TUBERKULOSIS PARU paru yang dirawat

1.TUBERKULOSIS PARU
BATASAN
Infeksi paru yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada orang dewasa
merupakan tuberkulosis paru pasca primer yang berarti infeksi tuberkulosis pada penderita
yang telah mempunyai imunitas spesifik terhadap tuberkulosis.
PATOGENESIS
Proses penularan melalui inhalasi droplet nuclei yang berisi kuman Mycobacterium
tuberculosis.
Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme:
1. Perkembangan langsung penyakit primer
2. Reaktivasi penyakit primer yang tenang
3. Penyebaran hematogen ke paru
4. Reinfeksi eksogen
PATOLOGI
Lesi tuberkulosis dapat dalam bentuk empat lesi dasar:
1. Lesi eksudatif:
merupakan reaksi hipersensitif
2. Lesi proliferatif:
merupakan kelanjutan lesi eksudatif yaitu timbul nekrosis pengejuan yang dikelilingi
oleh jaringan granulasi tuberkulosis.
3. Kaviti:

bila jaringan keju dari proses proliferasi mencair, dan menembus bronkus, maka
jaringan keju cair akan dikeluarkan, sehingga meninggalkan sisa kaviti. Kaviti ini
lebih penting daripada proses tuberkulosis sendiri, karena merupakan sumber kuman
dan sumber batuk darah profus.
4. Tuberkuloma:
bila lesi proliferatif dibungkus kapsul jaringan ikat, maka proses menjadi tidak aktif.
Pada tuberkulosis paru pasca primer selalu terjadi remisi dan eksaserbasi, maka pada
tempat proses selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah dengan proses fibrotik
(penyembuhan).
Lokasi proses tuberkulosis paru pasca primer adalah:

Apikal atau segmen posterior lobus superior atau segmen superior lobus inferior dan
jarang dijumpai di tempat lain.
Pada penderita diabetes melitus sering dijumpai tuberkulosis pada paru lobus inferior
(lower lung field).
Penyebaran/perluasan proses tuberkulosis:
1. Ke parenkim paru sekitar
2. Ke pleura: menyebabkan pleuritis atau efusi pleura dan empiema
3. Ke saluran nafas: menimbulkan endobronkial tuberkulosis
4. Melalui pembuluh darah dan saluran limfe: menimbulkan penyebaran hematogen dan

limfogen.
GEJALA KLINIS
Keluhan:
Umum (sistemik):
Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat malam, mual, muntah.
Lokal paru:
Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak nafas bila lesi luas
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal atau sedang,
pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai tanda-tanda konsolidasi, deviasi
trakea/mediastinum ke sisi paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup, suara napas
menurun).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
Darah lengkap: LED meningkat, dapat anemia, lekosit normal atau sedikit meningkat, hitung
jenis bergeser ke kanan (peningkatan mononuklear).
Sputum:
1. Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan ZN, atau fluoresens.
2. Kultur: untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat anti tuberkulosis.
Radiologis:

Gambaran radiologis dapat berupa:
-

III define air space shadowing

-

Kaviti dengan dinding tebal dikelilingi konsolidasi

-

Millet seed like appearance/granuler pada tuberkulosis milier

Lokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi tuberkulosis pasca primer.
Namun demikian kadang penampakan lesi pada foto toraks tidak spesifik (seperti tumor),
sehingga sering dikatakan bahwa tuberkulosis merupakan the great imitator.
Untuk kepentingan klinis maka lesi tuberkulosis berdasarkan foto toraks dibagi menjadi 2
kategori:
1. Lesi minimal (minimal lesion):
bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih dari

volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan
tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas (far advanced lesion):
bila proses lebih luas dari lesi minimal.
DIAGNOSIS
1. Diagnosis klinis
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
2. Diagnosis bakteriologik
Ditemukan basil tahan asam dalam sputum.
Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short course) WHO, maka
diagnosis bakteriologik merupakan komponen penting dalam diagnosis dan
penatalaksanaan tuberkulosis, dengan cara 3 kali pemeriksaan hapusan basil tahan
asam dari sputum (SPS= sewaktu, pagi, sewaktu).
3. Diagnosis radiologis
Gambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif.
DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru

4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi

PENYULUT
1. Pleuritis sika
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laryngitis tuberkulosis
5. Tuberkulosis pada organ lain
6. Kor pulmonale
PENATALAKSANAAN
1. Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan
2. Strategi penatalaksanaan menurut DOTS WHO meliputi:
-

komitmen pemerintah dalam mengontrol TB

-

deteksi kasus dengan pemeriksaan hapusan BTA sputum


-

kemoterapi standar jangka pendek (6-8 bulan) dengan pengawasan minum obat

-

kesinambungan ketersediaan obat anti tuberkulosis

-

sistem pancatatan dan pelaporan standar

Rekomendasi regimen terapi

Kategori
Terapi

Penderita TB


(setiap hari atau

TB
I

Alternatif regimen terapi TB
Fase inisial
Fase lanjutan

-

Kasus baru – BTA positip

-

Kasus baru – BTA negatip

3x/minggu)
2 RHZE (RHZS)


(setiap hari atau
3x/minggu)
4 RH
6 HE

dengan lesi paru luas
II

III

Konkomintan HIV berat atau

TB ekstrapulmoner berat
Sputum hapusan positip:

2 RHZES

-

Kambuh


RHZE

-

Gagal terapi

-

Putus berobat
Kasus baru – BTA negatip 2 RHZE*

+ 1 5 R3H3E3

4 RH

selain kategori I
IV

TB ekstrapulmoner tidak berat

Kasus kronis

6 HE
Merujuk panduan WHO menggunakan

second line drug
*Ethambutol dapat dihilangkan pada fase inisial pada penderita nonkavitas, TB paru BTA
negatif dengan HIV negatif, penderita dengan basil suseptibel obat, anak muda dengan TB
primer.
Obat anti tuberkulosis esensial
Obat esensial
Isoniazid (H)

Rekomendasi Dosis (dose range) mg/kgBB
Setiap hari
Seminggu 3 kali
5 (4-6)
10 (8-12)

Rifampicin (R)


10 (8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide (Z)

25 (20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S)

15 (12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E)

15 (15-20)

30 (20-35)

2,5

not applicable

Thioacetazone (T)
PROGNOSIS

Tergantung pada luas proses, saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita mengikuti aturan
penggunaan dan cara pengobatan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Chesnutt MS, Prendergast TJ. 2003. Lung. In: Current medical diagnosis & treatment 2003.
Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. 42th.Ed. McGraw-Hill, 256-263.
Dep Kes RI. 2001. Pedoman penanggulangan nasional tuberculosis, 1-51
Garay SM. 2004. Pulmonary Tuberculosis. In: Tuberculosis. Editors: Rom WN, Garay SM.
Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 345-399.
WHO. 2003. Treatment of tuberculosis guidelines for national programmes. 3rd Ed, 11-60.

2.PNEUMONI KOMUNITI

BATASAN
Pneumoni adalah suatu keradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumoni komuniti adalah pneumoni yang didapat di masyarakat.
KLASIFIKASI PNEUMONI
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
a. Pneumoni komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumoni nosokomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial pneumonia)
c. Pneumoni aspirasi
d. Pneumoni pada penderita imunokompromis
2. Berdasarkan kuman penyebab
a. Pneumoni bakterial/tipikal
b. Pneumoni atipikal
c. Pneumoni virus
d. Pneumoni jamur
3. Berdasar predileksi infeksi
a. Pneumoni lobaris
b. Bronkopneumoni
c. Pneumoni interstisial
ETIOLOGI PNEUMONI KOMUNITI
Agen penyebab dapat diidentifikasi pada 50% kasus. Bakteri lebih sering teridentifikasi
daripada virus.
Golongan I:
S. pneumoniae, M. pneumoniae, C. pneumoniae, H. influenzae, virus respirasi,
Legionella spp, M. tuberculosa, fungi endemik.
Golongan II:
S. pneumoniae, M. pneumoniae, C. pneumoniae, infeksi campuran, H. influenzae,
enterik gram negatif, virus respirasi, Legionella spp, M. tuberculosa, M. catarrhalis,
jamur endemik.

Golongan IIIA:
S. pneumoniae, M. pneumoniae, C. pneumoniae, infeksi campuran, H. influenzae,
enterik gram negatif, virus respirasi, Legionella spp, M. tuberculosa, jamur endemik.
Golongan IIIB:
S. pneumoniae, H. influenzae, M. pneumoniae, C. pneumoniae, infeksi campuran,
virus respirasi, Legionella spp, M. tuberculosa. M. catarrhalis, jamur endemik, P.
carinii.
Golongan IVA:
S. pneumoniae, Legionella spp, H. influenzae, enterik gram negatik, S. aureus, M.
pneumoniae, virus respirasi, C. pneumoniae, M. tuberculosa, M. catarrhalis, jamur
endemik.
Golongan IVB:
Semua patogen diatas ditambah P. aeruginosa
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan saluran napas. Apabila terjadi ketidakseimbangan
antara pertahanan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Mekanisme mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas melalui cara:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
PATOLOGI
Mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PMN
mendesak mikroorganisme ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain
melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosit. Pada
waktu terjadi interaksi antara host dan mikroorganisme, maka akan tampak 4 zona yaitu:
1. Zona luar: alveoli yang terisi dengan mikroorganisme dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.

3. Zona konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi fagositosis aktif dengan jumlah
PMN yang banyak.
4. Zona resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak mikroorganisme yang
mati, leukosit, dan makrofag alveolar.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada:
1. Gambaran klinis
-

suhu tubuh meningkat > 400 C

-

menggigil

-

batuk dengan dahak purulen dapat disertai darah

-

nyeri dada

2. Pemeriksaan fisik
tanda-tanda konsolidasi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks
-

penting untuk menegakkan diagnosis

-

gambaran infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik, dan interstisial

-

tidak khas untuk menentukan etiologi pneumoni

-

hanya petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya:
pneumoni lobaris: S. pneumonia
infiltrat bilateral/bronkopneumoni: P. aeruginosa
konsolidasi lobus kanan atas dengan bulging fisura interlobaris: K. pneumonia

b. Laboratorium
-

leukositosis (10.000-30.000/cmm)

-

hitung jenis: shift to the left

-

LED meningkat

c. Pemeriksaan dahak, kultur darah, dan serologi
-

untuk menentukan diagnosis etiologi

-

kultur darah positip pada 20-25% penderita yang tidak diobati

d. Analisis gas darah
-

hipoksemia dan hipokarbia

-

asidosis respiratorik pada stadium lanjut

DIAGNOSIS BANDING
-

Tuberkulosis

-

Pneumonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat

-

Edema paru

-

Infark paru

-

Bronkiolitis obliterans

PENYULIT
1. Batuk darah
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Abses paru
5. Gagal napas
6. Kor pulmonale akut
7. Syok septik
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meliputi:
-

antibiotik (secara empirik)

-

pengobatan suportif

Penatalaksanaan dibagi menjadi:
1. Penderita rawat jalan
a. Pengobatan suportif/simtomatik
-

istirahat di tempat tidur

-

minum cukup untuk mengatasi dehidrasi

-

panas dikompres atau minum obat antipiretik

-

mukolitik dan ekspektoran bila diperlukan

b. Pemberian antibiotik
2. Penderita rawat inap biasa
a. Pengobatan suportif
-

pemberian oksigen

-

infuse rehidrasi dan nutrisi serta elektrolit (Ringer lactate, NaCl 0,9%, Ringer
Asetat

-

pemberian obat simtomatik antipiretik (parasetamol 500 mg sehari 3 kali 1
tablet), mukolitik (Bromhexin sehari 3 kali 1 tablet, Ambroxol sehari 3 kali 1
tablet)

b. Pemberian antibiotik (empirik)
3. Penderita rawat inap di ruang intensif
sama seperti penderita di ruang rawat inap biasa, bila diperlukan dipasang ventilator
mekanik. Pemilihan antibiotik empirik: sesuai dengan golongan kuman penyebab
Rawat jalan

= tanpa penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi
(golongan I)
*golongan beta lactam atau beta lactam + anti beta lactamase
= dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi
(golongan II)
*golongan beta lactam + anti beta lactamase atau
*fluoroquinolon

respirasi

(levofloxacin,

moxifloxacin,

gatifloxacin)
= bila dicurigai pneumonia atipik
*+
Rawat inap

macrolid

baru

(clarithromycin,

azithromycin,

roxithromycin)
= tanpa penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi
(golongan IIIB)
*golongan beta lactam + anti beta lactamase iv atau
*cephalosporin g2, g3 iv atau
*fluoroquinolon respirasi iv
= dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi
(golongan IIIA)
*cephalosporin g2, g3 iv atau
*fluoroquinolon respirasi iv
= bila dicurigai pneumonia atipik
*+

Rawat ruang intensif

macrolid

baru

(clarithromycin,

azithromycin,

roxithromycin)
= tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas (golongan IVA)
*cephalosporin g3 iv nonpseudomonas + makrolid baru atau
fluoroquinolon respirasi iv

= ada faktor risiko infeksi pseudomonas (golongan IVB)
*cephalosporin antipseudomonas atau carbapenem iv +
fluoroquinolon antipseudomonas iv atau aminoglikosida iv
= bila dicurigai pneumonia atipik
*+

macrolid

baru

(clarithromycin,

azithromycin,

roxithromycin)
Bila dengan antibiotik empirik tidak ada perbaikan/memburuk, tetapi disesuaikan
dengan penyebab dan uji sensitivitas
Faktor modifikasi, antara lain:
-

Pneumococcus resisten terhadap penicillin: umur > 65 th, memakai obat beta
lactam selama 3 bulan terakhir, pecandu alkohol, kondisi imunosupresi, penyakit
penyerta yang multipel.

-

Bakteri enterik gram negatif: penghuni rumah jompo, mempunyai penyakit
dasar kelainan jantung paru, penyakit penyerta multipel, riwayat pengobatan
antibiotik.

-

Pseudomonas

aeruginosa:

bronkiektasis,

pengobatan

kortikosteroid

>

10mg/hari, pengobatan antibiotik spectrum luas > 7 hari pada bulan terakhir,
malnutrisi.
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab,
dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
ATS. 2000. Guideline for the management of adults with CAP, diagnosis, assestment
of severity and antimicrobial therapy and prevention. Am J Resp Crit Care
Med; 163: 1730-54
Bartlett JG et al. 2000. Practice guideline for the management of CAP in adults. Clin
Infect Dis, 31:347
Chesnutt MS, Prendergast TJ. 2003. Lung. In: Current medical diagnosis & treatment
2003. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. 42th.Ed. McGrawHill, 216-311

Fishman JA. 2002. Approach to the patient with pulmonary infection. In: Fishman’s
Manual of pulmonary diseases and disorders. Editors: Fishman AP, Elias JA,
Fiahman JA, et al. 3rd.Ed. Mc Graw-Hill Companies, 676-678
Niederman MS, Sarosi GA. 2000. Respiratory tract infections. In: Chest medicine.
Essential of pulmonary and critical care medicine. 4 th. Eds. George RB et al.
Philadelphia; Lippincott William and Wilkins,377-429
Niederman MS. 2001. Guidelines for the management of community acquired
pneumonia selection issues. Med Clin North Am. 85: 1493-1509
PDPI. 2003. Pneumonia komuniti.Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di
Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1-28