MAKALAH MODEL PENYELENGARAAN PENDIDI KAN

Mata kuliah: P endidikan Teknologi dan Kejuruan

MODEL PENYELENGARAAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI
KEJURUAN

Dosen Pengampu: Mohammad Fatkhurrokhman, M. Pd.

Tugas/makalah ke: 1
Disusun oleh Kelompok 2 :
-

Muhammad Nurul

(2283150004)

-

Johan Whisnu A

(2283150011)


-

Irvan Akram

(2283150022)

-

M. Amir Baihaqi

(2283150029)

-

Daniel PT Siregar

(228314)

PENDIDIKAN VOKASIONAL TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SULTAN AGENG TIRTAYASA
BANTEN
2018
i

ii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap rasa syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini.
Makalah ini penulis susun setelah mencari data-data yang relevan dari berbagai
sumber. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pendidikan Teknologi
dan Kejuruan yang diampu bapak Mohammad Fatkhurrokhman, M. Pd. selain itu juga untuk
menginformasikan wawasan baru bagi teman teman mahasiswa pendidikan vokasional teknik
elektro.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula penulis yang hanya manusia biasa yang
berusaha memberikan hal terbaik yang penulis bisa. Kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan agar penulis dapat lebih baik lagi di kemudian hari.

Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pada semua pihak yang telah
membantu tersusunnya tugas makalah ini, semoga menjadi amal kebaikan dan mendapatkan
pahala dari Tuhan yang Maha Esa. Amin.
Makalah ini pada dasarnya merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber yang
memadai terkait model penyelengaraan pendidikan teknologi dan kejuruan. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Serang, Maret 2018

Penyusun

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Pembuatan Makalah.........................................................................................2
BAB II3
A. Definisi Pendidikan Kejuruan......................................................................................3
B. Model Pengelengaraan Pendidikan Kejuruan..............................................................4
C. Peran Standar Kompetensi Dan Kualifikasi Kerja Dalam Pendidikan Teknologi Dan
Kejuruan.............................................................................................................................10
D. Pembelajaran Dalam Pendidikan Kejuruan................................................................15
E.

Pendapat Penulis.........................................................................................................26

BAB III
A. Kesimpulan.................................................................................................................28
B. Saran...........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................29

iv

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang ditandai
dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem
pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan harus mencerminkan
proses memanusiakan manusia dalam arti mengaktualisasikan semua potensi yang
dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari
di masyarakat luas.
Pendidikan kejuruan yang dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dirancang untuk menyiapkan peserta didik atau lulusan yang
siap memasuki dunia kerja dan mampu mengembangkan sikap profesional di bidang
kejuruan. Lulusan pendidikan kejuruan, diharapkan menjadi individu yang produktif yang
mampu bekerja menjadi tenaga kerja menengah dan memiliki kesiapan untuk
menghadapi persaingan kerja. Kehadiran SMK sekarang ini semakin didambakan
masyarakat khususnya masyarakat yang berkecimpung langsung dalam dunia kerja.
Dengan catatan, bahwa lulusan pendidikan kejuruan memang mempunyai kualifikasi
sebagai (calon) tenaga kerja yang memiliki keterampilan vokasional tertentu sesuai
dengan bidang keahliannya.
Upaya untuk mencapai kualitas lulusan pendidikan kejuruan yang sesuai dengan
tuntutan dunia kerja tersebut, perlu didasari dengan model penyelengaraan pendidikan

yang sesuai dengan kebutuhan. Model penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang
bertujuan untuk membekali peserta didik pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan, yaitu model pasar, model sekolah, model sistem ganda, yang masing
masing memiliki perbedaan karakteristik serta proses penyelenggaraanya. Efektifitas
penerapan

model

penyelenggaraan

pendidikan

kejuruan

harus

sesuai

dengan


keadaan/karakteristik suatu wilayah sehingga model penyelenggaraan yang dipilih juga
mampu mencapai tujuan yang telah ditentukan.

1

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendidikan kejuruan ?
2. Apa saja model penyelengaraan pendidikan kejuruan ?
3. Bagaimana peran standar kompetensi dan kualifikasi kerja dalam pendidikan
teknologi dan kejuruan ?
4. Bagaimana pembelajaran dalam pendidikan kejuruan ?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian pendidikan kejuruan.
2. Mengetahui macam penyelengaraan pendidikan kejuruan.
3. Mengetahui peran standar kompetensi dan kualifikasi kerja dalam pendidikan
teknologi dan kejuruan.
4. Mengetahui bagaimana pembelajaran dalam pendidikan kejuruan

2


BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Sumber
1. Definisi Pendidikan Kejuruan
Banyak istilah terkait dengan pendidikan kejuruan antara lain, vocational
education, technical education, professional education, dan occupational education.
Huges sebagaimana dikutip oleh Soeharto (1988) mengemukakan vocational education
(pendidikan kejuruan) adalah pendidikan khusus yang program-programnya atau materi
pelajarannya dipilih untuk siapapun yang tertarik untuk mempersiapkan diri bekerja
sendiri, atau untuk bekerja sebagai bagian dari suatu grup kerja. Sejalan dengan pendapat
tersebut Evans sebagaimana dikutip Muliati (2007) mengemukakan pendidikan kejuruan
adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu
bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang
pekerjaan lain. Hamalik (1990), mengemukakan pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk
pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang
mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan. Djohar (2007)
mengemukakan pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan yang menyiapkan
individu peserta didik menjadi tenaga kerja yang profesional. Secara lebih spesifik
Wenrich sebagaimana dikutip Soeharto (1988) mengemukakan pendidikan kejuruan

adalah seluruh bentuk pendidikan persiapan untuk bekerja yang dilakukan di sekolah
menengah. Arti pendidikan kejuruan ini telah dijabarkan lebih spesifik dalam peraturan
pemerintah nomor 29 tahun 1990 pasal 1 ayat 3 tentang pendidikan menengah yaitu:
"pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah
yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis
pekerjaan tertentu".
Technical education, menurut Roy W. Robert (dalam Soeharto, 1988) adalah
pendidikan kejuruan yang bidang keahliannya meliputi masalah teknik industri.
Dijelaskan pula bahwa pendidikan teknik yang dilaksanakan di berbagai fakultas teknik
di lingkungan perguruan tinggi tidak termasuk di dalamnya. Berkenaan dengan istilah
professional education, Wenrich (dalam Soeharto, 1988) mengemukakan bahwa istilah
ini terkait dengan pendidikan persiapan kerja yang dilakukan di perguruan tinggi.
3

Pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan menyiratkan dua konsep yang
berbeda, antara pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan. Konseptualisasi
pendidikan teknologi adalah pendidikan yang mengajarkan penggunaan teknologi untuk
memecahkan masalah dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Landasan pokok pendidikan
teknologi adalah


digunakannya keterampilan pemecahan masalah dalam berbagai

bidang. Pendidikan teknologi mencakup pengetahuan umum (general), pengetahuan
teoritis, pemahaman konseptual, bakat dan kemampuan kreatif, keterampilan intelektual,
dan penyiapan berkehidupan. Sedangkan pendidikan kejuruan mencakup pengetahuan
khusus, pengetahuan praktis/fungsional, pemberian skill/keterampilan, kemampuan
reproduktif, keterampilan fisik, dan penyiapan bekerja. Jadi pendidikan teknologi dan
pendidikan kejuruan adalah dua pendidikan yang memiliki penekanan berbeda. Agar
menjadi efektif maka pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan disinergikan menjadi
pendidikan teknologi kejuruan yang menerapkan kedua prinsip-prinsip tersebut di atas
dalam meningkatkan relevansinya.
Pendidikan kejuruan yang baik adalah pendidikan kejuruan yang dapat
beradaptasi dengan lingkungan dunia usaha dan dunia industri, demikian pula mampu
memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja, sehingga pendidikan kejuruan seharusnya
mempunyai karakteristik: (1) Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan
peserta didik memasuki lapangan kerja, (2) Pendidikan kejuruan didasarkan atas demanddriven (kebutuhan tenaga kerja, (3) Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada
penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia
kerja, (4) Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada hands on
atau performa tenaga kerja, (5) Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci
sukses pendidikan kejuruan, (6) Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsive dan

antisipatif terhadap kemajuan teknologi, (7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada
learning by doing dan hands on experience, (8) Pendidikan kejuruan mmerlukan fasilitas
yang mutakhir untuk praktek dan (9) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi
dan operasional yang lebih besar dari pada pendidikan umum[ CITATION Djo98 \l
1033 ].
2. Model Pengelengaraan Pendidikan Kejuruan
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak lepas dari strategi agar tujuan
pendidikan dapat dicapai secara optimal, untuk itu sekolah menerapkan berbagai model
sesuai dengan program studinya dan karakteristik peserta didik. Kata model dapat
4

diartikan sebagai pola atau bentuk. Kaitannya dengan pendidikan kejuruan kata model di
sini mengandung pengertian sebagai suatu bentuk atau pola penyelenggaraan pendidikan
kejuruan. Munculnya berbagai model penyelenggaraan pendidikan kejuruan, tidak dapat
dilepaskan dengan masyarakat dan kebutuhannya. Terdapat tiga model penyelenggaraan
pendidikan kejuruan, sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (dalam Muliati A.M, 2007),
yaitu model berorientasi pasar, model sekolah dan model pendidikan sistem ganda.
a. Model Berorientasi Pasar
Model pertama, pemerintah tidak mempunyai peran, atau hanya peran
marginal dalam proses kualifikasi pendidikan kejuruan. Model ini sifatnya liberal,
namun kita dapat mengatakannya sebagai model berorientasi pasar (Market Oriented
Model). Perusahaan-perusahaan atau industri sebagai pemeran utama berhak
menciptakan desain pendidikan kejuruan yang tidak harus berdasarkan prinsip
pendidikan yang bersifat umum, dan mereka tidak dapat diusik oleh pemerintah
karena yang menjadi sponsor, dana dan lainnya adalah dari perusahaan.
Konsep pendidikan kejuruan yang berorientasi ke dunia kerja didasarkan atas
kebutuhan tenaga kerja di dunia industri di mana perencanaan ketenagakerjaan tidak
dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Program Kebutuhan pasar kerja dan dunia
pendidikan seharusnya dirancang secara terintegrasi dengan memperhatikan tujuan
dan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri
Industri dapat mengambil peran yang lebih besar, karena selain memanfaatkan
secara langsung hasil pendidikan, industri juga memiliki sumber daya dan sumber
dana. Dengan demikian, industri dapat menyumbangkan sumber dayanya dalam
proses pendidikan misalnya dengan penyediaan teknologi yang canggih dan tentu
lebih maju dibandingkan dengan institusi pendidikan sebagai sarana pelatihan. Pada
saat yang sama, industi dapat menjadi arena yang tepat di mana kompetensi profesi
dapat diidentifikasi dan diujikan.

Praktek-praktek yang dapat mempengaruhi

pembelajaran berorientasi dunia kerja seperti Boud & Solomon (2003) menyatakan
“The practices which have influenced the development of work-based learning
include the following: (1)work placements and sandwich courses, (2) Independent
studies and negotiated, (3) Access and the accreditation of prior experiental learning,
(4) Generic competencies and capabilities, (5) Labour and learning”.
Komponen penting lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan berorientasi
dunia kerja adalah identifikasi yang tepat dari kompetensi profesi. Seluruh usaha
5

pendidikan menjadi kurang bermanfaat jika kompetensi dari lulusan yang dihasilkan
tidak direspon secara positif dan terserap oleh pasar tenaga kerja. Asosiasi profesi
dalam hal ini memegang peranan penting dalam identifikasi profesi. Oleh karena itu
setiap profesi seyogyanya membentuk suatu asosiasi untuk menjembatani dengan
dunia pendidikan. Pada era di mana kompetisi global telah merambah ke setiap sudut
kepentingan hidup masyarakat, maka SDM yang dihasilkan dari proses pendidikan
akan masuk dalam kompetisi global. Hanya SDM yang memiliki kualifikasi atau
standar tertentu yang mendapat pengakuan dalam penguasaan kompetensi profesi yang
akan dapat bertahan. Jadi, pengakuan dan pengesyahan kompetensi profesi menjadi
sangat penting, di sinilah asosiasi profesi dapat mengambil peran bahkan tanggung
jawab [ CITATION Han01 \l 1033 ].
Salah satu tolak ukur dari keberhasilan suatu proses pendidikan adalah apabila
ada relevansi hasil lulusan dengan pasar tenaga kerja dan bagi institusi pendidikan
yang mempunyai unit produksi seharusnya mengarahkan produknya dengan
kebutuhan pasar dalam hal ini dunia industry dan dunia usaha bahkan masyarakat luas.
Bailey, Hughens & Moore (2004) menyatakan bahwa “ A central argument in favor
of work-based learning is that students acquire various practical skills and that they
learn about industries and careers”. Jadi, alasan utama dari pembelajaran berorientasi
dunia kerja adalah peserta didik dapat memperoleh berbagai keterampilan dan bahkan
mereka mmempelajari mengenai industry dan karier. Karena bagaimanapun institusi
pendidikan seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana hasil lulusannya berkualitas
namun demikian harus juga memperhatikan keinginan pasar yang selalu berobah.
Jadi, berdasarkan konsep pemasaran alasan keberadaan social dan ekonomi bagi
suatu organisasi termasuk di dalamnya institusi pendidikan adalah memuaskan
kebutuhan konsumen dan keinginan tersbut sesuai dengan sasaran organisasi
[ CITATION Lam01 \l 1033 ].
Pendidikan kejuruan memiliki manfaat yang kalau tercapai dengan baik akan
berkontibusi besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional. Manfaat
pendidikan kejuruan—bagi siswa pendidikan kejuruan bermanfaat untuk peningkatan
kualitas diri, peningkatan penghasilan, penyiapan bekal pendidikan lebih lanjut dan
penyiapan diri agar berguna bagi masyarakat dan bangsa. Bagi dunia kerja, pendidikan
kejuruan mempunyai manfaat dapat memperoleh tenaga kerja berkualitas tinggi, dapat
meringankan biaya usaha dan dapat membantu memajukan dan mengembangkan
usaha. Dan bagi masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dapat
6

meningkatkan produktivitas nasional, jadi dapat meningkatkan penghasilan Negara
dan dapat mengurangi pengangguran [ CITATION Djo98 \l 1033 ].
Pendidikan kejuruan berorintasi dunia kerja akan dapat berkembang dan
berhasil manakala hasil lulusannya atau hasil produksinya dapat diterima dan diserap
oleh pasar. Karena apabila hal tersebut dapat terjadi di sinilah konsep relevansi
pendidkan berorientasi dunia kerja berhasil dicapai. Karena keberhasilan institusi
pendidikan seharusnya tidak diukur dari berapa banyak institusi pendidikan dapat
menghasilkan lulusan (SDM) tetapi bagaimana menghasilkan lulusan yang dapat
terserap di dunia kerja, sehingga lulusannya tidak menambah pengangguran dan hal
tersebut dapat menambah beban pemerintah. Oleh karena itu semua komponen
pendidikan; kurikulum dan pembelajaran, ketenagaan (guru dan tenaga kependidikan),
sarana dan prasarana, keuangan, organisasi dan kelembagaan, lingkungan dan budaya
sekolah dan kerjasama dan kemitraan harus diorientasikan untuk menciptakan lulusan
yang dibutuhakan oleh dunia usaha dan dunia industry serta pasar tenaga kerja
[ CITATION Sut12 \l 1033 ]. Beberapa negara penganut model ini adalah Jepang,
Inggris, dan Amerika Serikat.
b. Model Sekolah
Model kedua, pemerintah sendiri merencanakan, mengorganisasikan dan
mengontrol pendidikan kejuruan. Model ini sifatnya birokrat, pemerintah dalam hal ini
yang menentukan jenis pendidikan apa yang harus dilaksanakan di perusahaan,
bagaimana desain silabusnya, begitu pula dalam hal pendanaan dan pelatihan yang
harus dilaksanakan oleh perusahaan tidak selalu berdasarkan permintaan kebutuhan
tenaga kerja ataupun jenis pekerjaan saat itu. Walaupun model ini disebut juga model
sekolah (school model), pelatihan dapat dilaksanakan di perusahaan sepenuhnya.
Beberapa negara seperti Perancis, Italia,

Swedia serta banyak dunia ketiga juga

melaksanakan model ini.
c. Model Sistem Ganda
Model ketiga, pemerintah menyiapkan/memberikan kondisi yang relatif
komprehensif dalam pendidikan kejuruan bagi perusahaan-perusahaan swasta dan
sponsor swasta lainnya. Model ini disebut juga model pasar dikontrol pemerintah
(state controlled market) dan model inilah yang disebut model sistem ganda (dual
system) sistem pembelajaran yang dilaksanakan di dua tempat yaitu sekolah kejuruan
serta perusahaan yang keduanya bahu membahu dalam menciptakan kemampuan kerja
7

yang handal bagi para lulusan pelatihan tersebut. Negara yang menggunakan sistem
ini diantaranya Swiss, Austria dan Jerman.

Kecenderungan yang digunakan di

Indonesia adalah model ketiga ini, dimana pelaksanaan pendidikan sistem ganda
dilaksanakan di dua tempat yaitu di sekolah dan di industri dengan berbagai
pengembangannya.
Menurut Djojonegoro (dalam Muliati A.M, 2007) pendidikan sistem ganda
merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang
secara sistematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program
penguasaan keahlian yang diperoleh. Sejalan dengan pendapat tersebut Permana
(2005) mengemukakan PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan
pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron
program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh
melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat
keahlian profesional tertentu. Menurut Raharjo (dalam Anwar, 1999) PSG merupakan
perkembangan dari magang yaitu belajar sambil bekerja atau bekerja sambil belajar
langsung dari sumber belajar dengan aspek meniru sebagai unsur utamanya dan hasil
belajar/bekerja itu merupakan ukuran keberhasilannya. Menurut Pakpaham (dalam
Anwar, 1999) PSG mempunyai dua tempat kegiatan pembelajaran, dilaksanakan
berbasis sekolah (school based learning) dan berbasis kerja (work based learning).
Siswa berstatus sebagai pemagang di industri dan sebagai siswa di SMK.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG menurut
Djojonegoro (dalam Anwar, 1999) bertujuan: (1) menghasilkan tenaga kerja yang
memiliki keahlian profesional, yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan,
keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja; (2)
meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan/kecocokan (link and
match) antara lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan dunia kerja; (3)
meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja
berkualitas profesional dengan memanfaatkan sumber daya pelatihan yang ada di
dunia kerja; (4) memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja
sebagai bagian dari proses pendidikan.
Pengelolaan kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan sistem ganda,
menurut Nurharjadmo, W. (2008), disandarkan pada beberapa prinsip dasar yaitu: (1)
ada keterkaitan antara apa yang dilakukan di sekolah dan apa yang dilakukan di
institusi pasangan sebagai suatu rangkaian yang utuh; (2) praktek keahlian di institusi
8

pasangan merupakan proses belajar yang utuh, bermakna dan sarat nilai untuk
mencapai kompetensi lulusan; (3) ada kesinambungan proses belajar dengan waktu
yang sesuai dalam mencapai tingkat kompetensi yang dibutuhkan; (4) berorientasi
pada proses disamping berorientasi kepada produk dalam mencapai kompetensi
lulusan secara optimal.
Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di Indonesia dilaksanakan mengacu
pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 323/
U/1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda Pada Sekolah Menengah
Kejuruan. Kebijakan pendidikan sistem ganda dikembangkan berdasarkan konsep dual
sistem di Jerman, yaitu suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional
yang memadukan secara sitematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan
penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja,
dengan tujuan untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan dan pelatihan bagi siswa SMK yang
melakukan praktek kerja industri, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di dunia
usaha/dunia industri. PSG pada dasarnya adalah suatu bentuk penyelenggaraan
pendidikan keahlian professional yang memadukan secara sistematis dan sinkron
program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh
melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat
keahlian professional tertentu.
Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda di Indonesia akan menjadi salah satu
bentuk penyelenggaraan pendidikan menengah kejuruan sesuai dengan ketentuan pada
Undang-Undang Nomor 2

tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional, dan

peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1992 tentang Peranan masyarakat Dalam
Pendidikan Nasional, dan Kepmendikbut Nomor 080 / U / 1993 tetntang Kurikulum
SMK, sebagi berikut:
a) "Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 ( dua ) jalur yaitu jalur
pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah". [ UUSPN, Bab IV, pasal
10, ayat ( 1 ) ]
b) "Penyelenggaraan sekolah menengah dapat bekerjasama dengan masyarakat
terutama dunia usaha dan para dermawan untuk memperoleh sumber daya dalam

9

rangka menunjang penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan". [ PP 29, Bab
XI, pasal 29, ayat ( 1 ) ]
c) "Pengadaan dan pendayagunaan sumberdaya pendidikan di lakukan oleh
Pemerintah, masyarakat, dan / atau keluarga peserta didik. [ UUSPN, Bab VIII,
pasal 33 ]
d) "Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan Nasional ". [ UUSPN, Bab XIII,
pasal 47, ayat ( 1 ) ]
e) "Peranserta masyarakat dapat berbentuk pemberian kesempatan untuk magang dan
atau latihan kerja". [ PP 39, Bab III, pasal 4, butir ( 8 ) ].
f) "Pemerintah dan Masyarakat menciptakan peluang yang lebih besar untuk
meningkatkan peranserta masyarakat dalam Sistem pendidikan Nasional". [ PP 39,
Bab VI, pasal 8, ayat ( 2 ) ]
g) "Pada sekolah menengah dapat dilakukan uji coba gagasan baru yang di perlukan
dalam rangka pengembangan pendidikan menengah". [ PP 29, Bab XIII, pasal 32,
ayat ( 2 ) ]
h) Sekolah Menengah Kejuruan dapat memilih pola penyelenggaraan pengajaran
sebagai berikut:
1) Menggunakan unit produksi sekolah yang beroperasi secara profesional
sebagai wahana pelatihan kejuruan.
2) Melaksanakan sebagian kelompok mata pelajaran keahlian kejuruan di
sekolah, dan sebagian lainnya di dunia usaha atau industri.
3) Melaksanakan kelompok mata pelajaran keahlian kejuruan sepenuhnya di
masyarakat, dunia usaha dan industri.[ Kepmendikbud, No : 080 / U / 1993,
Bab IV, butir C.I kurikulum 1994, SMK ]
3. Peran Standar Kompetensi Dan Kualifikasi Kerja Dalam Pendidikan Teknologi
Dan Kejuruan
a. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dalam Peraturan menteri tenaga
kerja dan transmigrasi nomor 5 tahun 2012 pasal 1 ayat 2 tentang sistem standarisasi
kompetensi kerja nasional dapat diartikan sebagai rumusan kemampuan kerja yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan
10

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penyusunan SKKNI
yaitu sebagai acuan dalam mengukur kemampuan kerja seseorang yang meliputi aspek
pengetahun, keterampilan, dan sikap kerja sebagaimana yang disyaratkan oleh
industri. Penyusunan dan perumusan SKKNI merefleksikan kompetensi tenaga kerja
yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri harus memenuhi beberapa hal, antara
lain: fokus pada kebutuhan dunia usaha/industri, kompatibilitas, fleksibilitas,
keterukuran,

ketelusuran,

dan

transferbilitas.

Fokus

pada kebutuhan

dunia

usaha/industri dalam upaya melaksanakan proses bisnis sesuai dengan tuntutan
operasional perusahaan yang dipengaruhi oleh dampak era globalisasi. Kompatibilitas
dengan standar-standar yang berlaku di dunia usaha/industri untuk bidang pekerjaan
yang sejenis dan kompatibel dengan standar sejenis yang berlaku di negara lain
ataupun secara internasional. Fleksibilitas adalah sifat generik yang mampu
mengakomodasi perubahan dan penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang diaplikasikan dalam bidang pekerjaan yang terkait. Keterukuran merupakan sifat
generik standar kompetensi harus memiliki kemampuan ukur yang akurat.
SKKNI digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan program kursus dan
pelatihan; melakukan rekrutmen; menyusun uraian jabatan; mengembangkan program
pelatihan dalam jabatan; melaksanakan pelatihan prajabatan yang spesifik berdasarkan
kebutuhan dunia usaha/industri; merumuskan paket program sertifikasi sesuai dengan
kualifikasi dan levelnya, penyelenggaraan pelatihan, dan penilaian; serta penyusunan
standar kompetensi lulusan. Konsep kompetensi dalam SKKNI mengandung 5 (lima)
dimensi kompetensi, yaitu:
a) Keterampilan melaksanakan pekerjaan (task skills), yaitu kemampaun seseorang
meyelesaikan tugas – tugas dalam pekerjaan yang diuraikan dalam kriteria unjuk
kerja.
b) Keterampilam mengelola pekerjaan (task management skills), yaitu kemampuan
seseorang untuk mengelola beberapa pekerjaan, mencakup merencanakan pekerjaan
sekaligus dengan menginterpretasikan menjadi beberapa tugas lainnya untuk
menghasilkan pekerjaan yang lengkap.
c) Keterampilan mengelola keadaan darurat (contigency management skills), yaitu
kemampuan terhadap ketidak-teraturan dan gangguan rutinitas dalam bekerja,
termasuk keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan sehari – hari sehingga
dapat menghadapai ketidak-teraturan, ketidak-sempurnaan dan hal–hal yang tidak
dapat diketahui.
11

d) Keterampilan

memenuhi

tuntutan

pekerjaan/lingkungan

kerja

(job/role

environment skills), yaitu kemampuan yang biasa digunakan untuk memenuhi
tanggung jawab serta ekspektasi terhadap lingkungan pekerjaan dan untuk dapat
bekerja sama dengan orang lain, termasuk berinteraksi dengan orang dari dalam
maupun luar, seperti rekan sejawat, pelanggan, nasabah dan khalayak umum.
e) Kemampuan beradaptasi dengan situasi tempat kerja baru (transfer skills), yaitu
kemampuan melakukan saling tukar terhadap aplikasi pengetahuan dan
keterampilan pada situasi maupun konteks yang baru.
b. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Kerangka

Kualifikasi

Nasional

Indonesia

(KKNI)

adalah

kerangka

penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri
bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang
dimiliki Indonesia. KKNI dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun
2012, yang terdiri dari sembilan jenjang kualifikasi, dimulai dari kualifikasi 1 sebagai
kualifikasi terendah dan kulifikasi ke-9 sebagai kualifikasi tertinggi. Jenjang
kualifikasi merupakan tingkat pencapaian pembelajaran yang disepakati secara
nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan pelatihan yang diperoleh
melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja. Uraian
masing-masing jenjang kualifikasi secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.
Jenjang kualifikasi level 1, yaitu: (1) mampu melaksanakan tugas sederhana,
terbatas, bersifat rutin, dengan menggunakan alat, aturan, dan proses yang telah
ditetapkan, serta di bawah bimbingan, pengawasan, dan tanggung jawab atasannya. (2)
memiliki pengetahuan faktual, dan (3) bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri dan
tidak bertanggung jawab bertanggung jawab atas pekerjaan orang lain.
Jenjang kualifikasi level 2, antara lain: (1) mampu melaksanakan satu tugas
spesifik, dengan menggunakan alat, dan informasi, dan prosedur kerja yang lazim
dilakukan, serta menunjukkan kinerja dengan mutu yang terukur, di bawah
pengawasan langsung atasannya, (2) memiliki pengetahuan operasional dasar dan
pengetahuan faktual bidang kerja yang spesifik, sehingga mampu memilih pemecahan

12

yang tersedia terhadap masalah yang lazim timbul. Bertanggung jawab pada pekerjaan
sendiri dan dapat diberi tanggung jawab membimbing orang lain.
Jenjang kualifikasi level 3, meliputi: (1) mampu melaksanakan serangkaian
tugas spesifik, dengan menerjemahkan informasi dan menggunakan alat, berdasarkan
sejumlah pilihan prosedur kerja, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan
kuantitas yang terukur, yang sebagian merupakan hasil kerja sendiri dengan
pengawasan tidak langsung, (2) memiliki pengetahuan operasional yang lengkap,
prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait dengan fakta bidang keahlian tertentu,
sehingga mampu menyelesaikan berbagai masalah yang lazim dengan metode yang
sesuai, (3) mampu kerjasama dan melakukan komunikasi dalam lingkup kerjanya, dan
(4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
hasil kerja orang lain.
Jenjang kualifikasi level 4, mencakup: (1) mampu menyelesaikan tugas
berlingkup luas dan kasus spesifik dengan menganalisis informasi secara terbatas,
memilih metode yang sesuai dari beberapa pilihan yang baku, serta mampu
menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur, (2) menguasai
beberapa prinsip dasar bidang keahlian tertentu dan mampu menyelaraskan dengan
permasalahan faktual di bidang kerjanya, (3) mampu bekerja sama dan melakukan
komunikasi, menyusun laporan tertulis dalam lingkup terbatas, dan memiliki inisiatif,
(4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
kuantitas dan mutu hasil kerja orang lain.
Jenjang kualifikasi level 5, berupa: (1) mampu menyelesaikan pekerjaan
berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah
maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja
dengan mutu dan kuantitas yang terukur, (2) menguasai konsep teoritis bidang
pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian
masalah prosedural, (3) mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan
tertulis secara komprehensif, (4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat
diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok.
Jenjang kualifikasi level 6, sebagai berikut: (1) mampu mengaplikasikan
bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian
masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi, (2) menguasai
konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian
khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu
13

memformulasikan penyelesaian masalah prosedural, (3) mampu mengambil keputusan
yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk
dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok, dan (4)
bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
pencapaian hasil kerja organisasi.
Jenjang kualifikasi level 7, adalah: (1) mampu merencanakan dan mengelola
sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif
kerjanya dengan memanfaatkan IPTEKS untuk menghasilkan langkah-langkah
pengembangan strategis organisasi, (2) mampu memecahkan permasalahan sains,
teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan
monodisipliner, dan (3) mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis
dengan akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di
bawah tanggung jawab bidang keahliannya.
Jenjang kualifikasi level 8, ialah: (1) mampu mengembangkan pengetahuan,
teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesionalnya
melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji, (2) mampu memecahkan
permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui
pendekatan inter atau multidisipliner, dan (3) mampu mengelola riset dan
pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu
mendapat pengakuan nasional dan internasional.
Jenjang kualifikasi level 9, memiliki: (1) mampu mengembangkan
pengetahuan, teknologi, dan atau seni baru di dalam bidang keilmuannya atau praktik
profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.
Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang
keilmuannya melalui pendekatan inter, multi, dan transdisipliner, dan (2) mampu
mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan pengembangan yang
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia, serta mampu
mendapat pengakuan nasional dan internasional.
Adanya KKNI diharapkan dapat sebagai jembatan antara sektor pendidikan
dan pelatihan untuk membentuk SDM nasional berkualitas dan bersertifikat melalui
skema pendidikan formal, non formal, in formal, pelatihan kerja atau pengalaman
kerja. Berdasarkan KKNI ini akan dihasilkan adanya pengakuan kompetensi kerja
sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

14

4. Pembelajaran Dalam Pendidikan Kejuruan
Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono, (1999) adalah kegiatan guru secara
terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang
menekankan pada penyediaan sumber belajar. Undang – Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas
berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan
kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan
yang baik terhadap materi pembelajaran.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

untuk

berpartisipasi

aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan sebagaimana tertuang

dalam PP 19

Tahun 2005 Pasal 26 ayat 3 dinyatakan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan

lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Rumusan ini kemudian disebut

sebagai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) satuan pendidikan menengah kejuruan oleh
karena itu pembelajaran di SMK dilaksanakan dalam rangka pembentukan
Kompetensi

Lulusan

(SKL)

Standar

peserta didik. Pembelajaran di SMK menggunakan

paradigma outcome yaitu kompetensi apa yang harus dikuasai peserta didik bukan
pembelajaran yang memaksakan apa yang harus diajarkan oleh seorang guru. Berikut
uraian macam pembelajaran di sekolah kejuruan dalam rangka pembentukan kompetensi
siswa.

a. Pembelajaran Berbasis Dunia Kerja (Work Based Learning)
Pembelajaran berbasis dunia kerja merupakan bagian dari konsep belajar
seumur hidup, kemampuan kerja, dan fleksibilitas. Pembelajaran berbasis dunia kerja
digunakan untuk menyatukan semua jenis pembelajaran yang dihasilkan dari
kebutuhan dunia kerja, pelatihan pekerjaan, pembelajaran informal, dan pembelajaran
yang berhubungan dengan pekerjaan selain dari pendidikan dan pelatihan kerja.
Pembelajaran berbasis dunia kerja berbeda dengan belajar di tempat kerja.
Pembelajaran berbasis dunia kerja membantu siswa memperoleh keterampilan baru
15

yang berguna untuk mengembangkan pendekatan baru dalam memecahkan masalah.
Pembelajaran berbasis dunia kerja dalam pendidikan kejuruan dirancang untuk
mempersiapkan peserta didik bekerja sesuai dengan kompetensi standar kerja dan
kurikulum di tempat kerja. Pembelajaran berbasis dunia kerja diasumsikan dalam
konteks pekerjaan utama dan diterapkan untuk tujuan yang berbeda tidak terbatas pada
kinerja pembelajaran dalam arti sempit. Sebaliknya, penekanan pembelajaran pada
identifikasi dan kegiatan berbasis dunia kerja, dimanapun dan bagaimanapun
pembelajaran itu dapat tercapai.
Pembelajaran berbasis dunia kerja menggabungkan teori dengan praktik dan
pengetahuan dengan pengalaman. Dunia kerja menawarkan banyak kesempatan bagi
siswa untuk belajar seperti di dalam kelas. Pembelajaran berbasis dunia kerja berpusat
pada refleksi di seluruh kerja praktik. Oleh karena itu siswa akan dihadapkan pada
perubahan pengetahuan yang berguna untuk mengatasi tekanan waktu dengan
merenung dan belajar dari hasil pekerjaan mereka. Pembelajaran berbasis dunia kerja
menggunakan banyak teknologi yang beragam, seperti penyebaran proyek kerja,
pembentukan tim belajar, dan pengalaman interpersonal yang lain. Ada tiga elemen
penting dalam proses pembelajaran berbasis kerja, yaitu belajar diperoleh dari
keahlian dan tugas, pengetahuan dan pemanfaatan sebagai kegiatan kolektif dimana
belajar menjadi pekerjaan setiap siswa, dan siswa menunjukkan bakat mereka dalam
belajar dengan kebebasan untuk menanyakan asusmsi yang mendasari kerja praktik.
Pembelajaran berbasis dunia kerja berbeda dari pendidikan konvensional yang
berasal dari refleksi pengalaman aktual. Proses belajar yang mendasar adalah konsep
metakognisi yang berari siswa berpikir secara terus-menerus tentang proses
pemecahan masalah. Belajar tidak cukup dengan bertanya ―apa yang kita pelajari‖,
tetapi juga dengan bertanya ―apa artinya atau bagamana cara menerapkan apa yang
sudah kita ketahui‖, sehingga belajar tidak sekedar memperoleh keterampilan teknis
tetapi juga menciptakan pengetahuan baru. Pembelajaran berbasis dunia kerja juga
membutuhkan kombinasi dari analisis rasional, imajinasi, dan intuisi
b. Pembelajaran Berorientasi Pengalaman (Experimental-Based Learning)
Proses pendidikan dapat berlangsung setiap saat dan dimana saja seseorang
berada. Setiap orang mengalami proses pendidikan melalui apa yang dijumpai dan
dikerjakannya. Pendidikan berlangsung secara alamiah meskipun tanpa kesengajaan.
Pendidikan merupakan suatu sistem, yaitu proses perolehan pengalaman sehingga
16

menjadi pengetahuan sebagai pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik
dalam hidup dan kehidupannya. Dengan pengalaman belajar ini diharapkan
pembelajar mampu mengembangkan potensi dirinya, sehingga siap digunakan untuk
memecahkan problema hidupnya. Pengalaman belajar diharapkan juga menginspirasi
pembelajar menghadapi problema hidup nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Uraian di atas merupakan gambaran singkat tentang pembelajaran berorientasi
pengalaman.

Pembelajaran

berbasis

pengalaman

adalah

pembelajaran

yang

menghubungkan pengalaman nyata dengan konseptualisasi abstrak melalui refleksi
dan perencanaan. Refleksi merupakan kegiatan merenung, memahami, dan berpikir
tentang pengalaman yang didapat. Perencanaan meliputi antipasi penerapan teori dan
keterampilan baru untuk diaplikasikan dalam pembelajaran. Prinsip utama
pembelajaran berbasis pengalaman ialah pemerataan kesempatan untuk berbagi
pengalaman dan pengetahuan bagi semua pihak serta menyalurkan informasi secara
horizontal. Mulyana, dkk (dalam Istanto Wahju, dkk, 2013) berpendapat tentang
prinsip-prinsip yang menjadi landasan pembelajaran berbasis pengalaman, yaitu:
semua peserta adalah guru dan semua peserta adalah murid; semua tempat adalah
ruang belajar; semua pengalaman adalah bahan pembelajaran; belajar secara sadar dan
sungguh-sungguh; berorientasi pada perubahan; keterbukaan; serta keseimbangan teori
dan praktik.
c. Pendidikan Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang membuat siswa mampu
merperkuat, mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan
akademik mereka di berbagai kondisi baik di dalam masyarakat maupun di luar
sekolah untuk memecahkan masalah-masalah nyata maupun simulasi (Setiawan dalam
Istanto Wahju, dkk, 2013). Pembelajaran kontekstual terjadi ketika para siswa
mengalami dan menerapkan hal-hal yang dipelajari dengan peran dan tanggung jawab
mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga negara, dan pekerja.
Pembelajaran kontekstual menekankan pemikiran yang lebih tinggi, alih pengetahuan
antar mata pelajaran akademis, serta menghubungkan, mengalisis, dan menyusun
informasi dari berbagai sumber dan sudut pandang.
Pendidikan kontekstual menggabungkan isi kandungan pengetahuan dengan
pengalaman hidup individu, masyarakat, dan dunia kerja. Kaidah pembelajaran ini
menyediakan pembelajaran secara konkrit yang melibatkan aktivitas hands-on dan
17

minds-on. Pembelajaran kontekstual hanya akan berlaku jika siswa dapat memroses
pengetahuan baru dengan cara yang bermakna dan relevan dengan lingkungan sekitar.
Pembelajaran kontekstual menggalakkan pendidik untuk memilih atau mewujudkan
pembelajaran yang meliputi berbagai pengalaman yang sama dalam konteks sosial,
budaya, dan psikologi untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang diinginkan.
Siswanto (dalam Istanto Wahju, dkk, 2013) menjelaskan ada tujuh elemen penting
dalam pembelajaran kontekstual, antara lain: inquiry, questioning, constructivism,
modelling, learnig comunity, authentic assesment, dan reflextion.
Pembelajaran kontekstual dapat memberi keyakinan siswa untuk memahami
hubungan antara teori dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja.
Pembelajaran kontekstual juga membina siswa untuk bekerja kelompok untuk
menyelesaikan suatu masalah. Sekolah memiliki peran sebagai penghubung antara
akademik dan dunia pekerjaan untuk mendapat dukungan dari industri. Pembelajaran
kontekstual dapat dicapai melalui berbagai bentuk, yaitu: relating (mengkaitkan),
experiencing (mengalami), applying (mengaplikasi), coorperating (bekerjasama), dan
transfering (memindahkan). Relating (mengkaitkan) adalah belajar dalam konteks
saling-hubung antara pengetahuan baru dengan pengalaman hidup. Experiencing
(mengalami) adalah belajar dalam konteks perekaan, penemuan, dan reka cipta.
Applying (mengaplikasi) adalah belajar dalam konteks bagaimana pengetahuan atau
informasi dapat digunakan dalam situasi lain. Coorperating (bekerjasama) adalah
belajar dalam konteks bekerjasama dan berkomunikasi dengan orang lain. Transfering
(memindahkan) adalah belajar dalam konteks pengetahuanyang telah dipelajari dan
digunakan yang telah diketahui.
Uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan kontekstual sebagai suatu
proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa agar dapat
memahami makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengkaitkannya dengan
konteks kehidupan sehari-hari dalam konteks pribadi, sosial, lingkungan, maupun
kultural sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel
dapat diterapkan dalam dari satu permasalahan tertentu menjadi permasalahan lainnya.
d. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning-PBL) adalah konsep
pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang
dimulai dengan masalah yang penting dan relevan (bersangkut-paut) bagi peserta
didik, dan memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih
18

nyata [ CITATION Tim07 \l 1033 ]. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan
peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada
peserta didik, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam
kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini.
Pembelajaran berbasis masalah dapat pula dimulai dengan melakukan kerja kelompok
antar peserta didik.peserta didik menyelidiki sendiri, menemukan permasalahan,
kemudian menyelesaikan masalahnya di bawah petunjuk fasilitator (guru).
Pembelajaran berbasis masalah menyarankan kepada peserta didik untuk
mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran
berbasis masalah memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri.
Peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit
bimbingan atau arahan guru sementara pada pembelajaran tradisional, peserta didik
lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur
oleh seorang guru. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model
pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta
didik melibatkanpeserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap
metode ilmiah, sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk
memecahkan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah perlu dirancang dengan baik mulai dari
penyiapan masalah yang sesuai dengan kurikulum yang akan dikembangkan di kelas,
memunculkan masalah dari peserta didik, peralatan yang mungkin diperlukan, dan
penilaian yang akan digunakan agar hasil pembelajaran tercapai secara optimal.
Pengajar yang menerapkan pendekatan ini harus mengembangkan diri melalui
pengalaman mengelola kelas, dan pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang
berkelanjutan. Oleh karena itu, pengajaran berdasarkan masalah merupakan
pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran
ini membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam
benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan
sekitarnya.Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun
kompleks.
Pembelajaran berbasis masalah dimulai dari langkah perencanaan, investigasi,
dan penyajian hasil. Langkah perencanaan meliputi mempersiapkan siswa untuk
19

berperan sebagai self-directed problem solvers yang dapat berkolaborasi dengan pihak
lain, menghadapkan siswa pada situasi yang dapat mendorong mereka untuk
menemukan masalah, dan meneliti hakikat permasalahan yang disiapkan serta
mengajukan hipotesis rencana penyelesaian masalah. Langkah investigasi mencakup
mengeksplorasi berbagai cara menjelaskan kejadian serta implikasinya, dan
mengumpulkan serta mendistribusikan informasi. Langkah penyajian hasil digunakan
untuk menyajikan temuan-temuan.
Keunggulan model pembelajaran berbasis masalah, antara lain meningkatkan
aktivitas pembelajaran peserta didik, melatih peserta didik untuk bertanggung jawab
dalam pembelajaran yang mereka lakukan, membantu peserta didik mentrasfer
pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan menyesuaikan dengan pengetahuan
baru, serta minat peserta didik untuk belajar secara terus menerus.
e. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning-PjBL) adalah metode
pembelajaran yang sistematik yang melibatkan siswa dalam mempelajari pengetahuan
dasar dan kecakapan hidup melalui perluasan, proses penyidikan, pertanyaan autentik,
perancangan produk, dan kegiatan yang seksama [ CITATION Gor10 \l 1033 ].
Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi
untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran berbasis proyek
merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya
dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk
digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam
melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Karakteristik

pembelajaran

berbasis

proyek,

yaitu:

pengorganisasian

masalah/pertanyaan dimana pembelajaran haruslah mengembangkan pengetahuan atau
minat siswa, memiliki hubungan dengan dunia nyata dimana konteks pembelajaran
yang bermakna dan autentik, menekankan pada tanggung jawab siswa dimana para
siswa harus mengakses informasi mereka sendiri dan mendesain proses untuk
memperoleh solusi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, dan
asesmen (penilaian) dima