Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB I
Bab I
Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah
Secara umum isu hukum yang ingin dikaji oleh
penelitian
ini
adalah
normativitas
keberlakuan
hukum internasional dalam sistem hukum nasional
melalui pengadilan domestik di mana konstitusinya
tidak memiliki ketentuan eksplisit mengenai isu
tersebut. Secara khusus isu
hukum ini adalah
tentang praktik penggunaan hukum internasional
oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK
RI) dalam melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang.
karena
Hal
ketiadaan
ini
menarik
untuk
diteliti
otorisasi konstitusional
secara
eksplisit telah menyebabkan keberagaman praktik di
Indonesia sehingga menimbulkan satu pertanyaan
mendasar: “Is international law legal or abusive to
national law?” Penelitian ini ingin menjawab bahwa
hukum internasional dapat diberlakukan secara sah
oleh pengadilan nasional Indonesia (dalam hal ini MK
RI)
meskipun
tidak
didasari
adanya
ketentuan
konstitusional secara eksplisit.
Lazimnya,
kedudukan
hukum internasional
dalam sistem hukum nasional dapat dilihat pada
konstitusi suatu negara. Sebagai contoh ideal adalah
Article
39
(1)
South
Africa
Constitution
yang
mengatur tentang Interpretation of Bill of Rights yang
menentukan:
1
“When interpreting the Bill of Rights, a court,
tribunal or forum: (a) mustpromote the values that
underlie an open and democratic society based on
human dignity, equality and freedom; (b) must
consider international law; and (c) may consider
foreign law.”
Konstitusi
lembaga
Afrika
Selatan
peradilan
mempreskripsi
menggunakan
supaya
pertimbangan
hukum internasional dan hukum negara asing untuk
menginterpretasi the Bill of Rights dalam putusannya.
Contoh
lain
dapat
ditemukan
dalam
konstitusi
negara Amerika Serikat, Timor Leste, Rusia, Belanda,
Perancis, Jepang dan Jerman. 1 Konstitusi negaranegara
tersebut memberi ruang kepada
hukum
internasional untuk dapat digunakan dalam forum
domestiknya.
Tidak seperti negara-negara di atas, Konstitusi
Indonesia tidak mengatur posisi hukum internasional
dalam sistem hukum nasional. Konstitusi Indonesia
hanya
mengatur
persetujuan
mengadakan
kewenangan
Dewan
Perwakilan
perjanjian
Presiden
dengan
Rakyat
internasional
untuk
2
yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 tentang Perjanjian Internasioal tanpa
1
Article 6 The Constitution of the United States of America,
Section 9 Constitution of the Democratic Republic of TimorLeste,Article 15 (4) The Constitution of the Russian Federation,
Article 94 The Constitution of the Kingdom of the Netherlands,
Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France), Article 98
(2) The Constitution of Japan, Article 25 Constitution of German
Democratic Republic.
2 Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2
menjelaskan
posisi
hukum
internasional
dalam
sistem hukum nasional. Meski demikian, praktik
para
hakim
Indonesia
Mahkamah
(MK
RI)
dalam
Konstitusi
Republik
menerapkan
hukum
internasional kerap kali muncul, tercermin dalam
putusan-putusannya dalam menjalankan fungsinya
sebagai the interpreter of Constitution di bidang
pengujian
undang-undang.
3
Penelitian
yang
dilakukan Diane Zhang menunjukkan bahwa selama
tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus
pengujian
undang-undang terhadap 56 jenis undang-undang
dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI
merujuk pada 813 rujukan asing berupa kasus
hukum, hukum internasional dan domestik, praktik
hukum, tulisan akademik, dan lain-lain.4
Sebagai contoh, Putusan MK RI No. 2-3/PUUV/2007 mengenai konstitusionalitas hukuman mati
yang menunjukkan
bahwa
hakim MK RI telah
menginterpretasi hak untuk hidup (the right to life)
yang
secara
Konstitusi
eksplisit
dengan
tertulis
pada
Pasal
pertimbangan
28A
hukum
internasional. Terlepas dari kontroversi hukuman
mati,
nyatanya
para
hakim
MK
RI
telah
menginterpretasi the right to life tersebut dengan
3
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia Tahun
1945 memberikan kewenangan terhadap MKRIuntuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk (salah satunya) menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar.
4 Diane Zhang, “The Use and Misuse of Foreign Materials by the
Indonesian Constitutional Court: A Study of Constitutional Court
Decision 2003-2008” Thesis, Melbourne: Melbourne Law School,
2010.
3
pertimbangan
hukum
internasional
perjanjian
internasional seperti Universal Declaration of Human
Rights, International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949
Conventions and Relating to the Protection ofVictims of
International Armed Conflict, Protocol Additional II to
the 1949 Conventions and Relating to the Protection of
Victims of Non-International Armed Conflict, Rome
Statute of International Criminal Court, Convention for
the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (European Convention on Human Rights),
American Convention on Human Rights, Protocol No. 6
to the Convention for the Protection of Human Rights
and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition
of the Death Penalty, Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969, Statute of International Court of Justice
serta melakukan perbandingan praktik negara di
Singapura dan Malaysia.
Praktik hakim MK RI dalam menggunakan
hukum
internasional
untuk
menginterpretasi
Konstitusi seperti pada contoh di atas melahirkan
satu pertanyaan besar mengenai dasar keterikatan
negara Indonesia (dalam hal ini diwakili oleh MK RI)
terhadap hukum internasional mengingat ketiadaan
otorisasi eksplisit oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945). Kondisi demikian secara teoretis sebenarnya
dapat dijustifikasi melalui teori tradisional tentang
hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional yaitu teori monisme dan dualisme. Namun
sayangnya ketika ditelaah lebih jauh, eksistensi teori
4
tersebut ternyata belum mampu memberi jawaban
atas dasar normativitas hukum internasional yang
berlaku di Indonesia.
adanya
5
inkonsistensi
normativitas
praktik
hukum
yang
doktrinal
Hal tersebut dikarenakan
cara
internasional
kemudian
dan
terhadap
pada
menghasilkan
monist
antara
pandang
dualist
tataran
sengketa
6
untuk
menjustifikasi keterikatan negara Indonesia dengan
hukum
internasional.
Ini
menjadi
tahapan
keberlanjutan dari kebimbangan dalam menentukan
dasar
normativitas
hukum
internasional
dalam
sistem hukum nasional.
Selain menjawab isu hukum di atas, penelitian
ini
juga
ingin
memberikan
kontribusi
pada
perkembangan sistem hukum di Indonesia dalam
kaitan dengan keberlakuan hukum internasional.
Penulis memahami bahwa hakim MK RI dalam
menjalankan fungsinya sebagai the Interpreter of
Constitution,
hukum
kerap
menggunakan
internasional
Konstitusi
dalam
untuk
pengujian
pertimbangan
menginterpretasi
undang-undang
di
Indonesia terutama dalam kasus mengenai hak asasi
manusia. Tindakan MK RI tersebut memerlukan
justifikasi terutama pada aspek normativitas dari
hukum internasional itu sendiri.
Kata “normativitas” yang dimaksud di sini
adalah
daya
normatif
atau
mengharuskan
dari
hukum internasional dalam konteks penerapan atau
Ibid, hlm. 7-9.
Tim Hillier, Sourcebook On Public International Law , London:
Cavendish Publishing Limited, 1998, hlm. 33.
5
6
5
keberlakuan pada ranah atau forum domestik. Dalam
konteks demikian maka tesis atau argumen yang
hendak dipertahankan penelitian ini adalah dasar
keharusan (normativitas) dari keterikatan Indonesia
terhadap hukum internasional, termasuk dalam hal
ini MKRI, memiliki kausa halal yaitu internalisasi
hukum internasional sebagai dikte hukum (bukan
sekadar
preferensi
politik).
Internalisasi
hukum
internasional di sini mengandung tuntutan perlunya
konstitusi
dipahami
internasional
dalam
meskipun
perspektif
tidak
hukum
didukung
oleh
ketentuan konstitusional yang ekplisit dalam UUD
NRI 1945 sendiri. Kata “normativitas” ini dibedakan
dengan kata “aplikabilitas” yang digunakan dalam
Bab IV dimana kata “aplikabilitas” dimaksudkan
untuk
hukum
menjelaskan
internasional
domestik,
pengadilan
yakni
penerapan
secara
dalam
nasional
MK
dari
normativitas
konkret pada
penelitian
RI.
ini
Dengan
aras
adalah
demikian,
orientasi dari penelitian ini adalah menjabarkan
(breakdown) tesis atau argumen penelitian tersebut.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka isu
sentral penelitian
ini adalah
dasar
normativitas
keterikatan Indonesia terhadap hukum internasional,
khususnya dalam pengujian undang-undang oleh
MKRI, untuk menginterpretasi Konstitusi dengan
menggunakan
hukum
internasional.
Untuk
menjawab isu sentral tersebut maka selanjutnya
dijabarkan isu-isu hukum lebih spesifik yang akan
6
penulis kaji dalam penelitian ini yang dirumuskan
sebagai berikut:
1. Teori
monisme-dualisme
dan
teori
internasionalisme sebagai penjelasan
kedudukan
hukum
internasional
atas
di
isu
depan
pengadilan domestik.
2. Perbandingan antara teori monisme-dualisme dan
teori
internasionalisme
kedudukan
hukum
dalam
menjawab
internasional
di
isu
depan
pengadilan domestik.
3. Aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar
normativitas
hukum
internasional
untuk
menjawab isu kedudukan hukum internasional di
depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam
hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK
RI dalam rangka interpretasi konstitusi.
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan teori monisme-dualisme dan teori
internasionalisme dalam memandang hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
secara
umum
internasional
di
dan
kedudukan
hukum
depan
pengadilan
domestik
secara khusus;
2. Menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis
komparatif, teori internasionalisme memberikan
dasar normativitas lebih kuat untuk hukum
internasional
dibandingkan
dengan
monisme-dualisme,
terutama
kedudukan
internasional
hukum
terkait
di
teori
isu
depan
pengadilan domestik;
7
3. Menjelaskan bahwa teori internasionalisme dapat
diberlakukan
di
Indonesia
normativitas
hukum
sebagai
dasar
internasional
untuk
menjawab isu kedudukan hukum internasional di
depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam
hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK
RI dalam rangka interpretasi konstitusi di mana
berdasarkan kajian terhadap konstitusi Indonesia
dapat ditemukan pemikiran yang mendukung
posisi teori tersebut.
D. Orisinalitas Penelitian
Tinjauan
pustaka
terhadap
studi
yang
menganalisis obyek serupa dengan penelitian ini
dilakukan untuk menentukan orisinalitas penelitian
ini. Satu studi yang paling mendekati substansi
penelitian ini adalah disertasi Chumpicha Vivitasevi
yang
berjudul
International
“The
Human
Interpretative
Rights
Influence
Norms
on
of
Judicial
Reasoning in Thailand: Lessons from the United
Kingdom and the United States of America” (Durham
University,
disertasi
2012).
Sama
tersebut
juga
seperti
tesis
penulis,
menjelaskan
tentang
bagaimana hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional, namun studi tersebut berbeda
dengan penelitian ini karena disertasi Chumpicha
merupakan analisis deskriptif tentang perbandingan
hukum di negara Thailand, Inggris dan Amerika
Serikat
sedangkan
penelitian
ini
merupakan
argumen normatif untuk memberi posisi terhadap
8
teori internasionalisme sebagai dasar normativitas
hukum internasional dalam hukum nasional.
E. Landasan Teori : Teori Internasionalisme dan
Teori Monisme-Dualisme
Pada Sub-judul ini akan dijelaskan mengenai
teori
yang
menjadi
landasan
berpikir
dalam
memahami hubungan antara hukum internasional
dan
hukum
nasional,
terutama
untuk
isu
international law before municipal courts (kedudukan
hukum internasional di depan pengadilan nasional).
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan satu
varian teori yang disebut teori internasionalisme
sebagai alternatif untuk teori tradisional yaitu teori
monisme-dualisme dalam menjelaskan normativitas
hukum
internasional.
Isu
normativitas
hukum
internasional tersebut timbul berkenaan dengan
berbeda-bedanya
berkenaan
dengan
praktik
isu
hukum
nasional
kedudukan
hukum
internasional di depan pengadilan domestik, di mana
perbedaan tersebut biasa dijelaskan dengan apakah
negara
menganut
teori
monisme
atau
teori
dualisme.7
7
Pengadilan Inggris menggunakan hukum internasional
setelah hukum tersebut melalui proses ratifikasi, praktik ini
dijelaskan dengan teori dualisme. Malcolm N. Shaw, International
Law , New York: Cambridge University Press, 2008, hlm. 140.
Berbeda halnya di Amerika Serikat yang memposisikan hukum
internasional secara langsung menjadi bagian dari hukum
negaranya, praktik ini dijelaskan melalui teori monisme. Lori Fisler
Damrosch dkk., International Law Cases and Materials: Fifth
Edition, New York: West Group, 2001, hlm. 670.
9
Oleh karena itu, karena kelemahan dalam
penjelasan
teoretis
yang
diberikan
oleh
teori
monisme-dualisme tersebut maka penulis berusaha
mencari alternatif lain yang di sini disebut teori
internasionalisme.
Yang
dimaksud
dengan
teori
internasionalisme tersebut mencakup pandangan
dari perspektif hukum internasional 8 maupun dari
perspektif hukum nasional (hukum konstitusional)9
terkait dengan keterikatan suatu negara terhadap
hukum internasional sehingga sebagai implikasinya
pengadilan nasional didorong untuk memberikan
kontribusi positif terhadap hukum internasional
tersebut melalui penggunaan hukum internasional
oleh pengadilan domestik jika suatu kasus atau
perkara
mengandung
dimensi
hukum
internasional.10
Sementara itu, secara singkat, teori monisme
menitikberatkan
pada
pemikiran
bahwa
hukum
internasional dan hukum nasional merupakan satu
kesatuan dalam sistem hukum yang terintegrasi dan
seharusnya dianggap sebagai suatu manifestasi dari
Dalam hal ini teori transnational legal process yang
dikemukakan oleh Harold Hongju Koh.
9
Dalam hal ini teori international constitution yang
dikemukakan oleh Sarah Cleveland.
10
Transnational legal process dalam kasus demikian
berpendapat negara terikat hukum internasional melalui proses
interaksi sampai internalisasi norma yang kemudian menciptakan
kepatuhannya pada hukum internasional. Harold Hongju Koh,
Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Op.Cit.,
Nebraska Law Review Vol.75, 1996, hlm. 206. Sementara
international constitution berpendapat keterikatan negara terhadap
hukum internasional ditentukan oleh konstitusi negara. Sarah H.
Cleveland, “Our International Constitution” The Yale Journal of
International Law Vol. 31, 2006, hlm. 105.
8
10
kesatuan
konsep
hukum.
dualisme
menekankan
11
bahwa
Sedangkan
sistem
teori
hukum
internasional dan hukum nasional berada pada
tempat yang terpisah dan independen.12
Pada level praktik di pengadilan nasional yang
menghasilkan suatu putusan hakim, teori monismedualisme memiliki teknik aplikasi berbeda. Pertama,
teori monisme menggunakan teori incorporation yang
juga sering disebut sebagai teori adoption. Teori ini
menerangkan
bahwa
aturan
dalam
internasional
menjadi
hukum
nasional
kebutuhan
tersebut.
13
merupakan
untuk
teknik
Partsch
pengadopsian
menjelaskan
tindakan
hukum
negara
teori
untuk
tanpa
aturan
adopsi
membuat
hukum internasional dapat diterapkan di hukum
nasional
Teknik
tanpa
mengubah
inkorporasi
ini
dasar
hukumnya.
menghasilkan
14
suatu
klasifikasi jenis hukum yang bersifat self-executing,
atau dengan istilah lain direct effect atau direct
enforceable, dimana
self-executing treaty bersifat
dapat diterapkan secara langsung dalam sistem
Hersch Lauterpacht, International Law: Collected Papers ,
London: Cambridge University Press, 1970, hlm. 216. Inti
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, teori monoisme memiliki
karakter: 1) Ia menyangkal adanya dua hukum yang berbeda; 2)
Pada dasarnya, kedua hukum tersebut merupakan perintah yang
mengikat para subyek hukum yang secara independen atas
kehendak mereka; 3) Hukum internasional dan hukum nasional
jauh dari kata berbeda, bahwa ia harus dianggap sebagai
manifestas konsep tunggal hukum.
12 Malcolm N. Shaw, Op.Cit,. hlm. 131.
13 Martin Dixon, Textbook on International Law , London:
Blackstone Press Limited, 1993, hlm. 74.
14 Damos Dumoli Agusman, Treaties Under Indonesian Law: A
Comparative Study , Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 85.
11
11
hukum nasional.15 Contoh kasus Sei Fujii vs. State
dimana
putusannya
California
Alien
Land
mendiskriminasi
Jepang
dan
menganggap
Law
pemilik
dinyatakan
tidak
tanah
bahwa
the
berlaku
dan
berkebangsaan
bertentangan
dengan
ketentuan hak asasi manusia dalam United Nations
(UN) Charter. Kasus tersebut menyatakan bahwa
ketentuan UN Charter tersebut adalah self-executing.
Kedua, teori dualisme
transformation
dalam
hukum internasional.
menggunakan
memandang
teori
aplikabilitas
Teori transformation pada
dasarnya adalah salah satu bentuk dari positivistdualist16 yang memandang bahwa “International law
is not ipso facto part of municipal law”17. Case Regina
vs.
Keyn
(1876)
mendefinisikan
transformation
sebagai suatu proses legislasi yang dibutuhkan
untuk
mengubah
hukum
internasional
menjadi
bagian dari the law of the land.18 Dengan demikian,
transformation mengharuskan hukum internasional
diekspresikan
hukum
dan
nasional
ditransformasikan
ke
sesuai
instrumen
dengan
konstitutional
yang
benar.
menggunakan
teori
transformation
bersifat
non-self-executing.
Jenis
dalam
hukum
yang
adalah
yang
Non-self-executing
dimaknai sebagai ketiadaan daya eksekusi tanpa
alat
15
16
17
18
tambahan
yang
digunakan
untuk
Ibid, hlm. 101.
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 105.
Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.
Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 91.
12
19
menerapkannya.
Wright
mencoba
untuk
mengklasifikasi perjanjian non-self-executing sebagai
berikut:
1) Treaty provisions dealing with finances; 2) Treaty
provisions which require for their performance
detailed supplementary legislation or specific acts
which the Constitution provides shall be performed
by Congress (e.g., incorporation of territory,
organization of offices and courts, and declaration of
war); 3) Treaty provisions which are by nature selfexecuting, but because of historical tradition and
constitutional interpretation require legislation to be
executed (e.g., treaties defining crimes) .20
Klasifikasi di atas membagi jenis ketentuan treaty
yang dikategorikan sebagai non-self-executing yakni
yang
berhubungan
membutuhkan
dengan
legislasi
keuangan,
tambahan
yang
untuk
pelaksanaannya, dan yang secara alamiah bersifat
self-executing namun membutuhkan legislasi untuk
dilaksanakan
interpretasi
oleh
karena
tradisi
konstitusionalnya.
sejarah
Contoh
dan
kasusnya
adalah ketika hakim Mahkamah Agung Amerika
Serikat yaitu Judge Marshall memutus kasus Foster
vs. Neilson.
21
Kasus
tersebut memutus
bahwa
perjanjian antara Amerika Serikat dan Spanyol
dalam amity, settlement, and limits adalah perjanjian
yang non-self-executing. Alasannya adalah terdapat
frasa
“shall be
diratifikasi dan
ratified
and
confirmed” (harus
dikonfirmasi)
di dalam ‘bahasa
kontrak’.
19
20
21
Ibid, hlm. 107.
Ibid., hlm. 111.
Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99.
13
Keseluruhan
teori
di
atas
merupakan
konstelasi teori yang menggambarkan hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
pada
umumnya.
Dalam
pembahasan
ini
perlu
dipahami lebih dulu bahwa landasan teori di atas
sekadar bersifat sebagai background dan penjelasan
awal terhadap isu
teoretis mengenai hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
karena dalam pembahasan selanjutnya hal itu akan
menjadi objek kritisisme penulis. Dengan demikian,
sebagai landasan
teori,
teori monisme-dualisme
tidak penulis posisikan sebagai preskripsi untuk
argumen yang akan penulis bangun (misalnya untuk
mengklaim apakah Indonesia monis atau dualis),
tetapi hanya sekadar pembahasan yang bersifat
informatoris atas isu yang ada secara umum.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
dengan
orientasi
penelitian
pada
tataran
teori
konstitusi dan teori hukum internasional. Penelitian
ini secara spesifik bertujuan untuk menemukan
suatu teori hukum selain teori monisme-dualisme
sebagai preskripsi untuk menjawab isu normativitas
keterikatan
internasional,
hukum
suatu
negara
terutama
internasional
terhadap
normativitas
oleh
pengadilan
hukum
penerapan
domestik
tanpa didukung oleh dasar konstitusional yang
eksplisit.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan konseptual dan pendekatan
14
perbandingan. Pendekatan yang utama digunakan
adalah pendekatan konseptual (conceptual approach)
untuk memecahkan rumusan masalah penelitian
dengan
teori-teori maupun
konsep-konsep
yang
dikemukakan oleh para ahli hukum. Sesuai dengan
pendekatan tersebut maka bahan hukum yang akan
digunakan di sini adalah treatise atau ajaran yang
dikemukakan
oleh
ahli-ahli
hukum
(yuris
konstitusional dan internasional). Pendekatan kedua
adalah
pendekatan
approach).
kasus
Dalam
atau
(comparative
perbandingan
pendekatan
perbandingan
putusan-putusan
yudisial
ini
dan
perundang-undangan negara lain akan diacu dalam
mengkonstruksikan argumen penelitian ini.
G. Sistematika
Bab
I
penelitian
ini
menjelaskan
latar
belakang masalah yang kemudian memunculkan
isu-isu hukum yang dijabarkan dalam rumusan
masalah. Selain itu juga memuat tentang tujuan dan
manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan
teori, dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II akan berbicara mengenai elaborasi
kedua teori klasik yaitu teori monisme dan teori
dualisme dalam menjelaskan keterikatan negara
terhadap hukum internasional. Selain itu elaborasi
lanjutan dilakukan untuk mendeskripsikan teori
internasionalisme
transnational
legal
yang
process
constitution. Pada bab
karakteristik
kedua
memiliki
dan
konsep
international
ini akan diawali dengan
teori
tersebut
kemudian
15
menunjukkan kelemahan yang dimilikinya masingmasing.
Bab III membahas mengenai perbandingan
antara
teori
monisme-dualisme
internasionalisme.
Bab
ini
dan
akan
teori
spesifik
menjelaskan kelemahan sifat teoritis pada teori
monisme-dualisme yang menyebabkan minimnya
daya keterikatan suatu negara terhadap hukum
internasional yang berakibat inkonsistensi dalam
praktiknya. Oleh sebab itu, teori monisme dan teori
dualisme dipandang tidak memadai dalam memberi
penegasan
keterikatan
negara
terhadap
hukum
internasional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori
internasionalisme
memadai
merupakan
ketimbang
teori
teori
monisme
yang
lebih
dan
teori
dualisme karena ia memiliki karakter yang lebih
kuat sehingga daya keterikatan negara lebih kuat,
jelas, dan tegas pada praktiknya di lembaga-lembaga
negara seperti MK RI.
Bab IV akan menjelaskan bagaimana teori
internasional
normativitas
dapat
digunakan
penggunaan
sebagai
hukum
dasar
internasional
dalam sistem hukum nasional melalui fungsi MK RI
sebagai the Intepreter of Constitution. Menilik melalui
pendekatan
implisit
sejarah,
konstitusional
terdapat
bangsa
suatu
keinginan
Indonesia
untuk
patuh terhadap hukum internasional. Hal ini bisa
dilihat dari proses pembentukan UUD NRI Tahun
1945, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan pidato
Pancasila yang disampaikan oleh the founding father,
Soekarno, bahwa Indonesia sebenarnya memiliki
16
keinginan
untuk
patuh
terhadap
hukum
internasional sehingga teori internasionalisme dapat
menjadi dasar normativitas penggunaan hukum
internasional dalam sistem hukum nasional di
Indonesia.
17
Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah
Secara umum isu hukum yang ingin dikaji oleh
penelitian
ini
adalah
normativitas
keberlakuan
hukum internasional dalam sistem hukum nasional
melalui pengadilan domestik di mana konstitusinya
tidak memiliki ketentuan eksplisit mengenai isu
tersebut. Secara khusus isu
hukum ini adalah
tentang praktik penggunaan hukum internasional
oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK
RI) dalam melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang.
karena
Hal
ketiadaan
ini
menarik
untuk
diteliti
otorisasi konstitusional
secara
eksplisit telah menyebabkan keberagaman praktik di
Indonesia sehingga menimbulkan satu pertanyaan
mendasar: “Is international law legal or abusive to
national law?” Penelitian ini ingin menjawab bahwa
hukum internasional dapat diberlakukan secara sah
oleh pengadilan nasional Indonesia (dalam hal ini MK
RI)
meskipun
tidak
didasari
adanya
ketentuan
konstitusional secara eksplisit.
Lazimnya,
kedudukan
hukum internasional
dalam sistem hukum nasional dapat dilihat pada
konstitusi suatu negara. Sebagai contoh ideal adalah
Article
39
(1)
South
Africa
Constitution
yang
mengatur tentang Interpretation of Bill of Rights yang
menentukan:
1
“When interpreting the Bill of Rights, a court,
tribunal or forum: (a) mustpromote the values that
underlie an open and democratic society based on
human dignity, equality and freedom; (b) must
consider international law; and (c) may consider
foreign law.”
Konstitusi
lembaga
Afrika
Selatan
peradilan
mempreskripsi
menggunakan
supaya
pertimbangan
hukum internasional dan hukum negara asing untuk
menginterpretasi the Bill of Rights dalam putusannya.
Contoh
lain
dapat
ditemukan
dalam
konstitusi
negara Amerika Serikat, Timor Leste, Rusia, Belanda,
Perancis, Jepang dan Jerman. 1 Konstitusi negaranegara
tersebut memberi ruang kepada
hukum
internasional untuk dapat digunakan dalam forum
domestiknya.
Tidak seperti negara-negara di atas, Konstitusi
Indonesia tidak mengatur posisi hukum internasional
dalam sistem hukum nasional. Konstitusi Indonesia
hanya
mengatur
persetujuan
mengadakan
kewenangan
Dewan
Perwakilan
perjanjian
Presiden
dengan
Rakyat
internasional
untuk
2
yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 tentang Perjanjian Internasioal tanpa
1
Article 6 The Constitution of the United States of America,
Section 9 Constitution of the Democratic Republic of TimorLeste,Article 15 (4) The Constitution of the Russian Federation,
Article 94 The Constitution of the Kingdom of the Netherlands,
Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France), Article 98
(2) The Constitution of Japan, Article 25 Constitution of German
Democratic Republic.
2 Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2
menjelaskan
posisi
hukum
internasional
dalam
sistem hukum nasional. Meski demikian, praktik
para
hakim
Indonesia
Mahkamah
(MK
RI)
dalam
Konstitusi
Republik
menerapkan
hukum
internasional kerap kali muncul, tercermin dalam
putusan-putusannya dalam menjalankan fungsinya
sebagai the interpreter of Constitution di bidang
pengujian
undang-undang.
3
Penelitian
yang
dilakukan Diane Zhang menunjukkan bahwa selama
tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus
pengujian
undang-undang terhadap 56 jenis undang-undang
dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI
merujuk pada 813 rujukan asing berupa kasus
hukum, hukum internasional dan domestik, praktik
hukum, tulisan akademik, dan lain-lain.4
Sebagai contoh, Putusan MK RI No. 2-3/PUUV/2007 mengenai konstitusionalitas hukuman mati
yang menunjukkan
bahwa
hakim MK RI telah
menginterpretasi hak untuk hidup (the right to life)
yang
secara
Konstitusi
eksplisit
dengan
tertulis
pada
Pasal
pertimbangan
28A
hukum
internasional. Terlepas dari kontroversi hukuman
mati,
nyatanya
para
hakim
MK
RI
telah
menginterpretasi the right to life tersebut dengan
3
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia Tahun
1945 memberikan kewenangan terhadap MKRIuntuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk (salah satunya) menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar.
4 Diane Zhang, “The Use and Misuse of Foreign Materials by the
Indonesian Constitutional Court: A Study of Constitutional Court
Decision 2003-2008” Thesis, Melbourne: Melbourne Law School,
2010.
3
pertimbangan
hukum
internasional
perjanjian
internasional seperti Universal Declaration of Human
Rights, International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949
Conventions and Relating to the Protection ofVictims of
International Armed Conflict, Protocol Additional II to
the 1949 Conventions and Relating to the Protection of
Victims of Non-International Armed Conflict, Rome
Statute of International Criminal Court, Convention for
the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (European Convention on Human Rights),
American Convention on Human Rights, Protocol No. 6
to the Convention for the Protection of Human Rights
and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition
of the Death Penalty, Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969, Statute of International Court of Justice
serta melakukan perbandingan praktik negara di
Singapura dan Malaysia.
Praktik hakim MK RI dalam menggunakan
hukum
internasional
untuk
menginterpretasi
Konstitusi seperti pada contoh di atas melahirkan
satu pertanyaan besar mengenai dasar keterikatan
negara Indonesia (dalam hal ini diwakili oleh MK RI)
terhadap hukum internasional mengingat ketiadaan
otorisasi eksplisit oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945). Kondisi demikian secara teoretis sebenarnya
dapat dijustifikasi melalui teori tradisional tentang
hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional yaitu teori monisme dan dualisme. Namun
sayangnya ketika ditelaah lebih jauh, eksistensi teori
4
tersebut ternyata belum mampu memberi jawaban
atas dasar normativitas hukum internasional yang
berlaku di Indonesia.
adanya
5
inkonsistensi
normativitas
praktik
hukum
yang
doktrinal
Hal tersebut dikarenakan
cara
internasional
kemudian
dan
terhadap
pada
menghasilkan
monist
antara
pandang
dualist
tataran
sengketa
6
untuk
menjustifikasi keterikatan negara Indonesia dengan
hukum
internasional.
Ini
menjadi
tahapan
keberlanjutan dari kebimbangan dalam menentukan
dasar
normativitas
hukum
internasional
dalam
sistem hukum nasional.
Selain menjawab isu hukum di atas, penelitian
ini
juga
ingin
memberikan
kontribusi
pada
perkembangan sistem hukum di Indonesia dalam
kaitan dengan keberlakuan hukum internasional.
Penulis memahami bahwa hakim MK RI dalam
menjalankan fungsinya sebagai the Interpreter of
Constitution,
hukum
kerap
menggunakan
internasional
Konstitusi
dalam
untuk
pengujian
pertimbangan
menginterpretasi
undang-undang
di
Indonesia terutama dalam kasus mengenai hak asasi
manusia. Tindakan MK RI tersebut memerlukan
justifikasi terutama pada aspek normativitas dari
hukum internasional itu sendiri.
Kata “normativitas” yang dimaksud di sini
adalah
daya
normatif
atau
mengharuskan
dari
hukum internasional dalam konteks penerapan atau
Ibid, hlm. 7-9.
Tim Hillier, Sourcebook On Public International Law , London:
Cavendish Publishing Limited, 1998, hlm. 33.
5
6
5
keberlakuan pada ranah atau forum domestik. Dalam
konteks demikian maka tesis atau argumen yang
hendak dipertahankan penelitian ini adalah dasar
keharusan (normativitas) dari keterikatan Indonesia
terhadap hukum internasional, termasuk dalam hal
ini MKRI, memiliki kausa halal yaitu internalisasi
hukum internasional sebagai dikte hukum (bukan
sekadar
preferensi
politik).
Internalisasi
hukum
internasional di sini mengandung tuntutan perlunya
konstitusi
dipahami
internasional
dalam
meskipun
perspektif
tidak
hukum
didukung
oleh
ketentuan konstitusional yang ekplisit dalam UUD
NRI 1945 sendiri. Kata “normativitas” ini dibedakan
dengan kata “aplikabilitas” yang digunakan dalam
Bab IV dimana kata “aplikabilitas” dimaksudkan
untuk
hukum
menjelaskan
internasional
domestik,
pengadilan
yakni
penerapan
secara
dalam
nasional
MK
dari
normativitas
konkret pada
penelitian
RI.
ini
Dengan
aras
adalah
demikian,
orientasi dari penelitian ini adalah menjabarkan
(breakdown) tesis atau argumen penelitian tersebut.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka isu
sentral penelitian
ini adalah
dasar
normativitas
keterikatan Indonesia terhadap hukum internasional,
khususnya dalam pengujian undang-undang oleh
MKRI, untuk menginterpretasi Konstitusi dengan
menggunakan
hukum
internasional.
Untuk
menjawab isu sentral tersebut maka selanjutnya
dijabarkan isu-isu hukum lebih spesifik yang akan
6
penulis kaji dalam penelitian ini yang dirumuskan
sebagai berikut:
1. Teori
monisme-dualisme
dan
teori
internasionalisme sebagai penjelasan
kedudukan
hukum
internasional
atas
di
isu
depan
pengadilan domestik.
2. Perbandingan antara teori monisme-dualisme dan
teori
internasionalisme
kedudukan
hukum
dalam
menjawab
internasional
di
isu
depan
pengadilan domestik.
3. Aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar
normativitas
hukum
internasional
untuk
menjawab isu kedudukan hukum internasional di
depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam
hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK
RI dalam rangka interpretasi konstitusi.
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan teori monisme-dualisme dan teori
internasionalisme dalam memandang hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
secara
umum
internasional
di
dan
kedudukan
hukum
depan
pengadilan
domestik
secara khusus;
2. Menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis
komparatif, teori internasionalisme memberikan
dasar normativitas lebih kuat untuk hukum
internasional
dibandingkan
dengan
monisme-dualisme,
terutama
kedudukan
internasional
hukum
terkait
di
teori
isu
depan
pengadilan domestik;
7
3. Menjelaskan bahwa teori internasionalisme dapat
diberlakukan
di
Indonesia
normativitas
hukum
sebagai
dasar
internasional
untuk
menjawab isu kedudukan hukum internasional di
depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam
hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK
RI dalam rangka interpretasi konstitusi di mana
berdasarkan kajian terhadap konstitusi Indonesia
dapat ditemukan pemikiran yang mendukung
posisi teori tersebut.
D. Orisinalitas Penelitian
Tinjauan
pustaka
terhadap
studi
yang
menganalisis obyek serupa dengan penelitian ini
dilakukan untuk menentukan orisinalitas penelitian
ini. Satu studi yang paling mendekati substansi
penelitian ini adalah disertasi Chumpicha Vivitasevi
yang
berjudul
International
“The
Human
Interpretative
Rights
Influence
Norms
on
of
Judicial
Reasoning in Thailand: Lessons from the United
Kingdom and the United States of America” (Durham
University,
disertasi
2012).
Sama
tersebut
juga
seperti
tesis
penulis,
menjelaskan
tentang
bagaimana hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional, namun studi tersebut berbeda
dengan penelitian ini karena disertasi Chumpicha
merupakan analisis deskriptif tentang perbandingan
hukum di negara Thailand, Inggris dan Amerika
Serikat
sedangkan
penelitian
ini
merupakan
argumen normatif untuk memberi posisi terhadap
8
teori internasionalisme sebagai dasar normativitas
hukum internasional dalam hukum nasional.
E. Landasan Teori : Teori Internasionalisme dan
Teori Monisme-Dualisme
Pada Sub-judul ini akan dijelaskan mengenai
teori
yang
menjadi
landasan
berpikir
dalam
memahami hubungan antara hukum internasional
dan
hukum
nasional,
terutama
untuk
isu
international law before municipal courts (kedudukan
hukum internasional di depan pengadilan nasional).
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan satu
varian teori yang disebut teori internasionalisme
sebagai alternatif untuk teori tradisional yaitu teori
monisme-dualisme dalam menjelaskan normativitas
hukum
internasional.
Isu
normativitas
hukum
internasional tersebut timbul berkenaan dengan
berbeda-bedanya
berkenaan
dengan
praktik
isu
hukum
nasional
kedudukan
hukum
internasional di depan pengadilan domestik, di mana
perbedaan tersebut biasa dijelaskan dengan apakah
negara
menganut
teori
monisme
atau
teori
dualisme.7
7
Pengadilan Inggris menggunakan hukum internasional
setelah hukum tersebut melalui proses ratifikasi, praktik ini
dijelaskan dengan teori dualisme. Malcolm N. Shaw, International
Law , New York: Cambridge University Press, 2008, hlm. 140.
Berbeda halnya di Amerika Serikat yang memposisikan hukum
internasional secara langsung menjadi bagian dari hukum
negaranya, praktik ini dijelaskan melalui teori monisme. Lori Fisler
Damrosch dkk., International Law Cases and Materials: Fifth
Edition, New York: West Group, 2001, hlm. 670.
9
Oleh karena itu, karena kelemahan dalam
penjelasan
teoretis
yang
diberikan
oleh
teori
monisme-dualisme tersebut maka penulis berusaha
mencari alternatif lain yang di sini disebut teori
internasionalisme.
Yang
dimaksud
dengan
teori
internasionalisme tersebut mencakup pandangan
dari perspektif hukum internasional 8 maupun dari
perspektif hukum nasional (hukum konstitusional)9
terkait dengan keterikatan suatu negara terhadap
hukum internasional sehingga sebagai implikasinya
pengadilan nasional didorong untuk memberikan
kontribusi positif terhadap hukum internasional
tersebut melalui penggunaan hukum internasional
oleh pengadilan domestik jika suatu kasus atau
perkara
mengandung
dimensi
hukum
internasional.10
Sementara itu, secara singkat, teori monisme
menitikberatkan
pada
pemikiran
bahwa
hukum
internasional dan hukum nasional merupakan satu
kesatuan dalam sistem hukum yang terintegrasi dan
seharusnya dianggap sebagai suatu manifestasi dari
Dalam hal ini teori transnational legal process yang
dikemukakan oleh Harold Hongju Koh.
9
Dalam hal ini teori international constitution yang
dikemukakan oleh Sarah Cleveland.
10
Transnational legal process dalam kasus demikian
berpendapat negara terikat hukum internasional melalui proses
interaksi sampai internalisasi norma yang kemudian menciptakan
kepatuhannya pada hukum internasional. Harold Hongju Koh,
Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Op.Cit.,
Nebraska Law Review Vol.75, 1996, hlm. 206. Sementara
international constitution berpendapat keterikatan negara terhadap
hukum internasional ditentukan oleh konstitusi negara. Sarah H.
Cleveland, “Our International Constitution” The Yale Journal of
International Law Vol. 31, 2006, hlm. 105.
8
10
kesatuan
konsep
hukum.
dualisme
menekankan
11
bahwa
Sedangkan
sistem
teori
hukum
internasional dan hukum nasional berada pada
tempat yang terpisah dan independen.12
Pada level praktik di pengadilan nasional yang
menghasilkan suatu putusan hakim, teori monismedualisme memiliki teknik aplikasi berbeda. Pertama,
teori monisme menggunakan teori incorporation yang
juga sering disebut sebagai teori adoption. Teori ini
menerangkan
bahwa
aturan
dalam
internasional
menjadi
hukum
nasional
kebutuhan
tersebut.
13
merupakan
untuk
teknik
Partsch
pengadopsian
menjelaskan
tindakan
hukum
negara
teori
untuk
tanpa
aturan
adopsi
membuat
hukum internasional dapat diterapkan di hukum
nasional
Teknik
tanpa
mengubah
inkorporasi
ini
dasar
hukumnya.
menghasilkan
14
suatu
klasifikasi jenis hukum yang bersifat self-executing,
atau dengan istilah lain direct effect atau direct
enforceable, dimana
self-executing treaty bersifat
dapat diterapkan secara langsung dalam sistem
Hersch Lauterpacht, International Law: Collected Papers ,
London: Cambridge University Press, 1970, hlm. 216. Inti
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, teori monoisme memiliki
karakter: 1) Ia menyangkal adanya dua hukum yang berbeda; 2)
Pada dasarnya, kedua hukum tersebut merupakan perintah yang
mengikat para subyek hukum yang secara independen atas
kehendak mereka; 3) Hukum internasional dan hukum nasional
jauh dari kata berbeda, bahwa ia harus dianggap sebagai
manifestas konsep tunggal hukum.
12 Malcolm N. Shaw, Op.Cit,. hlm. 131.
13 Martin Dixon, Textbook on International Law , London:
Blackstone Press Limited, 1993, hlm. 74.
14 Damos Dumoli Agusman, Treaties Under Indonesian Law: A
Comparative Study , Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 85.
11
11
hukum nasional.15 Contoh kasus Sei Fujii vs. State
dimana
putusannya
California
Alien
Land
mendiskriminasi
Jepang
dan
menganggap
Law
pemilik
dinyatakan
tidak
tanah
bahwa
the
berlaku
dan
berkebangsaan
bertentangan
dengan
ketentuan hak asasi manusia dalam United Nations
(UN) Charter. Kasus tersebut menyatakan bahwa
ketentuan UN Charter tersebut adalah self-executing.
Kedua, teori dualisme
transformation
dalam
hukum internasional.
menggunakan
memandang
teori
aplikabilitas
Teori transformation pada
dasarnya adalah salah satu bentuk dari positivistdualist16 yang memandang bahwa “International law
is not ipso facto part of municipal law”17. Case Regina
vs.
Keyn
(1876)
mendefinisikan
transformation
sebagai suatu proses legislasi yang dibutuhkan
untuk
mengubah
hukum
internasional
menjadi
bagian dari the law of the land.18 Dengan demikian,
transformation mengharuskan hukum internasional
diekspresikan
hukum
dan
nasional
ditransformasikan
ke
sesuai
instrumen
dengan
konstitutional
yang
benar.
menggunakan
teori
transformation
bersifat
non-self-executing.
Jenis
dalam
hukum
yang
adalah
yang
Non-self-executing
dimaknai sebagai ketiadaan daya eksekusi tanpa
alat
15
16
17
18
tambahan
yang
digunakan
untuk
Ibid, hlm. 101.
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 105.
Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.
Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 91.
12
19
menerapkannya.
Wright
mencoba
untuk
mengklasifikasi perjanjian non-self-executing sebagai
berikut:
1) Treaty provisions dealing with finances; 2) Treaty
provisions which require for their performance
detailed supplementary legislation or specific acts
which the Constitution provides shall be performed
by Congress (e.g., incorporation of territory,
organization of offices and courts, and declaration of
war); 3) Treaty provisions which are by nature selfexecuting, but because of historical tradition and
constitutional interpretation require legislation to be
executed (e.g., treaties defining crimes) .20
Klasifikasi di atas membagi jenis ketentuan treaty
yang dikategorikan sebagai non-self-executing yakni
yang
berhubungan
membutuhkan
dengan
legislasi
keuangan,
tambahan
yang
untuk
pelaksanaannya, dan yang secara alamiah bersifat
self-executing namun membutuhkan legislasi untuk
dilaksanakan
interpretasi
oleh
karena
tradisi
konstitusionalnya.
sejarah
Contoh
dan
kasusnya
adalah ketika hakim Mahkamah Agung Amerika
Serikat yaitu Judge Marshall memutus kasus Foster
vs. Neilson.
21
Kasus
tersebut memutus
bahwa
perjanjian antara Amerika Serikat dan Spanyol
dalam amity, settlement, and limits adalah perjanjian
yang non-self-executing. Alasannya adalah terdapat
frasa
“shall be
diratifikasi dan
ratified
and
confirmed” (harus
dikonfirmasi)
di dalam ‘bahasa
kontrak’.
19
20
21
Ibid, hlm. 107.
Ibid., hlm. 111.
Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99.
13
Keseluruhan
teori
di
atas
merupakan
konstelasi teori yang menggambarkan hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
pada
umumnya.
Dalam
pembahasan
ini
perlu
dipahami lebih dulu bahwa landasan teori di atas
sekadar bersifat sebagai background dan penjelasan
awal terhadap isu
teoretis mengenai hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
karena dalam pembahasan selanjutnya hal itu akan
menjadi objek kritisisme penulis. Dengan demikian,
sebagai landasan
teori,
teori monisme-dualisme
tidak penulis posisikan sebagai preskripsi untuk
argumen yang akan penulis bangun (misalnya untuk
mengklaim apakah Indonesia monis atau dualis),
tetapi hanya sekadar pembahasan yang bersifat
informatoris atas isu yang ada secara umum.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
dengan
orientasi
penelitian
pada
tataran
teori
konstitusi dan teori hukum internasional. Penelitian
ini secara spesifik bertujuan untuk menemukan
suatu teori hukum selain teori monisme-dualisme
sebagai preskripsi untuk menjawab isu normativitas
keterikatan
internasional,
hukum
suatu
negara
terutama
internasional
terhadap
normativitas
oleh
pengadilan
hukum
penerapan
domestik
tanpa didukung oleh dasar konstitusional yang
eksplisit.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan konseptual dan pendekatan
14
perbandingan. Pendekatan yang utama digunakan
adalah pendekatan konseptual (conceptual approach)
untuk memecahkan rumusan masalah penelitian
dengan
teori-teori maupun
konsep-konsep
yang
dikemukakan oleh para ahli hukum. Sesuai dengan
pendekatan tersebut maka bahan hukum yang akan
digunakan di sini adalah treatise atau ajaran yang
dikemukakan
oleh
ahli-ahli
hukum
(yuris
konstitusional dan internasional). Pendekatan kedua
adalah
pendekatan
approach).
kasus
Dalam
atau
(comparative
perbandingan
pendekatan
perbandingan
putusan-putusan
yudisial
ini
dan
perundang-undangan negara lain akan diacu dalam
mengkonstruksikan argumen penelitian ini.
G. Sistematika
Bab
I
penelitian
ini
menjelaskan
latar
belakang masalah yang kemudian memunculkan
isu-isu hukum yang dijabarkan dalam rumusan
masalah. Selain itu juga memuat tentang tujuan dan
manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan
teori, dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II akan berbicara mengenai elaborasi
kedua teori klasik yaitu teori monisme dan teori
dualisme dalam menjelaskan keterikatan negara
terhadap hukum internasional. Selain itu elaborasi
lanjutan dilakukan untuk mendeskripsikan teori
internasionalisme
transnational
legal
yang
process
constitution. Pada bab
karakteristik
kedua
memiliki
dan
konsep
international
ini akan diawali dengan
teori
tersebut
kemudian
15
menunjukkan kelemahan yang dimilikinya masingmasing.
Bab III membahas mengenai perbandingan
antara
teori
monisme-dualisme
internasionalisme.
Bab
ini
dan
akan
teori
spesifik
menjelaskan kelemahan sifat teoritis pada teori
monisme-dualisme yang menyebabkan minimnya
daya keterikatan suatu negara terhadap hukum
internasional yang berakibat inkonsistensi dalam
praktiknya. Oleh sebab itu, teori monisme dan teori
dualisme dipandang tidak memadai dalam memberi
penegasan
keterikatan
negara
terhadap
hukum
internasional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori
internasionalisme
memadai
merupakan
ketimbang
teori
teori
monisme
yang
lebih
dan
teori
dualisme karena ia memiliki karakter yang lebih
kuat sehingga daya keterikatan negara lebih kuat,
jelas, dan tegas pada praktiknya di lembaga-lembaga
negara seperti MK RI.
Bab IV akan menjelaskan bagaimana teori
internasional
normativitas
dapat
digunakan
penggunaan
sebagai
hukum
dasar
internasional
dalam sistem hukum nasional melalui fungsi MK RI
sebagai the Intepreter of Constitution. Menilik melalui
pendekatan
implisit
sejarah,
konstitusional
terdapat
bangsa
suatu
keinginan
Indonesia
untuk
patuh terhadap hukum internasional. Hal ini bisa
dilihat dari proses pembentukan UUD NRI Tahun
1945, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan pidato
Pancasila yang disampaikan oleh the founding father,
Soekarno, bahwa Indonesia sebenarnya memiliki
16
keinginan
untuk
patuh
terhadap
hukum
internasional sehingga teori internasionalisme dapat
menjadi dasar normativitas penggunaan hukum
internasional dalam sistem hukum nasional di
Indonesia.
17