah tidak relevan lagi
untuk

menjustifikasi

praktik

negara

dalam

menggunakan hukum internasional di negaranya.
Keberagaman

cara

pandang

dan

praktik

pengadilan nasional memberi implikasi keraguan
dunia internasional terhadap seberapa besar tingkat
kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional.
Natalie Pierce, delegasi dari negara New Zealand
dalam

pertemuan

ke-27

International

Commission’s Annual Report, mengatakan

Law

bahwa

sebuah konstitusi suatu negara mengambil peran
penting untuk melegitimasi the provisional application
of

treaties

supaya

tidak

terjadi

inkonsistensi

6

Konsideran dan Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional.
7
Disebutkan Undang-Undang ini menyatukan prosedur
ratifikasi internal dengan ratifikasi eksternal padahal suatu
perjanjian internasional dalam prosedur eksternal ratifikasi, bukan
disahkan oleh undang-undang maupun keputusan presiden,
melainkan
melalui
pengiriman
instrument
of
ratification/ accesion/ acceptance/ approval yang dibuat oleh menteri
luar negeri. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian
Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2010, hlm. 76-78.
8 Simon Butt, Op.Cit., hlm. 5.
69

pelaksanaan kewajiban internasional dan hukum
domestik dalam praktiknya.9
UUD NRI Tahun 1945 memang tidak memuat
ketentuan eksplisit yang menjelaskan kedudukan
hukum internasional dalam pengadilan nasional,
namun sebenarnya ini tidak berarti bahwa tidak ada
dasar

normativitas

untuk

penerapan

hukum

internasional pada aras domestik. Kebutuhan akan
hukum internasional di depan pengadilan nasional
terus muncul sehingga dasar normativitas tersebut
perlu

ditemukan dalam UUD

meskipun

secara

implisit.

NRI Tahun 1945,

Dengan

kata

lain,

pemahaman terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak
lagi sebatas tekstual tapi beyond the text itself.

B.Dukungan

untuk

Keberlakuan

Teori

Internasionalisme dalam Konstitusi Indonesia
Sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945
menunjukkan keinginan Indonesia untuk berlaku
sesuai dengan hukum internasional sebagai bagian
dari komunitas internasional. Dengan penelusuran
sejarah,

teori

internasionalisme

memiliki

dasar

keberlakuan yang sah di Indonesia meski UUD NRI
Tahun 1945 tidak menyatakan secara eksplisit dalam
teksnya.
Keinginan negara

Indonesia

untuk berlaku

selaras dengan hukum internasional ditunjukkan

9
Diunduh
dari
http://www.un.org/press/en/2014/gal3492.doc.htm pada tanggal
28 Desember 2015 pukul 23.45 WIB.

70

dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
“[U]ntuk

Tahun 1945 yang berbunyi,

membentuk

Indonesia yang…

suatu

Pemerintah

ikut melaksanakan

Negara

ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”. Pembukaan UUD NRI

Tahun 1945 merupakan norma dasar bernegara
(staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan citacita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat
Pernyataan Kemerdekaan.10 A.S.S. Tambunan dalam
suatu

pengantar

diskusi

mengenai

UUD

1945

mengutarakan bahwa Pembukaan atau pembukaan
mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem
kenegaraan sehingga tingkatan Pembukaan UUD
1945 adalah di atas batang tubuh karena terdapat
rumusan pokok-pokok pikiran bangsa di dalamnya.11
Bung Hatta mengatakan bunyi Pembukaan
Konstitusi di atas merupakan pedoman politik luar
negeri

bebas

aktif

yang

dijalankan

negara

Indonesia. 12 Yang dimaksud dengan “bebas” adalah
Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan
yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa

sebagaimana

tercermin

dalam

Pancasila,

sedangkan “aktif” berarti di dalam menjalankan
10

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 3.
11 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Bung Karno dan
Pancasila: Menuju Revolusi Nasional, Yogyakarta: Galang Press
Yogyakarta, 2002, hlm. 462.
12 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011,
hlm. 91.
71

kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap
pasif-reaktif

atas

kejadian-kejadian

internasional

melainkan bersikap aktif.13 Politik luar negeri bebas
aktif tersebut termanisfestasi sejak pembentukan
gerakan

non-blok

yang

berkembang

atas

dasar

Konferensi Bogor dan Kolombo di tahun 1954 lalu
Konferensi

Asia

Afrika

dengan

hasil

Dasa

Sila

Bandung dimana Soekarno beserta tokoh lainnya
menyatakan

upayanya

untuk

mencegah

memuncaknya perang dingin antara dua blok negara
adidaya

dengan

mengajukan

alternatif-alternatif

terhadap penyelesaian berbagai masalah dunia.14
Juga melalui Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945,
Indonesia
dengan

menyadari
negara

bernegaranya.

lain

Hal

pentingnya
dalam

tersebut

berhubungan

penyelenggaraan

tidak

terlepas

dari

sejarah di era lahirnya kemerdekaan Indonesia ketika
pemerintah berusaha berinteraksi dengan bangsabangsa untuk mendapat pengakuan internasional.
Kementerian

Luar

Negeri,

sebagai

salah

satu

kementerian paling pertama yang didirikan, mengirim
diplomat Indonesia yakni Agus Salim dan Sutan
Sjahrir berulang kali menghadiri rapat Perserikatan
Bangsa-Bangsa

untuk

membahas

“Persoalan

Indonesia” (Indonesian Question) 15 untuk mendapat

Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek,
Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 60.
14 S. Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 92.
15 Chapter V. Subsidiary Organs of The Security Council, hlm.
183.
Diunduh
dari www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/4613

72

dukungan internasional. Proses interaksi tersebut
terus berlanjut sampai pada akhirnya Indonesia
menjadi negara anggota PBB. 16 Senada dengan hal
tersebu, Soekarno dalam Kursus tentang Pancasila di
Istana

Negara

menyebutkan

tanggal
Indonesia

22

Juli

sebagai

1958

aan

den

yang
lijve

ondervinden bahwa “.. tak dapat kita melepaskan diri
kita dari bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang
juga menentang imperialisme”.17

Kesadaran
kesatuan

Indonesia

besar

komunitas

sebagai

bagian

internasional

dari
juga

ditunjukkan melalui naskah-naskah persiapan UUD
NRI

Tahun

1945

18

yang

juga

memperlihatkan

Indonesia menerima manfaat hukum internasional
tidak hanya dalam Mukadimmah UUD NRI Tahun
1945 namun dalam pokok-pokok pikiran poin 3 dan
4 terkait hal pengakuan internasional dan HAM.19
51_05.pdf#page=5 pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 04.50
WIB.
16 Ditunjukkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 491 (V)
(1950) tentang Penerimaan Republik Indonesia untuk Keanggotaan
PBB pada tanggal 28 September 1950.
17 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Op.Cit., hlm. 171.
18 “Kekuatan kejakinan bangsa Indonesia dalam membentuk
dan memelihara bangunan unitaris dan gemanja dalam
pembentukan masjarakat bangsa-bangsa sedunia dan sepandjang
masa.” Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945, 1960, hlm. 70.
19 Ibid., hlm. 565. Pokok Pikiran poin 3, “Bahwa kekuasaan
Pemerintah Negara dipusatkan pada Presiden dan Wakil Presiden
jang bertanggungdjawab pada Madjelis Permusjawaratan Rakyat,
sesuai dengan permulaan revolusi dimana Soekarno-Hatta
dipertjaja oleh rakjat mengumumkan pernjataan kemerdekaan
Indonesia kepada dunia internasional”, Pokok Pikiran poin 4,
“Bahwa hak-hak asasi serta kebebasan-kebebasan manusia
berlaku bagi warga-negara atau dengan singkat Republik
Proklamasi adalah negara dari rakjat oleh rakjat untuk rakjat.”
73

Hukum
perluasan

internasional

masuknya

perwujudan
menjunjung

butir-butir

kehendak
tinggi

berperan

Negara

dalam

HAM

sebagai

Indonesia

nilai-nilai

HAM

dalam

sekaligus

menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa
yang lebih beradab dari pergaulan internasional. 20
Tidak dapat dipungkiri bahwa butir-butir HAM pada
Pasal UUD NRI Tahun 1945 merupakan jelmaan dari
Universal

Declaration

of

Human

Rights

21

yang

kemudian tertuang dalam Bab XA mengenai HAM
dari Pasal 28A-28J, sehingga jelas bahwa hukum
internasional memberikan sumbangsih besar dalam
konstruksi hukum HAM dalam UUD NRI Tahun
1945.
Pidato Pancasila yang disampaikan Soekarno
pada Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 sebelum
kemerdekan Indonesia turut menjadi bukti yang
menunjukkan

bahwa

kemerdekaan

Indonesia

sebenarnya juga tidak terlepas dari peran hukum
internasional yang memberikan kemudahan syarat
berdirinya suatu negara. Soekarno dalam pidatonya
menyatakan,
“… Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah
diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara,
bahwa sebenarnya international recht, hukum
internasional, menggampangkan pekerjaan kita?
Untuk menyusun, mengakui suatu negara yang
merdeka, tidak diadakan syarat-syarat yang
neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya

20 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 249.
21 Jelmaan dalam arti mengikuti model UDHR. Muhammad
Yamin, Op.Cit., hlm. 661.

74

sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini
sudah cukup untuk international recht.”22

Soekarno menggunakan prinsip dasar hukum
internasional supaya mendorong lahirnya gerakangerakan

nasionalisme

untuk

memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut sekaligus
menjadi

momentum

lahirnya

Pancasila

sebagai

falsafah bangsa yang sebenarnya tidak terlepas dari
sumbangan konstruksi pemikiran dari para Filsuf
Barat yang digunakan yaitu Friedrich Hegel, Karl
Marx, Darwin-Haeckel, dan Immanuel Kant. 23 Juga,
hukum

internasional

memberi

pengaruh

dalam

menciptakan ruh dalam sila-sila di Pancasila, seperti
sila peri-kerakyatan. Istilah internasional demokrasi
digunakan

sebagai

panutan

peri-kerakyatan

di

negara Indonesia, bahwa persamaan hak dalam
masyarakat dan lingkungan negara adalah intisari
dari kerakyatan atau demokrasi. 24 Selain itu juga,
sila

peri-kemanusiaan

yang

tidak

mengenal

perbatasan nasional karena sifatnya lebih tinggi.
Dari ulasan historis di atas, dapat disimpulkan
bahwa proses kemerdekaan Indonesia sampai proses
pembentukan Konstitusi melibatkan peran hukum
internasional. Hukum internasional memberi prinsip

22

Hal serupa diungkapkan oleh Soepomo dalam Sidang
BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Floriberta Aning, Lahirnya Pancasila:
Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm.
57.
23 Ajaran para filsuf barat telah memberi pengaruh bagi
Konstitusi RI dalam hal Pembukaan, Pembagian Kekuasaan, HAM,
dan Pancasila. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 75.
24 Ibid., hlm. 73.
75

dasar berdirinya negara yang digunakan Soekarno
untuk mendorong kemerdekaan Indonesia, hukum
internasional memberi pengaruh dalam menciptakan
ruh

Pancasila

sebagai

falsafah

negara,

hukum

internasional juga memberi tuntunan bagi Indonesia
untuk menjadi negara yang merdeka dalam satu
kesatuan masyarakat internasional yang termaktub
dalam preamble UUD NRI Tahun 1945.
Lebih lanjut Soekarno menerangkan dalam
Pidato Pancasila-nya,
“Kita cinta tanah air yang satu, merasa
berbangsa satu dan punya bahasa satu, tetapi
Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Kita
akan mendirikan Negara Indonesia merdeka
sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsabangsa,
internasionalisme
tidak
berarti
kosmopolitisme
yang
meniadakan
bangsa.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur bila
tidak berakar di bumi nasionalisme, sedangkan
nasionalisme tidak dapat hidup di taman sarinya
internasionalisme. Prinsip pertama dan kedua
saling bergandengan.”

Hal yang sama diuraikan Antonio Cassese,
“International law cannot stand on its own feet
without its “crutches”, that is … international law
cannot work without the constant help, cooperation, and support of national legal systems.
As the German jurist, H. Triepel, observed in
1923, international law is like a field marshal
who can only give orders to generals. It is solely
through the generals that his orders can reach the
troops. If the generals do not transmit them to the
soldiers in the field, he will lose the battle.”25

S tatement
menunjukkan

25

Soekarno

hukum

dan

Cassese

internasional

dan

di

atas

hukum

Simon Butt, Op.Cit., hlm. 3.
76

nasional merupakan dua variabel yang tidak bisa
berjalan

sendiri-sendiri

melainkan

saling

membutuhkan satu sama lain. Pernyataan bung
Karno di atas menegaskan bahwa hukum nasional
tetap memiliki kedaulatannya sendiri dengan ruang
lingkup berbeda dengan hukum internasional.
Internasionalisme

yang

sejati

adalah

pernyataan dari nasionalisme dimana setiap bangsa
menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa
dengan kedudukan yang sama derajatnya dalam
suatu

badan

internasional.

26

Sedangkan

nasionalisme bangsa Indonesia adalah nasionalisme
yang tidak bertentangan dengan internasionalisme,
yaitu internasionalisme yang anti-kolonial, dan ingin
hidup

berdampingan

demikian,
membentuk

negara
moral

secara

damai.

Indonesia
nasional

27

Dengan

dapat

sukses

sepanjang

tidak

melanggar norma-norma internasional yang baik.
Kesimpulan

dari

analisis

Sub-judul

ini

menyatakan bahwa terdapat keinginan implisit dari
UUD NRI Tahun 1945 yang juga dibuktikan dengan
pengalaman praktik negara Indonesia untuk comply
terhadap hukum internasional. Kepatuhan terhadap
hukum

internasional

tersebut

sekaligus

Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno: Masalah Pertahanan
dan Keamanan, Jakarta: PT. Grasindo, 2010, hlm. 447.
27 Sambutan Prijono pada Pembukaan Seminar Pancasila pada
16-20 Februari 1959. Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmlan, Op.Cit.,
hlm. 266-267. Hal serupa diutarakan oleh Bagir Manan bahwa
dalam pergaulan internasional, UUD suatu negara harus tidak
bleh bertentangan dengan hukum internasional. Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 315.
26

77

mencerminkan bahwa “international law is law” di
hadapan

pengadilan

landasan

teori

nasional

Indonesia

internasionalisme

dengan

yang

akan

dijelaskan pada Sub-judul di bawah ini.

C.Teori Internasionalisme dalam Praktik Pengujian
Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK RI
Pada
konstitusi

umumnya,
dibentuk

lembaga

sebagai

suatu

mahkamah
pengadilan

khusus 28 untuk menjaga dan melindungi hak-hak
asasi manusia warga negaranya

29

dari perbuatan

negara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan
hak asasi manusia tersebut 30 . Di berbagai negara,
mahkamah

konstitusi sering diposisikan

sebagai

pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan
sebagai penafsir tunggal konstitusi (sole interpreter)31
dalam

memberikan

memadai

terhadap

jaminan
hak

perlindungan

konstitusional

32

yang
warga

negaranya.
28 Terdapat 4 jenis bentuk pengadilan yang umum ada di suatu
negara sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya,
yakni pengadilan tata negara (Mahkamah Konstitusi), pengadilan
administrasi atau tata usaha negara, pengadilan biasa (regular
court), dan pengadilan HAM adhoc. I Dewa Gede Palguna,
Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum
terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara,
Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 152.
29 Ibid., hlm. 133.
30 Laurence H. Tribe, Constitutional Choice, London: Harvard
University Press, 1985, hlm. 246.
31 A. Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah
Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah
Konstitusi sebagai Kado untuk ‘Sang Penggembala’, Malang: InTRANS Publishing, 2010, hlm. 1.
32
Karakteristik hak konstitusional: 1) Memiliki sifat
fundamental. Diperoleh karena ia dijamin oleh dan menjadi bagian

78

Gagasan

mengenai

judicial

review

(yang

sekarang menjadi salah satu kewenangan MK RI) di
Indonesia sempat diutarakan oleh Muhammad Yamin
pada saat penyusunan UUD NRI Tahun 1945 namun
gagasan tersebut sempat ditolak Soepomo karena ia
berpendapat belum saatnya melembagakan fungsi
tersebut karena sumber daya manusia yang belum
memadai pada saat itu. 33 Di era amandemen UUD
NRI Tahun 1945, pembahasan mengenai kekuasaan
kehakiman dan judicial review muncul kembali pada
masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000 namun
belum

ada

usulan

pembentukan

Mahkamah

Konstitusi. 34 Usulan pembentukan lembaga tersebut
mulai

nampak

setelah

PAH

I

BP

MPR

2000

melakukan kunjungan, studi banding, dan dengar
pendapat dari berbagai pihak.
Terdapat 3 hal penting yang perlu diketahui
sebagai dasar

pembentukan

MK RI.

35

Pertama,

dari konstitusi tertulis yang merupakan hukum fundamental; 2)
Hak konstitusional adalah bagian dari dan dilindungi oleh
konstitusi tertulis, harus dihormati dan tidak satu organ negara
pun boleh bertindak bertentangan atau melanggar hak
konstitusional itu; 3) Setiap tindakan organ negara yang
bertentangan dengan hak itu harus dapat dinyatakan batal oleh
pengadilan. Hak konstitusional akan kehilangan maknanya
sebagai hak fundamental apabila tidak terdapat jaminan dalam
pemenuhannya; 4) Perlindungan yang diberikan konstitusi adalah
perlindungan terhadap perbuatan negara, bukan oleh individu
lain. 5) Hak konstitusional merupakan pembatasan terhadap
kekuasaan negara. I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 137.
33 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 445.
34 Ibid, hlm. 442.
35 Iriyanto
A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji
Konstitusionalitas
Mahkamah
Konstitusi:
Telaah
Terhadap
79

adanya lack of authority karena dalam sistem hukum
di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur
limitatif

soal

terhadap

hak

uji

konstitusi)

materiil

sehingga

(undang-undang

berbagai

undang-

undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak
pernah

bisa

Konstitusi

dipersoalkan.

diperlukan

sebagai

Peran

Mahkamah

titik

perubahan

paradigma struktur ketatanegaraan dengan prinsip
checks and balances di Indonesia 36 supaya terjadi

keseimbangan fungsi lembaga-lembaga negara dalam
mewujudkan kehidupan negara yang demokratis.
Kedua,

ada

fakta

politik

terjadinya

konflik

kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR
yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan
pengangkatan Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketiga,
adanya pandangan bahwa MA tidak sepenuhnya
mampu

menjalankan berbagai kewenangan yang

melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga
lain untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan
lainnya di luar MA.
Disahkannya
Tahun

1945

Perubahan

sekaligus

Ketiga

membuka

UUD

babak

NRI
baru

pembentukan MK RI. UUD NRI Tahun 1945 yang
kemudian diturunkan ke Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011
memberi wewenang kepada MK RI untuk, salah
satunya (sekaligus yang menjadi inti pembahasan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008, hlm.
113.
36 H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya
Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Kreasi Total
Media, 2007, hlm. 91.
80

dalam

sub-judul

terhadap

UUD

mekanisme
Konstitusi

ini),
NRI

menguji

atau

37

Awalnya,

undang-undang

terhadap

Tahun

pengujian

undang-undang

judicial

1945.

review

pertama

kali

dikembangkan oleh negara Amerika Serikat melalui
kasus Marbury v. Madison pada tahun 1803.38
Di MK RI berkembang praktik constitutional
review 39 yang menggunakan hukum internasional.

Diane Zhang menunjukkan bahwa selama tahun
2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian undangundang terhadap 56 jenis undang-undang dimana
86% atau berjumlah 62 putusan MK RI merujuk
pada 813 rujukan asing berupa putusan pengadilan,
hukum internasional dan domestik, praktik hukum,
tulisan
hukum

akademik,

dan

internasional

lain-lain.

40

Dominannya,

digunakan

untuk

menginterpretasi kaidah yang berhubungan dengan
hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, konteks
penggunaan hukum internasional dalam tulisan ini
dipersempit dalam area HAM. Hubungan antara UUD
NRI Tahun 1945 dengan hukum HAM internasional
yang

semakin

sulit

dipisahkan

sekaligus

menunjukkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dan
hukum internasional memiliki arah dan tujuan yang
37

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
38 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 19-25.
39 Constitutional review merupakan bentuk judicial review yang
lebih sempit. Martitah, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum
Nasional: Sebuah Perspektif Penegakan Konstitusi” Jurnal
Konstitusi Vol. I No. 1, 2009, hlm. 123.
40 Diane Zhang, Loc.Cit..
81

sama sehingga keduanya berada pada level yang
sejajar bagi pengadilan nasional untuk menerapkan
keduanya di wilayah yurisdiksinya.
Praktik

ini

konstitusional

berkembang

yang

konstitusionalitas

timbul

karena

dalam

isu

pengujian

undang-undang

memiliki

pararelitas dengan hukum internasional. Salah satu
isu tersebut adalah di bidang hak-hak asasi manusia
(HAM). Isu konstitusionalitas undang-undang dalam
kaitan

dengan

HAM

pararel

dengan

hukum

internasional karena internasionalisasi HAM. Tentang
fenomena tersebut Louis Henkin menyatakan: ”The
international law

of human rights

parallels

and

supplements national law, superseding and supplying
the deficiencies of national constitution and laws, but it
does not replace and indeed depends on national
institutions.”

maka

41

Dalam posisi pararelitas demikian

potensi

untuk

penggunaan

argumen

berdasarkan hukum internasional dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang menjadi terbuka.
Penggunaan
pengujian

hukum

konstitusionalitas

internasional

dalam

undang-undang

ini

tidak melanggar yurisdiksi material MK RI sesuai
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang
dasar. Dalam pengujian tersebut, hakim tetap terikat
oleh UUD

NRI Tahun 1945 dalam menentukan

konstitusionalitas
proses

undang-undang.

interpretasi

konstitusi

Hanya

saja

tersebut

juga

41 Louis Henkin, The Rights of Man Today , Center for the Study
of Human Rights-Columbia University, New York, 1988, hlm. 95.

82

mempertimbangkan

asas

atau

kaidah

hukum

internasional.
Mengambil contoh konkret yakni Putusan MK
RI

No.

065/PUU-II/2004

yang

mempersoalkan

konstitusionalitas Pasal 43 (1) Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal
tersebut berbicara mengenai asas retro aktif pada
pengadilan HAM ad hoc yang kemudian diterapkan
dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di
wilayah Timor Timur. Pasal a quo kemudian diujikan
dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni di
antaranya Pasal 1 (3) dan Pasal 28J (2). Isunya
adalah apakah asas retro aktif yang ada dalam
Undang-Undang

Pengadilan

dengan

negara

konsep

HAM

hukum

tidak

sesuai

Indonesia

dan

pembatasan terhadap HAM yang dilindungi oleh UUD
NRI Tahun 1945. Dalam hal menjawab isu tersebut,
hakim

MK

RI

telah

menggunakan

instrumen

internasional seperti Universal Declaration of Human
Rights (Pasal 29 (2), International Covenant on Civil
and Political Rights (Pasal 15 (1), dan European
Convention

on

Human

Rights

(Pasal

7)

yang

mengatakan bahwa pembatasan terhadap asas non
retro

aktif

restrictive,

dapat berlaku
artinya

dapat

secara

limitative

diberlakukan

and

secara

terbatas hanya terhadap kasus pelanggaran HAM
berat seperti genocide dan crimes against humanity
dalam kasus putusan tersebut, tidak untuk kasus
pada umumnya. Dalam kerangka interpretasi inilah,
maka hakim MK RI menilai bahwa asas retro aktif
dalam Undang-Undang Pengadilan HAM masih dalam
83

koridor pembatasan

terhadap

HAM

yang sesuai

dalam Pasal 28J (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sesuai
pula dengan konsep negara hukum Indonesia yang
menjunjung perlindungan hak asasi manusia (dalam
kasus tersebut adalah HAM para korban peristiwa
Timor-Timur yang belum mendapatkan perlindungan
oleh karena

Indonesia

saat itu

belum memiliki

regulasi nasional yang mengatur genocide dan crimes
against

humanity ).

Contoh

dari

putusan

ini

menunjukkan bahwa hakim MK RI memanfaatkan
hukum internasional sebagai dasar argumen untuk
menginterpretasi pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun
1945, sekaligus menegaskan bahwa hakim tetap
memutus perkara berdasarkan UUD

NRI Tahun

1945.
Dengan

demikian,

sekurang-kurangnya,

hukum internasional memiliki peran sebagai alat
bantu

(interpretive

konstitusi.

42

tool)

dalam

interpretasi

Seperti halnya ketika hukum HAM

internasional

dapat

memberi

kontribusi

dalam

memahami Konstitusi Australia, dimana pengadilan
menggunakan
menuntun

pertimbangan

hakim

tentang

kontekstual

untuk

bagaimana

hakim

menginterpretasi ketentuan konstitusional tertentu.43
Posisi hukum internasional yang demikian tidak

Titon Slamet Kurnia, “Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia
oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Melalui Pengujian
Undang-Undang” Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, 2014, hlm. 151.
43 Michael Kirby, “Domestic Courts and International Human
Rights Law: The Ongoing Judicial Conversation” Utrecht Law
Review Vol. 6 Issue I, 2010, hlm. 172.
42

84

berarti

bahwa

menentukan

hukum

putusan

undang-undang,

dan

internasional

atas
tidak

yang

konstitusionalitas

berarti

pula

bahwa

hukum internasional menggantikan Konstitusi dalam
pengujian

konstitusionalitas

undang-undang.

44

Hakim memutus konstitusionalitas undang-undang
tetap berdasarkan Konstitusi.
Interpretasi konstitusi terhadap

pasal-pasal

HAM dalam Bab XA UUD NRI 1945 tidak hanya
ditujukan secara eksklusif pada pasal-pasal tersebut,
tetapi juga interpretasi pasal-pasal tersebut secara
konstruktif
dilakukan

atau
pada

mencerahkan
padanannya

sebagaimana
dalam

hukum

internasional. Interpretasi demikian bertumpu pada
pemahaman

yang

menurut

the

Declaration

of

Independence Amerika Serikat untuk memberikan: "a
decent respect to the opinions of mankind." Dalam

kaitan itu, MK perlu mengakui lebih dahulu, seperti
the Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus the
Paquette Habana (1900): "International law is part of
our law, and must be ascertained and administered by
the courts of justice of appropriate jurisdiction, as often
as questions of right depending upon it are duly
presented for their determination?"

Dikaitkan dengan itu maka dalam perspektif
Indonesia perlu untuk ditegaskan kembali: Apakah
hukum internasional adalah hukum? Apakah sebagai
hukum, hukum internasional adalah bagian dari
44 Kristen Walker, “International Law as a Tool of Constitutional
Intepretation” Monash University Law Review Vol. 28 No. 1, hlm.
95.

85

hukum Indonesia? Pertanyaan di atas, sebagaimana
telah

diargumentasikan

sebelumnya,

dijawab

afirmatif oleh teori internasionalisme yang penulis
usulkan. Terkait dengan itu, argumen a fortiori yang
penulis

kemukakan

ialah,

konstitusi

Indonesia

adalah konstitusi internasional yang jauh lebih luas
daripada UUD NRI 1945 sendiri. Dikaitkan dengan
isu penggunaan hukum internasional oleh MK maka
seyogianya MK lebih dahulu meletakkan argumen di
atas sebagai prinsip justifikasinya untuk penggunaan
hukum

internasional

dalam

pengujian

konstitusionalitas undang-undang.
Hukum internasional memenuhi unsur-unsur
untuk dapat disebut sebagai hukum di antaranya ia
dihasilkan

oleh

otoritas

berwenang,

memuat

kewajiban moral rationality, dan memiliki sanksi. 45
Atau

sederhananya hukum internasional disebut

sebagai hukum karena ia menciptakan norma. Oleh
karena sifat tersebut, maka hukum internasional
memiliki

daya

normativitas

yang

sama

dengan

hukum nasional di depan pengadilan sepanjang
hakim

mampu

menemukan

sifat

normatif

dari

hukum internasional tersebut. Seyogianya, terkait
dengan itu, hakim MK dalam merujuk pada hukum
internasional

memprioritaskan

interpretative incorporation

techniques .46

penerapan
Asumsi yang

45

Joshua Kleinfeld, “Skeptical Internationalism: A Study of
Whether International Law Is Law” Fordham Law Review Vol. 78,
2010, hlm. 2451.
46 Farid Sufian Shuaib, “The Status of International Law in the
Malaysian Municipal Legal System: Creeping Monism in Legal
Discourse?” IIUM Law Journal Vol. 16 No. 2, 2008, hlm. 183.
86

mendasarinya

adalah

sepanjang

dalam

hukum

internasional ditemukan kaidah lebih baik (misalnya
memberikan efek perlindungan HAM lebih kuat)
maka hal itu dapat digunakan oleh MK sebagai gapfiller konstitusi Indonesia.47

Lebih jauh lagi, hal prinsip terkait dengan
interpretasi

konstitusi

dalam

pengujian

konstitusionalitas undang-undang adalah mendorong
supaya

terjadi

tersebut

harmonisasi

dengan

hukum

antara

interpretasi

internasional.

Argumen

tersebut didasarkan pada pandangan Harold Koh
yang menyatakan: “for any nation consciously to
ignore

global standards

not only

would

ensure

constant frictions with the rest of the world, but also
would diminish that nation's ability to invoke those
international rules
purposes .”

48

that served

Dalam

kalimat

demikian,

isunya

adalah

Indonesia,

melalui

MK

its

own national

lain,
tentang

RI,

pada

situasi

compliance

terhadap

hukum

internasional.
Keputusan suatu negara untuk patuh atau
tidak

patuh

terhadap

hukum

internasional

bergantung pada 3 faktor yang terangkum teori
Andrew Guzman yaitu “Three Rs of Compliance”. 49
Teori ini berangkat dari asumsi rasional bahwa
kepatuhan

terhadap

hukum

internasional

lebih

Bandingkan dengan: Dunia P. Zongwe, Op.Cit., hlm. 167;
Eyal Benvenisti, Loc.Cit., hlm. 3.
48
Harold Hongju Koh, Op.Cit., hlm. 44.
49 Andrew T. Guzman, How International Law Works: A Rational
Choice Theory , New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 3334.
47

87

menguntungkan
faktor

penentu

ketimbang

ketidakpatuhan.

keuntungan

tersebut

reputation, reciprocity, dan retaliation.

50

Tiga

adalah
Pertama,

reputasi (reputation). Guzman menjelaskan reputasi
sebagai “reputation for compliance with international
law”. Suatu negara memilih untuk comply terhadap

hukum

internasional

kredibilitas

karena
(the

negara

dapat menciptakan

good

states)

untuk

menciptakan peluang hubungan kerjasama dengan
negara lain yang lebih besar di masa depan. Kedua,
reciprocity yang berarti “actions that are taken without
the intent to sanction the violator”. Misalnya dalam

kasus the Boundary Waters Treaty antara US dan
Kanada, US mengambil tindakan treaty termination
atas pelanggaran yang dilakukan oleh Kanada karena
tindakan

tersebut

dinilai

lebih

menguntungkan

ketimbang tetap menjalankan kepatuhan terhadap
perjanjian tersebut. Ketiga, retaliation yang berarti
“actions that are costly to the retaliating state and [are]
intended to punish the violating party”. Suatu negara

dapat menghukum pihak pelanggar sebagai balasan
atas ketidakpatuhan yang dilakukan. Contoh sanksi
yang

bisa

diberikan

adalah

sanksi

ekonomi,

diplomatis, atau militer.
Sejalan dengan 3Rs di atas, Penulis ingin
mendorong MK RI untuk berlaku comply terhadap
hukum
didapat

internasional
negara

akan

karena
lebih

keuntungan
besar

yang

ketimbang

50 Katherine Tsai, “How To Create International Law: The Case
of Internet Freedom in China” Duke Journal of Comparative and
International Law Vol. 21, 2011, hlm. 410-411.

88

sebaliknya. Ketidakpatuhan negara terhadap hukum
HAM

internasional

langsung

akan

gagalnya

berakibat secara

negara

dalam

tidak

menjalankan

amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 untuk
mewujudkan ketertiban dunia dengan penegakan
HAM di wilayah nasional. Di sisi lain, keuntungan
yang dapat diperoleh MK RI justru akan lebih besar
dengan kepatuhan terhadap hukum internasional.
Penggunaan hukum internasional dalam putusan MK
RI akan membantu konstruksi jaminan HAM yang
lebih kuat dalam wilayah NKRI yang dicapai melalui
harmonisasi

hukum

nasional

dan

hukum

internasional di bidang HAM. Harmonisasi tersebut
dapat terwujud jika MK RI mampu menyelaraskan
nilai-nilai

Konstitusi

internasional

dalam

Indonesia

dengan

putusannya

dengan

hukum
proses

intepretif yang melibatkan hukum internasional.
Dalam
substantifnya

kasus
adalah

ini

yang

kebenaran

menjadi
hakiki

isu
atau

fundamental yang ingin dihasilkan dalam proses
interpretif tersebut. Upaya memberikan efek positif
compliance terhadap

hukum internasional dalam

rangka interpretasi konstitusi Indonesia tidak berarti
bahwa MK RI harus mengambil posisi defference
secara mutlak terhadap hukum internasional. Hal
sebaliknya,

sikap

kritis

terhadap

hukum

internasional, juga dapat dilakukan oleh MK RI.
Dalam posisi demikian penulis sependapat dengan
O’Connell yang mengatakan bahwa “… the judge must
take that course which his jurisdictional rule enjoins,
and hence he may be required to apply international
89

law to the exclusion of municipal law, or vice versa.”51

Peran aktif hakim diperlukan dalam kerangka theory
of friendliness to international law atau interpretation
in favour of international law , 52 tetapi hal itu tidak

bebas

nilai.

Pada

memutuskan,

dan

akhirnya,

MK

memberikan

RI

harus

interpretasi

konstitusi, yang terbaik bagi kepentingan paling
mendasar yang harus dilindunginya. Jika pararelitas
antara hukum internasional dengan hukum nasional
tersebut terjadi dalam isu perlindungan HAM maka
isu

substansial

yang

harus

dipecahkan

adalah

kepentingan siapakah, dalam rangka interpretasi
konstitusi, yang harus diperjuangkan oleh MK RI.
Terhada isu tersebut penulis sependapat dengan
pandangan Nihal Jayawickrama yang menyatakan:
“A broad, liberal, generous and benevolent construction
should be given, not a narrow, pedantic, literal or
technical interpretation. A Bill of Rights must be
broadly construed in favour of the individual rather
than in favour of the State.”53
51
Luzius Wildhaber dan Stephan Breitenmoser, “The
Relationship Between Customary International Law and Municipal
Law in Western European Countries” 48 Zeitschrift f ̈ur
Ausl ̈andisches ̈O ffentliches Recht und V ̈olkerrecht 163, 1988, hlm.
173.
Bandingkan
dengan
pendapat
berpengaruh
yang
dikemukakan Prof. Mochtar Kusumaatmadja “[p]ada prinsipnya
kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa
kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum
internasional”. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional: Buku I: Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1978,
hlm. 83.
52 Ibid.
53 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human
Rights Law , Cambridge University Press, Cambridge, 2002, hlm.
164.

90

Kesimpulan tersebut adalah hakikat utama
dari pembahasan penulis terkait dengan aplikabilitas
hukum

internasional

dalam

pengujian

konstitusionalitas undang-undang. Sesuai pendapat
Nihal Jayawickrama, hakikat dari aplikabilitas teori
internasionalisme

dalam,

rangka

interpretasi

konstitusi oleh MK RI adalah untuk memberikan
jaminan kepentingan terbaik bagi HAM dalam proses
pengujian

konstitusionalitas

undang-undang.

Dengan batasan demikian maka isu kedudukan
hukum internasional dalam pengadilan domestik,
pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK
RI, menjadi tidak terlalu kontroversial lagi. Artinya,
praktik tersebut rasional dan objektif. Tidak dalam
posisi

penghambaan

internasional,

tetapi

diri
dalam

terhadap
posisi

hukum

penggunaan

hukum internasional yang proporsional, yaitu sejalan
dengan a decent respect to the opinions of mankind.
Terkait dengan sumber hukum internasional
yang spesifik seperti perjanjian internasional, melalui
teori transnational legal process , maka seorang hakim
MK harus
perjanjian
hukum

jeli melihat karakter atau
internasional tersebut.

dalam

perjanjian

sifat dari

Apabila

internasional

norma
tersebut

merupakan self-executing treaty atau berupa normanorma

dasar/fundamental

universal,

maka

hakim

yang
MK

diterima
dapat

secara

langsung

menerapkannya (teori incorporation) dalam suatu
kasus
54

54

tanpa

mempermasalahkan

proses

Eyal Benvenisti, Op.Cit., hlm. 166.
91

transformation,

begitu

pula

terkait

international

customary law . Di sinilah peran aktif hakim MK

dibutuhkan dalam proses menginterpretasi karakter
dan keberlakuan suatu norma hukum internasional.
Maka pada akhirnya dapat dikatakan bahwa teori
transnational legal process memberi legitimasi bagi

seorang hakim MK untuk menggunakan hukum
internasional
keyakinan

dalam
hakim

konstitusional)

untuk

kerangka
(yang

membangun

notabene

menyelesaikan

adalah
masalah

nasional.
Di satu sisi lain, teori internasionalisme melalui
teori international constitution membantu hakim MK
untuk menunjukkan bahwa

penggunaan hukum

internasional dalam putusan tentang constitutional
review adalah sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun

1945. Perlu dipahami bahwa suatu konstitusi tidak
dapat dimaknai secara sempit55 yaitu terbatas pada
kata-kata

yang

eksplisit

dalam

batang

tubuh

konstitusi, melainkan masih ada konstitusi yang
tidak tertulis yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai
yang hidup dalam praktik-praktik ketatanegaraan.56
55

UUD sebagai konstitusi dalam arti sempit ini pada
hakikatnya merupakan “a politico-legal document” ( suatu dokumen
hukum politik). A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., hlm. 15.
56 Beberapa
hal yang dapat digunakan untuk menguji
konstitusionalitas sebuah undang-undang yaitu:
Naskah UU D yang resmi tertulis;
Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah
uud seperti risalah, dll;
Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan
yang telah dianggap sebagai bagian dari yang tidak terpisahkan
dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan
kegiatan bernegara;
92

Seperti contoh, Inggris sebagai suatu negara yang
tidak

memiliki

constitution,

konstitusi

tidak

berarti

formal
ia

atau

tidak

written

memiliki

konstitusi.57 Ini menunjukkan bahwa terdapat norma
konstitusi lain di luar konstitusi formal seperti
contoh the unenumerated rights dalam the Ninth
Amandment Konstitusi Amerika Serikat yang diakui

keberadaannya di tengah gap dalam sistem jaminan
perlindungan

terhadap

hak-hak

konstitusional

melalui the Bill of Rights of the Constitution of United
States.58

Teori international constitution dapat membantu
hakim MK untuk menemukan makna implisit dalam
UUD NRI Tahun 1945 yang memberi legitimasi hakim

Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta
kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara negara
yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan
ideal dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang
Cetakan II, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 6. Lihat juga
Penelitian Pusako FH Andalas dan MK RI, “Perkembangan
Pengujian Perundang-U ndangan di Mahkamah Konstitusi (Dari
Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif), 2010, hlm. 56.
Diunduh
dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum
/penelitian/pdf/PENELITIAN%20ANDALAS.pdf pada tanggal 8
Januari 2016 pukul 01.30 WIB.
57 Konstitusi Inggris tersebar di The Magna Carta, the Bill of
Rights of 1689, the Parliament Acts of 1911 and 1949, the
European Communities Act of 1972, the Human Rights Act of
1998. Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Salatiga: Fakultas Hukum UKSW, 2013, hlm.
10-11. Lihat juga pada pendapat Jon Elster yang mengatakan,
“Constitution can be written and unwritten” Jon Elster, “Forces And
Mechanisms In The Constitution-Making Process” Duke Law
Journal Vol. 45, 1995, hlm. 365.
58 Ibid., hlm. 45-46.
-

93

MK untuk melakukan interpretasi konstitusi yang
kompatibel

dengan

hukum

internasional.

Telah

dijabarkan sebelumnya bahwa secara konseptual,
terdapat

dukungan

sejarah

yang

menunjukkan

keinginan konstitusional negara Indonesia untuk
berlaku sesuai dengan hukum internasional meski
keinginan tersebut tidak tertuang secara eksplisit di
batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana
diulas

sebelumnya, keinginan tersebut tercermin

dalam bagian Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan
sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945. Pada
Pidato Pancasila yang disampaikan the founding
father, Soekarno secara tegas merujuk pada norma

hukum

internasional

untuk

mendorong

gerakan

kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 juga menghendaki keterlibatan
negara Indonesia dalam komunitas internasional.
Tidak hanya itu, penelusuran sejarah pembentukan
Konstitusi

juga

menunjukkan

peran

hukum

internasional dalam pembentukan Pasal-Pasal dalam
UUD NRI Tahun 1945, khususnya pada bagian HAM.
Adanya bukti sejarah di atas menunjukkan
UUD NRI Tahun 1945 tidak menutup dirinya dari
dunia internasional dan secara implisit menghendaki
negara

Indonesia

berlaku

sesuai dengan

norma

hukum internasional. Teori international constitution
menjustifikasi keinginan implisit tersebut sebagai
otorisasi dari UUD NRI Tahun 1945 bagi hakim MK
untuk menggunakan hukum internasional dalam
pengujian undang-undang, sesuai dengan yurisdiksi
MK RI. Dengan kata lain, teori ini menyimpulkan
94

bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah international
constitution.

95

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB I

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB V

0 1 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 2013014 BAB III

0 1 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB I

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB II

22 114 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB IV

0 1 15

BAB II JENIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 2.1. Konsep Pengujian Undang-Undang - PERUMUSAN NORMA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 33

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSIONALISME DAN DEMOKRASI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 140