LAPORAN PRAKTIKUM UMBI UMBIAN Dan Penentuan Mutu Umbi Umbian

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGETAHUAN BAHAN PANGAN

UMBI-UMBIAN

Oleh :
Nama
: R. Fanny Megayanti
NRP
: 123020347
Kelompok
:N
No.Meja
: 1 (Satu)
Asisten
: Fajar Nugraha
Tanggal Percobaan : 12 November 2014

LABORATORIUM PENGETAHUAN BAHAN PANGAN
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2014

I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Percobaan, (2)
Tujuan, dan (3) Prinsip Percobaan.
I.1 Latar Belakang Percobaan
Umbi-umbian adalah bahan pangan nabati yang diperoleh dari dalam
tanah, misalnya ubi kayu, ubi jalar, kentang, garut, kunyit, gadung, bawang,
kentang, kencur, kimpul, talas, gembili, ganyong, bengkuang, dan sebagainya.
Pada umumnya umbi-umbian tersebut merupakan sumber karbohidrat terutama
pati atau merupakan sumber cita rasa dan aroma karena mengandung oleoresin.
Umbi-umbian dapat dibedakan berdasarkan asalnya yaitu umbi akar dan umbi
batang. Umbi akar atau batang sebenarnya merupakan bagian akar atau batang
yang digunakan sebagai tempat menyimpan makanan cadangan, yang termasuk
umbi akar misalnya ubi kayu dan bengkuang, sedangkan ubi jalar, kentang, dan
gadung merupakan umbi batang (Muchtadi, 2010).
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang

dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk
fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati
sebagai sumber energi yang penting.
Pembentukan umbi diawali dengan terhentinya pemanjangan stolon dan
penumpukan pati, yang berakibat meningkatnya volume dan bobot. Pembentukan
umbi secara keseluruhan dipengaruhi oleh panjang hari, suhu, cadangan

fotosintesis, dan kultivar. Intensitas cahaya tinggi dan kadar nitrogen tanaman
yang rendah cenderung meningkatkan pembentukan umbi. (Rubatzky, 1998).
Ada tiga fase pembentukan umbi yaitu :
a. Inisiasi, yaitu terjadinya diferensiasi tunas pada stolon menjadi pimordia
umbi.
b. Pembesaran umbi, ditandai dengan pembelahan sel yang cepat dibarengi
dengan penumpukan pati.
c. Pematangan umbi, yang terjadi ketika umbi memasuki fase dorman.
Pembesaran umbi dapat mengalahkan pertumbuhan vegetatif dan inisiasi
umbi baru. Bersamaan dengan pematangan umbi, terjadi senescene daun
(Rubatzky, 1998).
I.2 Tujuan Percobaan.
Tujuan dari percobaan struktur dan sifat fisik umbi-umbian adalah untuk

mengetahui struktur dan sifat fisik dari umbi-umbian.
Tujuan dari percobaan ekstraksi pati umbi-umbian adalah untuk
mengisolasi kandungan pati dalam umbi-umbian sehingga dapat digunakan dalam
pengolahan makanan.
I.3 Prinsip Percobaan.
Prinsip dari percobaan struktur dan sifat fisik umbi-umbian adalah
berdasarkan pada pengamatan struktur dan sifat fisik dari umbi-umbiian antara lan
bentuk,ukuran,berat, warna, pencoklatan, dan struktur jaringan.
Prinsip dari percobaan ekstraksi pati dan umbi-umbian adalah berdasarkan
proses ekstraksi pati dan umbi-umbian dengan cara pengendapan.

II.

METODE PERCOBAAN

Bab ini menguraikan mengenai : (1) Bahan-bahan Yang Digunakan,
(2) Alat-Alat Yang Digunakan, dan (3) Metode Percobaan.
II.1 Bahan-Bahan Yang Digunakan.
Bahan yang digunakan pada percobaan pengetahuan bahan pangan
pada umbi-umbian yaitu kentang, larutan NaCl 3%, air.

II.2 Alat-Alat Yang Digunakan.
Alat-alat yang digunakan pada percobaan umbi-umbian adalah pisau,
baskom, timbangan, parutan, kain penyaring, oven, loyang, dan jangka
sorong.
2.3 Metode Percobaan.
a. Bentuk

e. Pencoklatan

Umbi

Umbi

Gambar

Iris

b. Ukuran

Amati Perubahan


Warna
Umbi
f. Struktur Jaringan
Ukuran Panjang & Diameter

Umbi

c. Warna
Umbi
Warna Kulit
d. Berat

Buat irisan melintang dan
Irisan membujur

Warna Daging
Gambar lapisan yg terlihat

Umbi

Amati dengan mikroskop

Gambar 1. Pengamatan Struktur dan Sifat Fisik Umbi-umbian
Umbi

A

Kupas dan bersihkan

Diperas

Cuci dengan air

Filtrat

Ampas

Larutan
NaCl 3%


Lakukan
2x

Umbi
Rendam selama 1 jam
Parut
+air
sebanyak
9x tinggi
bahan

Rendam selama 1 jam
Pati (timbang berat pati)
Keringkan di loyang

Bahan yg
telah diparut

Digiling


Ayak
Rendam selama 1 jam
Produk (timbang berat granula pati)
A
Gambar 2. Ekstraksi pati umbi-umbian.

III.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan mengenai : (1) Hasil Pengamatan, dan (2) Pembahasan.
III.1

Hasil Pengamatan.

Hasil pengamatan pengetahuan bahan pangan umbi-umbian dapat dlihat pada
tabel berikut :

Sampel


Tabel 1. Hasil Pengamatan Struktur dan Sifat Fisik.
Keterangan
Hasil
Kentang

Bentuk

Panjang

: 89,5 mm

Diameter : d1 = 56,8 mm
Ukuran
d2 = 68,2 mm
d3 = 60,1 mm
Warna Kulit

Coklat

Warna Daging


Kuning

Struktur

Melintang :

Membujur :

Struktur Jaringan

Sumber : Kelompok N, Meja 1, (2014)
Tabel 2. Hasil Pengamatan Ekstraksi Pati dari Umbi-Umbian
Keterangan
Hasil
Sampel
Kentang
Berat Sampel
419,9 Gram
Berat Pati Basah

23,8 Gram
Berat Pati Kering
14,9 Gram
% Pati
3,55 %
Sumber : Kelompok N, Meja 1, (2014)
III.2

Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan pengamatan struktur dan fisik umbi-umbian

dengan sampel kentang diperoleh ukuran panjang = 89,5 mm d1 = 56,8 mm, d2 =
22,2 mm, d3 = 28,1 mm. Warna kulit cokelat dan warna daging kuning.

Berdasarkan hasil percobaan ekstraksi pati dari umbi-umbian dengan sampel
kentang diperoleh bahwa kadar pati dalam kentang sebesar 3,55 %.
Pengukuran diameter dan panjang umbi adalah dengan menggunakan
penggaris, untuk diameter umbi mula-mula umbi diiris membujur tepat d tengah,
kemudian dengan penggaris diukur berapa diameternya.
Pengukuran berat pada umbi menggunakan timbangan dan untuk melihat
struktur dari umbi dilihat melalui mikroskop dengan perbesaran 10x15.
Sampel yang digunakan pada percobaan umbi yaitu kentang. Nama latin
kentang adalah Solanum tuberosum L. Tanaman ini termasuk dalam keluarga
temu-temuan.
Urutan takson tanaman Kentang :
Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Super Division

: Spermatophyta

Division

: Magnoliophyta

Class

: Magnoliopsida

Subclass

: Asteridae

Order

: Solanales

Family

: Solanaceae

Genus

: Solanum

Species

: Solanum tuberosum L

Kentang, yang memiliki nama latin Solanum tuberosum L. merupakan
sebuah tanaman dari suku Solanaceae yang mempunyai umbi batang yang bisa

dikonsumsi dan disebut dengan kentang juga. Umbi kentang saat ini sudah jadi
salah satu makanan pokok yang penting di Eropa meskipun pada mulanya
didatangkan dari daerah Amerika Selatan.
Tanaman ini adalah herba, alias tanaman pendek dan tidak memiliki kayu,
semusim dan sangat suka dengan iklim yang sejuk. Kentang ini juga sangat cocok
untuk ditanam di dataran tinggi serta di daerah yang beriklim tropis. Bunga dari
tanaman kentang ini sempurna dan tersusuk secara majemuk. Ukurannya pun
cukuplah besar, dan memiliki diameter rata-rata sekitar 3 cm. warna dari bunga
kentang ini adalah ungu sampai denga putih.
Setelah membahas mengenai klasifikasi kentang menurut paparan ilmiah,
berikut ini adalah manfaat yang dimiliki kentang ini. Seperti yang telah diketahui
bahwa kentang merupakan sebuah bahan masakan yang sangat digemari oleh
hampir seluruh orang di penjuru dunia ini. Bahkan di sejumlah daerah, ada yang
menjadikan kentang ini sebagai makanan pokok mereka. Selain itu, kentang juga
kaya akan kandungan Vitamin B, vitamin C, dan juga beberapa vitamin A yang
sangat baik untuk mata kita. Kentang yang juga menjadi sumber karbohidrat yang
penting, di Indonesia ini, masih dinilai sebagai sebuah sayuran yang mewah sebab
harganya yang melambung tinggi melebihi sayuran yang lainnya.
Percobaan dilakukan pertama-tama sampel garut dikupas dan dibersihkan
kemudian dicuci dengan direndam dengan larutan NaCl 3% selama 1 jam,
perendaman dengan menggunakan NaCl 3% bertujuan untuk menghilangkan
getah yang menempel pada kentang, untuk mencegah pencoklatan (browning) dan
untuk melunakan jaringan. Browning adalah terbentuknya senyawa berwarna

cokelat pada bahan pangan secara alami bukan akibat zat warna, hal ini terjadi
karena enzim polyphenol oksidase akan aktif, yang dengan bantuan oksigen yang
mengubah gugus monophenol menjadi O-hidroksiphenol, yang selanjutnya diubah
lagi menjadi O-quinon. Gugus O-quinon ini yang membentuk warna cokelat.
Setelah dilakukan perendaman, talas diparut, proses pemarutan ini pun harus teliti
dan dilakukan dengan benar, misalnya pemarutan dilakukan dengan ukuran
lubang parutan yang kecil agar yang terdapat dalam garut akan mudah keluar saat
pemerasan sehingga didapatkan hasil pati yang cukup banyak. Bahan yang telah
direndam diparut direndam lagi selama 1 jam dengan air sebanyak 9 kali tinggi
garut yang sudah diparut, pada proses ini banyaknya air tidak berpengaruh pada
hasil percobaan melainkan berpengaruh pada lamanya perendaman, semakin lama
perendaman semakin banyak pati yang mengendap. Perendaman ini dilakukan
sebanyak 3 kali bertujuan untuk memperoleh murni pati asli tanpa ada ampas
yang tersisa dan semakin banyak dilakukan perendaman maka pengeluaran pati
semakin maksimal.
Pengendapan dilakukan untuk memisahkan pati murni dari bagian lain
sebagai kontaminan yang larut. Pengendapan inilah yang merupakan proses
terpenting yang menentukan hasil akhir tepung pati. Setelah granula pati
mengendap, airnya dihilangkan dan granula pati yang terbentuk padat semi cair
dapat diambil dan dimasukkan dalam pengering. Endapan granula pati basah
haruslah dikeringkan agar tidak tumbuh mikroorganisme. Pengeringan dapat
dilakukan dengan menjemur dibawah sinar matahari atau dalam alat pengering.
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah pati haruslah tidak

menggumpal dan suhu pengeringan jangan sampai melebihi suhu gelatinisasi pati,
yaitu 70-800C. Pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu dibawah 70 0C.
Pengeringan yang melampaui suhu gelatinisasi pati, akan menghasilkan tepung
yang kasar (Makfoed,1982).
Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan
merupakan karbohidrat utama yang dimakan manusia di seluruh dunia. Pati
terutama terdapat dalam padi-padian, biji-bijian, dan umbi-umbian. Beras, jagung,
dan gandum mengandung 70-80% pati. Kacang-kacang kering seperti kacang
kedelai, kacang merah, dan kacang hijau 30-60%, sedangkan ubi, talas, kentang,
dan singkong 20 -30% (Almatsier, 2001).
Pati dibentuk oleh rantai α-glikosidat. Senyawa tersebut pada hidrolisis
hanya menghasilkan glukosa, merupakan homopolimer yang dinamakan glukosan
atau glukan. Dua unsur utama patii adalah amilosa (15-20%) yang mempunyai
struktur heliks tanpa cabang dan amilopektin (80-85%) yang terdiri atas rantai
bercabang dan tersusun atas 24 -30 residu gukosa yang disatukan oleh ikatan 1 
4 di dalam rantai tersebut serta oleh ikatan 1  6 pada titik percabangan (Makfoed,
1982).
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang
berbeda-beda. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya
akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap
dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai
kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu
antara 55C sampai 65C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan

setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula.
Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat
kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Suhu
pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan
dengan penambahan air panas. Air dapat ditambahkan dari luar seperti halnya
pembuatan kanji dan puding, atau air yang ada dalam bahan makanan tersebut,
misalnya air dalam kentang yang dipanggang atau dibakar (Winarno, 2002).
Beberapa sifat pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak larut
dalam air dingin tetapi dalam air panas dapat membentuk sol atau jel yang bersifat
kental. Sifat kekentalannya ini dapat digunakan untuk mengatur tekstur makanan
dan sifat jelnya dapat diubah oleh gula atau asam. Pati di dalam tanaman dapat
merupakan energi cadangan, didalam biji-bijian pati terdapat dalam bentuk
granula. Penguraian tidak sempurna dari pati dapat menghasilkan dekstrin yaitu
bentuk oligosakarida (Winarno, 2002).
Glikosida sianogenik yang merupakan senyawa yang terdapat di dalam
bahan pangan nabati dan secara potensial sangat beracun karena dapat terurai dan
mengeluarkan hidrogen sianida. Hidrogen sianida dikeluarkan bila komoditi
tersebut dihancurkan, dikunyah, mengalami pengirisan, atau rusak. Bila dicerna,
hidrogen sianida sangat cepat terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam
saluran darah. Tergantung jumlahnya hidrogen sianida dapat menyebabkan sakit
sampai kematian (dosis yang mematikan 0,5-3,5 mg HCN/kg berat badan)
(Anonim, 2008).

Glikosida sianogenik juga terdapat pada berbagai tanaman dengan nama
senyawa yang berbeda seperti amigladin pada biji almonds, apricot, dan apel,
dhurin pada biji sorghum, dan linamarin pada kara (kacang lima) dan singkong.
Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi, rata-rata dalam singkong
manis di bawah 50 mg/kg berat asal, sedangkan singkong pahit atau racun di atas
50 mg/kg. Menurut FAO, singkong dengan kadar 50 mg/kg masih aman untuk
dikonsumsi manusia. Pengolahan secara tradisional ternyata dapat mengurangi
atau bahkan menghilangkan kandungan racun. Seperti misalnya singkong,
kulitnya dikupas dulu sebelum diolah, singkongnya dikeringkan, direndam
sebelum dimasak, dan difermentasi selama beberapa hari. Dengan perlakuan
tersebut, kandungan linamarin banyak yang rusak dan hidrogen sianidanya ikut
terbuang keluar sehingga tinggal sekitar 10-40 mg/kg. Hidrogen sianida akan
mudah hilang dengan penggodokan, asal tidak ditutup rapat, dengan pemanasan
enzim yang berperan terhadap pemecahan linamarin menjadi inaktif sehingga
hidrogen sianida tidak dapat terbentuk. Glikosidanya sendiri bukan merupakan
racun, tetapi masih banyak kontradiksi terhadap akibat konsumsi glikosida yang
belum terurai, karena ternyata bakteri-bakteri yang ada pada saluran pencernaan
bagian bawah dapat memecah glikosida tersebut menjadi hidrogen sianida
(Winarno, 2002).
Selain itu, kandungan alkaloid dalam kentang (solanin) banyak
menyebabkan keracunan pada manusia. Alkaloid merupakan penghambat kerja
asetilkolinesterase yang mempengaruhi transmisi impuls saraf. Kandungan
alkaloid sangat tergantung varietas, keadaan lingkungan tumbuh, serta kondisi

penyimpanan, tetapi biasanya kandungan terbanyak adalah pada bagian dekat
kulit, terutama pada bagian yang telah menjadi hijau karena terkena sinar
matahari. Ekspos pada sinar fluoresen dapat meningkatkan kadar alkaloid.
Demikian juga pada kentang yang sedang berkecambah mengandung alkaloid
dalam jumlah yang dapat membahayakan. Kadar alkaloid dalam kentang yang
beracun dapat melebihi sepuluh kali kadar alkaloid dalam kentang yang tidak
beracun, yang biasanya tidak lebih dari 5 mg per 100 g berat kentang segar
(Winarno, 2002).
Umbi akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan
mentah. Rasanya sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan
racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis
menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih
segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis
singkong yang manis, proses pemasakan sangat diperlukan untuk menurunkan
kadar racunnya. Dari umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka (Anonim, 2008).
Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan dan sayuran yang banyak
mengandung substrat senyawa fenolik. Ada banyak sekali senyawa fenolik yang
bertindak sebagai substrat dalam proses pencoklatan enzimatik pada buah-buahan
dan sayuran. Di samping katekin dan turunannya seperti tirosin, asam kafeat,
asam klorogenat, serta leukoantosianin dapat menjadi substrat proses pencoklatan
(Winarno, 2002).
Senyawa fenolik dengan jenis ortodihidroksi atau trihidroksi yang saling
berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses pencoklatan. Proses

pencoklatan enzimatis memerlukan adanya enzim fenol oksidase dan oksigen
yang harus berhubungan dengan substrat tersebut (Winarno, 2002).
Enzim-enzim yang dapat mengkatalis oksidasi dalam proses pencoklatan
dikenal dengan berbagai nama, yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase,
atau polifenolase. Masing-masing bekerja secara spesifik untuk substrat tertentu
(Winarno, 2002).
Cara mencegah terbentuknya warna coklat kita dapat melakukannya
dengan cara blanching atau pemanasan atau penambahan bahan kimia.
Penambahan sulfit bertujuan untuk mencegah terjadinya browning secara
enzimatis maupun non enzimatis, selain itu juga sulfit berperan sebagai pengawet.
Pada browning enzimatis, sulfit akan mereduksi ikatan disulfida pada enzim,
sehingga enzim tidak dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenolik penyebab
browning (Winarno, 2002).
Pengolahan kentang sudah banyak dilakukan sebagai diversitas produk
pangan namun pada umumnya kentang banyak dikonsumsi sebagai obat-obatan
dan bahan masakan namun banyak pula produk olahan makanan dengan bahan
baku kentang. Kentang segar selain dipasarkan dalam bentuk olahan kentang, juga
dipasarkan dalam bentuk kentang segar, yaitu setelah panen, kentang dibersihkan
dan dijual kepasaran.
Kandungan pati kentang sebesar 15 % dengan kadar air 10%. Lebih dari
12,5% pati kentang merupakan Resistant Starch type 2 (RS2). Pati resisten tidak
dapat dicerna dan diserap dalamusus halus individu yang sehat, dan bersifat
resisten terhadap hidrolisisenzim amilase. FAO (2007) melaporkan bahwa pati

resisten merupakan salah satu kandidat prebiotic. Sedangkan berdasarkan hasil
percobaan kandungan pati kentang sebesar 3,55%.

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan mengenai : (1) Kesimpulan, dan (2) Saran.
IV.1

Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan pengamatan struktur dan fisik umbi dengan

sampel kentang diperoleh ukuran panjang = 89,5 mm d1 = 56,8 mm, d2 = 68,1 mm,
d3 = 60,1 mm. Warna kulit cokelat dan warna daging kuning. Berdasarkan hasil
percobaan ekstraksi pati dari umbi-umbian dengan sampel kentang diperoleh
bahwa kadar pati dalam kentang sebesar 3,55 %.
4.2 Saran
Sebaiknya pada saat praktikum berlangsung

praktikan memahami

prosedur dengan benar dan lebih teliti agar mendapatkan hasil pengamatan dan
perhitungan dengan benar.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2008). Kentang. http://id.wikipedia.org/wiki/Kentang. Diakses : 14
November 2014
Makfoeld,

Djarir.

(1982).

Deskripsi

Hasil

Pengolahan

Nabati.

Agritech.Yogyakarta.
Muchtadi, R.Tien dan Sugiyono. (2010). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Penerbit IPB, Bogor.
Rubatzky, Vincent E, (1998), Sayuran Dunia I Prinsip, Produksi, dan Gizi,
ITB, Bandung.
Winarno F.G. (2002). Kimia pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

LAMPIRAN PERHITUNGAN

%kadar pati=

w sampel kering
14,9 gram
×100 %¿
×100 %¿ 3,55 %
w sampel
419,9 gram