BB Hukum Pidana Lanjutan Harry Uniba

Mata Kuliah : Hukum Pidana Lanjutan
Kode Mata Kuliah : WHI 3217
Team Pengajar : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.MH
I Wayan Suardana, SH.MH
AA Ngurah Wirasila, SH.MH

Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Denpasar – Bali

1

HUKUM PIDANA LANJUTAN

1. Deskripsi Mata Kuliah
Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada
pemahaman asas­asas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata kuliah
hukum pidana. Ada 7 (tujuh) pokok bahasan yakni : 1) Percobaan
(poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3) Pembantuan (Medeplightigheid); 4)
Perbarengan (samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7)
Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi,

amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Deskripsi masing­masing pokok bahasan
adalah sebagai berikut :
a. ”Percobaan” (poging) : Terdapat berbagai pandangan dengan
dasar pemimiran masing­masing dalam percobaan (poging).
Perbedaan pandangan tersebut tidak dapat dilepaskan dengan
tidak ditemukannya batasan tentang percobaan dalam KUHP.

Syarat­syarat percobaan (”poging”) pada dasarnya juga merupakan unsur
percobaan, yakni : 1) niat (vornemen); 2) permulaan pelaksanaan (begin
van uitvoerings handeling); 3) tidak selesainya pelaksanaan delik, bukan
semata­mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. MvT (Memorie van
Toelichting) menguraikan tentang percobaan (”poging”) sebagai telah
dimulainya perbuatan (tindakan), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai.
Penjelasan berdasarkan Pasal 53 KUHP dan MvT, menjadi sumber
adanya perbedaan pandangan yang berkenaan dengan permasalahan :
Apakah perkataan ”permulaan pelaksanaan” dalam rumusan Pasal 53
ayat (1) KUHP harus ditafsirkan sebagai permulaan pelaksanaan atau
sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Di samping
itu, muncul pula pandangan yang mempersoalkan, apakah percobaan
(”poging”) merupakan perluasan (pengertian) perbuatan pidana atau

merupakan perluasan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana.
b. ”Penyertaan” (deelneming) : Dalam hukum pidana yang
digolongkan/dianggap sebagai pelaku (dader) ada 4 macam yaitu: 1)
mereka yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan pidana (plegen); 2)
mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan
pidana (doen plegen); 3) mereka yang turut serta (bersama­sama)
melakukan sesuatu perbuatan pidana (medeplegen); dan 4) mereka yang
dengan sengaja menganjurkan (menggerakkan) orang lain untuk
melakukan perbuatan pidana (uitloking). Yang menjadi persoalan pokok
didalam ajaran “deelneining” adalah menentukan pertanggungan jawab

2

c.

d.

e.

f.


dari setiap peserta terhadap delik yang dilakukannya. Di dalam doktrin
penyertaan (deelneming) dibagi kedalam 2 bentuk, yaitu 1) penyertaan
yang berdiri sendiri (Zelfstandige Vormen van Deelneming), yang dalam hal
ini pertanggungjawaban pidana tiap peserta dinilai sendiri­sendiri; dan 2)
penyertaan yang tidak berdiri sendiri (Onzelfstandige Vormen van
Deelneining) yang dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban pidana dari
seorang peserta digantungkan kepada perbuatan peserta lainnya.
Pembantuan (Medeplightigheid) merupakan salah satu bentuk penyertaan
(deelneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Ada pembantuan
apabila dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang
masing­masing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de
medeplichtige). Ada 2 macam pembantuan, yaitu : 1) pembantuan pada
waktu kejahatan dilakukan tanpa daya upaya tertentu;
dan 2)
pembantuan yang mendahului/sebelum dilakukan kejahatan dengan
daya upaya tertentu (ditentukan secara limitatif). Persoalan pokok dalam
pembantuan (Medeplightigheid), adalah masalah pertanggungjawaban
pidana yang di satu sisi dibatasi tetapi di sisi lain diperluas.
Perbarengan (samenloop) : apabila seseorang melakukan sesuatu

perbuatan, dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia melanggar
beberapa peraturan atau apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan dimana masing­masing perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana yang berdiri sendiri­sendiri, dan terhadap salah satu dari
perbuatan pidana tersebut belum ada putusan hakim, dan terhadap
beberapa tindak pidana tersebut diadili sekaligus. Diadakannya
pengaturan tentang perbarengan (samenloop), untuk menentukan ukuran
pidana (hukuman), artinya pidana apa dan berapakah jumlahnya yang
akan dijatuhkan karena ’pelaku’ melakukan beberapa tindak pidana
yang masing­masing berdiri sendiri. Ada 4 sistem Pemidanaan dalam
samenloop, yaitu : absorptie stelsel ; comulatie stelsel ; verscherpte ; dan
gematigde comulatie stelsel.
Recidive Recidive terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan
pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana
oleh hakim, dan pidana tersebut telah dijalani oleh terpidana. Namun
setelah mereka selesai menjalani masa pidana, dalam jangka waktu
tertentu, ia kembali lagi melakukan tindak pidana. Recidive merupakan
alasan pemberatan pidana.. Sistem penjatuhan pidana dalam recidive
ada 3 macam, yaitu : 1) recidive umum (algemene recidive atau generale
recidive); 2) recidive khusus ( speciale recidive atau bijzondere recidive) ;

dan 3) tussen stelsel.
Delik aduan (klachtdelict) Delik aduan ialah delik yang hanya dituntut
atas dasar adanya pengaduan. Ini berarti bahwa sebelum adanya
pengaduan dari pihak yang berkepentingan, maka jaksa/penuntut

3

umum belum boleh melakukan tuntutan. Dalam hal delik aduan,
diadakan tidaknya persetujuan dari yang dirugikan artinya Jaksa hanya
dapat menuntutnya sesudah adanya pengaduan dari yang dirugikan.
Sebagai satu­satunya alasan dari pembuat KUHP. untuk menetap delik
aduan itu adalah adanya pertimbangan bahwa didalam beberapa hal
tertentu kepentingan dari yang dirugikan agar supaya perkaranya tidak
dituntut adalah lebih besar dari pada kepentingan negara untuk
melakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :
delik aduan absolut (mutlak) dan delik aduan relatif (nisbi).

g. Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana
Gugurnya hak menuntut pidana ada yang diatur dalam KUHP dan ada
pula yang diatur di luar KUHP. Ada 4 jenis alasan gugurnya hak

menuntut pidana dalam KUHP, yaitu Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP),
matinya tertuduh (Pasal 77 KUHP), kedaluwarsa (Pasal 68 – 81 KUHP)
dan penyelesaian di luar proses peradilan ”Afdoening buiten proces”
(Pasal 82 KUHP). Alasan gugurnya hak menuntut pidana di luar KUHP,
adalah abolisi dan amnesti, yang diatur dalam UUD dan hanya dapat
diberikan oleh kepala negara. Abolisi merupakan kewenangan kepala
negara berdasarkan UU untuk menghentikan atau meniadakan tuntutan,
sedangkan amnesti merupakan wewenang kepala negara dengan UU
atau atas kuasa UU untuk menghapuskan semua akibat hukum dari
orang­orang yang melakukan tindak pidana. Ada 2 alasan yang
menyebabkan gugurnya hak untuk menjalankan pidana, yaitu matinya
terhukum (Pasal 83 KUHP), dan kedaluwarsa (Pasal 84 ­ 85 KUIIP).
h. Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Grasi merupakan hak kepala
negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang telah
dijatuhi pidana
dan berkekuatan hukum tetap. Grasi tidaklah
menghilangkan putusan hakim, dalam artian putusan hakim tetap ada,
tetapi pelaksanannya ditiadakan/dihilangkan atau dikurangi ataupun
jenis pidananya dirubah.
2. Pokok Bahasan

1. PERCOBAAN (POGING)
Pertemuan ke 1 :
a. Syarat dan Unsur­unsur Percobaan (poging)
Syarat­syarat percobaan (”poging”) pada dasarnya juga merupakan unsur
percobaan, yakni : 1) niat (vornemen); 2) permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoerings handeling); 3) tidak selesainya pelaksanaan delik, bukan semata­mata

4

disebabkan karena kehendaknya sendiri. MvT (Memorie van Toelichting)
menguraikan tentang percobaan (”poging”) sebagai telah dimulainya perbuatan
(tindakan), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai. Penjelasan berdasarkan Pasal
53 KUHP dan MvT, menjadi sumber adanya perbedaan pandangan yang
berkenaan dengan permasalahan : Apakah perkataan ”permulaan pelaksanaan”
dalam rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP harus ditafsirkan sebagai permulaan
pelaksanaan atau sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Di
samping itu, muncul pula pandangan yang mempersoalkan, apakah percobaan
(”poging”) merupakan perluasan (pengertian) perbuatan pidana atau merupakan
perluasan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana. Mereka yang lebih
menekankan pada tindakan pelaku yang membahayakan suatu kepentingan,

menyatakan bahwa percobaan merupakan perluasan perbuatan pidana,
sedangkan di sisi lain menyatakan percobaan bukan menentukan bentuk khusus
dari tindakan pidana, melainkan hanya menentukan tentang suatu kelakuan
yang ada hubungannya dengan suatu perumusan perbuatan pidana.
b. Kasus
Abraham, bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di suatu
rumah di kawasan pemukiman elite di daerah Sanur, yang sedang ditinggalkan
oleh pemiliknya ke Jakarta. Untuk memuluskan aksinya, Abraham
mempersiapkan sebuah anak kunci palsu yang akan dipergunakan untuk
membuka paksa pintu kamar yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan
barang­barang berharga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Abraham
bersembunyi di semak­semak sambil menunggu waktu yang tepat untuk
melakukan aksinya. Pada saat Abraham memulai aksinya dengan cara memanjat
tembok pekarangan rumah yang akan dijadikan sasaran pencurian, iapun
ditangkap oleh satuan pengamanan lingkungan setempat.
c. Pertanyaan :
1. Apakah dalam kasus di atas, maksud Abraham untuk melakukan
pencurian dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ?
2. Baca secara cermat kasus di atas, kemudian saudara bahas tentang
’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar pemikiran

yang ada dalam doktrin !
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 510 ­ 551
3. Muljatno 1980. Delik­delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23.

5

4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 33 ­ 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 1 ­ 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
9. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 ­ 81
11. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 ­ 32
Pertemuan ke 2 :
a. Pemidanaan terhadap Pelaku Percobaan (poging) dan Pengunduran Diri
secara Sukarela sebagai Alasan Tidak Dipidananya Percobaan
Sistem Pemidanaan untuk percobaan agak menyimpang dari sistem
Pemidanaan delik selesai (sempurna) pada umumnya, yang mengancamkan
pidana apabila unsur­unsur delik telah terpenuhi. Di dalam percobaan,
pemidanaan diadakan, sebelum terjadi suatu yang merugikan kepentingan
hukum seperti yang seutuhnya dilindungi dalam (pasal) tindak pidana yang
bersangkutan. Ada 2 pandangan yang berbeda tentang pemidanaan percobaan,
yaitu : 1) pandangan subyektif yang bertolak dari diri atau jiwa pelaku (yang
dinilai adalah niat dari pelaku untuk melakukan kejahatan); dan 2) pandangan
obyektif yang bertolak dari tindakan atau perbuatan yang telah membahayakan
suatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh Undang­undang. KUHP tidak
menentukan secara tegas teori mana yang dianut, sehingga dalam masalah
pemidanaan terhadap pelaku percobaan­pun muncul berbagai penafsiran.

b. Kasus
Dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di Nusa Dua, ke Sanur,
Abdulah di perjalana bertemu dengan sahabat lamanya yang bernama Sanusi.
Sanusi berceritera tentang kerasnya kehidupan di kota Denpasar. Abdulah
sebenarnya menghadapi fenomena yang sama dengan Sanusi. Sanusi bercerita
tentang jalan pintas yang pernah ditempuhnya dengan melakukan tindak pidana
pencurian benda­benda sakral yang menurutnya relatif mudah dijual kepada

6

penadahnya. Abdulah tertarik dengan cerita Sanusi, dan pada kesempatan itu
juga ia bersepakat untuk melakukan pencurian di suatu tempat di malam itu
juga. Pada waktu dan tempat yang telah dijanjikan, keduanya bertemu dan
langsung melakukan aksinya. Namun sebelum niat itu terlaksana, Abdulah
dengan niat sendiri mengurungkan rencananya, sedangkan Sanusi memutuskan
untuk melakukan aksinya seorang diri dan aksinya tersebut diawali dengan
merusak gembok tempat penyimpanan benda­benda sakral di pura. Namun
sebelum aksi Sanusi terlaksana, anggota banjar yang sedang melakukan ronda
memergokinya sehingga niat tersebut tidak kesampaian.
c. Pertanyaan :
1. Dilihat dari kesepakatan antara Abdulah dengan Sanusi untuk
melakukan pencurian , apakah menurut pandangan subyektif dan
obyektif, sudah dapat dijadikan dasar untuk memidana Abdulah dan
Sanusi ?
2. Apakah mengurungkan niat dengan kesadaran sendiri, seperti apa yang
dilakukan Abdulah, merupakan alasan tidak dapat dipidananya pelaku
percobaan ?
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 510 ­ 551
3. Muljatno 1980. Delik­delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23.
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 33 ­ 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 1 ­ 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
9. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 ­ 81
11. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 ­ 32

7

Pertemuan ke 3 :
a. Pertanggungjawaban Pidana dalam perbuatan Pidana Percobaan.
Pertanggungjawaban pidana dalam perbuatan pidana percobaan secara
tegas diatur dalam Pasal 53 KUHP bahwa maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan dalam hal percobaan (“poging”) dikurangi sepertiganya. Namun
demikian pembentuk Undang­undang mengecualikan pertanggungjawaban
pidana dalam ketentuan Buku II untuk pelaku percobaan, di samping pula
menentukan secara tegas bahwa pelaku percobaan “pelanggaran” tidak dapat
dipidana.
b. Kasus
Pagi ini, senin tanggal 1 Januari 2008, Alimudin diadili di Pengadilan
Negeri Denpasar dalam kasus percobaan pencurian sepeda motor di bilangan
Pasar Kereneng. Di dalam melakukan aksinya, Alimudin biasanya melakukan
pemantauan tempat yang biasanya luput dari pengawasan juru parkir ataupun
Satpam Pasar. Untuk memuluskan aksinya, Alimudin telah mempersiapkan
kunci leter T yang dipersiapkan jauh sebelum aksinya dilakukan. Pada saat yang
tepat, Alimudin berangkat dari rumahnya di kawasan Renon dengan
mengendarai sepeda motor, dan untuk mempersingkat perjalanannya, iapun
memacu sepeda motor menerobos larangan masuk. Niat untuk menerobos jalan
tersebut kemudian diurungkan karena di ujung jalan ia melihat ada seorang
petugas Polantas yang sedang berjaga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian,
Alimudin menunggu waktu yang tepat sambil mempersiapkan peralatan yang
akan dipergunakan melakukan perbuatannya.
c. Pertanyaan :
Di dalam melakukan aksinya, Alimudin dalam kasus di atas telah pula
mencoba untuk melakukan pelanggaran dengan memasuki rambu larangan
masuk. Bagaimana pendapat saudara ?
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 510 ­ 551
3. Muljatno 1980. Delik­delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23.
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 33 ­ 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.

8

6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 1 ­ 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
9. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 ­ 81
11. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 – 32
2. PENYERTAAN (DEELNEMING)
Pertemuan ke 4 :
a. Pelaku dalam Hukum Pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP, dalam hukum pidana yang
digolongkan/dianggap sebagai pelaku (dader) ada 4 macam yaitu: 1) mereka
yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan pidana (plegen); 2) mereka yang
menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana (doen plegen);
3) mereka yang turut serta (bersama­sama) melakukan sesuatu perbuatan pidana
(medeplegen); dan 4) mereka yang dengan sengaja menganjurkan (menggerakkan)
orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking). Yang menjadi
persoalan pokok didalam ajaran “deelneining” adalah menentukan
pertanggungan jawab dari setiap peserta terhadap delik yang dilakukannya,
karena apabila dalam suatu delik tersangkut beberapa orang, maka
pertanggungan jawab setiap orang yang merupakan peserta di dalam delik,
dapat berheda satu sama lain. Di dalam doktrin penyertaan (deelneming) dibagi
kedalam 2 bentuk, yaitu 1) penyertaan yang berdiri sendiri (Zelfstandige Vormen
van Deelneming), yang dalam hal ini pertanggungjawaban pidana tiap peserta
dinilai sendiri­sendiri; dan 2) penyertaan yang tidak berdiri sendiri
(Onzelfstandige Vormen van Deelneining) disebut juga accessoire vormen van
deelneming, yang dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban pidana dari seorang
peserta digantungkan kepada perbuatan peserta lainnya.
b. Kasus.
Ali bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di rumah Burhan
seorang saudagar ikan asin yang di kampungnya terkenal sangat kaya. Ali tidak
mau bekerja seorang diri, oleh karenanya ia mengajak Yudi, Yuda dan Budi yang

9

masih berstatus sebagai karyawan Burhan. Dalam usahanya untuk memuluskan
aksinya, Ali menyuruh Yudi pada malam yang telah ditentukan untuk tidak
mengunci pintu kantor tempat penyimpanan brankas, sedangkan Yuda
ditugaskan untuk menyiapkan tangga yang akan dipergunakan sebagai alat
bantu memanjat tembok menuju ke tempat brankas. Untuk melakukan aksinya,
Ali membujuk Budi pada malam yang ditentukan untuk mengambil semua isi
brankas di kantor Burhan untuk kemudian dibawa ke rumah Ali. Hasil dari
tindak pidana tersebut kemudian dibagi­bagi secara merata di antara keempat
orang tersebut.
c. Pertanyaan :
a. Jelaskan status masing­masing pelaku tindak pidana dalam contoh kasus
di atas !
b. Tentukan ancaman pidana untuk masing­masing pelaku !
c. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 556 ­ 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 82 – 97
10. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 32 – 49
Pertemuan ke 5 :
a. Menyuruh Orang lain, Bersama­sama melakukan dan Menganjurkan
Orang lain Untuk Melakukan Tindak Pidana.

10

Dalam ”menyuruh orang lain” (Middelijk Daderschaft), di dalamnya
ada : orang yang menyruh lakukan (midelijk dader atau manus domina) dan
orang yang disuruh (onmiddelijk dadre atau materiele dader atau manus
ministra). Syarat terpenting untuk mempertanggungjawabkan mereka yang
menyuruh lakukan adalah, orang yang disuruh untuk melakukan tindak pidana
adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana
(Pasal 44, 48, 51 ayat (2)) dan orang yang disuruh melakukan tidak mempunyai
unsur ogmerk (niat) seperti yang menyuruh.
Di dalam bersama­sama melakukan suatu tindak pidana KUHP tidak
memberikan penjelasan, tetapi dalam doktrin dapat ditemukan pendapat bahwa
bersama­sama melakukan berarti mereka bersma­sama bekerjasama secara
fisik/jasmani. Pendapat kedua mensyaratkan bahwa diantara mereka harus ada
kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerja sama untuk melakukan suatu
delik.
Di dalam penganjuran (uitloken) juga seperti pada ”menyuruh lakukan”
dalam artian ada penganjur (auctor intellectualis atau intelectuelo dader) dan
ada orang yang dianjurkan (auctor materialis atau materiele dader) Pasal 55 ayat
(1) ke 1 menyebutkan secara limitatif daya upaya untuk terjadinya penganjuran,
yaitu : 1) memberi atau menjanjikan sesuatu ; 2) menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat ; 3) dengan kekerasan ; 4) memakai ancaman atau penyesatan ;
dan 5) memberikan kesempatan, sarana atau keterangan.
b. Kasus
Muhaimin bermaksud melakukan tindak pidana pencurian barang­
barang inventaris kantor di tempatnya bekerja. Dalam melakukan aksinya, ia
melibatkan 4 orang temannya, yaitu : Mu’in, Mu’is, Muklas dan Muklis. Antara
Muhaimin, Mu’in dan Mu’is, telah bersepakat sebelumnya tentang maksud dan
tujuan perbuatannya, namun mereka menyadari tanpa adanya bantuan orang
lain, perbuatan tersebut tidaklah dapat diwujudkan. Untuk itu, ia dengan
menjanjikan hadiah menarik ia menganjurkan Muklas untuk meninggalkan
tempat dilakukannya pencurian. Terhadap Muklas, ia memerintahkan supaya
malam itu, kunci tempat penyimpanan barang inventaris kantor tidak dikunci.
Muklaspun menerima suruhan itu karena Muklas adalah bawahan Muhamin di
kator tersebut. Selanjutnya, pada malam yang telah ditentukan Muhaimin
bersama­sama dengan Mu’in dan Mu’is mengambil barang­barang inventaris
kantor. Mereka bekerja sama secara fisik untuk mengangkut barang­barang
tersebut ke suatu tempat. Mu’is walaupun malam itu ikut membantu Muhaimin,
namun mereka tidak memehami maksud Muhaimin mengangkut barang­barang
tersebut.

11

c. Pertanyaan :
1. Muklas dalam melaksanakan perintah Muhaimin, secara tidak langsung
berhubungan dengan statusnya sebagai bawahan Muhaimin dalam
struktur organisasi kantor tempatnya bekerja. Apakah dalam kasus di
atas, Muklas dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana ?
2. Dalam kasus di atas, tentukan posisi masing­masing pelaku. Siapa yang
berstatus sebagai penganjur (auctor intellectualis atau intelectuelo dader)
dan siapa yang bertindak selaku auctor materialis atau materiele dader.
3. Dari
kasus
di
atas,
tentukansiapa­siapa
yang
dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana dan sispa­siapa yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berikan argumen untuk
mendukung pendapat saudara !
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 556 ­ 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 82 – 97
10. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 32 – 49
3. PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)
Pertemuan ke 6 :
a. Pembantuan (Medeplightigheid)

12

Pembantuan (Medeplightigheid) merupakan salah satu bentuk penyertaan
(deelneining) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Ada pembantuan
apabila dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masing­
masing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medeplichtige). Dari
perumusan Pasal 56 dapat diketahui adanya 2 macam pembantuan, yaitu : 1)
pembantuan pada waktu kejahatan dilakukan tanpa daya upaya tertentu; dan 2)
pembantuan yang mendahului/sebelum dilakukan kejahatan dengan daya
upaya tertentu (ditentukan secara limitatif) yaitu memberi kesempatan, sarana
atau keterangan. Persoalan pokok dalam pembantuan (Medeplightigheid), adalah
masalah pertanggungjawaban pidana yang di satu sisi dibatasi tetapi di sisi lain
diperluas.
b. Kasus
Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim di
suatu tempat yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun
disampaikan kepada Maliki, dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk
memuluskan rencananya, Abu Bakar membutuhkan bantuan Maliki, untuk
mengetahui jalan­jalan yang akan dilalui oleh Ibrahim, pulang dari tempat
kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan keterangan bahwa Ibrahim
biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada jam 17.00 sore.
Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan
menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki
bersama­sama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat tersebut,
Abu Bakar menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian yang dimiliki
Ibrahim, Abu Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman melemparkan
sepotong kayu kepada Abu Bakar, yang kemudian dipergunakan oleh Abu
Bakar untuk memukul kepala Ibrahim sampai tidak sadarkan diri, namun
sebelumnya, Abdurrahman memberikan kode­kode dengan isyarat fisik kepada
Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim.
c. Pertanyaan :
1. Tentukan status masing­masing pelaku tersebut dalam contoh kasus di
atas !
2. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan secara fisik ataun
non fisik. Dengan memperhatikan contoh di atas, tentukan status Maliki
dan juga Abdurrahman !
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

13

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 556 ­ 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 40 ­ 62
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 ­
164
10. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 50 – 64
3. PERBARENGAN (SAMENLOOP).
Pertemuan ke 7 :
a. Pengertian
Perbarengan (Samenloop van Strafbaarfeiten) adalah, apabila seseorang
melakukan sesuatu perbuatan, dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia
melanggar beberapa peraturan atau apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan dimana masing­masing perbuatan tersebut merupakan tindak pidana
yang berdiri sendiri­sendiri, dan terhadap salah satu dari perbuatan pidana
tersebut belum ada putusan hakim, dan terhadap beberapa tindak pidana
tersebut diadili sekaligus. Diadakannya pengaturan tentang perbarengan
(samenloop), untuk menentukan ukuran pidana (hukuman), artinya pidana apa
dan berapakah jumlahnya yang akan dijatuhkan karena ’pelaku’ melakukan
beberapa tindak pidana yang masing­masing berdiri sendiri. Ada 4 sistem
Pemidanaan dalam samenloop, yaitu : absorptie stelsel (pidana terberat yang
dijatuhkan); comulatie stelsel (pidana dikomulasikan/dijumlahkan secara
keseluruhan); verscherpte (pidana terberat ditambah 1/3 dari pidana terberat) ;
dan gematigde comulatie stelsel (seluruh pidana dikomulasikan, namun pidana
yang dijatuhkan tidak boleh melebihi pidana terberat ditambah 1/3 nya).

14

d. Kasus
Hamid di kampungnya lebih dikenal dengan sebutan ”Drunken Master”.
Pada suatu malam di pesta sunatan anak teman karibnya, ia minum minuman
beralkohol secara berlebihan sampai mabuk. Lewat waktu tengah malam Hamid
dengan sepeda motornya, pulang menuju rumahnya yang jaraknya kurang lebih
5 Km. Di perjalanan, Polantas sedang melakukan razia surat­surat dan
kelengkapan kendaraan bermotor. Hamid distop untuk diperiksa kelengkapan
surat­surat sepeda motornya. Pada saat Hamid dihentikan, ia marah­marah dan
memaki polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugasnya, bahkan perlakuan
Hamid tidak hanya memaki tetapi juga memukul polisi, dan kemudian
melarikan diri dengan memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.
Karena kurang kontrol, Hamid kemudian menabrak nenek Saonah, seorang
pejalan kaki yang sedang menyeberang.
c. Pertanyaan :
Apakah perbuatan Hamid seperti yang tertera dalam contoh kasus di atas
dapat dikatakan sebagai perbuatan berlanjut (samenloop van
Strafbaarfeiten) ? dan tentukan pula pemidanaan yang dapat diterapkan.
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 642 ­683
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 ­ 40
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 175 ­ 189
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 –
164
10. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 64 – 84

15

Pertemuan ke 8 :
a. Bangunan dan Bentuk­bentuk Samenloop
Di dalam doktrin, ada perbedaan paham mengenai beberapa bangunan
dalam samenloop, yaitu mengenai :1) pengertian feit; 2) bilamanakah perbuatan
seseorang dianggap sebagai eenfeit ataukah meerdere feit; dan 3) pengertian
tentang vorgezette handeling. Dilihat dari segi bentuknya, ada 4 bentuk
samenloop, yaitu : Eendaadse samenloop (concursus idealis) : terjadi apabila
seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan melakukan satu perbuatan
tersebut, ia melanggar beberapa peraturan pidana dalam artian ia melakukan
beberapa tindak pidana (Pasal 63 KUHP) ; meerdaadse samenloop (concursus
realis) : terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan
mana merupakan tindak pidana sendiri­sendiri dan terhadap perbuatan tersebut
diadili sekaligus (Pasal 65 KUHP) ; dan voorgezette handeling : terjadi apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing­masing sebagai tindak
pidana tersendiri, tetapi di antara perbuatan tersebut ada hubungan yang
demikian erat sehinga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan berlanjut
(Pasal 64 KUHP).
1. Kasus
Aminah, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Drs.
Said Karim, pada suatu hari mengambil barang berupa perhiasan yang terdiri
dari beberapa rangkaian yang terpisah­pisah. Pertama­tama ia mengambil cincin
berlian, dan seminggu kemudian ia mengambil kalung, disusul 3 hari kemudian
mengambil gelang emas milik Nyonya Said Karim. Sebulan kemudian, Aminah
mengambil barang­barang koleksi kesayangan Drs. Said Karim berupa patung
porselen berwujud burung yang bagian­bagiannya bisa dilepas. Pertama­tama
aminah mengambil bagian kepala patung, dan secara berturut­turut mengambil
sayap, badan dan kaki. Barang­barang tersebut diambil dalam kurun waktu
sama, yaitu 5 hari, sampai semua bagian patung diambilnya. Menjelang hari
raya Idul Fitri, Aminah minta ijin kepada Drs Said Karim untuk mudik, tetapi
Aminah tidak kembali lagi bekerja di rumah keluarga Drs Said Karim.
Bersamaan dengan hal itu, keluarga Drs Said Karim menyadari bahwa barang­
barangnya telah hilang.
2. Pertanyaan :
a. Dengan mencermati bangunan serta bentuk­bentuk Samenloop,
perbuatan Aminah termasuk dalam bentuk yang mana ?
b. Perbuatan Aminah, apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan
berlanjut ? Berikan alasan dan tunjukkan dasar hukumnya !

16

3. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: Sinar Baru, hal. 642 ­683
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 – 40
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hal. 175 – 189
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 –
164
10. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 64 ­ 84
4. RECIDIVE
Pertemuan ke 9 :
a. Recidive
Recidive terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana
dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim, dan
pidana tersebut telah dijalani oleh terpidana. Namun setelah mereka selesai
menjalani masa pidana, dalam jangka waktu tertentu, ia kembali lagi melakukan
tindak pidana. Recidive merupakan alasan pemberatan pidana sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Ratio pemberatan pidana,
karena dengan telah dijatuhi pidana, tetapi mengulangi lagi perbuatan pidana
menunjukkan bahwa yang bersangkutan tabiatnya kurang baik. Sistem
penjatuhan pidana dalam recidive ada 3 macam, yaitu : 1) recidive umum
(algemene recidive atau generale recidive) yaitu apabila melakukan tindak
pidana dalam jangka waktu tertentu setelah menjalani masa pidana, tindak
pidana mana tidak perlu sejenis dengan tindak pidana sebelumnya ; 2) recidive
khusus ( speciale recidive atau bijzondere recidive) yaitu apabila melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu setelah menjalani masa pidana,
tindak pidana yangh dilakukan sejenis dengan tindak pidana sebelumnya; 3)
tussen stelsel, yaitu apabila melakukan tindak pidana dalam jangka waktu

17

tertentu setelah menjalani masa pidana, tindak pidana yang dilakukan itu
merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang­undang.
b. Kasus
Lima tahun setelah Andi selesai menjalani masa pidana di LP Kelas II
Kerobokan dalam kasus perampasan sepeda motor, kembali diadili di
Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan
barang­barang milik perusahaan tempatnya ia bekerja di bilangan Kuta. Andi
selesai menjalani masa pidana pada akhir tahun 2000, dan setelah itu ia bekerja
di CV Jaya Garment yang bergerak di bidang manufacturing dan eksport
garmen. Di perusahaan tersebut, ia juga menanamkan saham sebesar 20 %. Pada
akhir tahun 2005, Andi dilaporkan ke Polda Bali dalam kasus pencurian,
penipuan dan penggelapan barang­barang milik perusahaan. Atas laporan
tersebut, penyidikan dilakukan dan sampai berlanjut ke proses pemeriksaan di
persidangan. Hakim memutuskan bahwa andi terbukti bersalah dalam kasus
tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
c. Pertanyaan :
1. Karena Andi memiliki saham di perusahaan tempat ia melakukan tindak
pidana, apakah unsur­unsur tindak pidana yang disangkakan dapat
terpenuhi ?
2. Dalam kasus di atas, Andi dapat dijatuhi pidana lebih berat, kenapa ?
d. Bahan bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 59 ­ 62
5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
6. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
7. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 –
164
8. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 84 ­ 93

18

5. DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)
Pertemuan ke 10 :
a. Delik Aduan
Delik aduan ialah delik yang hanya dituntut atas dasar adanya
pengaduan. Ini berarti bahwa sebelum adanya pengaduan dari pihak yang
berkepenting, maka jaksa/penuntut umum belum boleh melakukan tuntutan.
Dalam hal delik aduan, diadakan tidaknya persetujuan dari yang dirugikan
artinya Jaksa hanya dapat menuntutnya sesudah adanya pengaduan dari yang
dirugikan. Sebagai satu­satunya alasan dari pembuat KUHP. untuk menetap
delik aduan itu adalah adanya pertimbangan bahwa didalam beberapa hal
tertentu kepentingan dari yang dirugikan agar supaya perkaranya tidak dituntut
adalah lebih besar dari pada kepentingan negara untuk melakukan penuntutan.
Delik aduan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu : delik aduan absolut (mutlak)
dan delik aduan relatif (nisbi). Delik aduan absolut adalah tiap­tiap delik yang
dalam keadaan apapun tetap merupakan delik aduan. Tindak pidana yang
digolongkan sebagai delik aduan absolut, adalah
penghinaan, kecuali
penghinaan terhadap seorang pejabat pada waktu melakukan tugas dan juga
beberapa tindak pidana terhadap kesusilaan. Delik aduan yang relatif, adalah :
tiap­tiap delik yang hanya dalam keadaan tertentu saja merupakan delik aduan.
Kejahatan­kejahatan yang termasuk golongan delik aduan ini adalah pencurian
dalam kalangan keluarga (familie diefstal), dan delik­delik kekayaan/harta
benda (vermogensdlicten), yang kurang lebih sejenis, Pasal 367 KUHP
b. Kasus
Abdul Kadir merasa terhina oleh kata­kata yang diucapkan oleh Hasan,
sehubungan isue peselingkuhan Abdul Kadir dengan Ngatimin istri
tetangganya, yaitu Pak Komarudin. Komarudin punya bukti­bukti bahwa benar
Ngatimin berselingkuh dengan Abdul Kadir. Kabar yang berkembang di
kampung berakibat Abdul Kadir merasa terusik, kemudian melaporkan Hasan
ke polisi karena menurutnya telah memfitnah dirinya. Dalam pemeriksaan
polisi, Ngatimin yang diminta sebagai saksi, ternyata membenarkan isue
tersebut, namun Pak Komarudin tidak melaporkan perselingkuhan istrinya
dengan Abdul Kadir ke polisi.
c. Pertanyaan :
Tanpa adanya pengaduan, apakah dalam kasus di atas, Abdul Kadir dapat
dituntut ?

19

d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret, hal. 59 ­ 62
5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus. h, 76­ 77.
6. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
7. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 –
164
8. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 94 ­ 101
6. GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA
PIDANA

DAN MENJALANKAN

Pertemuan ke 11 :
a. Gugurnya Hak Menuntut Pidana menurut Ketentuan KUHP
Gugurnya hak menuntut pidana ada yang diatur dalam KUHP dan ada
pula yang diatur di luar KUHP. Ada 4 jenis alasan gugurnya hak menuntut
pidana dalam KUHP, yaitu Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), matinya tertuduh
(Pasal 77 KUHP), kedaluwarsa (Pasal 68 – 81 KUHP) dan penyelesaian di luar
proses peradilan ”Afdoening buiten proces” (Pasal 82 KUHP). Ne bis in idem
berarti bahwa seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya terhadap
perbuatan yang baginya telah diputuskan dengan keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Didalam hapusnya kewenangan menuntut
pidana jika terdakwa meninggal, logikanya adalah konsekuensi dari sifat pidana
yang hanya didasarkan atas kesalahan pribadi dalam artian, pribadi itu
sendirilah yang harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.
Kedaluwarsa (verjaring) adalah gugurnya hak menuntut pidana karena
lampaunya waktu yang diberikan oleh UU. Penyelesaian di luar proses
peradilan ”Afdoening buiten proces” Menurut Pasal 82 hak menuntut pidana
karena pelanggaran yang semata­mata diancam dengan pidana pokok tidak lain
daripada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan
kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, jika penuntutan

20

telah dilakukana, dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undang­undang
umum, dalam tempo yang ditetapkannya.
b. Kasus
Drs Zulfikar Direktur PT Suka Bangun yang bergerak di bidang usaha
real estate di kota Denpasar. Perusahaannya adalah perusahaan yang sah dan
dalam membangun perumahan ia selalu mengurus perijinan di Dinas Tata Kota
Denpasar. Berdasarkan persyaratan perijinan, serta gambar perencanaan (site
plan) PT (Persero) Bank Tabungan Negara Cabang Denpasar telah
mengeluarkan persetujuan kredit dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Dalam gambar perencanaan (site plan) sesuai dengan peraturan perundang­
undangan yang berlaku, dicantumkan beberapa lokasi fasilitas umum dan
fasilitas sosial. Pada saat penyerahan perumahan kepada konsumen, Drs
Zulfikar ternyata tidak menyerahkan fasos dan fasum kepada konsumen, dalam
artian tidak ada pelepasan hak atas tanah­tanah yang di dalam gambar
perencanaan dicantumkan sebagai fasos dan fasum, bahkan sebagian dari tanah­
tanah tersebut telah disertifikatkan atas namanya sendiri, dan dijual kepada
pihak ketiga. Delapan tahun kemudian, para kreditur menyadari bahwa mereka
telah menjadi korban penipuan dan penggelapan. Untuk itu, para konsumen
yang merasa dirugikan melaporkan kasusnya ke Poltabes Denpasar.
c. Pertanyaan :
Cermati kasus di atas, apakah kasus tersebut termasuk kasus pidana atau
sengketa perdata !
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 ­109
Pertemuan ke 12 :
a. Alasan Gugurnya Hak menuntut Pidana Diluar KUHP
Alasan gugurnya hak menuntut pidana di luar KUHP, adalah abolisi dan
amnesti, yang diatur dalam UUD dan hanya dapat diberikan oleh kepala

21

negara. Abolisi merupakan kewenangan kepala negara berdasarkan UU untuk
menghentikan atau meniadakan tuntutan, sedangkan amnesti merupakan
wewenang kepala negara dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghapuskan
semua akibat hukum dari orang­orang yang melakukan tindak pidana. Abolisi
hanya rnenggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana.
Amnesti : mempunyal akibat hukum yang jauh lebih luas, sebab amnesti dapat
diberikan kepada mereka yang sudah dipidana maupun yang belum dipidana.
Artinya : tidak hanya tindakan penuntutan yang ditiadakan akan tetapi semua
akibat hukum yang berupa apapun ditiadakan juga. Sedangkan yang dimaksud
UU adalah bahwa apabila Presiden hendak memberikan amnesti dan abolisi
harus diberikan dengan U.U., artinya harus dengan persetujuan DPR. Jadi UU
nya harus diadakan lebih dahulu sebelum memberikan abolisi dan amnesti.
Yang jelas, pemberian abolisi dan amnesti berkaitan erat dengan kepentingan
negara
b. Kasus
Khairudin dan Hasannudin adalah orang­orang yang ditangkap karena
melakukan kegiatan kejahatan politik dalam era pemerintahan Presiden Abu
Nawas. Terhadap kedua orang tersebut, Khairudin masih dalam proses
penyidikan sedangkan Hasannudin telah diperiksa di pengadilan dan dalam
pemeriksaan sidang pengadilan, Hasanuddin terbukti melakukan tindak pidana.
Kemudian terjadi reformasi di negaranya. Presiden Abu Nawas turun dan
digantikan oleh Presiden Balang Tamak. Presiden Balang Tamak, ternyata
mengambil sikap berbeda dengan Presiden Abu Nawas, dengan memberikan
abolisi kepada Khairudin dan Amnesti kepada Hasanuddin.
c. Pertanyaan :
Apakah dalam pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus di atas, tindakan
Presiden Abu Nawas dapat dibenarkan ?
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 ­109

22

Pertemuan ke 13 :
a. Hal­hal yang Menyebabkan Gugurnya Hak untuk Menjalankan Pidana
Ada 2 alasan yang menyebabkan gugurnya hak untuk menjalankan
pidana, yaitu matinya terhukum (Pasal 83 KUHP), dan kedaluwarsa (Pasal 84 ­
85 KUIIP). Lamanya kedaluwarsa yang dapat menggugurkan hak untuk
melaksanakan pidana adalah 2 tahun bagi segala pelanggaran; 5 tahun bagi
kejahatan­kejahatan yang dilaksanakan dengan alat­alat pencetak ; 1/3 lebih
lama dari jangka waktu kedaluwarsa yang dapat menggugurkan menuntut
pidana bagi lain­lain kejahatan. Sehingga berdasarkan ini maka perhitungan 8
tahun untuk kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan, penjara yang
tidak lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 2 dan tambah dengan 1/3 tahunnya). l6
tahun untuk kejahatan yang diancam pidana penjara yang lebih dari 3 tahun
(Pasal 78 ayat (3) dan tambah dengan 1/3 nya/tahunnya). Akan tetapi mengenai
lamanya jangka waktu ini terdapat pembatasan yaitu bahwa lamanya untuk
menggugurkan hak untuk menjalankan pidana sekali­kali tidak boleh dikurangi
dengan/kurang dengan lamanya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim
(Pasal 84 ayat 3). Oleh karena itu hak untuk menjalankan pidana penjara seumur
hidup tidak dapat gugur karena kedaluwarsa, juga hak untuk menjalankan
pidana mati tidak dapat gugur karena kedaluwarsa (Pasal 84 ayat 4).
b. Kasus
Ali seorang redaktur koran kenamaan di kota Medan, pada tahun 2000
melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang korbannya adalah
seorang artis ibu kota bernama Diana. Pada tahun 2002, Diana melaporkan
perbuatan Ali ke Polisi, namun dengan alasan tidak cukup bukti, penyidikan
terhadap kasus tersebut tidak dilanjutkan. Pada tahun 2005, berkat penjelasan
seorang ahli (saksi ahli), polisi memperoleh bukti­bukti baru dan menurut
penilaian polisi dan jaksa, benar perbuatan Ali merupakan tindak pidana.
c. Pertanyaan :
Apakah tindakan yang dilakukan Ali termasuk kategori tindak pidana
dengan menggunakan alat percetakan ? Kalau ’ya’ tentukan kapan gugurnya
hak menuntut pidana !
d. Bahan Bacaan
1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

23

2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab
Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar
Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992.
Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 ­109
Pertemuan ke 14 :
a. Grasi dan Rehabilitasi
Grasi merupakan hak kepala negara untuk memberikan pengampunan
kepada orang yang telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap. Grasi
tidaklah menghilangkan putusan hakim, dalam artian putusan hakim tetap ada,
tetapi pelaksanannya ditiadakan/dihilangkan atau dikurangi ataupun jenis
pidananya dirubah. Sesuai dengan prinsip bahwa pengadilan adalah badan yang
berdiri sendiri dan bebas, maka Kepala Negara sebagai badan eksekutif tertinggi,
tidak dapat menghilangkan/meniadakan keputusan hakim. Apabila Kepala
Negara berpendapat bahwa keputusan hakim itu terlalu keras/tinggi, maka
Kepala Negara hanya dapat meringankan pelaksanaannya saja dari keputusan
hakim itu, yaitu dengan jalan: 1) tidak mengeksekusi seluruh putusan; 2) hanya
mengeksekusi sebagian saja dan putusan ; dan 3) mengadakan komutasi, yaitu
jenis pidana dirubah/diganti, misalnya pidana mati diganti menjadi pidana
penjara seumur hidup, pidana penjara diganti dengan pidana kurungan, pidana
kurungan diganti dengan pidana denda. Rehabilitasi berarti mengembalikan
terpidana pada kedudukan semula.
b. Kasus
Amrozy, Mukhlas dan Imam Samudra adalah tiga terpidana mati pelaku
peledakan Bom Bali pada tahun 2002. Ketiganya saat ini sedang menunggu
eksekusi di Lembaga pemasyarakatan Batu Nusa K