karya dan ilmiah dan ready.docx

SAB’ATU AHRUF DALAM AL-QUR’AN
Oleh: Azzah Awaliyah
Abstrak
Sab’atu ahruf dalam al-Qur’an bukanlah merupakan hal yang sulit untuk
dipelajari bagi ummat islam pada umumnya. Mungkin orang akan mengira
sab’atu ahruf sama dengan qira’ah sab’ah tapi tidak. Keduanya berbeda,
tapi keduanya sama-sama bagian dari ulumul qur’an.
Sab’atu ahruf telah menuai berbagai macam kontroversi tersendiri yang
membahas tentang definisinya. Dalam beberapa pendapat tersebut, masingmasing dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersangkutan, baik itu naqli maupun
aqli.

Kata kunci: sab’atu ahruf, qira’ah, lahjah, mushaf Utsmaniyyah.
Pendahuluan
Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah
mereka dalam laggam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara
komperhensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri
dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah lain.
Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan bahasa
mereka lebih unggul di antara cabang-cabang bahasa arab lainnya, yang antara
lain karena tugas mereka menjaga baitullah, menjamu para jama’ah haji,
memakmurkan masjidil haram dan menguasai perdagangan. Oleh karena itu

semua suku bangsa arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa induk bagi
bahasa-bahasa tersebut mereka karena adanya karakteristik-karakteristik tersebut.
Dengan demikian wajarlah jika al-Qur’an diturunkan dalam logat Quraisy, kepada
Rasul yang Quraisy pula untuk mempersatukan bangsa Arab dan mewujudkan
kemukjizatan al-Qur’an ketika mereka gagal mendatangkan satu surah yang
seperti al-Qur’an.

Apabila orang arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna
dengan beberapa perbedaan tertentu, maka al-Qur’an yang diwahyukan Allah
kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW, menyempurnakan makna kemu’jizatannya
karena ia mencakup semua huruf dan wajah qira’ah pilihan diantara lahjah-lahjah
itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk
membaca, menghafal dan memahaminya.
Nash-nash sunnah juga sudah cukup banyak mengemukakan hadits
mengenai turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf.1
Pembahasan
A. Pengertian Sab’atu Ahruf
Kata ahruf adalah bentuk jamak dari harfun, yang oleh pengarang kamus
diartikan sebagai ujung atau pinggir sesuatu, atau puncak (gunung). Akan tetapi
adapula yang mengartikannya sebagai “ragu” atau “tepi”. Adapun yang

dimaksudkan dari sab’atu ahruf yaitu, tujuh bahasa-bahasa bangsa Arab. Bukan
berarti ‘tujuh huruf’ seperti yang kita tahu dimana Al-Qur’an itu datang dengan
dua puluh tujuh huruf atau lebih, melainkan berarti tujuh bahasa yang berbedabeda dalam Al-Qur’an.
Dari uraian di atas, kita tahu bahwa kata “huruf” mempunyai banyak arti,
namun yang dikehendaki adalah satu yang sesuai dengan qarinah dan maqam.
Dengan demikian yang dimaksudkan huruf adalah wajhun/segi, ini
berdasarkan dalil sabda beliau yang berarti “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh
huruf (wajah bacaan)”, untuk memperluas dan mempermudah, sehingga ucapan
itu akan berarti “Al-Qur’an diturunkan dengan luas yang didalamnya pembaca
dapat membacanya dengan tujuh wajah (bacaan). Dengan wajah manapun dia
hendak membacanya”. Atau seolah-olah Rasulullah itu bersabda: “sedemikian
luasnya Al-Qur’an itu diturunkan”.2
B. Dalil-Dalil Turunnya Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
1

Ali Mufron, Pengantar Ilmu Tafsir dan Qur’an, Cet. Ke III, Yogyakarta: Aura
Pustaka, 2016, hlm. 122.
2
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyan fi Ulumil Qur’an: Ikhttisar Ulumul
Qur’an Praktis (terj. Muhammad Qadirun Nur) Cet. Ke I, Jakarta: Pustaka Amani, 2011,

hlm. 346.

Pertama, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shohih
mereka dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata bahwa Rasulullah Saw.telah bersabda:
“Jibril telah membacakan kepadaku satu huruf, kemudian aku mengulanginya.
Aku tidak henti meminta tambah kepadanya dan dia menambahiku sehingga
sampai tujuh huruf.’’ (Shahih Bukhari, jus 111, hal. 227 dan Shahih Muslim, juz
1, hal. 561).
Imam Muslim menambahkan bahwa Ibnu Syihab berkata: “Telah sampai
kepadaku bahwa tujuh huruf itu adalah sama. Tidak berbeda dalam halal dan
haram”.
Kedua, Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan, yang lafalnya dari
Bukhari, sesungguhnya Umar bin Khathab r.a.berkata: “Aku mendengar Hisyam
bin Hakim membaca surat Al-Furqon pada masa hidup Rasulullah Saw., kudengar
bacaanya. Ternyata dia membaca dengan huruf-huruf yang banyak yang belum
pernah dibacakan Rasulullah Saw. Kepadaku, sehingga aku hampir dibikin
beranjak dari salat. Maka kunantikan saja dia sampai salam, lalu kutarik
surbannya seraya kutanya, ‘Siapa yang membacakan surat ini padamu?’ Dia
jawab, ‘Rasulullah Saw.yang membacakannya padaku’ Aku berkata, ‘Kau
bohong. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah telah membacakan kepadaku surat

yang telah aku dengar dari bacaanmu. Lalu kuseret dia menuju RasulullahSaw.,
kemudia aku berkata, ‘ya Rasulullah, aku dengar orang ini membaca surat AlFurqon dengan beberapa huruf yang belum pernah kau bacakan padaku. Sedang
engkau sendiri telah membacakan padaku surat Al-Furqan ini’. Rasulullah Saw.
Bersabda, ‘Lepaskan dia, hai Umar! Dan bacalah surat itu hai Hisyam!’ Lalu
Hisyam membacakannya sebagaimana telah aku dengar dia membacanya. Lalu
Rrasulullah Saw.bersabda lagi, ‘Memang demikianlah surat ini diturunkan’.
Kemudian Rasulullah Saw.bersabda, ‘Sesungguhnya Al-Quran ini turun dengan
tujuh huruf. Maka bacalah yang muda bagimu!”.
Dalam sebagian riwayat dikatakan:Sesungguhnya Rasulullah Saw meminta
mendengar bacaan Umar pula. Lalu bersabda: “Ya demikian inilah surat ini
diturunkan”.

Ketiga, Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubai bin Ka’ab,
dia berkata:Aku di masjid lalu ada seorang laki-laki masuk salat. Lalu laki-laki itu
membaca qira’ah yang aku ingkari. Lantas ada lelaki lain masuk pula. Dia
membaca qira’ah yang lain dari temanya tadi. Setelah kami selesai salat, kami
semua datang kepada Rasulullah Saw. Kemudian aku berkata, “Sesungguhnya
lelaki ini membaca qira’ah yang kuingkari dan ada pula lelaki lain yang membaca
berbeda dengan qira’ah temannya”. Lalu Rasulullah Saw.memerintahkan
keduanya membaca dan merekapun membaca. Nabi Saw .membaguskan bacaan

mereka, maka timbullah rasa tidak percaya dalam hatiku dan tidak seperti halnya
krtika aku masih dalam masa Jahiliyyah.
Ketika Rasulullah Saw . melihat apa yang menggelisahkanku, beliau
menepuk dadaku, sehingga berkeringat. Sungguh aku terkejut seolah-olah melihat
kepada Allah ' Azza wa jalla. Lalu Rasulullah Saw. berkata kepadaku, “Hai Ubai,
aku diutus agar membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf, maka aku ragu kalaukalu umatku kesulitan. Lalu dikembalikan padaku yang kedua, aku membacanya
dengan dua huruf. Aku ragu lagi kalau umatku keberatan. Lalu dikembalikan lagi
padaku yang ketiga: Bacalah ia dengan tujuh huruf dan bagimu permohonan yang
engkau pintakan pada-Ku pada tiap-tiap pengembalian yang engkau ajukan”.
Kemudian aku berkata: “Allahumma Ya Allah, ampunilah umatku. Ya Allah,
ampunillah umatku”. Dan akan aku tangguhkan yang ketiga kalinya pada hari di
mana seluruh makhluk mencintaiku hingga Ibrahim a.s”.
Imam Al-Qurthubi berkata: Sesungguhnya perasaan yang terlintas dalam
hati Ubai adalah termasuk apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Ketika
mereka bertanya kepada beliau: “Sesungguhnya kami menemukan sesuatu di
mana salah seorang dari kami keberatan untuk mengucapkannya”. Nabi Saw .
berkata: “Apakah kalian telah menemukannya?”. “Benar’’, jawab mereka. Nabi
Saw . bersabda: “Demikianlah terangnya iman”.(HR.Imam Muslim).
Keempat, Al-Hafidz Abu Ya’la telah meriwayatkan dalam Musnadnya AlKabir bahwa Usman r.a. pada suatu hari berbicara di atas mimbar: “Kami sebut
asma Allah Swt. teringat seorang yang mendengar RasulullahSaw. Pernah

bersabda bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan ‘tujuh huruf’ yang paripurna.”

Di kala Utsman r.a. berdiri, maka para hadirin juga berdiri. Mereka
menyaksikan bahwa Rasulullah bersabda: “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh
huruf yang semuanya tegas dan paripurna”.
Lalu Utsman r.a. berkata: “ Saya juga ikut menyaksikan bersama mereka”.
Kelima, Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubai bin Ka’ab,
bahwa sesungguhnya Rasulullah berada di danau Bani Ghaffar, dia bersabda:Jibril
telah

datang

kepadanya

seraya

berkata;

“Sesungguhnya


Allah

telah

memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu
huruf”. Lalu Rasulullah bersabda: “Aku mohon keselamatan dan ampunan-Nya,
sebab umatku tidak sanggup demikian”. “Sesungguhnya Allah memerintahkan
agar engkau membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf”. Nabi
Saw.

bersabda:

“Kumohon

keselamatan

dan

ampunan


kepada

Allah.

Sesumgguhmya umatku tidak akan kuat demikian”. Lalu Jibril datang kepada
beliau untuk ketiga kali, dia berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu
agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf”. Rasulullah
bersabda:

“Aku

mohon

kepada

Allah

keselamatan

dan


ampuna-Nya.

Sesungguhnya umatku tidak mampu demikian”. Kemudian Jibril datang kepada
beliau keempat kalinya dan berkata kepada beliau: “Sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepadamu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan
tujuh huruf. Huruf manapun mereka baca, sungguh mereka benar.
Keenam, Imam Turmudzi meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab pula, dia
berkata:Jibril menemui Rasulullah di bebatuan Marwa. Ubai berkata:Rasulullah
telah berkata kepada Jibril:Sesungguhnya aku diutus kepada ummat yang ummi.
Di antara mereka ada si tua renta, orang-orang lemah dan anak-anak”.Jibril
berkata: “Perintahkan mereka agar membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”.
Imam Turmidzi berkata bahwa ini hadist hasan.
Dalam lafal khudzaifah (disebutkan): Kemudian aku berkata: “Wahai Jibril,
sesungguhnya aku diutus kepada ummat yang ummi. Di situ ada laki-laki,
perempuan, anak-anak, pelayan dan orang tua yang tidak pernah membaca AlQur’an sama sekali”. Jibril berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an diturnkan dengan
tujuh huruf”.

Ketujuh, Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Qais
maula Amr bin Ash dari Amr bahwa seorang laki-laki membaca suatu ayat dari

Al-Qur’an. Lalu Amr berkata kepadanya: “Mestinya itu hanya demikian dan
demikian”. Kemudian hal itu dikemukakan kepada Nabi, laul beliau bersabda:
“sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Yang manapun engkau
baca, engkau benar. Maka janganlah engkau saling mengecam’.
Kedelapan, Ath-Thabari dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Zaid bin
Arqam, dia berkata: “seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, dia berkata:
“Ibnu Mas’ud membacakan kepadaku suatu surat. Demikian pula Zaid bin Tsabit
dan Ubai bin Ka’ab membacakan suatu surat kepadaku. Namun Qira’ah mereka
berbeda-beda. Lantas Qira’ah mana di antara mereka yang mesti kuambil?”.
Rasulullah diam saja dan Ali duudk di sebelahnya, maka Ali berkata: “Hendaklah
tiap-tiap orang dari kamu membaca Qira’ah yang diketahuinya. Itu lebih baik dan
lebih indah”.
Kesembilan, Ibnu Jarir Ath-Thabari mengeluarkan dari Abu Hurairah r.a.,
dia berkata: Rasulullah telah bersabda: “sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan
dengan tujuh huruf. Maka bacalah dan tidak berdosa. Akan tetapi janganlah
engkau mengakhiri menyebut rahmat dengan azab dan jangan pula (mengakhiri)
menyebut azab dengan rahmat”.3
C. Perbedaan Pendapat Tentang Pengertian Tujuh Huruf
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan
perbedaan yang bermacam-macam. Diantaranya adalah:

1) Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenal satu
makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam
mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan
sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang
satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya
mendatangkan satu lafal atau lebih saja.
3

Ibid., him. 340-344.

Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa
tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy,
Hudlail, Tsaqif, Hauazin, Kinanah, Tamin dan Yaman. Menurut Abu Hatim
as-Sijistani, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudlail, Tamim,
Azad, Rabi’ ah, Hauazin dan Sa’d bin Bakar. Dan diriwayatkan juga
pendapat-pendapat yang lain.
Suatu kaum berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu.
Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab dengan mana al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian
bahwa kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari
ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih dikalangan bangsa
Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedangkan
sebagian yang lain dalam bahasa Hudlail, Tsaqif, Hauazin, Kinanah, Tamin
atau Yaman, karena itu maka secara keseluruhan al-Qur’an mencakup
ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud
dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran
di berbagai surah al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata
tetapi sama dalam arti dan makna.
2) Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh wajah, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji),
wa’id

(ancaman),

jadal

(perdebatan),

qasas

(cerita)

dan

matsal

(perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam,mutasyabih dan
amtsal.
3) Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan) yaitu;
a) Ikhtilaf al-asma’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad,
mudzakar, dan cabang-cabangnya, seperti tatsniyah, jama’ dan ta’nits.
b) Perbedaan dalam segi i’rab (harakat akhir kata).
c) Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan).

d) Perbedaan dalam segi ibdal (pengganti), baik penggantian huruf dengan
huruf.
e) Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan.
f) Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq
(menipiskan), fathah dan imalah, idzhar dan idgham, hamzah dan tashil,
isymam dan lain-lain.
4) Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak
diartikan secara harfiah (bukan bilangan antara enam dan delapan) tetapi
bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan
orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa
dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama dari perkataan
semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
Sebab lafal sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah
banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam
bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam bilangan ratusan. Tetapi kata-kata
itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
5) Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
tersebut adalah qira’at sab’ah.
6) Pendapat terkuat dari semua pendapat yang telah disebutkan tentang
pengertian tujuh huruf adalah pendapat pertama, yaitu bahwa yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasabahasa Arab dalam mengungkapkan makna yang sama. Misalnya aqbil,
ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafal-lafal yang berbeda ini digunakan
untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat
ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb dan lainnya. Ibn
‘Abd al-Barr menisbahkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama.4
D. Sab’atu Ahruf Dalam Al-Qur’an
1. Sekelompok fuqaha’, qurra’ dan ulama mutakallimin, mereka menyatakan
bahwa semua huruf itu pada mushaf Utsmaniyyah. Alasan mereka adalah :
4
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Cet. XVIII, Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2014, hlm. 234-244.

a. Tidak diperbolehkan bagi umat ini untuk menyia-nyiakan atau
membuang begitu saja sebagian dari beberapa huruf itu.
b. Sesungguhnya para sahabat telah sepakat bahwa mushaf yang dinuqil
Utsman itu adalah dari huruf yang dituliskan oleh Abu Bakar r.a.
c. Sabda Nabi Saw : “Sesungguhnya umatku tidak mampu akan
demikian’, tidaklah dimaksudkan hanya pada masa sahabat saja,
sedangkan kemudahan Al-Qur’an itu bersamaan dengan tetapnya
kemukjizatannya.
2. Jumhurul ulama khalaf maupun salaf serta imam-imam kaum muslimin
telah memilih bahwa mushaf-mushaf Utsmaniyyah memuat ahruf as-sab’ah
(tujuh huruf) yang terkadang dalam tulisannya saja serta mengumpulkan
pemberian akhir yang permohonannya diajukan oleh Nabi Saw. kepada
Jibril.
3. Ibnu Jarir Ath-Thabari dan pengikutnya berpendapat bahwa mushaf-mushaf
Ustmaniyyah hanya memuat satu huruf saja dari akhruf as-sab’ah (tujuh
huruf). Mereka mengatakan : “Sesungguhnya akhruf as-sab’ah (tujuh
huruf) itu ada pada masa Rasulallah Saw., Abu Bakar dan Umar. Akan
tetapi ketika masa Utsman para iman berpendapat agar mencukupkan pada
satu huruf saja untuk menyatukan Kalimatul Muslimin. Dan dengan huruf
yang satu itulah Utsman menulis semua mushafnya.
Az-Zarqani berkata dalam kitabnya Manahilul Irfan, halaman 662 yang
redaksinya sebagai berikut : “Manakala kita menilik kembali “wajah-wajah tujuh”
itu pada mushaf-mushaf Ustmaniyyah dan apa yang telah tertulis, kita akan
menemukan kebenaran yang tidak bisa lagi dibantah. Yaitu bahwa sesungguhnya
mushaf-mushaf Utsmaniyyah itu memuat ahruf as-sab’ah (tujuh huruf)
seluruhnya. Dalam arti, bahwa tiap-tiap satu dari mshaf-mushaf itu memuat
penulisan yang sesuai dengan huruf-hurufnya secara keseluruhan mampu
sebagian, tidak mengubah dalam pengumpulannya dari salah satu hurufnya.”

Syekh Az-Zarqani telah menerangkan bahwa menurut mazhab yang terpilih
“wajah-wajah tujuh” itu sampai kini masih ada dalam mushaf-mushaf
Utsmaniyyah.
Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian contoh-contohnya. Hanya
sebagian wajah-wajah tujuh itu dikatakan telah dinaskh “pemberian” yang
terakhir. Seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla yang termaktub dalan surat AlMukminun, ayat 8 :
     
Di situ lafal al-amaanata dibaca dalam bentuk jamak atau
dibaca mufrad, akan tetapi dalam mushaf Utsmaniyyaht lafal itu
ditulis li-amaanatihtim, yang hurufnya ditulis mufrad, namun
diatasnya terdapat alif kecil untuk mengisyaratkan bacaan
jamak, dengan tanpa diberi harakat. (Manahilul Irfan, hal. 162).5
E. Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf (Sab’atu Ahruf)
Adapun hikmah dari diturunkannya al-Qur’an dengan sab’atu ahruf yaitu:
1) Untuk memudahkan bacaan dan hafalanbagi bangsa yang ummi (tidak bisa
baca tulis) yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing,
namun belum terbiasa menghafal syari’at, apalagi mentradisikannya.
2) Bukti kemu’jizatan al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang
Arab. Al-Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding
dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri
bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab telah mengalunkan
huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak
dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan al-Qur’an
dengan mu’jizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka, dan mereka
tidak mampu menghadapi tantangan itu. Sekalipun demikian, kemu’jizatan
itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu
sendiri.
5

Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyan fi Ulumil Qur’an..., hlm. 351-353.

3) Kemu’jizatan al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab
perubahan-perubahan bentuk lafal pada sebagian huruf dan kata-kata
memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan daripadanya berbagai
hukum. Hal inilah yang menyebabkan al-Qur’an relevan untuk setiap
zaman. Oleh karena itu, para Fuqaha’ dalam istinbat (menyimpulkan
hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qira’at bagi ketujuh huruf ini.6
Kesimpulan
Sab’atu ahruf bukanlah merupakan Qira’at sab’ah. Menurut pendapat yang
paling kuat, meskipun kesamaan bilangan

diantara keduanya mengesankan

demikian. Sebab, qira’at sab’ah hanya merupakan madzhab para imam, yang
secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan hingga kini, dan sumbernya adalah
perbedaan laggam, cara mengucapkan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq,
imalah, idgham, idzhar, isyba’, madd, qasr, tasydid, takhfif, dan lain sebagainya.
Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Daftar Pustaka
al-Qattan, Manna Khalil. 2014. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj.
Mudzakir, Cet. XVIII. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. 2011. At-tibyan fi Ulumil
Qur’an: Ikhttisar Ulumul Qur’an Praktis (terj. Muhammad
Qadirun Nur) Cet. Ke I. Jakarta: Pustaka Amani.
Mufron, Ali. 2016. Pengantar Ilmu Tafsir dan Qur’an Cet. Ke III.
Yogyakarta: Aura Pustaka.

6

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an..., hlm. 245-246.