makalah studi dan islam 4

TUGAS
STUDI ISLAM IV
PERNIKAHAN DALAM AGAMA ISLAM
Dosen Pengampu :

Di susun oleh: Syamsul Mu’arif (10004205 )

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

DAFTAR ISI
1. Pengertian Pernikahan
a. Al-Qur’an.
b. As-Sunnah.
2. Hukum Pernikahan
a. Pernikahan yang Wajib hukumnya.
b. Pernikahan yang Sunnah hukumnya.
c. Pernikahan yang Haram hukumnya.
d. Pernikahan yang Makruh hukumnya.
e. Pernikahan yang Mubah hukumnya.

3. Rukun Pernikahan
a. Ijab.
b. Qabul.
c. Calon mempelai Pria dan Wanita.
d. Wali dari calon mempelai Wanita.
4. Sunah Pernikahan
a. Do’a dan ucapan selamat untuk pengantin.
b. Mengucapkan salam ketika masuk ke tempat Isteri dengan mendahulukan kaki kanan.
c. Do’a ketika mengusap dan meletakan tangan pada ubun-ubun Isteri.
d. Sholat sunnah setelah akad nikah.
e. Tinggal seminggu dirumah mempelai Wanita.
5. Tujuan Pernikahan
6. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
a. Hak Suami kepada Isteri.
b. Hak Isteri kepada Suami.
7. Wanita yang Haram untuk di nikahi
a. Larangan karena ada hubungan Nasab ( Qoroobah ).
b. Larangan karena ada hubungan Perkawinan ( Mushooharoh ).
c. Larangan karena ada hubungan Susuan
d. Larangan menikah untuk sementara

e. Pernikahan yang Terlarang

PEMBAHASAN
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha dan zawaja. Kedua kata
inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk perkawinan
(pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti ‘pasangan’, dan istilah nakaha berarti ‘berhimpun’.
Dengan demikian, dari sisi bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah
dan berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.
Nikah menurut syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.
Adapun beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum (30):21).
b. As-Sunnah
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
” Tiga kelompok yang berhak mendapat pertolongan Allah. Mujahid di jalan Allah, budak yang

ingin merdeka, orang yang menikah yang ingin menjaga kesucian (dari zina)” (HR at-Turmudzi)
2. Hukum Pernikahan
Hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan,
menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi wajib
atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi
makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.
a. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat
beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib.

Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang
hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah
rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan
binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
b. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun
masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda
atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.

Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam
tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk
memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian
menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
c. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama,
tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia
telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat fisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh
pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia
berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko
menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali
pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat
dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak,
sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.


d. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya
harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski
dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi
tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila
kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat
kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
e. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk
menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi
mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau
anjuran untuk mengakhirkannya.
3. Rukun Pernikahan
Rukun dalam pernikahan yaitu:
a. Ijab
yaitu ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai
pria untuk dinikahi. Misalnya: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.

b. Qabul
yaitu ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria / walinya.
c. Calon mempelai pria dan wanita
Calon pengantin harus terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut
bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan
atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai lakilakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebab-sebab lain dari penghalangpenghalang syar’i.

d. Wali dari calon mempelai wanita
Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah
dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak,
kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya
yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian
anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian
orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak), kemudian baru hakim sebagai walinya
Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Imam).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara
hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal
dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
Dua orang saksi (laki-laki)
Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya).”
(HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah)
4. Sunnah Pernikahan
a. Do’a dan ucapan selamat untuk pengantin
Disunnahkan bagi setiap muslim untuk memberikanucapan selamat dan do’a kepada pengantin.
Sebagaimana hadistRasulullah SAW. dari Abu Hurairah r.a. ia berkata “Jika Nabi,SAW.
memberikan ucapan selamat kepada mempelai, beliauSAW. mengucapkan:
“Semoga Allah mencurahkan kepadamu dan istrimu. Semoga Allah menyatukan kamu berdua
dalam segala kebaikan.” (HR. Bukhari, Muslim).
b. Mengucapkan Salam ketika hendak masuk ke tempat isteri dengan mendahulukan kaki
kanan
Rasulullah SAW. bersabda kepada shahabat Anas binMalik r.a.

“Wahai anakku, jika engkau masuk ke tempat isterimu, hendaknya engkau mengucapkan salam
kepadanya,agar menjadikan keberkahan bagimu dan bagi penghunirumahmu.” (H.R. At-Tirmidzi).


c. Do’a ketika mengusap dan meletakkan tangan pada ubun-ubun isteri
Disunnahkan pula untuk mengusap dan meletakkan tanganpada ubun-ubun isteri seraya
membaca basmallah dan kemudian berdo’a memohon keberkahan:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikandan kebaikan yang telah Engkau
ciptakan padanya dan akuberlindung kepada-Mu dari kejahatan dan kejahatan yang Engkau
ciptakan padanya”.
d. Shalat sunnah setelah akad nikah
e. Tinggal seminggu di rumah mempelai wanita
5. Tujuan Pernikahan
Tujuan dari pernikahan:
a. Ittiba’(mengikuti) Sunnah Rasul
b. Melaksanakan ibadah
c. Untuk preventif terhadap zina
d. Melestarikan keturunan suci (kesinambungan eksistensi manusia)
e. Membangun sifat kasih sayang sejati
f. Mewujudkan sifat ta’awun (tanggung jawab/tolong-menolong)
g. Memperkokoh silaturahmi baik internal keluarga maupun eksternal masyarakat.
h. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka
jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang

perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

i. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi
martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan
martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai
sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan).
Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi,
Ibnu Jarud dan Baihaqi).
j. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri
sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat
berikut :
"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau

menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim". (AlBaqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali
nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan
dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk
kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui ". (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam
rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB.

Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka
ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa'ah
b. Shalihah

a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua
yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu
mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara
pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur
lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang
sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk
mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah
menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan
status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang
Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat
taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang
yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
(Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya.
Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan
mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keIslamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari
6:123, Muslim 4:175).

b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang
shalih.
Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :
"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak
ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak
untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan
dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada
suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan
penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
k. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada
sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi
peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda
Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang
memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?"Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi :
"Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala !". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan
sanad yang Shahih).
l. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah
berfirman :

"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl :
72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha
mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa
kepada Allah.
8.

Hak & Kewajiban
a. Suami kepada Istri
 Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan
agama. (At-aubah: 24)
 Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya.
(At-Taghabun: 14)
 Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan:
74)
 Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah
(makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika
beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
 Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang
tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada
suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
 Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
 Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(AthThalaq: 7)
 Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
 Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi,
Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
 Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)

 Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
 Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam
rumah sendiri. (Abu Dawud).
 Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, AtTahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
 Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukumhukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
 Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
 Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
 Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib
mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
 Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu
kepada istrinya. (AI-Baqarah: 40)
b. Istri kepada Suami
 Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
 Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi
daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
 Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
 Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: a. Menyerahkan dirinya, b.
Mentaati suami, c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, d. Tinggal di tempat
kediaman yang disediakan suami, e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
 Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
 Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu
sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami
meridhainya. (Muslim)

 Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni
dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya.
(Tirmidzi)
 Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi)
 Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada
suaminya. .. (Timidzi)
 Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
 Istri

hendaknya

senantiasa

membuat

dirinya

selalu

menarik

di

hadapan

suami(Thabrani)
 Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya
(saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
 Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta
(3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
 Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat
bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
 Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga
kemaluannya. (An-Nur: 30-31)
9. Wanita Yang Haram Dinikahi
a. Larangan karena ada hubungan nasab ( qoroobah )
 Ibu
 Anak perempuan
 Saudara perempuan
 Bibi dari fihak ayah ( ‘Aammah )
 Bibi dari fihak ibu ( khoolah )
 Anak perempuan dari saudara laki-laki ( keponakan )
 Anak perempuan dari saudara perempuan ( keponakan )

b. Larangan karena ada hubungan perkawinan ( mushooharoh )
 Ibu dari istri ( mertua )
 Anak perempuan dari istri yang sudah digauli atau anak tiri, termasuk anak-anak
mereka kebawah
 Istri anak ( menantu ) atau istri cucu dan seterusnya
 Istri ayah ( ibu tiri )
c.

Larangan karena hubungan susuan
 Ibu dari wanita yang menyusui
 Wanita yang menyusui
 Ibu dari suami wanita yang menyusui
 Saudara wanita dari wanita yang menyusui
 Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui
 Anak dan cucu wanita dari wanita yang menyusui
 Saudara wanita, baik saudara kandung, seayah atau seibu

d. Larangan menikah untuk sementara (muaqqot)
 Menggabungkan untuk menikahi dua wanita yang bersaudara
 Menggabungkan untuk menikahi seorang wanita dan bibinya
 Menikahi lebih dari empat wanita
 Wanita musyrik
 Wanita yang bersuami
 Wanita yang masih dalam masa ‘iddah
 Wanita yang ia thalak tiga
e. Pernikahan yang terlarang
 Nikah dengan niat untuk men-thalaqnya.
 Nikah Tahlil, yaitu nikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah
diceraikan suaminya tiga kali, dengan niat untuk menceraikannya kembali agar dapat
dinikahi oleh mantan suaminya.
 Nikah dengan bekas istri yang telah dithalak tiga.
 Nikahnya seorang yang sedang ber-Ihrom.

 Nikahnya seorang yang dalam masa ‘iddah.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir.2006. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Gani Abdullah, Abdul.1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Muhd Idris, Ramulyo.2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066),
Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi
(VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad (no.
227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188),
dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
Tafsiir Ibnu Katsir (I/236), cet. Darus Salam.