potensi kepemilikan umum untuk negara

Contoh-contoh Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum (kolektif) adalah semua benda yang dimiliki komunitas secara bersamasama dan tidak boleh dikuasai oleh satu orang saja. Adanya ketentuan bahwa barang-baraang
tersebut dimiliki secara bersamaan dikarenakan :



Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, karena menjadi kebutuhan pokok
masyarakat

dan

jika

tidak

terpeenuhi

dapat

menyebabkan


perpeecahan

dan

persengketaan. Adapun yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap
sebagai kepentingan manusia secara umum seperti air.


Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh
individu secara perorangan. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda benda
yang tercakup kemanfaatn umum seperti jalan raya, sungai, masjidd dan fasilitas umum
lainnya. Rasulullah bersabda, "Dari Aisyah berkata; 'Kami bertanya; 'Wahai Rasulullah,
tidakkah (sebaiknya) kami bangunkan rumah untuk engkau di Mina (sebagai tempat
bernaung)?' Beliau menjawab; 'Tidak perlu karena Mina tempat singgah siapa yang
datang lebih dahulu.' Abu 'Isa berkata; 'Ini merupakan Hadis hasan shahih.'" (HR.
Tirmidzi). Dari hadis ini dapat dijelaskan bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum
muslimin. Siapa saja yang lebih dahulu sampai dibagian tempat mina dan ia
menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya dan bukan merupkan milik perorangan,
sehingga orang lain tidak boleh memilikinya. Demikian juga jalan umum, manusia
berhak lalu lalang di atasnya, tapi tidak untuk dimiliki.




Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar. Barang tambang dapat diklasifikasikan
menjai dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk
berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak
(hampir tak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya
termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi dan terhadap bahan tambang
tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang artinya harus dikeluargkan
khumus, yakni bagiannya. Rasulullah SAW bersabda : "Dari Syumair, Ibnu Al
Mutawakkil bin Abdul Madan berkata : dari Abyadh bin Hammal bahwa ia menjadi

utusan kepada Rasulullah SAW, kemudian ia meminta garam. Ibnu Mutawakkil berkata;
yang ada di Ma'rib. Kemudian ia memotong untuknya. Kemudian tatkala ia pergi,
seseorang yang berasal dari majelis tersebut berkata; tahukah anda apa yang anda
berikan kepadanya? sesungguhnya anda telah memberikan kepadanya air terus
mengalir. Ibnu Al Mutawkkil berkata; kemudian beliau mengambil darinya." (HR. Abu
Daud). Adapun barang tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya
yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu maka bahan tambang tersebut termasuk
milik umum. Imam At-Tarmidzi meriwayatkan hadis dari Abdyadh bin Hamal, bahwa ia

telah meminta kepada Rasulullah SAW untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang
garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari
majelis tersebut bertanya : "Tahukah engkau apa yang engkau tetapkan untuknya?
Sesungguhnya engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam. Abdyadh berkata:
"Beliau pun membatalkannya." (HR. Tirmidzi). Hadis ini menyerupakan tambang garam
dengan air yang mengalir, karena jumlahnya sangat besar. Hadis ini juga menjelaskan
bahwa Rasulullah SAW memberikan tambang garam kepada Abdyadh bin Hamal yang
menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun tatkala Beliau mengetahui bahwa
tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat besar), maka
Beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang
tersebut merupakan milik umum.

Kepemilikan Negara dalam Islam
Harta yang termasuk milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin
yang pengelolaya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat memberikan kepada sebagian
warna negara, sesuai dengan kebijaksanaanya. Makna pengelolaan negara ini adalah kekuasaan
yang dimiliki negara untuk mengelola harta-harta milik negara seperti fa'i, kharaj, jizyah, dan
sebagainya.
Menurut Ibn Taimiyah, sumber utama kekayaan negara yaitu zakat, barang rampasan perang
(ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan

pajak warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara
secara aktual merupakan kekayaan umum dan kepala negara hanya bertindak sebagai pemengang

amanah dan negara wajib mengeluarkannya untuk kepentingan umum dan melindungi hak fakir
miskin. Karenanya dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebihan, bahkan negara wajib
mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat.

Hal Lain

Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syâri bagi kaum Muslim, dan
menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil
manfaat dari harta tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi.

Jenis-jenis harta ini dikelompokkan kepada tiga jenis, yaitu:

1. Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum Muslim sehari-hari (seperti sumber-sumber
air yang depositnya banyak beserta pemanfaatan, baik untuk dam maupun PLTA, pengairan, PAM danlain-lain; padang penggembalaan –yakni padang rumput-; tenaga listrik beserta jaringannya)

2. Harta yang kondisi asalnya terhalang bagi individu tertentu untuk memilikinya (seperti padang Arafah,
Mina; lautan, teluk, selat, danau, sungai, terusan; masjid, lapangan umum).

3. Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tidak terbatas (seperti tambang minyak, emas,
tembaga, nikel, timah, batubara, perak, dan sejenisnya)
4.Dasar pijakan dari pemilikan umum dan jenis-jenis hartanya dikembalikan kepada sabda Rasulullah
saw:
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.

Terdapat

juga

hadits

lain

diriwayatkan

melalui

Abidh


bin

Hamal

al-Mazani:

Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau
memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis berkata,
‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah
engkau berikan itu (bagi kami) laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda:
‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’.