Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB V
Bab V
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan hasil pembahasan
penelitian ini dapat dirumuskan satu kesimpulan
umum bahwa kedudukan hukum internasional di
depan
pengadilan
nasional
seyogyanya
tidak
dijustifikasi oleh teori tradisional monisme-dualisme
yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
praktik-praktik negara saat ini. Oleh karena tidak
memadainya
teori
monisme-dualisme,
teori
internasionalisme menjadi alternatif yang lebih baik
untuk memberi normativitas terhadap penggunaan
hukum
internasional
memiliki
otorisasi
oleh
eksplisit
negara
pada
yang
tidak
konstitusinya.
Selain itu, terkait dengan pembahasan yang lebih
spesifik,
penulis
merumuskan
kesimpulan
berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Teori monisme-dualisme
dalam
menjustifikasi
sebagai teori klasik
hubungan
hukum
internasional dan hukum nasional tidak cukup
memadai dalam memberikan dasar normativitas
penggunaan hukum internasional di wilayah
nasional.
Hal
ini
disebabkan
karena
faktor
pertama, teori tersebut bersifat ex-post yang
hanya melihat pada praktik-praktik negara saja.
Kedua,
teori
tersebut
kurang
mengandung
normative content yang tidak dapat digunakan
96
sebagai argumen di pengadilan nasional. Ketiga,
teori
monisme-dualisme
tidak
mampu
menghadapi praktik overlapping terhadap teori
itu
sendiri
kelemahan
di
suatu
di
atas
ketidakmampuan
dengan
negara.
teori
perkembangan
Kelemahanmenunjukkan
monisme-dualisme
praktik
negara-negara
saat ini.
2. Teori internasionalisme lebih memadai dalam
memberikan
dasar
normativitas
penggunaan
atau
penerapan
untuk
hukum
internasional oleh pengadilan nasional ketimbang
teori monisme-dualisme. Teori ini terdiri dari teori
transnational legal process dan teori international
constitution yang memberi legitimasi penggunaan
hukum
internasional
di
forum
pengadilan
nasional
dilihat dari perspektif internasional
maupun
nasional
(konstitusional).
Teori
ini
membantu
negara
menemukan
dasar
normativitas
untuk
pemanfaatan
hukum
internasional di tengah fenomena overlapping dan
ketiadaan otorisasi konstitusional eksplisit yang
kurang mampu diselesaikan oleh teori monismedualisme.
3. Teori internasionalisme dapat diberlakukan di
Indonesia, termasuk di MK RI dengan pendekatan
historis. Hal tersebut dijelaskan melalui proses
pembentukan NKRI yang melihat posisi Indonesia
sebagai bagian dari komunitas internasional,
pidato Pancasila
Soekarno
yang
dengan
disampaikan
menggunakan
Presiden
hukum
97
internasional
sebagai
dorongan
kemerdekaan Indonesia, proses
penggerak
pembentukan
UUD NRI Tahun 1945 yang tidak terlepas dari
sumbangsih
hukum
internasional,
Pembukaan
UUD
menegaskan
peran
negara
Indonesia
ketertiban
dunia.
Sejarah
menjaga
NRI
Tahun
1945
dan
yang
dalam
tersebut
merupakan keinginan implisit UUD NRI Tahun
1945 untuk berlaku comply terhadap hukum
internasional. Teori internasionalisme memberi
legitimasi keinginan implisit tersebut dengan
penafsiran konstitusi yang beyond the text itself.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan
di
atas,
maka
penelitian ini memiliki saran bagi para hakim MK RI
untuk memahami maksud implisit dari UUD NRI
Tahun
1945,
yang
berdasarkan
teori
internasionalisme, menjadi legitimasi penggunaan
hukum internasional dalam putusan MK RI. Hakim
MK RI perlu memahami bahwa ”international law is
law” yang dapat digunakan dalam forum domestik
sebagai the intepretative tool terhadap ketentuan
UUD NRI Tahun 1945 supaya pada akhirnya hukum
nasional dapat berlaku
selaras dengan hukum
internasional dalam upaya harmonisasi jaminan hak
asasi manusia di level nasional.
Secara konkret, saran ini dapat berupa upaya
rekrutmen hakim yang meliputi tidak hanya seleksi
berdasarkan pengetahuan hukum nasional tapi juga
hukum internasional yang memahami maksud dari
98
teori
internasionalisme
ini.
Dengan
demikian,
diharapkan putusan-putusan MK RI di masa depan
akan berkualitas lebih baik dalam penyesuaian
hukum nasional dan hukum internasional di forum
domestik.
99
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan hasil pembahasan
penelitian ini dapat dirumuskan satu kesimpulan
umum bahwa kedudukan hukum internasional di
depan
pengadilan
nasional
seyogyanya
tidak
dijustifikasi oleh teori tradisional monisme-dualisme
yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
praktik-praktik negara saat ini. Oleh karena tidak
memadainya
teori
monisme-dualisme,
teori
internasionalisme menjadi alternatif yang lebih baik
untuk memberi normativitas terhadap penggunaan
hukum
internasional
memiliki
otorisasi
oleh
eksplisit
negara
pada
yang
tidak
konstitusinya.
Selain itu, terkait dengan pembahasan yang lebih
spesifik,
penulis
merumuskan
kesimpulan
berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Teori monisme-dualisme
dalam
menjustifikasi
sebagai teori klasik
hubungan
hukum
internasional dan hukum nasional tidak cukup
memadai dalam memberikan dasar normativitas
penggunaan hukum internasional di wilayah
nasional.
Hal
ini
disebabkan
karena
faktor
pertama, teori tersebut bersifat ex-post yang
hanya melihat pada praktik-praktik negara saja.
Kedua,
teori
tersebut
kurang
mengandung
normative content yang tidak dapat digunakan
96
sebagai argumen di pengadilan nasional. Ketiga,
teori
monisme-dualisme
tidak
mampu
menghadapi praktik overlapping terhadap teori
itu
sendiri
kelemahan
di
suatu
di
atas
ketidakmampuan
dengan
negara.
teori
perkembangan
Kelemahanmenunjukkan
monisme-dualisme
praktik
negara-negara
saat ini.
2. Teori internasionalisme lebih memadai dalam
memberikan
dasar
normativitas
penggunaan
atau
penerapan
untuk
hukum
internasional oleh pengadilan nasional ketimbang
teori monisme-dualisme. Teori ini terdiri dari teori
transnational legal process dan teori international
constitution yang memberi legitimasi penggunaan
hukum
internasional
di
forum
pengadilan
nasional
dilihat dari perspektif internasional
maupun
nasional
(konstitusional).
Teori
ini
membantu
negara
menemukan
dasar
normativitas
untuk
pemanfaatan
hukum
internasional di tengah fenomena overlapping dan
ketiadaan otorisasi konstitusional eksplisit yang
kurang mampu diselesaikan oleh teori monismedualisme.
3. Teori internasionalisme dapat diberlakukan di
Indonesia, termasuk di MK RI dengan pendekatan
historis. Hal tersebut dijelaskan melalui proses
pembentukan NKRI yang melihat posisi Indonesia
sebagai bagian dari komunitas internasional,
pidato Pancasila
Soekarno
yang
dengan
disampaikan
menggunakan
Presiden
hukum
97
internasional
sebagai
dorongan
kemerdekaan Indonesia, proses
penggerak
pembentukan
UUD NRI Tahun 1945 yang tidak terlepas dari
sumbangsih
hukum
internasional,
Pembukaan
UUD
menegaskan
peran
negara
Indonesia
ketertiban
dunia.
Sejarah
menjaga
NRI
Tahun
1945
dan
yang
dalam
tersebut
merupakan keinginan implisit UUD NRI Tahun
1945 untuk berlaku comply terhadap hukum
internasional. Teori internasionalisme memberi
legitimasi keinginan implisit tersebut dengan
penafsiran konstitusi yang beyond the text itself.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan
di
atas,
maka
penelitian ini memiliki saran bagi para hakim MK RI
untuk memahami maksud implisit dari UUD NRI
Tahun
1945,
yang
berdasarkan
teori
internasionalisme, menjadi legitimasi penggunaan
hukum internasional dalam putusan MK RI. Hakim
MK RI perlu memahami bahwa ”international law is
law” yang dapat digunakan dalam forum domestik
sebagai the intepretative tool terhadap ketentuan
UUD NRI Tahun 1945 supaya pada akhirnya hukum
nasional dapat berlaku
selaras dengan hukum
internasional dalam upaya harmonisasi jaminan hak
asasi manusia di level nasional.
Secara konkret, saran ini dapat berupa upaya
rekrutmen hakim yang meliputi tidak hanya seleksi
berdasarkan pengetahuan hukum nasional tapi juga
hukum internasional yang memahami maksud dari
98
teori
internasionalisme
ini.
Dengan
demikian,
diharapkan putusan-putusan MK RI di masa depan
akan berkualitas lebih baik dalam penyesuaian
hukum nasional dan hukum internasional di forum
domestik.
99