Arti Kata Pangan Sebuah Catatan Info P

Pangan. Kata itu terdengar akrab sekaligus asing pada saat yang sama. Dalam
penggunaannya, pangan menjadi kata yang kedengarannya penting ketika diucapkan
oleh kelompok elit dari kalangan pemerintahan tetapi sontak terabaikan ketika
dihayati dalam keseharian masyarakat jelata. Ada apa dengan Pangan? Arti Kata
Pangan, sebuah catatan lepas.

Istilah apa yang akan dipakai untuk membahasakan "bahan, biasanya berasal dari
hewan atau tumbuhan, yang dimakan oleh makhluk hidup mendapatkan tenaga dan
nutrisi": pangan atau makanan? Pilihan Wikipedia Indonesia, jelas: Makanan. Coba
ketikkan url https://id.wikipedia.org/wiki/Pangan. Anda akan dialihkan (di-redirect)
ke halaman https://id.wikipedia.org/wiki/Makanan.
Apakah kedua kata itu (oleh Wiki) dijelaskan dengan satu halaman perujuk saja
karena memang artinya sama? Entahlah. Belum ada keterangan 'resmi' tentang itu.
Menariknya, KBBI daring pun 'berperilaku' sama. Ketikkan pencarian arti kata
"pangan". Jawabannya singkat, cuma beberapa kata: makanan, bla bla bla. Tetapi,
coba sebaliknya: ketikkan kata: "makan.an". Jawabannya panjang, bahkan panjang
sekali; tidak ada kata pangan di sana.[1]

Oke-lah. Itu kata Wiki dan KBBI. Bagaimana dengan Anda? Kata mana yang akan
dipilih ketika artinya merujuk ke terjemahan yang tadi, pangan atau makanan? Lidah
dan telinga Timur akan mendesak saya untuk memilih kata yang kedua. Betapapun,

kata "makanan" terdengar lebih akrab di telinga dan mudah untuk dilafalkan serta
diingat ketimbang kata pertama. Entah mengapa, "pangan" lebih terkesan
kata Jawa yang tidak belum saya mengerti.
Pangan vs Makanan
Kalau Anda juga punya pendapat yang sama, kita tidak sendiri. Oh, iya. Sebelumnya,
perlu ditegaskan, ini bukan soal Jawa dan non-Jawa. Ini tentang kata mana yang lebih
dipilih untuk membahasakan "segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam
tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau
mengatur semua proses dalam tubuh" (Lihat terjemahan KBBI daring).
Tunggu dulu! Kita tidak sendiri? Ya, mari kita ukur dari kata mana yang paling
banyak tersedia di mesin pencarian (Google). Dalam pencarian tertanggal 10 Agustus
2015 melalui google.com tercatat, pencarian atas kata "makanan" terhitung sejumlah
72.200.000 hasil dalam 0,21 detik. Sementara, untuk pencarian kata "pangan"
terhitung sejumlah 3.890.000 hasil pencarian dalam 0,25 detik. Beda jauh, bukan?
Itu dari sisi "berapa banyak hasil pencarian". Bagaimana jika dibandingkan dari sisi
"berapa banyak orang yang mencari" kedua kata itu? Baiklah. Mari kita sedikit
membolak-balik lemari arsip Google Trends untuk menjawab pertanyaan itu.
Kebetulan, saya punya salinan arsipnya (capture) dari tanggal 7 Agustus 2015.

Grafiknya tegas dan perbedaannya jelas. Pangan (yang diwakili garis biru), kalah jauh

dibanding kata Makanan (yang diwakili garis merah). Perbedaan itu juga terkesan
semakin melebar dari waktu ke waktu. Sepanjang 2013, rasio perbandingannya 82:4.
Di tahun berikutnya, sedikit berkurang menjadi 78:4. Namun, di tahun 2015 yang baru
memasuki paruh kedua, Google Trends mencatat rasio perbandingannya membengkak
menjadi 91:4.[2]
Mungkin jawaban sederhana atas pertanyaan, "kenapa bisa begitu?" adalah karena
karena kata "pangan" merupakan kata serapan dari bahasa daerah (Jawa) dan karena
itu hanya (renyah ketika) dipakai di lingkup tertentu. Tetapi jawaban itu tidaklah
memuaskan. Misalnya, bagaimana dengan kata "Galau"? Kata serapan dari bahasa
Minangkabau itu kini telah jamak dipakai, umum dipahami, dan renyah diucapkan
terlebih di beranda-beranda jejaring sosial.[3] Berbeda dengan galau, untuk menulis
kata pangan di dinding status media sosial, mungkin perlu ditambahkan hastag
#ApaSih di belakangnya. #Glek.
Bermula Dari Kata Yang Sama: Makan

Berpaling ke Google Terjemahan untuk mencari pembenaran, ternyata tidak banyak
membantu. Google terjemahan tetap menempatkan kata "pangan" di kasta kedua
setelah kata "makanan" untuk terjemahan instan dari kata bahasa Inggris food (lihat
gambar).[4] Meski begitu, FAO (Food and Agriculture Organization), yang berada di
bawah naungan PBB, tidak diterjemahkan dengan Organisasi Makanan dan Pertanian,

tetapi malah Organisasi Pangan dan Pertanian.

Jika Food diterjemahkan dengan makanan dan pangan, dan jika pangan = makanan,
mungkin ada baiknya jika penelusuran lanjutan atas tanya yang tersimpan sejak awal
catatan ini difokuskan pada kata kerja (verba) yang menjadi asal dari kedua kata
itu: makan. Oleh Wiki, kata dasar "makan" dipakai dalam 4 (empat) bahasa: Banjar,
Indonesia, Malaysia, dan Swedia.[5]
Mari kita singkirkan rujukan untuk penggunaan kata makan dalam bahasa Swedia
(yang diterjemahkan sebagai 'bentuk singular dari istilah wanita yang telah menikah).
Kata "makan", baik dalam bahasa Banjar, Indonesia, dan Malaysia, diterjemahkan
dengan arti yang sama: to eat (consume). Wiki menjelaskan, secara etimologis, kata
"makan" dalam ketiga bahasa itu (Banjar, Indonesia, dan Malaysia) merupakan kata
yang diturunkan dari rumpun bahasa Proto-Malayic (*makan), lebih jauh lagi

dari Proto-Malayo-Polynesian (*kaən), dan dari rumpun bahasa ProtoAustronesian (*kaən).
Dalam perjalanannya, kata "makan" dalam bahasa Indonesia adalah kata yang
"diambil" dari bahasa Melayu (Proto-Malayic). Kemudian, kata itu menjadi umum
digunakan di seantero nusantara, mengingat bahasa Melayu adalah bahasa pengantar/
bahasa pergaulan (Lingua franca) di daerah jajahan Belanda. Kata "makan" (bahasa
Indonesia) bahkan juga diserap ke dalam bahasa Belanda, dan sampai sekarang masih

menjadi salah satu kata bahasa Belanda yang diserap dari bahasa Melayu (Indonesia).
[6]
Jadi, begitulah. Saya, yang dalam bahasa daerah membahasakan to
eat dengan ghan (kata bahasa Manus - Manggarai Timur - Flores), kemudian lebih
akrab dengan kata makan karena sejak awal kata itu dipakai sebagai bahasa pemersatu
di seluruh nusantara. Kira-kira begitu.
Lalu, bagaimana kata makan bisa dikaitkan dengan kata pangan?
Kata "Makan" Dalam Bahasa Jawa
Pembahasan pada bagian ini disumberkan dari sebuah artikel dengan judul yang
dikutip dengan persis.[7] Ternyata, dalam perbendaharaan kosa kata bahasa Jawa,
kata makan diungkapkan dengan banyak bentuk, seturut jenjang ngoko, krama,
dan krama inggil. Dalam pembahasannya sang penulis menjelaskan, minimal ada 6
(enam) kata bahasa Jawa yang dipakai untuk membahasakan kata makan,
yakni nothol, mbadhok, nyekek, mangan, maem dan dahar.
Dari segi penulisannya, kata yang paling dekat dengan kata pangan (makan.an) adalah
kata mangan (makan). Sang penulis juga menjelaskan, berbeda dari kata-kata yang
lain, kata mangan, memang lebih umum dipakai (catatannya: namun JANGAN
memakai kata ini untuk orang tua atau orang yang kita hormati). Mungkin itulah
alasan mengapa terjemahan falsafah makan tidak makan asal kumpul, dalam bahasa
aslinya diungkapkan dengan kata mangan dan bukan kata lain yang merujuk ke arti

yang sama (mangan ora mangan waton kumpul).[8]

Jauh sebelum kelompok musik Slank memperkenalkan lagu Makan Gak Makan asal
Kumpul dan lama sebelum kumpulan sketsa Umar Kayam berjudul Mangan Ora
Mangan Kumpul diterbitkan, kata Pangan sebenarnya sudah lebih dahulu terkenal
(diperkenalkan). Saya masih ingat, semasa SD di tahun 90-an, kata "pangan" sudah
termasuk dalam tiga serangkai kata sakti yang wajib dihafalkan terkait dengan
kebutuhan hidup manusia.[9]
Sandang, Pangan, Papan: pakaian, makanan, dan tempat tinggal adalah tiga istilah
yang dikaitkan dengan kebutuhan primer manusia berdasarkan tingkat
kepentingannya. Usut punya usut, rangkaian penyebutan ketiga istilah itu ternyata
berasal dari tradisi dalam masyarakat Jawa. Disebutkan, Sandang-PanganPapan adalah konsep yang biasanya melandasi kehidupan bagi orang Jawa. Kata-kata
tersebut biasanya terucap dari mulut orangtua kepada anak muda yang akan memulai
kehidupan baru dengan wanita yang di-idamkan.[10]
Tentang bagaimana konsep itu kemudian masuk ke dalam kurikulum pembelajaran
atau menjadi kata-kata sakti dalam kehidupan bernegara, mungkin akan kita telusuri
di lain waktu. Poinnya adalah, ketiga istilah yang diserap dari kosakata bahasa Jawa
tersebut dapat membahasakan secara singkat apa yang sebelumnya terlalu panjang-

lebar dirumuskan dalam penjabaran kebutuhan primer, kebutuhan yang amat sangat

dibutuhkan manusia dan sifatnya wajib untuk dipenuhi.
Hemat saya, karena sudah menjadi tugas negara untuk memastikan setiap warganya
tercukupi kebutuhan primer-nya, istilah sandang, pangan, papan yang singkat dan
mudah diingat itu kemudian diadopsi (diserap sebagai kata bahasa Indonesia) dan
diangkat sebagai kata-kata sakral yang dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat
nusantara.
Terpenjara: Saat Pangan Jadi Kata Sakral
Barangkali, itulah alasan mengapa kata galau lebih populer ketimbang kata pangan,
meskipun dua-duanya sama-sama anak angkat dalam keluarga kosakata bahasa
Indonesia. Pangan hanya "milik" lembaga-lembaga yang bertanggungjawab soal
'makanan' warganegara. Lihat saja variasi nama "Badan Ketahanan Pangan" yang
tersebar dari pusat hingga tingkat daerah. Mungkin hanya BPOM (Badan Pengawas
Obat dan Makanan) di jalan Percetakan Negara (Jakarta) itulah satu dari antara sedikit
lembaga negara yang mencantumkan kata "makanan" dan bukan "pangan" dalam
namanya.
Di tangan negara, arti kata pangan pun menjadi lebih luas ketimbang saat ia
dikandung bahasa aslinya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2012, arti kata pangan bahkan menjadi lebih 'menyeluruh' dan kompleks.
"Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah

maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan
lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman."[11]
Begitulah. Ijinkan saya mengatakan ini: kini kata pangan lebih terkesan milik
pemerintah dan birokrat (dan nama jurusan serta program studi di sejumlah
universitas). Ia bukanlah kata (seperti kata galau) yang dihidupi masyarakat (baca:
warganegara) dalam kesehariannya. Ia juga tercerabut dari asal kata-nya dan diberi
atribut yang lebih belibet dan rumit; pengertian yang hanya bisa dipahami oleh orangorang yang 'makan bangku sekolahan'. Jangan heran, ketika pemerintah teriakteriak soal kedaulatan pangan atau kemandirian pangan, teriakan itu adalah sesuatu
yang perlu dibahasakan ulang dalam sekian banyak proyek, seminar, atau matakuliah
untuk dapat dimengerti dan dijalankan bersama oleh segenap warga negara.

Ya. kenapa sih harus dibuat ribet? Misalnya, daripada harus pidato berapi-api tentang
"gerakan pangan berdaulat", kenapa tidak secara sederhana dibahasakan dalam istilah
aslinya. Bahwa negara kita harus mengusahakan sendiri makanan untuk warganya,
tanpa harus tergantung dari impor negeri tetangga. Bahwa semangat untuk
mengusahakan "makanan sendiri" (Kemandirian Pangan) harusnya menjadi sikap
mental semua warganegara agar nantinya kita tidak disebut "bangsa pengimpor" atau
bahkan "bangsa pengemis".
Sekian dulu.

Robert Bell. Thundang