DARI TULISAN MENJADI LISAN: REPETISI DAN PENDIDIKAN DALAM NOVEL GADIS TANGSI KARYA SUPARTO BRATA

  

DARI TULISA N M ENJADI LISAN: REPETISI DA N PENDIDIKAN

DALAM NOVEL GADIS TANGSI KARYA SUPARTO BRATA

The Written Literary Work to Oral Tradition Form: The Repetition and Education in Gadis

Tangsi Novel Written by Suparto Brata

  

W eli M einindartato

  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Swadaya Gunung Djati Jalan Pemuda Nomor 32 Cirebon, Telp: 08561315169, Pos-el: wellymbeling@gmail.com

  Naskah masuk: 5 Desember 2012—Revisi akhir: 31 Mei 2013

  

Abstrak: Sebuah karya sastra tertulis ternyata memiliki bentuk tradisi lisan. Konsep dasar dari teori

formula pada tradisi lisan yaitu repetisi yang dilakukan terus menerus. Repetisi adalah suatu bentuk

pengulangan yang ada pada tradisi lisan guna mengembangkan gagasan penceritaan dalam upaya memikat

audiens. Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata memiliki gaya penuturan yang masih menggunakan

tradisi lisan, yaitu terdapat bentuk pengulangan atau repetisi yang selalu muncul dalam bagian-bagian

penceritaannya. Novel ini dapat dikaji lebih lanjut dengan menunjukkan unsur-unsur kelisanan dalam novel

ini. Bentuk tradisi lisan tetap ada pada sastra tertulis karena budaya dalam masyarakat tertentu telah

melekat pada pribadi penulis. Keinginan khalayak agar karya sastra memiliki muatan pendidikan telah

ditampilkan penulis dalam novel Gadis Tangsi ini. Muatan pendidikan dalam novel tersebut lebih

mengutamakan proses meningkatkan perasaan daripada proses mengasah pola pikir. Perasaan pada

akhirnya perlu diungkapkan secara lisan.

  Kata kunci: tradisi lisan, karya sastra tertulis, repetisi, pendidikan

Abstract: A written literary work has its oral tradition form. The basic concept from formula at

oral tradition is repetition that has continually been done. Repetition is a kind of repeating in oral

tradition in order to develop idea of story to attract audience. Suparto Brata’s novel of Gadis

Tangsi has a style that uses oral tradition form with repetition in each part text the story. This

novel can be investigated by showing the oral elements in the novel. The oral tradition form

always exists in written literature as culture in certain community has been in the author’s person-

ality.. Expectation of audience that literature must have education content has been performed in

Gadis Tangsi novel. Education content in this novel gives more concernd on the proses of increas-

ing a sense of human being than a critical thinking. Finally, sense of human being has to be

expressed orally.

  Key words: oral tradition, written literature, repetition, education

1. Pendahuluan

  Rep etisi ad alah suatu bentuk penuturnya. Novel sebagaimana diketahui pengulangan yang ada pada tradisi lisan umum merup akan sebuah bentuk sastra yang p ro sesnya d ilakukan secara terus- tertulis yang berlainan bentuk dengan tradisi menerus dan menjadi bagian dari kebiasaan lisan yang belum tertulis. Boleh dikatakan, yang diwariskan secara turun-temurun oleh tradisi lisan merupakan bentuk seni sastra METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 101—111 yang lebih kuno, sedangkan novel adalah bentuk terkini karena bentuk ungkapannya y ang tertulis. A kan tetap i, p ad a keny ataanny a no v el m em iliki g ay a penuturan yang masih menggunakan pola yang biasa dalam bentuk tradisi lisan. Novel berjudul Gadis Tangsi karya Suparto Brata memiliki gaya ungkap tradisi lisan, yaitu bentuk p engulangan atau rep etisi yang m uncul d alam bag ian-bag ian penceritaannya.

  N o v el tersebut jug a m eng usung g ag asan-g ag asan m eng enai d unia p end id ikan yang lebih m engutamakan perasaan daripada mengasah pola pikir bagi peserta didiknya, yaitu Teyi sebagai tokoh utama yang menjadi konsentrasi ulasannya. Tem a p end id ikan bag i p em bang unan karakter bangsa saat ini sedang menggebu- gebu untuk didiskusikan oleh setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Tugas mendidik terny ata bukan hany a terletak p ad a p end id ik y ang ad a d i seko lah-seko lah maup un p erg uruan ting gi. Pend id ikan memiliki dunia tersendiri di setiap lapisan masyarakat. Dunia inilah yang membentuk masyarakat yang berbudaya sehingga layak untuk d icerm ati sebag ai bag ian d ari p erubahan p ad a d unia y ang ad a d i sekitarnya.

  Karya sastra tidak hanya merujuk pada naskah yang telah tertuliskan oleh pena di atas kertas atau dalam material lain, seperti batu, kulit binatang , d aun lo ntar, d an sebagainya. A kan tetapi, karya sastra juga merupakan daya ungkap kekaryaan dalam bentuk lisan yang menjad i trad isi suatu wilayah budaya. Itulah sebabnya ada istilah karya sastra lisan (tradisi lisan) dan karya sastra tulis. Karya sastra tulis secara modern saat ini dapat dijumpai dalam bentuk puisi, prosa, dan drama. Sedangkan, karya sastra lisan ad alah kary a sastra d ari suatu bud aya tertentu yang diw ariskan dari mulut ke m ulut secara trad isio nal y ang id entik dengan istilah tradisi lisan.

  Tradisi lisan yang menjadi milik budaya tertentu adalah bukti dari kekhasan folklor masyarakat pemiliknya. Fo lklor tersebut memiliki ciri-ciri antara lain: spontanitas p enuturny a, interaksi lang sung antar penutur-peno nto n pad a saat bersamaan, terjad i satu kali d an aktual, d iw ariskan kep ad a g enerasi-g enerasi lain d alam komunitasnya. Tradisi lisan dapat dikatakan sebagai bagian dari folklor, kemudian tradisi lisan menjadi kajian yang dicermati secara khusus oleh para ahli.

  Dalam perkembangan saat ini, karya yang diwariskan secara mulut ke mulut ini disebut oral tradition ‘ tradisi lisan’. Tradisi lisan yang dipertunjukkan oleh penuturnya dipercaya para ahli terbentuk oleh formula y ang terkarakteristik p ad a p o la-p o la (struktur) p enyajiannya yang lisan. Oleh karena itu, teori formula dengan melihat karakateristik kelisanan menjadi landasan atas pengkajian tradisi lisan sebagai proses budaya dalam suatu ranah sosial budaya masyarakat tradisional.

  Walter J. Ong mengeluarkan teorinya d engan menekankan p ad a karakteristik kelisanan. Pertama, ungkap an lisan d an ekspresi melalui penambahan (additive) yang telah tercantum secara subordinat; kedua, penggagasan agregrat/ selisih dari analitis;

  ketiga

  y aitu g ay a m elebih-lebihkan (redund ansi) sebagai suatu pertentangan samar, atau penyamaran suatu ekspresi; dan

2. Kajian Teori

  keempat

  adalah sifatnya yang konservatif atau tradisionalis (Lord, 1987: 54-64). O ng m eny ad ari untuk m em buat perbedaan yang jelas antara slogan dan for- mula d ari suatu p uisi lisan trad isio nal. Dalam tradisi lisan, slogan dan klise memiliki kualitas dan fungsi yang berbeda dengan formula. Seringkali keduanya dijadikan satu m akna, p ad ahal akan m eng alam i kehilangan makna. Penutur dan penonton juga memiliki beberapa pemaknaan sendiri.

  Lebih jauh Albert Lord menambahkan teori tentang improvisasi suatu tradisi lisan. Imp ro visasi, menurut p and angan Lo rd , adalah mengingat, yang berarti secara hati- hati, d an menyad ari kata per kata yang terucap sebagai suatu lintasan. Improvisasi

   W ELI M EI N I N D ART AT O : D ARI

T

ULI SAN M ENJADI L I SAN : R EPETI SI DAN P ENDI DI KAN D LM N OVEL ...

  merupakan hal yang utama untuk membuat variasi dengan mengembangkan syair dari teksnya yang asli. Namun, Lord menyadari tidak tepat menempatkannya sebagai suatu bentuk improvisasi, karena tipe komposisi terbentuk d ari p eristiw a (suasana). A lasanny a yang lain ad alah teks y ang semula juga harus diingat, dengan kata lain teks tersebut tidak lepas sama sekali dengan teks/ syair yang semula telah ada (1987: 67).

  Pola-pola tertentu dengan penambahan dan penggunaan repetisi kegiatan ritual dari tradisi lisan, sebaiknya, dianggap sebagai karakteristik suatu komposisi literatur tradisi o ral (lisan). Trad isi, sep erti y ang d ikem ukakan O ng ad alah keind ahan artistik adiluhung yang abadi sep anjang masa, selama tradisi itu hidup dan terus berkembang secara kreatif (Lord, 1987: 71).

  Konsep dasar dari teori formula atau pola formulaik, yaitu suatu teks/ syair lama yang d inyanyikan atau d ip ertunjukkan secara lisan d eng an fo rm ula y ang ko nvensio nal berupa p engulangan kata tertentu serta menggunakan impro visasi yang terformulasikan dari bentuk asli. Dari kenyataan fo rm ulaik tersebut, seo rang p enutur d ap at menyajikan p ertunjukan dalam w aktu yang cukup lama dan teks y ang sem arak d eng an p eng embang an- pengembangan puitis berdasarkan repetisi d an imp ro visasi yang d ibuatnya. Perlu d iketahui bahw a w alaup un kata pengulangan yang dijumpai tidak mirip, m aknany a sam a d eng an kata asliny a. Penutur dapat merakit kata tersebut dan dapat melakukan kombinasi kata dengan membuat variasinya, kemudian dapat pula dengan cara seperti membuat konfigurasi syair dari kata utama yang menjadi pokok syair, perluasan dengan melakukan agregasi p ad a kata-kata tertentu, rep etisi d an redudansi kata atau kalimat maupun frase. Unsur kata fo rm ulaik tersebut m em ung kinkan p enutur untuk mengembangkan syair/ teks dengan makna yang sama.

  D alam m asy arakat trad isio nal, pengulangan-pengulangan (repetisi) sering terjad i p ad a p eristiw a bud aya, sep erti tampak dalam kesenian yang menjadi milik suatu suku bangsa. Sehingga, tind akan repetisi atas suatu teks/ syair pantun tak dapat dihindarkan oleh penuturnya ketika menyajikan pertunjukan. Karakteristik yang telah dibuat Ong dapat bermanfaat untuk pengkajian kontekstual yang mencermati tingkah p o lah bentuk ko munikasi yang bersifat trad isio nal untuk p ertumbuhan literatur mengenai tradisi oral yang ada di seluruh dunia.

  Repetisi, menurut Lord, terbentuk dari kebutuhan audiens untuk mengingat apa yang dilihatnya dan juga apa yang disebut Lord sebagai “ repetisi ritual” . Bentuk apa yang d ikatakan p enuturnya merup akan sebuah ko nfigurasi d ari kata-kata yang terekspresikan melalui bantuan pemikiran dalam ingatannya. Lord skeptis terhadap pendapat tersebut dan menyatakan bahwa konfigurasi dap at lahir begitu saja. Oleh karena itu, Lo rd m end ug a bahw a ko nfigurasi tersebut tim bul d ari sikap mereka sendiri dalam menanggapi syarat ritual pertunjukan tersebut.

  Teori tersebut merupakan pemikiran dari terbentuknya tradisi lisan. Tradisi lisan akan tam p ak kuno bag i m asy arakat sekarang. Akan tetapi, pada kenyataannya tradisi lisan tersebut ternyata masih hidup dalam masyarakat yang sudah melek huruf. Simpulannya adalah bentuk tradisi lisan tetap ada pada sastra tertulis karena budaya dalam masyarakat tertentu telah melekat pada pribadi penulisnya.

  Pada sisi yang lain, kehendak agar suatu karya sastra d ap at memberikan muatan p end id ikan bag i m asy arakat ad alah harapan semua orang yang membaca dan menulis karya sastra. Bermacam karya sastra baik y ang bernad a hum o r, kep iluan, kebengisan, keagamaan, maup un cerita cabul d ituntut o leh m asy arakat d ap at memberikan manfaat yang mendidik. Oleh karena itu, p em baca sering m em p ertany akan m uatan p end id ikan d alam setiap karya sastra. Gadis tangsi d alam no v el ini m em berikan m uatan METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  p ad a aw alny a d im uat sebag ai cerita bersambung d i harian Jawa Pos. Setelah mengalami beberapa perbaikan, Gadis Tangsi d iterbitkan o leh Penerbit Buku Ko mp as pada bulan Februari 2004.

  W alau d em ikian, p enuturan sejak halam an p ertam a hing g a halam an 110

  Nah, terompet pertama sudah berbunyi. W aktu bangun telah tiba. Itu bunyi terompet tiupan Landa Dawa. Begitu nyaring, iramanya teratur, halus, dan panjang. Landa Daw a memang jago meniup terompet. Berbeda dengan tiupan Sudarmin, misalnya, yang bunyinya terasa tersengal-sengal, patah-patah, dan sering kali hilang tiba-tiba” (2004: 1).

  Pem bukaan cerita d eng an buny i terompet sungguh dapat menggambarkan keadaan lingkungan dalam novel ini. Bunyi terompet ini merup akan aksen bercerita yang sangat baik dalam memulai sebuah roman. Pembaca akan digiring pada nuansa rumah dinas tentara dengan apel paginya dan segala yang bertema ketertiban.

  3.3 Repetisi dan Ulasan tentang Penceritaan Novel

  Kemelut masa akil balig dan tekanan ibunya menjadikan Teyi sebagai gadis tangsi yang berbeda dengan gadis tangsi yang lain. Godaan akil balig akhirnya dapat dilampaui oleh Teyi. Kehidupan sebagai anak kolong yang hidup di tangsi merupakan cerminan kehid upan masyarakat marginal d engan problematika kehidupan yang dipaparkan pada seorang tokoh yang bernama Teyi.

  Novel ini bercerita tentang tokoh utama yang bernama Teyi. Teyi adalah gadis tangsi y ang berkeing inan m eng ubah kehidupannya menjadi lebih baik. Untuk itu, ia banyak belajar dari gurunya, Parasi. Ia m em p elajari bany ak hal, term asuk kehidupan dan tata krama keraton. Sejak itu, Tey i m em iliki tujuan hid up untuk mewujudkan impian menjadi seorang putri yang dipuja kecantikan dan keluhuran budi pekertinya.

  Mahligai di Ufuk Timur . Novel Gadis Tangsi

  , Juni 2013: 101—111 pendid ikan yang bermanfaat bagi setiap pembaca.

  Novel Gadis Tangsi merupakan novel bagian p ertam a d ari trilo gi. Dua no v el lanjutannya, yaitu Kerajaan Raminem d an

  3. 2 Novel Gadis Tangsi

  Dengan menggunakan berbagai nama samaran, seperti Peni, Eling Jatmika, dan Elizabeth Tan, Suparto menulis beragam karya, meliputi cerbung, novel, drama, cerita cekak, seri Detektif Handaka, seri Polw an Citra, naskah film, skenario TV, skenario sinetron, skenario ludruk, buklet, hingga bacaan resmi pemerintah untuk kebutuhan bacaan sekolah. Dengan beragam karya tersebut, ia juga banyak mendapat beragam penghargaan.

  Suparto pada mulanya terkenal dengan karya-karya sastra d alam bahasa Jaw a, khususnya dalam gaya bahasa Jawa Timur- an. Karena mengetahui segmen pembacanya terbatas, ia jug a m enulis kary a d alam bahasa Ind o nesia. Bany ak p ula kary a sastrany a y ang berbahasa Jaw a diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

  Suparto Brata dilahirkan di Surabaya pada tanggal 27 Februari 1932. Saat ini ia bertem p at ting g al d i Surabay a setelah menjalani hid up nya d engan berp ind ah- pindah tempat di daerah Jawa Tengah dan Jaw a Tim ur. Ia ad alah p utra Rad en Suratman Bratatanaya dan Bandara Raden A jeng Jem baw ati. O rang tua Sup arto ad alah ning rat d ari kerato n Surakarta Hadiningrat, sehingga ia bernama lengkap Raden Mas Suparto Brata.

  yang merupakan sastra tulis terny ata jug a m em iliki bentuk p enuturan yang biasa d igunakan dalam tradisi lisan. Oleh karena itu, novel ini dapat d ikaji lebih lanjut d engan menunjukkan unsur-unsur kelisanan dalam karya sastra ini.

  Gadis Tangsi

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Suparto Brata dan Karyanya

   W ELI M EI N I N D ART AT O : D ARI

T

ULI SAN M ENJADI L I SAN : R EPETI SI DAN P ENDI DI KAN D LM N OVEL ...

  masih sulit terjangkau untuk dip ahami. Dimulai pada halaman 111 gaya bercerita Suparto Brata terlihat lebih cair dan enak untuk d ibaca. Hal itu disebabkan unsur logika bercerita yang kurang tepat untuk pengungkapan Teyi yang masih sangat kecil akan tetapi ucapannya yang tidak disangka- sangka tampak terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Selain itu pula penggunaan istilah yang tidak konsisten seperti wiru dan

  mini.

  Dan ada lagi, pembatasan antar cerita yang satu dengan yang lain tidak terlihat d engan tand a tertentu sebagai p enutup cerita menuju cerita yang lain sehingga menyulitkan pembaca untuk menyesuaikan diri dengan lompatan kisahnya di setiap bagiannya.

  Kekuatan d alam no v el ini ad alah penceritaan yang lugas dengan membuat latar belakang p eristiw a d an p eng g am baraan lo kasi y ang m ud ah dipahami o leh pembaca. Selain itu pula, kekuatan latar sejarah y ang d ibuat penulisnya adalah p ad a saat penjajahan Beland a d eng an usaha d ag ang VO C, hingga menjelang kedatangan penjajah dari Asia Timur yaitu Jepang.

  Tema so sial d alam no vel ini ad alah penggambaran sosiologis masyarakat tangsi atau y ang d isebut p enulis sebag ai m asy arakat ko lo ng . M asy arakat y ang terko nsentrasi p ad a keluarg a-keluarg a tentara. Tata krama dan segala aturan sosial y ang ad a p ad a m asy arakat ko lo ng ini merupakan penggambaran dari kehidupan perantauan atau masyarakat yang tinggal jauh d ari kam p ung halam an karena mengikuti tugas kerja suami, ayah, atau ikatan keluarga lainnya.

  M asyarakat tentara ini m erup akan masyarakat dengan pola hidup kedisiplinan tentara bayaran Belanda yang disebut KNIL. M ereka m elakukanny a d eng an alasan tertentu yang menjadikannya bagian dari ko rp s tentara Beland a, m isalny a W ongsod iijo yang d id esak oleh istrinya Raminem untuk mengejar impian menjadi kaya dengan menjadi tentara. Contoh lain, Sarjubehi yang mengejar derajat lebih tinggi d an d esakan istriny a untuk m enjauhi lingkungan keraton. Keduanya mengalami kehidupan budaya Jawa yang berbeda dari kebudayaan yang ditempatinya di Sumatra.

  Selain kekuatan tersebut, terdapat pula kelemahan dalam novel ini. Tokoh utama dalam novel ini tidak dijelaskan mengenai usia yang tepat pada saat awal karakter ini dibangun guna mengetahui penggambaran menyeluruh mengenai perkembangan jiwa untuk anak seusianya. Teyi sebagai tokoh utama hanya digambarkan sebagai anak kecil bahkan membingungkan mengenai soso knya sebagai gad is p raremaja pad a aw al cerita. Hing g a akhir cerita d ap at d isim p ulkan bahw a to ko h tersebut diceritakan mengenai proses ia mencapai akil balig.

  Memang dapat dikatakan bahwa masa tersebut merupakan periode yang paling p enting untuk p em bentukan karakter seseorang. Beberapa penelitian antropologi mengetengahkan proses itu, seperti Marga- ret Mead yang mengkaji pemuda-pemudi Samoa yang sedang mengalami akil balig. Jad i, bisa d ip aham i jika Sup arto ingin mencermati perkembangan seseorang pada masa tersebut dalam pembentukan jati diri tokoh yang dibawakannya.

  D alam m eng uatkan sebuah cerita, p enulis m elakukan bany ak sekali pengulangan atau repetisi. Cerita dibangun tid ak secara linear, tetap i sering kali berp utar kem bali ke p eng ung kap an sebelumnya. Rep etisi atau pengulangan yang dilakukan oleh penulisnya antara lain dengan bentuk: repetisi kisah, repetisi kata- kata atau kalimat, rep etisi istilah asing, repetisi istilah daerah, repetisi tema atau judul, dan repetisi dengan pengembangan lebih kompleks dalam setia topik bahasan atau kisahan. Ulasan repetisi tersebut akan diuraikan di bawah ini.

  Repetisi kisah tampak pada peristiw a kelahiran Teyi yang selalu diputar ulang hampir di setiap bab. Ada pula repetisi kata- kata dan dialog tokoh, misalnya kata-kata yang disamp aikan oleh to ko h Keminik:

  “ Cintailah laki-laki, Teyi, karena mereka akan

  METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 101—111

  memberimu cinta dan kebahagiaan ” . Bahkan

  Kem inik lebih berap i-ap i lag i untuk menghasut Teyi dengan kalimat berikut.

  “ Kita harus merasakan beberapa laki-laki d ulu. Kita band ing kan d ulu kenikmatannya. ... Kita bisa pilih laki-laki m ana y ang paling m emberikan kenikmatan kepada kita. Perempuan memang tidak berhak melamar laki-laki, tetap i berhak meno lak atau menerima” (2004: 42).

  Repetisi kalimat asing serta pengulangan dengan artinya yang sering diulang untuk menegaskan pada Teyi dari Putri Parasi yaitu, “ …pas op Teyi, meneer is niet de man

  voor jou! Absoluut niets!

  (Hati-hati Teyi, Tuan Sarjubehi bukan laki-laki untukmu, sama sekali bukan” . Jug a d eng an cara p eng g unaan istilah-istilah ked aerahan (Jawa), seperti: trukbyangane, jomblong, iblis, anak kolong, wahyu, munci, gundik, selir, rambut tebal, trondholo kecut, pita, macan kumbang, ayam betina dan ayam jantan,

  kedebok

  p isang, p ribad i bay angan, d an sebagainya. Rep etisi atau p engulangan tersebut m em bang un kem bali cerita d an menguatkannya sehingga pembaca dapat mengingat kembali p eristiw a d an d apat d eng an m ud ah m eng hubung kanny a. Redudansi dan penjalinan juga diterapkan dalam bentuk repetisi. Cuplikan di bawah ini merupakan salah satu dari beberap a bentuk tersebut yang sering mengalami pengulangan kata d an merangkaikannya kembali (redudansi) dengan pengembangan (additive) yang disesuaikan dengan topik bahasan kisah yang berbeda.

  .... aku dan bapakmu sempat kumpul satu m alam . Ee, bed heees! Kurang ajar! Tingkahnya seperti binatang buas! Ya, bapakmu! Ya itulah yang trondholo kecuuut ! Bapakmu ninggali aku... kamu! Baru tiga bulan kemudian bapakmu pulang ke Meureudu... Ia mengeluh amat capek dan minta direbuskan air untuk m and i.... Eee, m alam nya bukan m eng eluh tetapi m eng erang d an m enerkam sep erti harim au lap ar m enerkam mang sany a. Untuk menambah kekuatanmu, kata bapakmu!

  Itulah yang trondholo kecuuut ! (2004: 247).

  Oh, di Pangkalan Brandan bapakmu lo yo . Semangat macan kumbangnya sudah lumpuh. Puji-pujianku tentang semangat trondholo kecuuut tidak muncul lagi ketika bapakmu di pindah ke tangsi garnisun. Tumpi mungkin tidak akan lahir kalau aku tidak merengek-rengek memintanya. Bapakmu sud ah lain... Bahkan istilah trondholo kecuuut dikira bapakmu merupakan ungkapan jeritan kesakitanku. Dikiranya aku teraniaya atau tersiksa karena terkamannya itu, padahal aku ketagihan (2004: 248).

  Kamu, Kang! Kumpul satu bilik begini tid ak berbuat apa-apa! Mana ayam jantanmu? A ku kecew a sekali, Kang! Kecewaaaa sekali!” Teyi mengucapkan kata-kata ini dengan wajah seolah-olah sang at kec ew a d eng an m alam p ertam any a. “ A ku belum tahu perangaimu, Dik. Bagaimana kalau kita coba lagi nanti?” “ Tidak! Tidak! Semalam sudah cukup! Semalam kamu biarkan aku tidur seperti ked ebo k bosok, ya selamanya aku akan kamu biarkan seperti batang pisang terbujur anyep, dingin! Tidak. Batas waktu sudah habis! Cerai! (2004: 363) … memelihara babu untuk mengurusi rumah tangganya. Seringkali babu itu sekaligus dijadikan teman tidur dan melahirkan bayi – bayi. Perempuan itu istilahnya di-munci oleh Ndara Tuan Belanda. Sama dengan digundik, tetapi digundik lebih lazim digunakan bagi or- ang Tionghoa yang mengawini orang Jawa tanpa syarat yang sah” (2004: 131)

  Kisah penolakan terhadap Teyi di toko yang menjual pita sering kali ditampilkan dalam beberapa cuplikan yang bertujuan untuk mengetengahkan pergolakan jiw a Teyi saat belajar bahasa Belanda agar ia nanti mampu membalas sakit hatinya. Pada

   W ELI M EI N I N D ART AT O : D ARI

T

ULI SAN M ENJADI L I SAN : R EPETI SI DAN P ENDI DI KAN D LM N OVEL ...

  saat Putri Parasi mengajak Teyi kembali ke to ko itu, kisah itu d iceritakan kembali. Pengulangan tersebut tidaklah sama dengan y ang sebelum ny a. N am un, d eng an p eng embangan yang lebih terp eri d an jalinan kisah lainnya, cuplikan yang satu d eng an lainnya saling melengkap i atas kejadian batin Teyi yang amat kompleks m eng enai kisah p ilu tersebut. Hal itu merupakan agregat dari karakter kelisanan.

  Peng ulang an tersebut m erup akan trad isi y ang d ilisankan, tetap i telah tertuliskan dalam kisah yang dituturkan oleh Suparto Brata. Ia telah berhasil membawa nuansa tradisional dari sebagian kebiasaan m asy arakat Ind o nesia y ang secara ko nservatif karakter itu sesuai d eng an pemikiran tentang kelisanan menurut Ong dan Lord. Gadis Tangsi merupakan cerita yang berulang d ari cup likan kehid upan tradisional masyarakat nusantara sebelum terbentuknya Negara Indonesia.

  3. 4 M uatan Pendidikan Gadis Tangsi

  Pendidikan ditujukan pada misi untuk meningkatkan perad aban manusia. Oleh sebab itu, Sup arto Brata menyug uhkan tokoh yang bernama Parasi. Parasi adalah seo rang p end id ik y ang berkeing inan meningkatkan derajat Teyi agar hidupnya lebih beradab. Perilaku keraton yang halus merupakan cerminan peradaban yang lebih baik daripada kehidupan tangsi yang kasar. Teyi mendapatkan ilmu pengetahuan yang jauh melebihi kemamp uan w arga tangsi pada umumnya. Selain diajari tata krama kerato n Surakarta d an berbahasa yang teratur d eng an baik, Tey i jug a d iajari m em baca d an m enulis d alam bahasa Belanda.

  Pertem uan Putri Parasi d an Tey i m eng hasilkan d ialo g -d ialo g d an p erenung an d iri y ang berm uatan p endidikan. Sejak pertama kali bertemu Teyi, Putri Parasi menyadari bahw a ada d ay a m ag net tertentu y ang d ap at m erekatkan hubung an ked uany a. W alaup un berbed a latar belakang , hubungan mereka dapat merekat erat dan saling melengkapi kekurangan jiwa mereka.

  Hal ini tampak pada uraian berikut.

  Sesudah perjumpaan tersebut terjadi kontak yang sangat intensif antara Teyi d an Putri Parasi. Bagi Putri Parasi, identitas Teyi adalah identitas yang liar, polos, identitas “ lain” yang tak dikenal dan amat menarik untuk ditaklukkan” Sejak semula Putri Parasi sudah tertarik pada penampilan Teyi yang bersemangat tinggi dan agak liar itu (2004: 123).

  Muatan pendidikan dalam Gadis Tangsi sering diungkap melalui tokoh Parasi yang m erup akan “ g uru” bag i Tey i. Parasi memiliki beberapa prinsip yang diterapkan ketika mendidik Teyi, seperti tampak pada kutipan berikut.

  Putri Parasi lebih suka mengajari Teyi dengan bercerita daripada menegur dan menegur (2004: 121). Kalau simboknya mendidik Teyi dengan kekerasan, paksaan, tekanan, ancaman, aku akan m em berikan p end id ikan d engan kegembiraan, kesukarelaan, sesuka hatinya, sem am puny a, d an sesempatnya. Pend id ikan bud i pekerti tid ak bisa dilakukan seperti orang mengecat, sekali usap berubah w arna seperti yang d ikehend aki ... itu pekerjaan yang tentunya akan sangat menyenangkan dirinya. Pekerjaan yang menggairahkan hidup (2004: 132).

  Putri Parasi m eng ajari Tey i d i rumahnya. Selain pelajaran sekolah, seperti membaca, menulis, d an berhitung, Putri Parasi juga mendidik Teyi dengan hal ngadi

  salira (keterampilan meraw at tubuh) dan ngadi busana (keteramp ilan berbusana).

  Hasilnya ialah ketika Teyi menemui tamu agung , ia d ap at m enemp atkan d iriny a dengan perilaku berikut.

  Tid ak tahu siapa y ang m eng ajar, mungkin naluri sebagai orang Jawa, Teyi tiba-tiba tahu ad at, d uduk berlutut d eng an w ajah menund uk. Itulah perbuatan yang dirasa paling tepat untuk berhadapan dengan seorang putri raja yang sakti dan mempesona (2004: 117). METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 101—111 Tata krama keraton turut diberikan oleh

  Nenek Jid an, p embantu d i rumah Putri Parasi. Sikap d an p erilaku kerato n d itanam kan p ad a d iri Tey i untuk m eny ad arkan bahw a sesuatu y ang d isand ang ny a sem estiny a d ap at d icerm inkan d alam ting kah lakuny a. Pakaian yang ind ah selayaknya serup a dengan tingkah laku yang indah. Langkah ang g un y ang m enjad i ciri w anita bangsawan haruslah dilakoni oleh Teyi agar martabatnya bisa setara dengan bangsawan y ang lain. W alaup un sebenarny a ia hanyalah gadis tangsi penjual pisang goreng, semangat yang ada dalam diri Teyi cukup besar untuk mengubah diri sebagai wanita bangsaw an yang anggun baik tutur kata maupun tingkah lakunya.

  Dasar anak tangsi! Anak kolong! Jangan begitu, Teyi! Orang menjad i cantik, m enjad i ay u, bukan hany a karena pakaiannya, terlebih karena sikapnya. Karena tingkah lakunya. Meskipun kamu telah melepaskan baju tangsimu dan mengenakan baju bangsawan, tetap saja kau adalah gadis penjual pisang goreng yang mengitari tangsi! (2004: 167).

  Dengan memiliki budi pekerti berarti, d erajat Teyi akan mening kat, sehing ga Parasi menegaskan kepadanya bahwa:

  Anak perawan yang sudah terdidik budi pekerti serta tata kramanya seperti kamu, term asuk y ang p aling berhak mendapatkan putra mahkota sekalipun.

  Jinunjung saking ngandhap, sinengkakaken ing ngaluhur (d iangkat d ari baw ah, didudukkan di atas) (2004: 175).

  Senada dengan kutipan tersebut pada halaman 256-257 diungkapkan juga bahwa dengan bahasa Belanda yang dikuasainya, Tey i berhak d an p antas m end ap atkan seorang pangeran. Bagi para bangsaw an, bahasa d an bud ay a Beland a m enjad i penyempurna kebangsawanannya.

  Kegiatan belajar ini membuat Teyi betah berlama-lama dengan Putri Parasi. Dengan bergaul dekat dengan Putri Parasi dan Ninek Jidan, Teyi seakan hidup di dunia lain, dunia im p ian y ang jauh lebih baik d arip ad a kehidupan di tangsi. Banyak hal baru yang didengar, dipelajari, dan dinikmati oleh Teyi.

  D alam no v el ini p em baca d ituntun untuk bersikap berani. A nak-anak d an perempuan tangsi umumnya sangat takut dengan Ndara Tuan Belanda, karena kerja orang Belanda hanya mengusut perkara dan m em beri hukum an. O rang Beland a badannya besar, matanya siwer, bahasanya asing, dan sikapnya tak pernah ramah (2004: 2). Namun, Parasi mengajari keberanian kepada Teyi.

  Keberanian yang diajarkan oleh Parasi antara lain keberanian untuk m enatap w ajah lawan bicara. Sikap orang Belanda ketika berkomunikasi dalam bahasa Belanda selalu d iulang -ulang Parasi untuk mengingatkan Teyi.

  Bahasa merupakan pencerminan jati diri seseorang. Agar jati dirinya dianggap tinggi o leh o rang lain, Tey i m em ilih untuk m em p erg unakan bahasa y ang biasa digunakan orang yang berpangkat tinggi. Bahasa Beland a m erup akan bahasa keseharian kalangan orang terpelajar saat itu dan citra bangsawan akan lebih tinggi lagi martabatnya dihad ap an masyarakat jika menguasai bahasa Belanda. Dengan menggunakan bahasa Belanda, Teyi akan disejajarkan dengan kalangan bangsawan dan kalangan atas lainnya.

  Keberhasilannya menguasai bahasa Beland a m em buat Tey i p ercay a d iri dihadapan orang yang berada di kalangan atas. Teyi dahulu selalu menghindari Kapten sarjubehi, tetap i sekarang tid ak lagi. Ia sud ah terbiasa bergaul d engan Meneer sarjubehi. Rasa malu, takut, atau rendah diri jika berbicara dengan Sarjubehi telah hilang. Dengan berbahasa Belanda Teyi bisa bicara sambil menatap matanya, sama-sama berdiri dan tidak p erlu membungkuk-bungkuk. Cara menghormat gaya Jaw a tidak perlu d ip akai ketika berbicara d alam bahasa Belanda, sekalipun Teyi tetap berbusana bak Putri Solo di rumah Loji (2004: 230).

  Hasilny a y ang lain d ari keg unaan berbahasa Beland a, Tey i d ap at menyelamatkan jiw a Putri Parasi dengan

   W ELI M EI N I N D ART AT O : D ARI

T

ULI SAN M ENJADI L I SAN : R EPETI SI DAN P ENDI DI KAN D LM N OVEL ...

  m eny am p aikan p eristiw a sakit mendadaknya kepada Kapten Davenpoort. Bahasa Belanda dari tuturannyalah yang membatu komunikasi dengan orang Belanda tersebut dan Dokter Winker (2004: 158).

  Keberanian Teyi jug a d iung kap kan ketika ia beradu argumen dengan ibunya. Ibuny a p ernah m enuturkan d o ng eng tentang orang kaya, orang kuasa, o rang p and ai. D alam cerita itu, o rang kay a dihukum gantung oleh orang kuasa, tetapi d iselam atkan o leh o rang p intar. Orang kuasa juga akhirnya dapat dikalahkan oleh orang pintar. Dengan dongeng itu simbok ing in m enunjukkan bahw a antara tig a macam orang itu orang pandailah yang bisa selamat.

  Namun, p ad a kenyataannya, simbok lebih m em enting kan kekay aan. Tey i menentang sikap ibunya itu. Ia menyadari bahw a kekayaan bukanlah sesuatu yang d icari sebag ai tujuan hid up , tetap i keselamatan d an kesejahteraan d eng an mengandalkan ilmu pengetahuanlah yang utama.

  Keberanian d iungkap kan o leh Putri Parasi ketika ia menolak dengan lantang anjuran o rang tuany a untuk seg era melangsungkan pernikahan di usia yang belum m atang . Bag iny a, p ad a usia 22 tahunlah wanita tumbuh dengan sempurna, sehingga dapat melahirkan anak d engan kualitas baik guna keselamatan bayi dan ibunya (2004: 96).

  Pentingnya pengetahuan dan derajat manusia juga dicermikan oleh Parasi. Ia tid ak kalah elo k d arip ad a no ni-no ni Beland a. A p alag i kalau sud ah mengemukakan pendapatnya, Putri Parasi yang menguasai Bahasa Belanda dan Inggris itu tampak sekali kecerdasannya (2004: 94). D i sisi lain, o rang Beland a jug a tid ak mem and ang o rang berd asarkan d erajat kebangsawanan, melainkan dari kecerdasan dan ketrampilannya (2004: 107).

  Demikianlah sebagian dari banyaknya muatan p end id ikan d alam no vel Gadis

  Tangsi karya Suparto Brata.

  4. Simpulan

  Kary a sastra sejatiny a d ibuat o leh p enulisny a untuk m eng g am barkan kehid up an m anusia ag ar m anusia mengetahui dan meresapi kehidupan. Karya sastra d apat p ula mengubah pandangan manusia terhad ap suatu d unia d eng an proporsi yang seimbang dan meneladani kehidupan dunia yang dibacanya. Ada pula karya sastra yang hanya sekadar dibaca dan tidak berpengaruh pada kehidupan dunia pembacanya. Karya sastra tersebut hanya dilihat sambil lalu karena kemajuan zaman tid ak m em ung kinkan m asy arakat mencermatinya. Apabila demikian, ruh dari kekuatan sastra yang memanusiakan telah luntur oleh kehendak manusianya.

  Dunia kecil yang ada pada penceritaan karya sastra adalah bagian dari dunia kecil yang lain dan termasuk dalam dunia besar secara keseluruhan. N am un d em ikian, dunia kecil dalam karya sastra bukan berarti bagian dari pengaruh hegenomi yang ada dalam dunia besar.

  Dap at d ikatakan bahw a d unia kecil dalam karya sastra tersebut adalah dunia yang terlepas dari dunia-dunia kecil yang lain dan bukan bagian dari dunia besar yang semesta. Mereka adalah kehid up an d ari dunia-d unia yang perlu diberikan ruang untuk berpikir d an berperikemanusiaan, sehing g a kem ajem ukan d unia d ap at dihargai dan hidup beriringan secara sejajar berdasarkan pandangan yang disesuaikan dengan kebudayaannya. Dengan demikian etno sentrisme yang meremehkan suatu kelompok budaya akan dapat disingkirkan dan pada akhirnya kerukunan masyarakat d i seluruh d unia dap at d ip ulihkan d an masyarakat tercerahkan.

  Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata telah menunjukkan kekuatan tradisi lisan dalam penceriteraan yang tertulis. Tampak absurd memang, tetapi demikianlah yang terjadi, bahw a tulisan ternyata tidak lain d ari lisan. Tulisan akan lebih utuh jika disampaikan secara lisan. Repetisi-repetisi sebagai ciri daya cipta yang lisan telah hadir dalam tulisan.

1 METASASTRA , Vol. 6 No.

  , Juni 2013: 101—111 Selain itu pula, permasalahan tentang lebih p intar, tetap i sering jug a p ro ses p end id ikan jug a term uat d alam no v el p end id ikan m enjauhkan o rang d ari tersebut. Pendidikan merupakan istilah yang kepekaan rasa. Muatan pendidikan dalam sangat mulia sehingga sangat dimitoskan. no vel Gadis Tangsi lebih mengutamakan Tid ak ad a o rang yang m eno lak untuk proses meningkatkan perasaan daripada beranggap an bahw a p end id ikan ad alah proses mengasah pola pikir. Perasaan pada cara m ening katkan kualitas m anusia. akhirnya perlu diungkapkan secara lisan Pendidikan sudah pasti menjadikan orang karena lebih tepat dengan cara demikian.

  Daftar Pustaka Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

  Brata, Suparto. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Brata, Suparto. 2007. Mahligai Di Ufuk Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terjemahan dari The Reli-

gion of Java ). Jakarta: Pustaka Jaya.

  Koentjaraningrat. 1985. Javanese Culture. Singapore: Oxford University Press. Lord, Albert B. 1960. The Singer Of Tales. Cambridge: Harvard University Press. Lord, Alberd. 1987. “Characteristics of Orality. Oral Tradition Journal 2/1, 54-72.

Meinindartato, Weli. 2008. “Gambang Rancag: Teori Formula dalam Tradisi Lisan Pantun Betawi”. Jurnal

Aswara Jilid 3 Bil 1. Kuala Lumpur: Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan. Hlm.

  143—164.

Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. New York: Methuen &

Co.

  Parry, Adam. 1987. The Making Homeric Verse. New York: Oxford University Press.

Propp, Vladímir. 1968. Morphology of Folk Tale. Second edition. The American Folklore Society and

Indiana University.

  

Pudentia MPSS. 2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi Melayu Mak Yong. Depok: Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya (FIB) UI.

Puryanti, Lina. 2009. “Perempuan dalam Trilogi Gadis Tangsi Karya Suparto Brata: Mimikri dalam

Hubungan Bangsawan dengan Rakyat Biasa”. Makalah pada Konferensi Internasional HISKI

  (Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia) Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pada 5-7 Agustus 2009.

Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan I.

  Hal 1-43. Toer, Pramoedya Ananta. 1987. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra.

Usmiani, Renate. 1985. “Text, Script or Score: Auro-oral Orientations in Postmodern Dramatic Writing”.

  Orality and Literature . Edited by Hans R. Runte and Roseann Runte, Paris: Peter Lang, 223- 228.

  Sumber Internet

Mawadah, Ade Husnul. 2009. “Semangat Nasionalisme Tokoh Teyi dalam Novel Gadis Tangsi Karya

Suparto Brata di antara Masyarakat Multikultur”. Makalah dipresentasikan pada Konferensi Internasional HISKI (Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia) di Gedung Universitas Pendidikan Indonesia Bandung tanggal 5-7 Agustus 2009, dengan tema: Membaca Kembali Fungsi Sosial Sastra. dalam http://supartobrata.com/?p=376

   W ELI M EI N I N D ART AT O ARI ULI SAN ENJADI I SAN EPETI SI DAN ENDI DI KAN LM OVEL : D T M L : R P D N ...

  

Sungkowati, Yulitin. 2010. “Lintasan Sejarah Indonesia dalam Novel-novel Suparto Brata”, Dikutip dari:

LiNGUA , Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, Volume 4, Nomor 1, Juni 2009, Unit Penerbitan Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahum (UIN) Malang. http://supartobrata.com/?p=471.

  

Sungkowati, Yulitin. 2011. “Citra Belanda dalam Karya Prosa Suparto Brata”, Balai Bahasa Surabaya.

  Monday, February 14th, 2011. Posted by Suparto Brata. http://supartobrata.com/?p=765 http://supartobrata.blogspot.com/2006/11/tekad-suparto-brata-menduniakan-sastra.html http://supartobrata.blogspot.com/2007/01/saya-menjelang-lulus-dari-smp-sudah.html http://supartobrata.blogspot.com/2006/11/ada-di-netencyclo.html http://supartobrata.blogspot.com/2009/06/suparto-brata.html http://supartobrata.blogspot.com/2007/03/mahligai-di-ufuk-timur.html http://supartobrata.blogspot.com/2006/11/tulisan-dibawah-ini-merupakan-ulasan.html http://supartobrata.com/?p=227 http://kampungantenan.blogspot.com/2009/02/gadis-tangsi.html http://supartobrata.blogspot.com/2007/09/gadis-tangsi.html http://supartobrata.blogspot.com/2007/07/excerpt-of-suparto-bratas-work-from.html http://supartobrata.blogspot.com/2009/09/trilogi-gadis-tangsi-kerajaan-raminem.html http://supartobrata.blogspot.com/2010/09/gadis-tangsi-karya-suparto-brata.html http://supartobrata.blogspot.com/2009/09/gadis-tangsi.html