Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam d

ABSTRAK
Kebijakan pengelolan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia masih jauh
dari amanat konstitusi yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sistem ekonomi-politik
neoliberal kapitalistik yang diakomodasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakannya telah
menempatkan sumberdaya alam hanya sebatas komoditi yang diorientasikan untuk memenuhi
kepentingan pasar. Kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan,
ketimpangan penguasaan akses dan kontrol, ketidakadilan dan bahkan lebih jauh
telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang berakibat pada bencana ekologis
dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan mereka.
Diperlukan tindakan sistematis untuk memulihkan dan melindungi kondisi ekologis, sosial,
ekonomi, politik dan budaya dengan menjamin akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber
kehidupan yang adil dan lestari.

1

PENDAHULUAN

Sumberdaya alam berlimpah yang tidak diperuntukkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat menjadikan negeri kaya raya bernama Indonesia, dieksploitasi untuk
kepentingan negara industri maju dan kuasa modal di Indonesia. Seakan menjadi kutukan bagi
rakyatnya sendiri, sampai dengan tahun 2010 masih terdapat sekitar 31,6 juta jiwa rakyat negara

ini yang terperosok kedalam lubang kemiskinan yang paling dalam. Jutaan keluarga tidak
mendapatkan akses air bersih, seiring dengan makin menipisnya daerah resapan air,
berkurangnya jumlah DAS, dan pengelolaan sumber daya air yang buruk. Dan masih jutaan anak
yang tidak mendapatkan pendidikan, serta tidak tersedianya layanan kesehatan yang mumpuni
dan layak bagi publik.
Eksploitasi terhadap hutan, bahan tambang, migas, perampasan tanah (landgrabing) dan
sumberdaya alam lainnya telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang berakibat
pada bencana ekologis dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan.
Untuk itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan lain, selain
memulihkan Indonesia. Agar tujuan bernegara dan berbangsa sebagaimana yang termaktub
dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat segera terwujud.
Tujuan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lain adalah menuju Negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Merdeka dan berdaulat secara politik untuk
menentukan arah Negara Bangsa. Merdeka secara ekonomi yang berpihak pada kepentingan
rakyat banyak. Merdeka secara sosial dan budaya agar memiliki identitas dan jatidiri dan mampu
memberikan ruang sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Agar ini tercapai
maka dibutuhkan i’tikad politik yang meniadakan monopoli dan pengusaan besar-besaran
sumberdaya alam oleh swasta dan asing, sehingga kesejahteraan benar-benar untuk publik.
Setelah enam puluh lima tahun dari tonggak cita-cita kemerdekaan dikumandangkan,

semakin hari bangsa ini semakin jauh dari pencapaian tersebut. Perjuangan yang didapat dengan
berdarah-darah seperti telah dikhianiti oleh anak bangsanya sendiri. Negara sebagai penguasa
sumberdaya alam, telah gagal mendistribukan hasilnya untuk kepentingan dan kemaslahatan
bangsa. Pengelolaan sumber daya alam yang diperuntukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran

2

rakyat telah gagal dicapai. Konsep bernegara yang berfungsi sebagai pengatur dan pelayan
rakyatnya, justru hanya melayani kepentingan elit kuasa dan para pemodal. Re-publika
(Indonesia) telah digantikan dengan Re-privata (swasta). Dan Indonesia pun kembali terjajah.
Penjajah telah berganti wajah, berganti metode, bentuk dan gaya. Penjajah bukan lagi
representasi satu negara akan tetapi terakomodasi dalam berbagai lembaga, seperti WTO, World
Bank, ADB, yang dibungkus lewat berbagai perjanjian perdagangan seperti CAFTA, G20 dan
lain

sebagainya.

Dalam

berbagai


perjanjian

tersebut

negara-negara

Industri

tetap

mempertahankan supremasinya atas negara bekas koloni. Inilah yang disebut praktik
kolonialisme ekonomi pasca perang dingin.
Setelah pecahnya perang dunia kedua, perluasan ekonomi tetap memangsa aset-aset
negara bekas jajahan. Dan bahkan semakin kuat mencengkram sendi-sendi aset kehidupan
rakyat. Peran negara sebagai pelayan rakyat (re-publika) dipaksa untuk dikurangi dengan
berbagai proses ekonomi liberal. Penghapusan subsidi untuk rakyat, melakukan liberalisasi
sektor keuangan, melakukan penjualan aset Badan Usaha Milik Negara. Hingga bebasnya
perdagangan lintas negara yang menghancurkan usaha kecil rakyat disektor pertanian,
peternakan, perikanan dan industri rumah tangga. Menyandarkan pembangunan pada utang luar

negeri dan meninggalkan kemampuan mandiri dan berdikari. Indonesia dewasa ini dipaksa
menjalankan tiga fungsi yang menopang sendi ekonomi global yakni, sumber daya alam yang
berlimpah, buruh murah terpasang, dan pasar bagi produk penjajah.
Kebijakan ekonomi politik yang eksploitatif di mana telah terjadi ketimpangan
penguasaan agraria yang sangat mencolok ini, telah menyebabkan kehancuran ekologis di
hampir setiap jengkal tanah di Indonesia. Kehancuran ekologis semakin besar terjadi karena
bersekutunya elit kuasa negeri dengan para kuasa modal. Sementara risiko kerusakan lingkungan
dan hilangnya aset-aset untuk keberlangsungan hidup dipikul oleh rakyat. Elit kuasa dan pemilik
modal memiliki kekerabatan yang erat dengan kerusakan dan kehancuran sistem ekologis.
Setelah sumberdaya air, sumberdaya pangan kini dalam proses privatisasi. Swasta dan asing akan
secara legal melakukan perampasan lahan (land grabing). Risiko dan harga kehancuran
lingkungan tidak dihitung bahkan diabaikan dalam setiap investasi dan proyek utang. Pada
gilirannya saat kondisi lingkungan rusak dan tercemar, proyek pemulihan lingkungan kembali
didesakan melalui dana utang (kasus waduk dan perubahan iklim).

3

Kehancuran lingkungan sudah merata sebarannya di Indonesia. Wujud paling mudah
untuk dikenali adalah berbagai bencana ekologis yang terjadi setiap hari di seluruh nusantara,
sambung menyambung tanpa jeda. Kondisi ini diperparah dengan situasi geografis Indonesia

yang berada di kawasan rentan bencana dan ancaman perubahan iklim.
Dalam kerangka penyelamatan Indonesia inilah gerakan lingkungan hidup mengambil
inisiatif mengajak para pihak untuk terlibat dalam Gerakan Pemulihan Indonesia. Gerakan ini
adalah upaya pembalikan krisis multidimensi yang menjangkiti Indonesia. Memperbaiki tata
kehidupan berbangsa secara utuh, mewujudkan keadilan ekologis dengan cara populer dan
semangat progresif.

4

SALAH URUS BERUJUNG BENCANA

Dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana (BNPB, 2010).
Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10
kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran. Kondisi ini di
sebut WALHI sebagai “Darurat Ekologis Indonesia”.
Proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat telah mengakibatkan terjadinya
krisis multidimensi. Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial-budaya dan krisis ekologi lahir
dari proses demokrasi yang telah dibajak oleh kepentingan elit yang menghamba pada kuasa
modal. Krisis ekologi yang terjadi karena negara, pemodal dan sistem pengetahuan modern telah
mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk

memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek sehingga pada gilirannya berbagai bencana
lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air
telah menjadi bencana yang diderita rakyat dari tahun ke tahun (WALHI, 2004).
Kondisi semacam ini secara langsung menjadi penyebab dari kemiskinan rakyat serta
hilangnya kedaulatan dan keadilan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 20042009 menyebutkan, bahwa masyarakat miskin di Indonesia sangat rentan terhadap perubahan
pola pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Penyebab utamanya adalah akses
yang terbatas terhadap SDA sebagai sumber mata pencaharian dan penunjang kehidupan seharihari. Hal ini diperburuk dengan menurunnya mutu Lingkungan Hidup yang membuat masyarakat
rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan dan masyarakat miskin semakin rentan untuk lebih
terpuruk. Meskipun sangat disayangkan tidak disebutkan peran kuasa modal di dalamnya, yang
menjadi penyebab dari adanya ketimpangan akses dan pemanfaatan Sumber Daya Alam di
tengah masyarakat.
Masalah akses dan pemanfaatan terhadap Sumber Daya Alam menjadi isu penting dalam
kaitannya dengan hak menentukan nasib sendiri terkait dengan pemanfaatannya yang berada
dalam teritori suatu bangsa. Artinya, setiap bangsa harus secara bebas menguasai kekayaan alam
dan sumber dayanya. Secara yuridis, jaminan suatu negara atas kedaulatan sumber daya alam
telah diatur dalam instrumen hukum internasional. Ruang lingkup pengaturannya tidak terbatas
hanya pada penguasaan atas sumber daya alam semata, namun meluas terbangunannya tatanan
ekonomi internasional yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Pasal 22 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) secara implisit menjamin hak atas
penentuan nasib sendiri karena pasal ini berkenaan dengan realisasi hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya melalui kerjasama internasional. Lebih lanjut, Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1803
(XVII) tahun 1962 juga menyatakan bahwa Kedaulatan Permanen terhadap Sumber Daya Alam,
merupakan konsekuensi logis dari hak menentukan nasib sendiri.

5

Penegasan mengani hal ini lebih jauh diatur dalam konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat
2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3:“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”
Dua instrumen yuridis di tingkat internasional maupun nasional, membantu dalam
melakukan observasi secara lebih mendalam atas kondisi terkini pengelolaan lingkungan hidup
dan sumber daya alam di Indonesia. Ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan
konstitusional bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pengelolaan dan turut menikmati
manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam. Karena itu sudah selayaknya hal ini
menjadi landasan dalam setiap perencanaan kebijakan di bidang lingkungan dan sumber daya
alam. Yaitu memastikan peran konstitusional negara dalam menguasai kekayaan alam dengan
tujuan menjamin agar kemakmuran rakyat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran
orang perorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang perorang, yang

memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
Di sisi lain, memburuknya kondisi lingkungan dan kebijakan lingkungan saat ini sangat
berpengaruh terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan pendidikan, serta
hak asasi lainnya. Kerugian ekologis terjadi akibat dari kegiatan pertambangan yang merusak
lingkungan, privatisasi sumber daya air, pembalakan yang merusak serta praktek penangkapan
ikan secara ilegal dan merusak lingkungan. Sumber Daya Alam melimpah yang dimiliki
Indonesia telah menggabungkan negeri ini dalam daftar sumber pengerukan dan target
penjajahan oleh kapital internasional. Selain mengambil keuntungan dari ekspor bahan mentah
dengan harga murah, mereka juga menggunakan kesempatan ini untuk memastikan pembayaran
kembali utang-utang pemerintah.
Kondisi demikian jelas bertentangan dengan semangat konstitusi untuk memberikan
jaminan terhadap hak atas lingkungan hidup. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1)
menyebutkan“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan'. Sedangkan Pasal 33 ayat (4) berbunyi 'Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional'.

6


Sektor Kehutanan
Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi degradasi hutan mencapai lebih dari 2 juta hektar
per tahun, lebih cepat dibanding era tahun 1980-an dengan tingkat degradasi 1 juta per tahun.
Sampai tahun 2007, terdapat 322 izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan luas 2,78 juta
hektar. Sementara, 266 izin HTI dengan luas 10 juta hektar, hanya 3,4 juta hektar yang ditanami,
sedangkan sisanya ditelantarkan. Penebangan komersil secara ekspansif untuk konversi hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar yang luasnya mencapai 20 juta hektar lebih,
sementara yang sudah ditanami seluas 7,8 juta hektar, ditambah dengan kawasan pertambangan
yang juga mengkonversi hutan sehingga semakin didegradasikannya kawasan hutan Indonesia.
Kawasan hutan lindung pun terus mengalami penciutan. Tahun 2004, luas kawasan hutan
lindung Indonesia mencapai 55,2 juta hektar. Fakta terkini, Indonesia tinggal memiliki kawasan
hutan lindung seluas 39 juta hektar (2009). Terjadi penciutan kawasan hutan lindung seluas 29 %
dalam 5 tahun terakhir. Adapun kawasan hutan lindung yang terancam ditambang sejumlah 11,4
juta hektar. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah mengakomodir investasi yang
mengorbankan hutan, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Aturan tersebut
diantaranya PP No 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari
Penggunaan Kawasan Hutang untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.
Perubahan Iklim
Dalam kebijakan terkait perubahan iklim, pemerintahan belum melakukan tindakan nyata

untuk mengatasi perubahan iklim, di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat nasional,
melalui pembukaan lahan gambut dan perkebunan sawit yang sempat dijadikan ikon energi
rendah karbon membuat emisi karbon Indonesia menjadi besar. Di tingkat internasional,
Indonesia jauh di belakang negara dunia ketiga lainnya, seperti Bolivia, yang secara keras
mengingatkan negara Industri untuk menurunkan emisinya serta membayar hutang ekologis
(hutang iklim mereka) kepada dunia dan negara dunia ketiga, bukan melalui metode carbon offset.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mereduksi emisi dari sektor energi dan sektor
kehutanan (praktek konversi lahan) sebesar 26% pada tahun 2020 sebagaimana yang
disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pertemuan KTT G-20
di Pittsburgh pada bulan September yang lalu hanya akan mempermalukan Indonesia di dalam
kancah perundingan terkait dengan perubahan iklim. Karena sebelumnya pada saat pertemuan G8 di Hokaido Jepang Presiden SBY juga pernah menyampaikan komitmen Indonesia untuk
menurunkan emisi dari sektor kehutanan sebesar 50% pada tahun 2009. Tapi sampai dengan hari
ini, komitmen tersebut tak lebih dari sekedar cek kosong dalam perubahan iklim.
Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang diterbitkan pada 20
September 2011 lalu masih terlalu general dan memberikan ruang terhadap konversi kawasan
hutan untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan kayu serta tidak memuat penyelesaian konflik
tenurial yang menjadi persoalan mendasar pengelolaan kawasan saat ini. Selain itu juga Perpres

7


61 tahun 2011 ini tidak menjawab bagaimana koordinasi dan penyelarasan program secara lebih
konkret baik antar sektor maupun antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sementara
disisi lain sebelumnya pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan pembangunan melalui
program MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang sudah pasti
lapar tanah dan sumberdaya alam yang berpotensi besar merusak lingkungan dan menimbulkan
konflik dengan masyarakat.
Pemerintah tak pernah menunjukkan upaya serius untuk menghentikan laju deforestasi,
melainkan terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam, seperti mengeluarkan 20
izin RKT seluas ratusan ribu hektar diatas hutan alam di propinsi Riau pada tahun 2008 untuk
mendukung kebutuhan kayu industri bubur kertas.
Pemerintah juga terus akan mengembangkan perkebunan sawit seluas 12,9 juta hektar di
12 wilayah untuk mendukung program biofuel di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan tujuan
pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 untuk
mendukung kebutuhan ekspor sebesar 60% dan sisanya untuk kebutuhan energi, pangan dan lain
sebagainya. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua
ton CO2 (Wetlands International, 2006).
Pertanian, Kemiskinan dan Konflik
Hingga kini kemiskinan di pedesaan dan pertanian juga tidak pernah menjadi perhatian
pemerintah sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah 44,3 persen.
Namun, mereka hanya menyumbang 15.9 dari PDB Nasional 2008 yang berarti sebagian besar
petani hidup dalam kemiskinan. Rata-rata kepemilikan lahan yang dipunyai oleh petani hanya
0.17 hektar lahan/perkapita. Sebagian besar di dalamnya adalah buruh tani yang tidak
mempunyai lahan sama sekali (landless). Sementara itu, terdapat 12.418.056 (dua belas juta
empat ratus delapan belas ribu lima puluh enam) hektar tanah terlantar (Deptan 2007) tidak
pernah diberikan kepada rakyat.
Selain miskin, rakyat setiap hari juga harus berhadapan dengan perampasan tanah.
Hingga tahun 2008, tercatat 10,8 juta hektar tanah petani dan masyarakat adat telah dirampas
oleh perusahaan yang difasilitasi negara. Ada lebih dari 1,1 juta KK yang menjadi korban.
Mayoritas konflik tersebut menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang paling
menderita, akibat kerentanan dan kondisi ketidakadilan gender yang selama ini sangat menyolok
dalam pengurusan kekayaan alam Indonesia.
Yang juga patut dicermati adalah masih kuatnya pendekatan kekerasan, dan
kriminalisasi oleh negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. WALHI mencatat hingga hingga
tahun 2008 terdapat 317 kasus sengketa agraria dan sumberdaya alam yang melibatkan rakyat
berhadap-hadapan dengan kekuatan aparatur negara dan modal. Keseluruhan kasus tersebut, ratarata mengandung unsur kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Merujuk data
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat 4000 kasus konflik yang timbul
atas perebutan kawasan kelola atas sumberdaya alam (2008).

8

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria, mencatat bahwa hingga tahun 2007
terdapat 1.537 konflik agraria di Indonesia dengan melibatkan 10 juta hektar tanah dan 10 juta
penduduk. Sedangkan Sawit Watch, salah satu organisasi yang konsen pada isu perkebunan sawit
dan HAM mencatat sampai untuk tahun 2007 terdapat 514 kasus yang terjadi di 14 propinsi,
melibatkan rakyat, serta 141 perusahaan sawit, dari 23 group usaha dan pemerintah.
Data konflik LH dan PSDA ini hanya yang muncul di permukaan. Sebab, BPN Pusat
hingga tahun 2007 mencatat tanah sengketa yang telah lama umurnya berjumlah 7.491 kasus.
Penyelesaianya baru diselesaikan 591 kasus pada tahun 2007, dan 1.600 kasus pada tahun 2008.
Dalam beragam konflik SDA dan agraria ini, persoalan administratif penguasaan atas tanah
dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) menjadi salah satu pokok soalnya.
Lingkungan Hidup, Utang dan Korupsi
Merujuk laporan Koalisi Anti Utang, hingga Juli 2009, untuk outstanding Surat Utang
Luar Negeri (SUN) saja sudah hampir menyentuh angka Rp 900 triliun. Kenaikan jumlah utang
luar negeri terus meningkat setiap tahun dan membebaniAnggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Sebagai ilustrasi, hingga akhir Juli 2008, total utang negara sudah mencapai
sebesar Rp 1.462 triliun. Jumlah itu hampir mencapai angka 2 kali lipat APBN 2007. Hampir
separuh utang luar negeri, atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka
tersebut, 40 persen adalah utang dari Jepang.
Secara nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar
Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebesar Rp 194 triliun.
Selama ini utang luar negeri yang sangat besar tersebut tidak digunakan untuk rakyat,
tetapi menjadi sumber bagi pembiayaan kepentingan modal dan investasi besar. Investasi dengan
modal besar ini, secara eksploitatif semakin menurunkan kualitas dan daya dukung lingkungan.
Di satu sisi, negara dengan menggunakan pajak rakyat, harus membayar bunga dan cicilan
hutang pokok dalam jumlah yang sangat besar.
Untuk tahun anggaran 2008-2009 pembayaran cicilan pokok dan bunga utang mencapai
Rp. 495,69 triliun atau setara dengan 58 persen pendapatan negara, atau menghabiskan 75 persen
pendapatan pajak dalam APBN 2009.
Hingga Agustus 2009, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 1.6000 trilun
(kurs 11.000/US$). Angka ini, menjadikan setidaknya setiap jiwa rakyat Indonesia hari ini harus
menanggung beban utang sebesar Rp 8 juta!
Sementara itu, di tengah situasi krisis dan kemisinan rakyat Indonesia, watak korupsi dan
bermewah-mewah aparat kita masih menonjol. Hingga tahun 2007, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menemukan total penyimpangan anggaran negara sebesar 3.600 triliun rupiah. Ada 40%
yang berpotensi dikorupsi. Anggaran negara yang dicuri, lebih besar dari total tanggungan
subsidi BBM, subsidi pupuk dan bantuan tunai langsung (BLT).
9

Privatisasi Yang Melumasi Krisis Ekologis
Pemerintah juga terus melakukan privatisasi dan swastanisasi aset-aset strategis publik,
seperti BUMN, industri migas, perusahaan listrik negara, perbankan nasional dan lain
sebagainya. Sedikitnya 34 BUMN strategis hendak dijual oleh pemerintah kepada pihak swasta
(mayoritas asing) melalui Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan dengan Keppres 18 tahun
2006. Privatisasi ini mendorong semakin meningkatnya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya
alam di Indonesia, dimana beberapa diantaranya mengelola sektor sumber daya air, mineral,
energi, perkebunan dan kehutanan. Penyerahan BUMN strategis bidang SDA kepada mekanisme
pasar bebas ini juga secara ekonomik melumasi bencana ekologis. Akses dan kontrol negara dan
rakyat atas LH dan PSDA berpindah ke tangan modal swasta.
Sektoralisme, Pemasalahan Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Sektoralisme dalam pengelolaan sumber daya alam telah berjalan selama puluhan tahun,
dimulai dengan dibukanya keran penanaman modal asing di masa Orde Baru. UU No.1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang ternyata keluar lebih dahulu daripada UU No.6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, segera disusul oleh UU No.11 Tahun 1967
tentang Pertambangan. Kebijakan ini melancarkan datangnya PT. Freeport ke Indonesia, yang
kemudian terus menerus diperpanjang kontraknya sejak 1967 hingga 2041. Selama itu pula,
hingga kini tidak ada suatu kesatuan pandangan tentang pengelolaan sumber daya alam. Bahkan
sebuah kebijakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam (Ketetapan MPR
No.IX Tahun 2001) yang belakangan lahir atas kesadaran adanya ketidaksinkronan berbagai
kebijakan sektoral dan ketimpangan dalam pengelolaannya menjadi mandul karena tidak pernah
dijalankan oleh pemerintah dan DPR.
Faktanya kini, 10 tahun sejak Tap MPR tersebut lahir, kebijakan agraria dan sumber daya
alam yang ada tetap bersifat sektoral dan kadang saling bertentangan. Ketiadaan aturan yang
general tentang sumber daya alam pun menyulitkan dalam UU lainnya misalnya saja, UU No.26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan sebuah PP tentang “penatagunaan sumber
daya alam lainnya” padahal pengertian “sumber daya alam lainnya” tersebut tidak pernah
dijelaskan sebelumnya, dan tidak ada UU lain yang dapat dijadikan pedoman.
Sektoralisme dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam menimbulkan berbagai
inkonsistensi. Untuk permasalahan istilah saja bagaimana negara menempatkan diri terhadap
sumber daya alam terdapat perbedaan antar kebijakan. Ada yang menggunakan kata
penatagunaan, penguasaan hingga pengelolaan. Belum ada konsep yang baku dan dapat
dipedomani mengenai “hak menguasai negara” terhadap bumi, air dan kekayaan alam
sebagaimana diamanatkan dalam jiwa pasal 33 UUD 1945.

10

Dari segi visi misi kebijakan, Maria S. Soemardjono dkk. membuat penilaian sebagai berikut
terhadap berbagai kebijakan terkait penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam:
Kebijakan
UU 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
UU 11/1967 tentang
Ketentuan–ketentuan Pokok
Pertambangan

Visi Misi
konservasi sumber daya alam, bersifat pro-rakyat dan
berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan
kepemilikan, dan mengedepankan nasionalisme
Eksploitasi bahan tambang dan pro-kapital.

UU 5/1990 tentang
Konservasi dan pro-rakyat
Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
UU 41/1999 tentang
Kehutanan
UU 22/2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi
UU 7/2004 tentang
Sumberdaya Air

UU 31/2004 tentang
Perikanan

Perimbangan eksploitasi dan konservasi, namun lebih
cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital daripada prorakyat
Eksploitasi dan pro-kapital
Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial, dan ada
kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan
ketersediaan
modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen usaha
yang ahli.
Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian
terhadap untuk nelayan kecil.

UU 26/2007 tentang Penataan Konservasi dan pro-rakyat
Ruang
UU 27/2007 tentang
Konservasi, dan eksploitasi, pro-rakyat, tetapi juga
Pengelolaan Wilayah Pesisir
pro-kapital.
dan Pulau – pulau Kecil
(PWP3K)
UU 18/2008 tentang
Pengelolaan Sampah

Konservasi, pro-rakyat sekaligus tetap membuka
peluang pada kapital besar.

11

Selain itu kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga
menyumbang kesemrawutan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan
daerah, antar daerah dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di
tingkat lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat,
apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2010 saja,
WALHI telah melaporkan sejumlah dugaan korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang
dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk pertambangan di
Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur; serta kasus
dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Dukungan pemerintah terhadap keamanan berusaha bagi korporasi juga diwujudkan
dalam dirumuskannya pasal-pasal kriminalisasi bagi pihak-pihak yang dianggap “menganggu”.
Hal ini tercermin dalam berbagai UU, mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU
No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta baru-baru ini
yaitu UU Perumahan dan Permukiman yang mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap
menghalangi relokasi (baca: penggusuran).
Hal ini kemudian berdampak pada banyaknya kasus masyarakat yang dikriminalisasi saat
berhadapan dengan korporasi dalam mempertahankan ruang hidup dan lingkungannya.
Kriminalisasi ini seringkali justru memperuncing konflik agraria antara masyarakat dengan
perusahaan yang mungkin telah terjadi bertahun-tahun. Begitu banyaknya warga masyarakat
yang dikriminalisasi, bahkan mengalami kekerasan hingga tewas karena dianggap menghalanghalangi kegiatan pengusaha, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Sementara
pengusaha yang dilaporkan oleh warga masyarakat karena perampasan lahan dan wilayah adat
tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Meskipun ada kasus misalnya penetapan
pengusaha sawit Murad Husein sebagai tersangka perampasan lahan di Banggai pada Maret
2010, hingga kini yang bersangkutan masih bebas dan kasusnya belum ditindaklanjuti.
Sementara 17 warga dan aktivis saat ini mendekam di tahanan karena berdemonstrasi dan
dituduh merusak fasilitas kantor perusahaan milik Murad Husein.
Di lain pihak, penegakan hukum untuk tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh
korporasi masih sangat lemah. Untuk pencemaran saja, Walhi mencatat ada 75 kasus sepanjang
2010, sementara pengaduan yang masuk ke Kementrian Lingkungan Hidup mencapai 200 kasus.
Akan tetapi Mabes Polri dalam setengah tahun pertama 2010 hanya menangani 13 kasus tindak
pidana lingkungan dengan 6 tersangka, sementara di tahun 2009 total hanya 17 kasus dengan 10
tersangka. Karena nya masih banyak kasus yang belum tersentuh hukum. Sementara di
tingkatan pengadilan, Kementrian Lingkungan Hidup mencatat hanya 20 kasus dengan 5 kasus
divonis penjara, 1 kasus divonis pidana percobaan, sementara terpidana dalam 14 kasus lainnya
dinyatakan bebas murni.
Doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang telah diakui dalam UU No.23
Tahun 1997 yang kemudian diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang
perlindungangan dan pengelolaan lingkungan hidup, ternyata tidak serta merta dapat
memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak. Contoh yang paling fenomenal
adalah kasus lumpur lapindo, dimana perusahaan berkelit dengan argumentasi keterkaitan antara

12

semburan lumpur dengan bencana gempa di Yogyakarta. Meskipun ada sejumlah ahli yang
membantah argument tersebut, proses hukum baik pidana maupun perdata (diajukan oleh Walhi
dan YLBHI secara terpisah) tetap tidak dapat membuat PT. Lapindo Brantas bertanggungjawab.
Bahkan hingga kini, negara yang harus menanggung akibatnya dan telah lebih dari Rp.4 trilyun
dana APBN dikucurkan hingga kini.
Untuk kejahatan kehutanan seperti pembalakan dan penyelundupan hidupan liar yang
mendapat perhatian dan dukungan pembiayaan yang signifikan dari luar negeri, berbagai upaya
dukungan dilakukan bahkan RUU Pembalakan Liar menganggap bahwa kejahatan ini sama
seriusnya dengan terorisme, karenanya penegakannya dapat menyimpang dari ketentuan
KUHAP. Padahal, lagi-lagi yang akan dikriminalisasi dengan UU ini nantinya adalah masyarakat
perambah yang hidupnya tergantung dari hutan, sementara perusahaan pembalakan kayu skala
besar yang jauh lebih merusak dapat melenggang bebas selama mengantongi izin dari
pemerintah.
Di sisi lain, penyidikan untuk tindak pidana impor limbah B3 dalam UU PPLH yang
sebagaimana bunyinya pasti melibatkan dua negara, ternyata tidak dianggap sebagai kejahatan
transnasional. Polairud Mabes Polri mengakui bahwa mereka tidak dapat menjangkau pengimpor
limbah di luar negeri karena keterbatasan dana, sehingga selama ini yang dari sekian banyak
kasus yang ditangani keseluruhannya hanya penerima (perusahaan di Indonesia) yang dijadikan
tersangka dan hampir semuanya bebas. Lebih lanjut, peraturan pelaksana UU PPLH tentang
pengelolaan limbah B3 hingga kini juga tidak kunjung disahkan, sehingga mempersulit
penegakan hukumnya.
UU PPLH menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana UU tersebut akan selesai dalam
waktu setahun (Oktober 2010 yang lalu). Belum disahkannya satupun peraturan pelaksana
tersebut menunjukkan ketidakseriusan KLH dalam mempersiapkan perangkat penegakan hukum
lingkungan. Saat ini memang sejumlah RPP sedang dibahas akan tetapi prosesnya kurang
partisipatif dimana pembahasannya cenderung tertutup untuk RPP tertentu. Adapula kecurigaan
bahwa ada proses ‘penghalusan’ ketentuan dalam UU PPLH yang selama ini dianggap sangat
keras, untuk dapat menjamin keberlangsungan dan dukungan dunia usaha serta institusi
pemerintah yang erat dengan eksploitasi sumber daya alam seperti Kementrian ESDM, dapat
terlihat misalnya dalam draf RPP Perizinan Lingkungan yang telah dikonsultasikan ke publik.
Sementara itu, perlawanan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan konstitusi terus berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Paling tidak sudah
ada 2 (dua) undang-undang yang dimenangkan oleh masyarakat sipil melalui gugatan yudisial
review yaitu UU PWP3K terkait pasal HP3 dan UU Perkebunan. Menyusul UU No.4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga kini telah menuai setidaknya lima
pengajuan uji materil dari berbagai pihak, salah satunya adalah Walhi dengan sejumlah
organisasi dan individu terkait penetapan wilayah pertambangan yang tidak melibatkan
persetujuan masyarakat dan kriminalisasi terhadap penolakan pertambangan. Maraknya proses
uji materil ini menunjukkan bahwa banyak undang-undang yang memang bertentangan atau
tidak sejalan dengan konstitusi UUD 1945 sehingga seharusnya menjadi perhatian bagi pembuat
kebijakan, apalagi dengan target legislasi 2011 yang ambisius sejumlah 70 UU, padahal di tahun
2010 DPR hanya berhasil mengeluarkan tidak sampai 10 UU.

13

Kebijakan ‘payung” untuk pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam
masih merupakan sesuatu yang dicita-citakan untuk mengatasi tumpang tindih dan
ketidaksinkronan kebijakan. Ini merupakan tantangan bagi gerakan lingkungan dan agraria untuk
terus menerus memperjuangkannya, ditengah ego sektoral dari berbagai kementrian di
pemerintah. Tentunya proses panjang ini harus dibarengi dengan kesiapan komitmen, substansi
dan sumber daya yang memadai.
Sementara itu, legislasi berbagai kebijakan sektoral yang masih berlangsung saat ini tetap
tidak dapat diabaikan. RUU tentang Perubahan UU Migas, RUU tentang Perubahan UU Pangan,
RUU Pemberantasan Pembalakan Liar dan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Pembangunan adalah sebagian dari sekian banyaknya RUU prioritas Prolegnas 2011 yang
penting untuk dipantau substansinya. Selain itu karena harapan penegakan hukum lingkungan
banyak digantungkan pada UU PPLH, penting bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam
pembahasan berbagai rancangan peraturan pelaksanaannya. Bagi pemerintah khususnya KLH,
dibutuhkan percepatan pembahasan tanpa mengabaikan substansinya demi kepastian hukum dan
penegakannya.
Restorasi Ekologis
Kunci “Pemulihan Indonesia” adalah restorasi ekologis. Restorasi Ekologis adalah
tindakan sistematis untuk memulihkan dan melindungi kondisi ekologis, sosial dan budaya
kawasan dengan menjamin akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupan yang adil
dan lestari.
Program Restorasi Ekologis harus didasarkan pada asas kerakyatan, keadilan antar dan
intra generasi, kepastian hukum, keberlanjutan, partisipasi, transparansi, akuntablitas, serta
penghormatan pada nilai hak asasi manusia. Di samping itu, memuat hal-hal yang berkenaan
dengan aspek-aspek demokratisasi pengelolaan SDA yang tercermin dalam pengaturan hak dan
peran serta masyarakat yang hakiki dan terperinci dengan menjabarkan prinsip: keadilan gender,
akses atas informasi, perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat
dan sistem nilai masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA.
Restorasi Ekologis menentang pola pembangunan dan pengurusan SDA yang bercorak
eksploitatif, ekspansif, berorientasi pasar, mengabaikan keselamatan dan peningkatan
produktifitas rakyat, serta keberlanjutan jasa pelayanan alam.
Selain itu juga, Restorasi Ekologis menempatkan keadaan kemiskinan dan penurunan
kualitas LH dan SDA sebagai tanggung jawab utama pemerintah sebagai pemangku amanat
konstitusi negara demi untuk memenuhi hak-hak dasar dan keadilan perlakuan bagi seseorang
atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang
diakui secara umum, meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,

14

pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup
(LH), rasa aman dan perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk itu, pelaksanaan agenda Restorasi Ekologis harus dilaksanakan secara terintegrasi
dalam seluruh sektor dan wilayah. Prinsip-prinsip Restorasi Ekologis juga harus digunakan
sebagai prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan,
terutama dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah Indonesia (RPJP dan
RPJM).
Sasaran utama dari pelaksanaan agenda Restorasi Ekologis adalah mengembalikan fungsi
utama lingkungan hidup dan PSDA sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat. Selain itu,
dimaksudkan untuk melindungi kekayaan alam yang tersisa dari tindakan produksi, konsumsi
dan tata kelola yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.
Apa yang harus dipulihkan
Indonesia yang sekarang ini penuh dengan carut marut pengelolaan memerlukan
perubahan yang menyeluruh untuk dapat membalikan krisis menjadi republik yang mampu
mengayomi dan melakukan manajerial atas sumber-sumber kehidupan guna keberlanjutan rakyat
dan negara. Sektor-sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat seperti jaminan
keselamatan atas air, tanah, pesisir dan laut serta udara yang bersih harus menjadi skala prioritas
untuk diselamatkan.
Negara yang mandat pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah harus menunjukan
niat baik dan melakukan tindakan-tindakan yang mengutamakan keselamatan rakyat dengan
melakukan penyelamatan terhadap sumber-sumber kehidupan. Pemerintah mulai dari struktur
tertinggi sampai dengan lini terbawah harus mempunyai kesamaan pandang berupa
pengarusutamaan dan memberikan jaminan bagi rakyat dalam melakukan tindakan dalam rangka
pemebuhan kebutuhan serta membebaskan rakyat dari ancaman-ancaman pengusuran basis-basis
ekonomi rakyat mulai dari cara yang paling visual berupa penggusuran secara langsung sampai
dengan tindakan penipuan dengan dalih kemakmuran seperti yang selama ini terjadi.
Regulasi yang selama ini terbukti sukses menghancurkan tatanan sosial rakyat dengan
memberikan ruang hidup

kepada korporasi

dan melakukan penghambaan

terhadap

pemodal harus dirubah kepada kebijakan yang memberikan jaminan keselamatan kepada rakyat

15

selaku pemilik negara. Pembangunan yang bersandar kepada hutang luar negeri yang sarat
dengan intervensi politik penguasaan sumber daya alam harus di hapuskan dan mewajibakan
kepada pemodal-pemodal yang selama ini melakukan pengrusakan teradap sumber-sumber
kehidupan rakyat untuk bertanggungjawab dengan membayar hutang ekologis atas tindakantindakan yang sudah dilaksanakan.
Rakyat harus mendapatkan informasi utuh dari setiap konsep pembangunan. Informasi
yang bermuara kepada penyesatan dan membuat rakyat memberikan dukungan terhadap
kepentingan segelintir kelompok yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok
tertentu. Rakyat harus mendedikasikan dirinya sebagai organ utama dalam setiap kepentingan
bernegara. Undang-undang keterbukaan informasi harus di jalankan secara konsisten dan sampai
kepada tingkat basis di mana kantong-kantong massa rakyat berkontribusi dalam pemenuhan
kebutuhan.
Untuk itu rakyat harus:
a. Membangun massa kritis.
Massa kritis harus dibentuk dan diciptakan. Kondisi rakyat yang selama ini dipermainkan
oleh kelompok elite politik, pemangku modal dan kelompok-kelompok yang bermental
kleptokrasi. Harus segera di akhiri. Massa kritis akan menjadi ujung tombak dari setiap
perubahan yang akan dilaksanakan dengan membangun ruang seluas-luas bagi rakyat dalam
membangun gerakan rakyat guna menyelamatkan sumbers-sumber kehidupan.
Pembentukan massa kritis harus berdasarkan pendidikan kritis yang diajarkan kepada
rakyat. Karena Pendidikan kritis tidak bisa lepas dari gerakan pembebasan, bahkan pendidikan
kritis bisa disebut sebagai langkah lanjutan dari tahapan gerakan pembebasan. Kata
“pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang memiliki kontek
makna dari satu formasi sosial ke formasi sosial lainnya. Sesuai dengan konteks dan bentuk
penindasan dan ketidak adilan di zamannya
Idealnya, pendidikan kritis rakyat mampu meningkatkan daya kritis terhadap ancaman
yang menimpa mereka, sekaligus membangun solidaritas antar rakyat. Syarat utama adalah
mempertimbangkan kondisi obyektif dan subyektif rakyat terebut. Syarat lain yang diperlukan
meliputi:

16

1. Perlunya beberapa contoh konkrit sebagai bahan pelatihan pada tingkat bawah, yakni
mengupas problem dan isu yang khusus.
2. Perlunya merajut seluruh problem dan isu tersebut sehingga merentangkan seluruh
persoalan yang dihadapi komunitas.
3. Perlunya komunikasi pada tingkat nasional untuk dapat memperkuat posisi tawar
rakyat terhadap pemerintah. Bangunan negara harus dipahami rakyat dalam memperjelas
ketimpangan hubungan antara negara dan rakyat.
b. Menjaga sumber-sumber kehidupan di masing-masing wilayah dari ancaman kejahatan
korporasi.
Rakyat harus mengetahui secara detail tentang apa saja potensi yang ada diwilayah
mereka serta ancaman atas kondisi wilayah yang mereka miliki. Pengetahuan yang utuh atas
kondisi lingkungan serta dampak yang terjadi serta potensi ancaman kerusakan lingkungan jika
potensi itu di ekploitasi akan membuat rakyat dengan kekuatan massa kritis ini akan
mempertahankan kawasan ekologi guna menjaga stabilitas lingkungan buat mereka.
Untuk dapat menjaga sumber-sumber kehidupan tersebut. Maka rakyat didorong untuk
berorganisasi, bersyarekat agar menjadi kesatuan yang kuat.
c. Membangun perlawanan terhadap tindak kejahatan lingkungan
Perlawanan secara langsung di lakukan dengan cara melakukan penolakan penggunaan
terhadap hasil-hasil produksi yang dihasilkan dari pengerukan sumber daya alam dengan
mengorbankan keselamatan lingkungan di Indonesia. Perlawanan ini dilakukan dengan cara:
1. Memboikot hasil produksi - produksi dari perusahaan yang terbukti terlibat dalam
mengorbankan lingkungan dan hak-hak rakyat.
2. melakukan tindakan pengawasan dari setiap regulasi yang akan dikeluarkan oleh
negara dalam rangka menjamin berlangsungnya proses ekstraksi destruksi sumber daya
3. melakukan blokade terhadap semua aktivitas industri ekstraktif baik yang sedang
beraktivitas maupun baru mau akan beroperasi.
4. secara kontinyu menyuarakan keselamatan lingkungan sebagai agenda yang harus
diarusutamakan dalam setiap moment dan diskursus yang ada.

17

Prinsip-prinsip Pemulihan
Prinsip-prinsip pemulihan Indonesia, tidak terlepas dari prinsis-prinsip restorasi ekologis, yakni
didasarkan pada asas :
1. Pengelolaan SDA dan LH dengan pendekatan bioregional
2. Kerakyatan
3. Keadilan Antar dan Intra Generasi
4. Kepastian Hukum
5. Keberlanjutan
6. Partisipasi
7. Transparansi
8. Akuntabilitas
9. Penghormatan terhadap Nilai-nilai Hak Asasi Manusia

18

DAFTAR PUSTAKA

Website

: http://kariwaya.blogspot.com/2011/12/kebijakan-pengelolaan-sumber-dayaalam.html

19