1. Menurut Paus Pius IX - KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI.doc
KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI
1. Menurut Paus Pius IX
Asal-usul Spesies karya diterbitkan pada tahun 1859 selama masa kekuasaan antara tahun 1869-1870. Konsili ini memiliki sebuah bagian mengenai "Iman dan Akal-budi" yang meliputi hal-hal ilmu pengetahuan dan iman berikut ini: Oleh karena itu semua umat Kristen dilarang untuk mempertahankan, sebagai kesimpulan ilmu pengetahuan yang sah, opini-opini yang diketahui bertentangan dengan doktrin iman, terutama jika hal-hal tersebut telah dikutuk oleh Gereja; dan lebih jauh lagi para umat berkewajiban untuk berpegang teguh bahwa hal-hal tersebut
adalah sesuatu yang salah dengan penampilan menipu sebagai sesuatu yang benar.
Tidak hanya iman dan akal-budi tidak akan perbah bertentangan antara yang satu dengan yang lain, tapi mereka juga saling mendukung satu dengan yang lain, karena di satu sisi akal-budi yang sehat membentuk dasar-dasar dari iman dan, diterangi oleh cahayanya, mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang ilahi; di sisi yang lain, iman menjauhkan akal-budi dari kesalahan, melindungi dan melengkapinya dengan pengetahuan akan banyak hal. Mengenai Tuhan Sang Maha Pencipta, Konsili Vatikan sengatlah jelas. Definisi- definisi yang mendahului "anathema" (sebagai sebuah istilah teknis atas teologi Katolik: biarkan ia "diputuskan" atau di-ekskomunikasikan, cf. Gal 1:6-9; Titus 3:10- 11; Matt 18:15-17) menandadi sebuah dogma yang tidak bisa ditentang (infallible dogma) dalam iman Katolik (de fide):
Mengenai Tuhan Sang Pencipta segalanya ←
1. Apabila seseorang menolak atas Satu Tuhan yang benar, pencipta dan raja semua hal baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata: biarkan dia menjadi anathema.
2. Apabila seseorang dengan berani menyatakan bahwa tidak ada hal lain selain benda: biarkan dia menjadi anathema.
3. Apabila seseorang berkata bahwa intisari dari Tuhan dan semua hal lainnya adalah satu dan sama: biarkan dia menjadi anathema.
4. Apabila seseorang berkata bahwa hal-hal yang terbatas, baik jasmani maupun rohani, atau pada tahapan apapun, spiritual, muncul dari suatu hakekat ilahi; atau bahwa intisari ilahi, lewat perwujudan dan evolusinya, menjadi semua hal di dunia ini atau, yang terakhir, bahwa Tuhan adalah sebuah makhluk semesta atau makhluk tak terbatas yang atas dasar kemauan pribadi membentuk semua keistimewaan di dalam genus, spesies dan individual: biarkan dia menjadi anathema.
5. Apabila seseorang tidak mengaku bahwa dunia dan semua hal yang berada di dalamnya, baik spiritual maupun material, diciptakan, menurut hakekat penuh mereka, dari ketidak-beradaan oleh Tuhan; atau berpegang teguh bahwa Tuhan semestinya mencintai diri-Nya sendiri; atau menolak konsep bahwa dunia diciptakan untuk kemuliaan Tuhan: biarkan dia menjadi anathema
2. Menurut Harun Yahya
Tidak ada bukti fosil yang nyata untuk mendukung gambaran "manusia kera" yang tidak putus-putusnya diindoktrinasikan media masa dan akademisi evolusionis. Dengan kuas di tangan, evolusionis membuat makhluk-makhluk khayalan. Namun mereka memiliki masalah serius karena tidak ada fosil-fosil yang cocok dengan gambar-gambar itu. Salah satu metode menarik yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah ini adalah "membuat" fosil-fosil yang tidak dapat mereka temukan. Manusia Piltdown, skandal paling menghebohkan dalam sejarah ilmu pengetahuan, adalah contoh khas metode ini.
MANUSIA PILTDOWN: RAHANG ORANG UTAN DAN TENGKORAK MANUSIA!
Seorang dokter terkenal yang juga ahli paleoantropologi amatir, Charles Dawson, menyatakan bahwa ia telah menemukan tulang rahang dan fragmen tengkorak di dalam sebuah lu-bang di Piltdown, Inggris, pada tahun 1912. Tulang rahang tersebut lebih mirip tulang rahang kera, tetapi gigi dan tengkorak-nya seperti milik manusia. Spesimen ini dinamakan "Manusia Piltdown". Fosil ini diduga berusia 500 ribu tahun, dan dipajang di beberapa museum sebagai bukti mutlak evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun, telah banyak artikel ilmiah mengenai "Manusia Piltdown" ditulis, sejumlah penafsiran dan gambar dibuat, dan fosil tersebut dikemukakan sebagai bukti penting evolusi manusia. Tidak kurang dari 500 tesis doktor ditulis mengenai subjek ini. Seorang ahli paleoantropologi terkenal dari Amerika, Henry Fairfield Osborn, ketika sedang mengunjungi British Museum pada tahun 1935 berkata"... kita harus selalu diingatkan bahwa alam dipenuhi paradoks, dan ini adalah suatu temuan mengejutkan tentang manusia prasejarah...." Pada tahun 1949, Kenneth Oakley dari departemen paleontologi British Museum mencoba metode "pengujian fluorin", pengujian baru yang digunakan untuk menentukan umur fosil-fosil tua. Uji coba dilakukan pa-da fosil manusia Piltdown. Hasilnya sungguh mengejutkan. Selama pengujian, diketahui bahwa tulang rahang Manusia Piltdown tidak mengandung fluorin. Ini menunjukkan bahwa tulang rahang tersebut terkubur tidak lebih dari beberapa tahun. Sedangkan tengkoraknya, yang hanya mengandung sejumlah kecil fluorin, menunjukkan usianya hanya beberapa ribu tahun.
Penelitian kronologis terakhir yang dilakukan dengan menggunakan metoda fluorin menunjukkan bahwa tengkorak tersebut hanya berusia beberapa ribu tahun. Terbukti pula bahwa gigi pada tulang rahang adalah dari orang utan yang dibuat seolah usang, dan bahwa peralatan-peralatan "primitif" yang ditemukan bersama fosil hanya imitasi sederhana yang telah diasah dengan peralatan baja
Dalam analisis teperinci yang diselesaikan oleh Weiner, pemalsuan ini diumumkan pada tahun 1953.
Tengkorak tersebut milik manusia yang berusia 500 tahun, dan tulang rahangnya milik kera yang baru saja mati! Kemudian gigi-gigi disusun berderet
tua. Warna ini memudar ketika dicelup dalam la-rutan asam. Le Gros Clark, anggota
tim yang membongkar penipuan ini, tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya
atas peristiwa ini dan mengatakan bahwa "bukti-bukti abrasi tiruan dengan segera
tampak di depan mata. Hal ini begitu jelasnya hingga patut dipertanyakan
bagaimana ini sampai lolos dari pengamatan sebelumnya?Dengan terungkapnya
fakta ini, "Manusia Piltdown" kemudian segera disingkirkan dari British Museum
setelah lebih dari 40 tahun dipajang di sana.MANUSIA NEBRASKA: GIGI BABI
Pada tahun 1922, Henry Fairfield Osborn, manajer American Museum of
Natural History, mengumumkan bahwa ia telah menemukan sebuah fosil gigi
geraham yang berasal dari periode Pliosin, di Nebraska Barat, dekat Snake Brook.
Gigi ini dinyatakan memiliki karakteristik gigi manusia dan gigi kera. Argumentasi
ilmiah yang mendalam pun dimulai. Sebagian orang menafsirkan gigi ini berasal dari
Pithecanthropus Erectus, sedangkan yang lain menyatakan gigi tersebut lebih
menyerupai gigi manusia. Fosil yang menimbulkan perdebatan sengit ini dinamakan
"Manusia Nebraska". Manusia baru ini juga dengan segera diberi "nama ilmiah":
Hesperopithecus Haroldcooki.
Ilustrasi di atas ini digambar berdasarkan satu gigi dan diterbitkan dalam majalah
Ilustrated London News pada tanggal 24 Juli 1922. Akan tetapi, evolusionis sangat
kecewa ketika terungkap bahwa gigi ini bukan milik makhluk mirip kera atau
manusia, tetapi milik spesies babi yang telah punah.Banyak ahli yang memberikan dukungan kepada Osborn. Berdasarkan satu gigi ini,
rekonstruksi kepala dan tubuh Manusia Nebraska pun digambar. Lebih jauh,
Manusia Nebraska bahkan dilukiskan bersama istri dan anak-anaknya, sebagai sebuah
keluarga utuh dengan latar belakang alam.Semua skenario ini dikembangkan hanya dari satu gigi. Evolusionis begitu
meyakini keberadaan "manusia bayangan" ini, hingga ketika seorang peneliti
bernama William Bryan menolak keputusan menyimpang yang mengandalkan satu gigi ini, ia dikritik dengan kasar.
Pada tahun 1927, bagian lain kerangkanya juga ditemukan. Menurut potongan-
potongan tulang ini, gigi tersebut bukan milik manusia atau kera, melainkan milik Manusia)". Dalam artikel itu ia mengumumkan kekeliruan ini. Setelah itu semua gambar Hesperopithecus Haroldcooki dan "keluarganya" segera dihapus dari literatur evolusi.
OTA BENGA: ORANG AFRIKA DALAM KERANGKENG
Setelah Darwin menyatakan bahwa manusia berevolusi dari makhluk hidup yang mirip kera melalui bukunya The Descent of Man, ia kemudian mulai mencari fosil-fosil untuk mendukung argumentasinya. Bagaimanapun, sejumlah evolusionis percaya bahwa makhluk "separo manusia - separo kera" tidak hanya ditemukan dalam bentuk fosil, tetapi juga dalam keadaan hidup di berbagai belahan dunia. Di awal abad ke-20, pencarian "mata rantai transisi yang masih hidup" ini menghasilkan kejadian-kejadian memilukan, dan yang paling biadab di antaranya adalah yang menimpa seorang Pigmi (suku di Afrika Tengah dengan tinggi badan rata-rata kurang dari 127 sentimeter) bernama Ota Benga.
Ota Benga ditangkap pada tahun 1904 oleh seorang peneliti evolusionis di Kongo. Dalam bahasanya, nama Ota Benga berarti "teman". Ia memiliki seorang istri dan dua orang anak. Dengan dirantai dan dikurung seperti binatang, ia dibawa ke Amerika Serikat. Di sana, para ilmuwan evolusionis memamerkannya untuk umum pada Pekan Raya Dunia di St. Louis bersama spesies kera lain dan memperkenalkannya sebagai "mata rantai transisi terdekat dengan manusia". Dua tahun kemudian, mereka membawanya ke Kebun Binatang Bronx di New York. Ia dipamerkan dalam kelompok "nenek moyang manusia" bersama beberapa simpanse, gorila bernama Dinah, dan orang utan bernama Dohung. Dr. William T. Hornaday, seorang evolusionis direktur kebun binatang tersebut memberikan sambutan panjang lebar tentang betapa bangganya ia memiliki "bentuk transisi" yang luar biasa ini di kebun binatangnya dan memperlakukan Ota Benga dalam kandang seolah ia seekor binatang biasa. Tidak tahan dengan perlakuan yang diterimanya, Ota Benga akhirnya bunuh diri.
Manusia Piltdown, Manusia Nebraska, Ota Benga.... Skandal-skandal ini menunjukkan bahwa ilmuwan evolusionis tidak ragu-ragu menggunakan segala cara yang tidak ilmiah untuk membuktikan teori mereka. Dengan mengingat hal ini, ketika kita melihat yang dinamakan bukti lain dari mitos "evolusi manusia", kita akan menghadapi situasi yang sama. Inilah sebuah cerita fiksi dan sepasukan relawan yang siap mencoba apa saja untuk membenarkan cerita itu.
3. Menurut Hamdan Nasrullah
Sebagian orang yang pernah mendengar "teori evolusi" atau "Darwinisme" mungkin beranggapan bahwa konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi dan tidak berpengaruh sedikit pun terhadap kehidupan sehari-hari. Anggapan ini sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Filsafat tersebut adalah "materialisme", yang mengandung sejumlah pemikiran penuh kepalsuan tentang mengapa dan bagaimana manusia muncul di materi adalah esensi dari segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal dari pemikiran ini, materialisme mengingkari keberadaan Sang Maha Pencipta.
Di abad ke-20, teori evolusi telah terbantahkan tidak hanya oleh ilmu biologi molekuler, tapi juga oleh paleontologi, yakni ilmu tentang fosil. Tidak ada sisa fosil yang mendukung evolusi yang pernah ditemukan dalam penggalian yang dilakukan di seluruh penjuru dunia.
Fosil adalah sisa jasad makhluk hidup yang pernah hidup di masa lampau. Bentuk dan susunan kerangka makhluk hidup, yang tubuhnya segera terlindungi dari sentuhan udara, dapat terawetkan secara utuh. Sisa kerangka ini memberi kita keterangan tentang sejarah kehidupan di bumi. Jadi, catatan fosil lah yang memberikan jawaban ilmiah terhadap pertanyaan seputar asal usul makhluk hidup.
PENDAPAT DARWIN
Teori evolusi menyatakan bahwa semua makhluk hidup yang beraneka ragam berasal dari satu nenek moyang yang sama. Menurut teori ini, kemunculan makhluk hidup yang begitu beragam terjadi melalui variasi-variasi kecil dan bertahap dalam rentang waktu yang sangat lama. Teori ini menyatakan bahwa awalnya makhluk hidup bersel satu terbentuk. Selama ratusan juta tahun kemudian, makhluk bersel satu ini berubah menjadi ikan dan hewan invertebrata (tak bertulang belakang) yang hidup di laut. Ikan-ikan ini kemudian diduga muncul ke daratan dan berubah menjadi reptil. Dongeng ini pun terus berlanjut, dan seterusnya sampai pada pernyataan bahwa burung dan mamalia berevolusi dari reptil. Seandainya pendapat ini benar, mestinya terdapat sejumlah besar “spesies peralihan” (juga disebut sebagai spesies antara, atau spesies mata rantai) yang menghubungkan satu spesies dengan spesies yang lain yang menjadi nenek moyangnya. Misalnya, jika reptil benar-benar telah berevolusi menjadi burung, maka makhluk separuh-burung separuh-reptil dengan jumlah berlimpah mestinya pernah hidup di masa lalu. Di samping itu, makhluk peralihan ini mestinya memiliki organ dengan bentuk yang belum sempurna atau tidak lengkap. Darwin menamakan makhluk dugaan ini sebagai bentuk-bentuk peralihan antara : Skenario evolusi juga mengatakan bahwa ikan, yang berevolusi dari invertebrata, di kemudian hari merubah diri mereka sendiri menjadi amfibi yang dapat hidup di darat. (Amfibi adalah hewan yang dapat hidup di darat dan di air, seperti katak). Tapi, sebagaimana yang ada dalam benak Anda, skenario ini pun tidak memiliki bukti. Tak satu fosil pun yang menunjukkan makhluk separuh ikan separuh amfibi pernah ada. Dia saat mengemukakan teori ini, ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti fosil bentuk peralihan ini. Dengan kata lain, Darwin sekedar menyampaikan dugaan yang tanpa disertai bukti.
COELACANTH TERNYATA MASIH HIDUP
Hingga 70 tahun yang lalu, evolusionis mempunyai fosil ikan yang mereka yakini sebagai "nenek moyang hewan-hewan darat". Namun, perkembangan ilmu pengetahuan meruntuhkan seluruh pernyataan evolusionis tentang ikan ini. Ketiadaan fosil bentuk peralihan antara ikan dan amfibi adalah fakta yang juga diakui oleh para evolusionis hingga kini. Namun, sampai sekitar 70 tahun yang lalu, fosil ikan yang disebut coelacanth diterima sebagai bentuk peralihan antara ikan dan hewan darat. berkembang, sistem pencernaan dan peredaran darah yang siap untuk berfungsi di darat, dan bahkan mekanisme berjalan yang primitif. Penafsiran evolusi ini diterima sebagai kebenaran yang tak perlu diperdebatkan lagi di dunia ilmiah hingga akhir tahun 1930-an.
Namun, pada tanggal 22 Desember 1938, penemuan yang sangat menarik terjadi di Samudra Hindia. Seekor ikan dari famili coelacanth, yang sebelumnya diajukan sebagai bentuk peralihan yang telah punah 70 juta tahun yang lalu, berhasil ditangkap hidup-hidup! Tak diragukan lagi, penemuan ikan coelacanth "hidup" ini memberikan pukulan hebat bagi para evolusionis. Ahli paleontologi evolusionis, J. L.
B. Smith, mengatakan ia tidak akan terkejut lagi jika bertemu dengan seekor dinosaurus yang masih hidup. (Jean-Jacques Hublin, The Hamlyn Encyclopædia of Prehistoric Animals, New York: The Hamlyn Publishing Group Ltd., 1984, hal. 120). Pada tahun-tahun berikutnya, 200 ekor coelacanth berhasil ditangkap di berbagai tempat berbeda di seluruh dunia.
BERAKHIRNYA SEBUAH MITOS Coelacanth ternyata masih hidup! Tim yang menangkap coelacanth hidup pertama di
Samudra Hindia pada tanggal 22 Desember 1938 terlihat di sini bersama ikan tersebut Keberadaan coelacanth yang masih hidup mengungkapkan sejauh mana evolusionis dapat mengarang skenario khayalan mereka. Bertentangan dengan pernyataan mereka, coelacanth ternyata tidak memiliki paru-paru primitif dan tidak pula otak yang besar. Organ yang dianggap oleh peneliti evolusionis sebagai paru- paru primitif ternyata hanyalah kantung lemak. (Jacques Millot, "The Coelacanth", Scientific American, Vol 193, December 1955, hal. 39). Terlebih lagi, coelacanth, yang dikatakan sebagai "calon reptil yang sedang bersiap meninggalkan lautan untuk menuju daratan", pada kenyataannya adalah ikan yang hidup di dasar samudra dan tidak pernah mendekati rentang kedalaman 180 meter dari permukaan laut. (Bilim ve Teknik (Science and Technology), November 1998, No. 372, hal. 21).
MANUSIA BERAHANG KERA
Tengkorak Manusia Piltdown dikemukakan kepada dunia selama lebih dari 40 tahun sebagai bukti terpenting terjadinya "evolusi manusia". Akan tetapi, tengkorak ini ternyata hanyalah sebuah kebohongan ilmiah terbesar dalam sejarah. Rekonstruksi tengkorak manusia Piltdown yang pernah diperlihatkan di berbagai museum Pada tahun 1912, seorang dokter terkenal yang juga ilmuwan paleoantropologi amatir, Charles Dawson, menyatakan dirinya telah menemukan satu tulang rahang dan satu fragmen tengkorak dalam sebuah lubang di Piltdown, Inggris. Meskipun tulang rahangnya lebih menyerupai kera, gigi dan tengkoraknya menyerupai manusia. Spesimen ini diberi nama "Manusia Piltdwon". Fosil ini diyakini berumur 500.000 tahun, dan dipamerkan di berbagai museum sebagai bukti nyata evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun, banyak artikel ilmiah telah ditulis tentang "Manusia Piltdown", sejumlah besar penafsiran dan gambar telah dibuat, dan fosil ini diperlihatkan sebagai bukti penting evolusi manusia. Tidak kurang dari 500 tesis doktoral telah ditulis tentang masalah ini. (Malcolm Muggeridge, The End of Christendom, Grand Rapids, Eerdmans, 1980, hal. 59.)
Pada tahun 1949, Kenneth Oakley dari departemen paleontologi British Museum mencoba melakukan "uji fluorin", sebuah cara uji baru untuk menentukan umur sejumlah fosil kuno. Pengujian dilakukan pada fosil Manusia Piltdown.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Selama pengujian, diketahui ternyata tulang rahang Manusia Piltdown tidak mengandung fluorin sedikit pun. Ini menunjukkan tulang tersebut telah terkubur tak lebih dari beberapa tahun yang lalu. Sedangkan tengkoraknya, yang mengandung sejumlah kecil fluorin, menunjukkan umurnya hanya beberapa ribu tahun.
Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa Manusia Piltdown merupakan penipuan ilmiah terbesar dalam sejarah. Ini adalah tengkorak buatan; tempurungnya berasal dari seorang lelaki yang hidup 500 tahun yang lalu, dan tulang rahangnya adalah milik seekor kera yang belum lama mati! Kemudian gigi-giginya disusun dengan rapi dan ditambahkan pada rahang tersebut, dan persendi-annya diisi agar menyerupai pada manusia. Kemudian seluruh bagian ini diwarnai dengan potasium dikromat untuk memberinya penampakan kuno.
Le Gros Clark, salah seorang anggota tim yang mengungkap pemalsuan ini, tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya dan mengatakan: "bukti-bukti abrasi tiruan segera tampak di depan mata. Ini terlihat sangat jelas sehingga perlu dipertanyakan - bagaimana hal ini dapat luput dari penglihatan sebelumnya?" (Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's Folly", New Scientist, 5 April 1979, hal. 44) Ketika kenyataan ini terungkap, "Manusia Piltdown" dengan segera dikeluarkan dari
Manusia Piltdown merupakan pemalsuan yang dilakukan dengan merekatkan rahang kera pada tengkorak manusia Skandal Piltdown dengan jelas memperlihat-kan bahwa tidak ada yang dapat menghentikan para evolusionis dalam rangka membuktikan teori-teori mereka. Bahkan, skandal ini menunjukkan para evolusionis tidak memiliki penemuan apa pun yang mendukung teori mereka. Karena mereka tidak memiliki bukti apa pun, mereka memilih untuk membuatnya sendiri.
KEKELIRUAN PEMIKIRAN TENTANG REKAPITULASI
Teori Haeckel ini menganggap bahwa embrio hidup mengalami ulangan proses evolusi seperti yang dialami moyang-palsunya. Haeckel berteori bahwa selama perkembangan di dalam rahim ibunya, embrio manusia kali pertama memperlihatkan sifat-sifat seekor ikan, lalu reptil, dan akhirnya manusia.
Sejak itu telah dibuktikan bahwa teori ini sepenuhnya omong kosong. Kini telah diketahui bahwa “insang-insang” yang disangka muncul pada tahap-tahap awal embrio manusia ternyata adalah taraf-taraf awal saluran telinga dalam, kelenjar paratiroid, dan kelenjar gondok. Bagian embrio yang diserupakan dengan “kantung kuning telur” ternyata kantung yang menghasilkan darah bagi si janin. Bagian yang dikenali sebagai “ekor” oleh Haeckel dan para pengikutnya sebenarnya tulang belakang, yang mirip ekor hanya karena tumbuh mendahului kaki.
Inilah fakta-fakta yang diterima luas di dunia lmiah, dan bahkan telah diterima oleh para evolusionis sendiri. Dua pemimpin neo-Darwinis, George Gaylord Simpson dan W. Beck telah mengakui: Haeckel keliru menyatakan azas evolusi yang terlibat. Kini telah benar-benar diyakini bahwa ontogeni tidak mengulangi filogeni
Segi menarik lain dari “rekapitulasi” adalah Ernst Haeckel sendiri, seorang pemalsu yang mereka-reka gambar-gambar demi mendukung teori yang diajukannya. Pemalsuan Haeckel bermaksud menunjukkan bahwa embrio-embrio ikan dan
Pada terbitan 5 September 1997 majalah ilmiah Science, sebuah artikel diterbitkan yang mengungkapkan bahwa gambar-gambar embrio Haeckel adalah karya penipuan. Artikel berjudul “Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered” (Embrio-embrio Haeckel: Mengungkap Ulang Sebuah Penipuan) ini mengatakan:
Kesan yang dipancarkan [gambar-gambar Haeckel] itu, bahwa embrio-embrio persis serupa, adalah keliru, kata Michael Richardson, seorang ahli embriologi pada St. George’s Hospital Medical School di London… Maka, ia dan para sejawatnya melakukan penelitian perbandingan, memeriksa kembali dan memfoto embrio-embrio yang secara kasar sepadan spesies dan umurnya dengan yang dilukis Haeckel. Sim salabim dan perhatikan! Embrio-embrio “sering dengan mengejutkan tampak berbeda,” lapor Richardson dalam Anatomy and Embryology terbitan Agustus [1997].
Pada terbitan 5 September 1997, majalah terkemuka Science menyajikan sebuah artikel yang menyingkapkan bahwa gambar-gambar embrio milik Haeckel telah dipalsukan. Artikel ini menggambarkan bagaimana embrio-embrio sebenarnya sangat berbeda satu sama lain...
Penelitian di tahun-tahun terakhir telah menunjukkan bahwa embrio-embrio dari spesies yang berbeda tidak saling mirip, seperti yang ditunjukkan Haeckel. Perbedaan besar di antara embrio-embrio mamalia, reptil, dan kelelawar di atas adalah contoh nyata hal ini
Science menjelaskan bahwa, demi menunjukkan bahwa embrio-embrio
memiliki kemiripan, Haeckel sengaja menghilangkan beberapa organ dari gambar- gambarnya atau menambahkan organ-organ khayalan. Belakangan, di dalam artikel yang sama, informasi berikut ini diungkapkan:
Bukan hanya menambahkan atau mengurangi ciri-ciri, lapor Richardson dan para sejawatnya, namun Haeckel juga mengubah-ubah ukuran untuk membesar- besarkan kemiripan di antara spesies-spesies, bahkan ketika ada perbedaan 10 kali dalam ukuran. Haeckel mengaburkan perbedaan lebih jauh dengan lalai menamai spesies dalam banyak kesempatan, seakan satu wakil sudah cermat bagi keseluruhan kelompok hewan. Dalam kenyataannya, Richardson dan para sejawatnya mencatat, bahkan embrio-embrio hewan yang berkerabat dekat seperti ikan cukup beragam dalam penampakan dan urutan perkembangannya.
Artikel Science membahas bagaimana pengakuan-pengakuan Haeckel atas masalah ini ditutup-tutupi sejak awal abad ke-20, dan bagaimana gambar-gambar palsu ini mulai disajikan sebagai fakta ilmiah di dalam buku-buku acuan:
Pengakuan Haeckel lenyap setelah gambar-gambarnya kemudian digunakan dalam sebuah buku tahun 1901 berjudul Darwin and After Darwin (Darwin dan Sesudahnya) dan dicetak ulang secara luas di dalam buku-buku acuan biologi berbahasa Inggris. Singkatnya, fakta bahwa gambar-gambar Haeckel dipalsukan telah muncul di tahun 1901, tetapi seluruh dunia ilmu pengetahuan terus diperdaya olehnya selama satu abad.
TATKALA MANUSIA MENCARI NENEK MOYANGNYA
Walaupun para evolusionis tidak berhasil menemukan bukti ilmiah untuk mendukung teori mereka, mereka sangat berhasil dalam satu hal: propaganda. Unsur paling penting dari propaganda ini adalah gambar-gambar palsu dan bentuk tiruan yang dikenal dengan "rekonstruksi".
Rekonstruksi dapat diartikan sebagai membuat lukisan atau membangun model makhluk hidup berdasarkan satu potong tulang yang ditemukan dalam penggalian. "Manusia-manusia kera" yang kita lihat di koran, majalah atau film semuanya adalah rekonstruksi. Ketika mereka tidak mampu menemukan makhluk "setengah manusia setengah kera" dalam catatan fosil, mereka memilih membohongi masyarakat dengan membuat gambar-gambar palsu. Persis seperti pernyataan evolusionis yang lain tentang asal-usul makhluk hidup, pernyataan mereka tentang asal-usul manusia pun tidak memiliki landasan ilmiah. Berbagai penemuan menunjukkan bahwa "evolusi manusia" hanyalah dongeng belaka. Darwin mengemukakan pernyataannya bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang sama dalam bukunya The Descent of Man yang terbit tahun penelitian, pernyataan "evolusi manusia" belum pernah dilandasi oleh penemuan ilmiah yang nyata, khususnya di bidang fosil. Penemuan ini jelas menunjukkan pendapat tentang sifat-sifat perolehan yang terkumpul dari satu keturunan ke turunan berikutnya, sehingga memunculkan spesies baru, tidaklah mungkin. Dengan kata lain, mekanisme seleksi alam rumusan Darwin tidak berkemampuan mendorong terjadinya evolusi. Jadi, teori evolusi Darwin sesungguhnya telah ambruk sejak awal di abad ke-20 dengan ditemukannya ilmu genetika. Segala upaya lain dari para pendukung evolusi di abad ke-20 selalu gagal.
Teori evolusi menyatakan bahwa kelompok makhluk hidup yang berbeda- beda (filum) terbentuk dan berkembang dari satu nenek moyang bersama, dan berubah menjadi bentuk yang semakin berbeda satu sama lain seiring berlalunya waktu. Gambar paling atas menampilkan pernyataan ini, yang dapat digambarkan menyerupai proses percabangan pohon. Namun, fakta catatan fosil malah membuktikan kebalikannya. Sebagaimana diperlihatkan gambar paling bawah, beragam kelompok makhluk hidup muncul serentak dan tiba-tiba dengan ciri tubuh masing-masing yang khas. Sekitar 100 filum mendadak muncul di zaman Kambrium. Setelah itu, jumlah mereka menurun (karena punahnya sejumlah filum) , dan bukannya meningkat.
YANG TERSEMBUNYI DI BALIK PERCOBAAN MILLER
Penelitian yang paling diterima luas tentang asal usul kehidupan adalah percobaan yang dilakukan peneliti Amerika, Stanley Miller, di tahun 1953. (Percobaan ini juga dikenal sebagai “percobaan Urey-Miller” karena sumbangsih pembimbing Miller di University of Chicago, Harold Urey). Percobaan inilah satu- satunya “bukti” milik para evolusionis yang digunakan untuk membuktikan pendapat tentang “evolusi kimiawi”. Mereka mengemukakannya sebagai tahapan awal proses evolusi yang mereka yakini, yang akhirnya memunculkan kehidupan. Melalui percobaan, Stanley Miller bertujuan membuktikan bahwa di bumi yang tak berkehidupan miliaran tahun lalu, asam amino, satuan molekul pembentuk protein, dapat terbentuk dengan sendirinya secara alamiah tanpa campur tangan sengaja apa pun di luar kekuatan alam. Dalam percobaannya, Miller menggunakan campuran gas yang ia yakini terdapat pada bumi purba (yang kemudian terbukti tidak tepat). Campuran ini terdiri dari gas amonia, metana, hidrogen, dan uap air. Karena gas- gas ini takkan saling bereaksi dalam lingkungan alamiah, ia menambahkan energi ke dalamnya untuk memicu reaksi antar gas-gas tersebut. Dengan beranggapan energi ini dapat berasal dari petir pada atmosfer purba, ia menggunakan arus listrik untuk tujuan tersebut. Atmosfer purba yang Miller coba tiru dalam percobaannya tidaklah sesuai dengan kenyataan. Di tahun 1980-an, para ilmuwan sepakat bahwa
seharusnya gas nitrogen dan karbon dioksidalah yang digunakan dalam
lingkungan buatan itu dan bukan metana serta amonia. Ilmuwan Amerika, J. P.
Ferris dan C. T. Chen mengulangi percobaan Miller dengan menggunakan lingkungan atmosfer yang berisi karbon dioksida, hidrogen, nitrogen, dan uap air;
dan mereka tidak mampu mendapatkan bahkan satu saja molekul asam
amino. (J. P. Ferris, C. T. Chen, "Photochemistry of Methane, Nitrogen, and Water
Terdapat sejumlah temuan yang menunjukkan bahwa kadar oksigen di atmosfer kala itu jauh lebih tinggi daripada yang sebelumnya dinyatakan para evolusionis. Berbagai penelitian juga menunjukkan, jumlah radiasi ultraviolet yang kala itu mengenai bumi adalah 10.000 lebih tinggi daripada perkiraan para evolusionis. Radiasi kuat ini dipastikan telah membebaskan oksigen dengan cara menguraikan uap air dan karbon dioksida di atmosfer. Keadaan ini sama sekali bertentangan dengan percobaan Miller, di mana oksigen sama sekali diabaikan. Jika oksigen digunakan dalam percobaannya, metana akan teruraikan menjadi karbon dioksida dan air, dan amonia akan menjadi nitrogen dan air. Sebaliknya, di lingkungan bebas oksigen, takkan ada pula lapisan ozon; sehingga asam-asam amino akan segera rusak karena terkena sinar ultraviolet yang paling kuat tanpa perlindungan dari lapisan ozon. Dengan kata lain, dengan atau tanpa oksigen di bumi purba, hasilnya adalah lingkungan mematikan yang bersifat merusak bagi asam amino. Anehnya, mengapa percobaan Miller masih saja dimuat di buku-buku pelajaran dan dianggap sebagai bukti penting asal usul kehidupan secara kimiawi? Ini sekali lagi menunjukkan betapa evolusi bukanlah teori ilmiah, melainkan keyakinan buta yang tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan hal sebaliknya. Kalangan masyarakat awam adalah yang umumnya tidak mengetahui kenyataan ini, dan menganggap pernyataan evolusi manusia didukung oleh berbagai bukti kuat. Anggapan yang salah tersebut terjadi karena masalah ini seringkali dibahas di media masa dan disampaikan sebagai fakta yang telah terbukti. Tetapi mereka yang benar-benar ahli di bidang ini mengetahui bahwa kisah "evolusi manusia" tidak memiliki dasar ilmiah.