RANGKUMAN SASTRA JAWA . DOCX

Limpakuwus, 11 Aprill
2017

FAJAR DIGITAL LIBRARY

SEJARAH, ISTILAH, CONTOH KARYA SASTRA JAWA DAN TERJEMAHANNYA

PENDAHULUAN
Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang
meliputi teori sastra ( membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra,
unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan
pemikiran sastra ), sejarah sastra ( membicarakan dinamika tentang sastra,
pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan cirri-ciri dari
masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).
Sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’,
yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti
alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata
sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah
susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang
berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang

indah dan sopan ).
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan
dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang
digunakan sehari-hari.
Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam, meliputi; Karya sastra yang berbentuk
prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dankarya sastra yang berbentuk drama.
Bicara mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih
berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap
manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang
indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Melihat sastra yang begitu banyak ragam dan begitu panjang sejarahnya, menarik bagi
kita untuk sedikit membahas tentang sastra jawa. Sastra yang sekarang ini tampak
terpinggirkan dikarenakan kepentingan kebangsaan kita.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 1 dari 97

Rumusan masalah



Sejarah perkembangan sastra jawa



Periode sastra jawa



Pengaruh islam dalam sastra jawa

PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Sastra Jawa
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah
Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan
nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis
dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang
berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah
sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).

Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
· Sastra Jawa Kuna
· Sastra Jawa Tengahan
· Sastra Jawa Baru
· Sastra Jawa Modern
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa
Tengahan. Selain itu, ada pulaSastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra JawaMadura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang
dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun
1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang
diutamakan.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 2 dari 97

Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal
dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau
Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama
Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis

bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa datang
ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.
Berbicara tentang sastra jawa, ternyata sastra Jawa tumbuh melalui beberapa fase, dari
Jawa kuno, Jawa menengah, hingga Jawa modern. Wujudnya juga beraneka ragam, di
antaranya berupa naskah filsafat dan keagamaan yang berbentuk prosa dan kakawin
yang berbentuk puisi. Tidak mudah untuk memahami karya sastra Jawa kuno dan
Jawa menengah. Itu memerlukan studi khusus karena berupa naskah kuno.
Cabang ilmu yang khusus tersebut adalah filologi. Menurut buku berjudul
Kalangwan, karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, filologi Jawa kuno selama ini masih
tetap terbentur pada kekurangan pengetahuan kita tentang bahasa dan latar belakang
sosial kulturalnya, sehingga banyak kata susah dipahami. Lewat karya-karya seni
inilah, para nenek moyang suku Jawa mengungkapkan ide-ide religius beserta
pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam.
Dahulu, seni menulis puisi di Jawa disebut kalangwan atau kalangon, yang jika
diartikan ke bahasa Indonesia berarti ‘keindahan’. Dinamakan keindahan karena
dengan menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang akan terhanyut akan
pesona untaian kata-kata, jiwa seakan melayang ke luar dari dalam dirinya (ekstasis –
‘lango’).
Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa kuno terutama berdasarkan piagam-piagam
dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-lempeng dari

perunggu. Tanggal yang tercantum di tulisan tersebut merupakan rangkaian kata yang
mengungkapkan gejala-gejala astronomis, misalnya prasasti Sukabumi:”Pada tahun
726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari
haryang(hari kedua dalam minggu yang memiliki jumlah hari enam), wage(hari
keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari lima), saniscara(hari keempat
dalam minggu yang memiliki jumlah hari tujuh) …” dan seterusnya.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 3 dari 97

Dalam prasasti-prasasti berikutnya, sistem penyebutan tanggal disempurnakan lagi,
sehingga juga menyebut tinggi bulan, sebuah planet tertentu, dan konstelasi maupun
konjunksi dua bintang.
Prasasti Sukabumi dibuat pada tanggal 25 Maret 804 Masehi dan merupakan prasasti
tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno yang ditemukan sampai saat ini. Maka
dari itu, tanggal tersebut merupakan tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa
kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa kuno dipakai dalam kebanyakkan dokumen resmi.
Bahasa Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa
Nusantara dan merupakan sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia. Di antara

bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah sekitar 250 macam, bahasa Jawa menduduki
tempat istimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad ke-9 dan ke-10.
Ada dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa kuno, yaitu adanya kata-kata yang
berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang secara linguistik termasuk suatu rumpun
bahasa yang lain sama sekali. Sifat kedua, walaupun pengaruh Sansekerta cukup
besar, dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap merupakan
suatu bahasa Nusantara.
Dalam buku Sanskrit in Indonesia, J Gonda membahas pengaruh bahasa Sansekerta
terhadap bahasa-bahasa nusantara. Dalam sebuah tinjauan umum dia mencatat:
“Secara linguistik pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia yang mengalami
proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran antara bahasa India
sehari-hari dan salah satu idiom bahasa Nusantara, melainkan suatu bahasa Nusantara
yang diperkaya dengan penambahan dan pencampuran kata-kata Sansekerta serta
sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih muda.” Selanjutnya, menurut Gonda,
puisi bahasa Jawa yang disusun dalam bentuk kakawin mengandung sekitar 25%
sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Walaupun persentase bahasa Sansekerta cukup besar dalam bahasa Jawa kuno, namun
melalui penelitian tidak dapat dibuktikan bahwa ini disebabkan adanya hubungan
perdagangan India-Indonesia dan penyebaran agama Hindu di Jawa. Bahasa
Sansekerta bukan bahasa sehari-hari, namun merupakan bahasa ilmu sastra, bahasa

sastra keagamaan Hindu, dan bahasa yang dipakai dalam lapisan atas, khususnya
istana.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 4 dari 97

Memakai kata-kata Sansekerta pada saat itu merupakan suatu mode, untuk menaikkan
status atau gengsi karena Sansekerta dianggap berasal dari kebudayaan yang lebih
tinggi. Alasan lain yang mendorong para pengarang memasukkan kata-kata
Sansekerta khususnya dalam puisi ialah keinginan mereka untuk memperkaya
kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah dalam puisi. Kaidah-kaidah itu seperti
metrum dan naik turunnya suara.
Pada waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat kekuasan
politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah. Sekitar tahun 930
Masehi, pusat itu bergeser ke arah timur dan sejarah Jawa Tengah berabad-abad
lamanya tidak dapat diketahui karena tidak ada karya seni atau karya arsitektur yang
dapat menceritakan kondisi pada waktu itu.
Jawa kuno mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa, Ketika pada akhir abad ke-17
Kerajaan Blambangan musnah dan kekuasaan Jawa dipegang oleh kekuasaan Islam,

maka tamatlah sastra Jawa kuno. Kondisi-kondisi agar sastra Jawa kuno dapat
bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan dari masa silam telah
lenyap. Ini disebabkan karena lenyapnya keraton-keraton, baik sentral maupun
regional, dimana karya sastra dipelihara dan terus-menerus diperbaharui oleh para
juru tulis. Selain itu disebabkan banyaknya karya sastra yang musnah pada saat
pergantian kekuasaan Hindu ke Islam.
Pada masa pancaroba itu hanya sedikit karya sastra yang dapat bertahan, di antaranya
Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada akhir abad ke-18 di kalangan kraton
Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang menghasilkan berbagai karya sastra seni
yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian terhadap sastra Jawa kuno telah surut.
Pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas kesusastraan telah tiada.
Kita patut berterima kasih kepada Majapahit. Kerajaan ini mengekspansi Bali dan
karya sastra Jawa kuno juga banyak tersebar di pulau ini. Di Bali, keraton-keraton
tetap menjadi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan tetap memperhatikan serta
mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.
Sastra-sastra yang termasuk sastra Jawa kuno dalam perkembangannya mengalami
banyak perubahan. Ada kata-kata yang tidak dipakai, banyak kata-kata baru,
perubahan semantis juga terjadi. Ini dapat kita amati setelah membanding-bandingkan
berbagai karya sastra. Namun bila kita membandingkan karya pada akhir abad ke-11,
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015


Halaman 5 dari 97

Arjunawiwaha, dengan karya pada akhir abad ke-15, Siwaratrikalpa (Lubdhaka),
ternyata sedikit sekali perbedaan dalam fonetika dan gramatikal. Hanya karena
Arjunawiwaha ditulis lebih dahulu dan Lubdhaka ditulis kemudian, maka karya kedua
itu disebut karya Jawa pertengahan. Istilah tersebut seolah-olah menggambarkan
bahwa Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan
suatu tahap peralihan antara Jawa kuno yang sering kita jumpai dalam kakawin klasik
dan bahasa Jawa modern pada abad-abad kemudian.
Pada sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada dua macam puisi, yaitu kakawin dan
kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan kidung
menggunakan metrum-metrum asli Jawa. Dalam bahasanya pun terdapat perbedaan.
Kakawin menggunakan bahasa Jawa kuno dalam arti sebenarnya, sedangkan kidung
menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun, kalimat tersebut tidak dapat dibalik,
seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa yang dipakai dalam kakawin dan Jawa
pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam kidung.

B. Periodesasi Sastra Jawa
Perioderisasi sastra Jawa masih merupakan bahan menarik untuk dikaji, terutama

jawa kuno dan jawa pertengahan. Kakawin walaupun digolongkan ke dalam sastra
Jawa kuno ternyata dapat bertahan hingga seribu tahun, karena adanya kaidah yang
ketat dalam penulisannya. Kakawin ditulis dalam sustu bentuk sastra Jawa kuno yang
khusus, dan setiap orang yang menulis sebuah syair sejenis itu berkewajiban untuk
meniru bahasa tradisional, walaupun bahasa itu dalam perputaran waktu telah manjadi
bahasa yang mati. Di Bali, setelah Majapahit runtuh, juga masih ditulis, sehingga
tradisi lokal di Bali menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan pada abad
ke-19. Ini menyebabkan kita tidak dapat menyimpulkan bahwa sastra kakawin
mencerminkan bahasa jamannya. Ini juga dialami oleh sastra Jawa pertengahan. Pada
kidung tidak dapat ditentukan tanggal penulisan. Kebiasaan penulis kakawin yang
menyebut nama raja serta tanggal kejadian, tidak ditemui di kidung.
Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis
di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 6 dari 97

pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di
Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik

benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan
masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk
menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian
peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang
digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk
menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah
menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa
pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut
Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara
rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada
juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku
dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong
berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi
sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal.
Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan
karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad,
Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra
kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta,
perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di
Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat
itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karyakarya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca,
Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta,
Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut
hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 7 dari 97

dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan
kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita
dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas
dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak halhal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan
masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai
bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini.
Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya halhal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih
banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang
mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat
menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.
1. Periodesasi Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang
ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9
sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis
baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini
mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan
kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskripmanuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara
prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus
diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya

sastra

Jawa

termasuk Candakarana, Kakawin

penting

yang

Ramayana dan

ditulis

pada

periode

ini

terjemahanMahabharata dalam

bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskahnaskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di
Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di
Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 8 dari 97

Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19
awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania
Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga
tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie
beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa
Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra
Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa
Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno
dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.

2. Periodesasi Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa
dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis
karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak
pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang
adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti
Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin
mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab
karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau,
yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan.
Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah
masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan
agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini
juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 9 dari 97

3. Periodesasi Sastra Jawa Pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13
sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali
menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan
metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
 Tantu Panggelaran

 Kakawin Dewaruci

 Calon Arang

 Kidung Sudamala

 Tantri Kamandaka

 Kidung Subrata

 Korawasrama

 Kidung Sunda

 Pararaton

 Kidung Panji Angreni

 Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan

 Kidung Sri Tanjung

4. Periodesasi Sastra Jawa Moderen
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di
Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita
atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan
sebagainya.

Maka,

Barat; esai, roman, novel,

lalu
dan

muncullah

karyasastra

sebagainya. Genre yang

seperti
cukup

di

populer

Dunia
adalah

tentangperjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan
utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata
Belanda.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 10 dari 97

Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak
berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi
standar di pulau Jawa.

C. Pengaruh Islam Dalam Sastra Jawa
Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang
bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya
sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana
memberikan

berbagai

petunjuk/nasehat

yang

secara

subtansial

merupakan

petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.
Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman
para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para
pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19)
belum

sebanyak

seperti

sekarang

ini,

sehingga

dalam

menyampaikan

petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai
pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini
berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan
Majapahit yang hindu.
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga
keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang
berbentuk tembang/sekar Macapat.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa diIslamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu :
Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk
agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).
Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah
keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 11 dari 97

warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya
sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada
zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad,
masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya.

PENUTUPAN
Dengan gambaran singkat mengenai pembahasan dalam makalah ini, maka di
harapkan dapat menambah wawasan para pembaca mengenai Sastra Jawa, sehingga
pengetahuan akan semakin kuat dan mengakar dalam hati para pembaca.
Kami memahami bahwa dalam makalah ini masih banyak ditemui banyak kekurangan
dan banyak hal yang harus diperbaiki. Maka dari itu, kami maengharapkan adanya
saran dan kritik yang bersifat membangun agar dapat menjadi bahan evaluasi kami
dalam menyusun makalah sehingga dikemudian hari dapat tercipta makalah yang
lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers,
1987.
Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960.
Subalidinata, Kawruh Kasusastran Jawa, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,
1994,
Suryadi, Linus, Dari Pujangga ke Pengarang Jawa, Yogyakarta: Pustaka Belajar,
1995.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 12 dari 97

Tajdrasasmita, Dr. H. Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik, Jakarta: Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006.
http://www.geocities.com/sesotya_pita/basa/wangsalan.htm
http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.htm

ISTILAH DALAM SASTRA JAWA
Dibawah ini adalah istilah – istilah yang sering kita jumpai dalam karya sastra Jawa.
1.

Babad: sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa; digunakan untuk pengertian yang
sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita,
sajarah (Sunda), hikayat, silsilah, sejarah (Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia).

2.

Bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan
pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. gancaran: wacana
berbentuk prosa.

3.

Gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.

4.

Gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan
isi atau inti.

5.

Guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa (tembang
macapat).

6.

Guru lagu: (disebut juga dhong-dhing) aturan rima akhir pada puisi tradisional
Jawa.

7.

Guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.

8.

Janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk
memaparkan tokoh atau situasi adegan.

9.

Japa mantra: mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 13 dari 97

10. Kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna
konotatif: ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar,
paribasan,bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
11. Kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India;
salah satu unsure pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek
(guru dan laghu).
12. Kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap
bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum
yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari
satu pola metrum.
13. Macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk
tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata
maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola
metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola
susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;secara tradisional terdapat 15
pola metrum macapat,yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma,pangkur,
mijil, kinanthi, maskumambang, pucung, jurudemung, wirangrong, balabak,
gambuh, megatruh, dan girisa.
14. Manggala: “kata pengantar” yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks;
dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi
pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan
penulisan, serta–meskipun tak selalu ada–penanggalan saat penulisan dan nama
penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks
sastra Jawa baru.
15. Pada: bait parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka
(sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun (Melayu).
16. Parikan lamba: parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra
purwaka dan gatra tebusan.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 14 dari 97

17. Parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra
purwaka dan gatra tebusan.
18. Pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
19. Pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana
berbentuk prosa.
20. Panambang: sufiks/akhiran.
21. Panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna
(Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
22. Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung
perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
23. Pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
24. Pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra
Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang
menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir
dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata),
mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara,
bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal
yang ‘kasar’ dan ‘halus’), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif
bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan
tajam).
25. Saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan
pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
26. Saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma
(Senen), Buda (Rebo),Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
27. Sasmitaning tembang: isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat
muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 15 dari 97

bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang
digunakan pada pupuh berikutnya.
28. Sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan
mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
29. Sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat
seperti–terutama–pembaitan secara ketat.
30. Sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran,terutama moral.
31. Sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun,
baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki
ekuivalen dengan angka secara konvensional.
32. Singir: syair dalam tradisi sastra Jawa.
33. Sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang
memperolehnya.
34. Suluk: (1) jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran
gaib yang bersumber pada ajaran Islam; (2) wacana yang ‘dinyanyikan’ oleh
dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan ’suasana’ tertentu sesuai
dengan situasi adegan.
35. Supata: kata atau suara yang ‘menetapkan kebenaran’ dengan bersumpah.
36. Tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.
37. Wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib,
biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
38. Wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon
bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
39. Weca: kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa
mendatang.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 16 dari 97

40. Wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.

CONTOH KARYA SASTRA JAWA DAN TERJEMAHANNYA
SERAT TRIPAMA
PENDAHULUAN
Serat Tripama (tiga suri tauladan) adalah karya KGPAA Mangkunegara IV (18091881) dei Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak
7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri),
Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Karna)
Bagi yang tidak mengenal dunia wayang memang agak sulit memahami apa dan siapa
ketiga tokoh tersebut. Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut “Patih Suwanda” adalah Patih
dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati pada era sebelum Sri Rama tokoh
dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam kegagahberaniannya,
mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh
tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka.
Kumbakarna adalah adik dari Prabu Dasamuka raja Ngalengkadiraja (Alengka),
walaupun berbentuk raksasa tetapi tidak mau membenarkan tindakan kakaknya yang
angkara murka dengan menculik Dewi Shinta. Walaupun demikian pada saat kerajaan
Ngalengkadiraja diserang oleh musuh, yaitu Sri Rama dan pasukannya, Kumbakarna
memenuhi panggilan sifat ksatrianya, mengorbankan jiwa untuk membela tanah air.
Kumbakarna gugur membela negara, bukan membela kakaknya. Kumbakarna adalah
salah satu pelaku dalam kisah Ramayana.
Adipati Karna adalah tokoh dalam Mahabharata. Ia tidak membela Pandawa yang
saudara satu ibu melainkan membela Prabu Suyudana (Kurupati) raja Hastina untuk
membalas budi baik sang raja yang telah mengangkat derajatnya. Adipati Karna yang
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 17 dari 97

saat kelahirannya dibuang di sungai kemudian ditemu dan diangkat anak oleh kusir
Adirata, dijadikan adipati oleh Prabu Suyudana. Oleh sebab itu dalam perang besar
Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa yang ia tahu bahwa Kurawa
adalah pihak yang angkara murka. Sang Suryaputra gugur dalam perang tanding
melawan Harjuna, adiknya, satu ibu.
Secara ringkas, itulah kepahlawanan tiga ksatria dalam tiga jaman yang berbeda yang
diangkat oleh Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang terdiri dari 7 bait
tembang Dhandanggula: Bait pertama dan ke dua mengisahkan kepahlawanan
Kumbakarna, Bait ke tiga dan empat tentang Kumbakarna, Bait ke lima dan enam
mengenai Adipati Karna dan Bait ke tujuh adalah kesimpulan/penutup.

PATIH SUWANDA
Di atas telah dijelaskan secara ringkas apa dan siapa
Patih Suwanda yang pada masa mudanya bernama
Bambang Sumantri. Apa yang diserat oleh Sri
Mangkunegara IV dalam tembang Dhandanggula pada
(bait) ke satu dan ke dua adalah sebagai berikut:
Yogyanira

kang

anulada; Duk

para

ing

Prabu; Sasrabahu

prajurit; Lamun

bisa

sira

nguni

caritane; Andelira

Sang

ing

Maespati; Aran

patih

Suwanda;Lalabuhanipun; Kang ginelung triprakara; Guna kaya purun ingkang den
antepi; Nuhoni trah utama
Lire lalabuhan triprakawis; Guna bisa saniskareng karya; Binudi dadya unggule; Kaya
sayektinipun; Duk bantu prang Manggada nagri; Amboyong putri dhomas; Katur
ratunipun; Purune sampun tetela;Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri; Suwanda
mati ngrana.

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 18 dari 97

Seyogyanya para prajurit; Semua bisa meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu;
Andalan sang raja; Sasrabahu di negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasajasanya; Dikemas dalam tiga hal; Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun),
itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama.
Artinya dharmabakti yang tiga hal itu; Guna: bisa menyelesaikan masalah; Berupaya
untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika peperangan di negara Manggada; Bisa
memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada sang raja; Purun: Keberaniannya sudah
nyata ketika perang tanding (dengan Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda
gugur di medan perang.
Adapun kesimpulan nilai kepahlawanan Patih Suwanda dinilai dari tiga hal, yaitu:
Guna, Kaya dan Purun.
GUNA: Nuhoni trah utami dalam hal ini adalah menetapi keturunan orang utama,
yaitu ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu menyelesaikan masalah.
Unggul dalam segala hal.
KAYA: Disini disebutkan dalam peperangan berhasil memboyong putri Dhomas
(penafsiran disini tidak hanya memboyong putri domas yang 800 jumlahnya tetapi
juga harta rampasan perang)
PURUN: Kegagahberaniannya. Dasamuka adalah raja yang tidak tertandingi
kesaktiannya kecuali oleh titisan Wisnu (yang tak lain adalah Prabu Harjuna
Sasrabahu sendiri, tapi saat itu sang Prabu sedang bercengkerama dengan istriistrinya). Patih Suwanda berperang sampai titik darah penghasilan dan gugur di
palagan.

KUMBAKARNA
Telah

dijelaskan

Kumbakarna
kepahlawanannya.
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

secara
dan
Apa

ringkas

apa

bagaimana
yang

dirakit

dan

siapa

nilai-nilai
oleh

Sri

Halaman 19 dari 97

Pakubuwana IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke tiga dan empat adalah
sebagai berikut:
Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna
arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka,
dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan keguh ing atur yekti;
Dene mengsah wanara.
Kumbakarna kinen mangsah jurit; Mring kang raka sira tan lenggana; Nglungguhi
kasatriyane; Ing tekad datan purun; Amung cipta labuh nagari; Lan noleh yayah rena;
Nyang leluhuripun; Wus mukti aneng Ngalengka mangke; Arsa rinusak ing bala kapi;
Punagi mati ngrana.

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi tauladan yang baik; Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna
namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan;
Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya
(Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka) selamat; Dasamuka tidak mau mendengar
pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.
Kumbakarna diperintah maju perang; Kepada kakaknya ia tidak membantah; Karena
menetapi sifat ksatria; (sebenarnya) Tekadnya tidak mau; Hanya semata-mata bela
negara; Dan melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya; Sudah hidup mukti di negara
Ngalengka; Sekarang mau dirusak balatentara kera; Bersumpah mati di medan
perang.
Kesimpulannya adalah:
Walaupun Kumbakarna berwujud raksasa ia tetap ingin mencapai keutamaan. Ketika
terjadi peperangan ia berkali-kali menasihati kakaknya demi keselamatan kerajaan
Ngalengka, tetapi Dasamuka tidak pernah menggubrisnya. Akhirnya Kumbakarna
memilih menyingkir, dan bertapa tidur. Ketika senapati-senapati Ngalengka sudah
pada gugur, maka Kumbakarna dibangunkan paksa dan diperintah kakaknya untuk
maju perang. Menetapi watak ksatrianya, kumbakarna tidak membantah. Tekadnya
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 20 dari 97

hanya bela negara dan demi nenek moyangnya yang telah mukti di negara ngalengka
dan sekarang akan dihancurkan wadyabala kera. Lebih baik mati di medan perang dan
akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan.

SURYAPUTRA (ADIPATI KARNA)

Di atas telah dijelaskan secara ringkas apa dan siapa
Adipati

Karno

dan

bagaimana

nilai-nilai

kepahlawanannya. Apa yang dirakit oleh Sri Pakubuwana
IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke lima dan
enam adalah sebagai berikut:
Wonten

malih

kinarya

palupi;

Suryaputra

narpati

Ngawangga; Lan Pandawa tur kadange; Len yayah tunggil
ibu; Suwita mring Sri Kurupati; Aneng nagri Ngastina;
Kinarya gul-agul; Manggala golonganing prang; Bratayuda ingadegken senopati;
ngalaga ing Kurawa.
Den mungsuhken kadange pribadi; Aprang tanding lan Sang Dananjaya; Sri Karna
suka manahe; Dene nggenira pikantuk; Marga denya arsa males sih; Ira Sang
Duryudana; Marmanta kalangkung; Denya ngetok kasudiran; Aprang rame Karna
mati jinemparing, Sumbaga wiratama.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi yang dapat dijadikan teladan; Suryaputra Senapati dari Ngawangga; Dengan
Pandawa masih saudara; Lain bapak satu ibu; Mengabdi pada Sri Kurupati; Di Negara
Ngastina; Dijadikan andalan; Panglima di dalam perang; Diangkat senapati dalam
perang Bharatayuda; Berperang di pihak Kurawa.
Dihadapkan dengan saudaranya sendiri; Perang tanding melawan Dananjaya; Sri
Karna senang sekali hatinya; Karena bisa memperoleh; Jalan untuk membalas budi;

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 21 dari 97

Sang Duryudana; Maka ia dengan sangat; Mengeluarkan semua kesaktiannya; Perang
ramai dan Karna gugur kena panah; Termasyhur sebagai prajurit yang utama.

Kesimpulannya adalah:
R Suryaputra adalah Adipati di Ngawangga, dengan Pandawa masih saudara satu ibu
lain bapak (Ayahnya adalah Batara Surya). Sejak lahir sampai dewasa tidak hidup
bersama Pandawa, tetapi dipelihara kusir Adirata. Karena kesaktian dan kesetiaannya
oleh Prabu Duryudana diberikan derajat yang tinggi. Menjelang perang Bharatayuda
Karna dibujuk oleh ibunya untuk berperang dipihak Pandhawa. Tetapi Karna berkeras
bahwa walaupun Pandhawa masih saudara dan berada di pihak yang benar, tetapi
sebagai ksatria ia harus membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Dalam
perang tanding dengan Harjuna yang dalam pedhalangan Jawa menjadi satu lakon
tersendiri “Karna Tanding” Karna mendapat kesempatan untuk membalas budi
rajanya. Ia berjuang mati-matian dan akhirnya gugur di medan laga kena panah R
Harjuna (Dananjaya)
PENUTUP
KGPAA Mangkunegara IV menutup Serat Tripama pada pada (bait) ke tujuh tetap
dengan Sekar Dhandanggula sebagai berikut:
Katri mangka sudarsaneng Jawi; Pantes lamun sagung pra prawira; Amirata
sakadare; Ing lelabuhanipun; Awya kongsi buang palupi; manawa tibeng nista; Ing
estinipun; Senadyan tekading budya; Tan prabeda budi panduming dumadi; Marsudi
ing kotaman.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ketiga pahlawan tersebut adalah teladan orang Jawa; Sepantasnya semua perwira;
Meneladani semampunya; Tentang dharmabhaktinya; Jangan sampai membuang
keteladanan; Bisa menjadi hina; dalam cita-citanya; Walau itu tekad pada jaman
dulu; Tidak berbeda budi para manusia; Mencari keutamaan
Kesimpulannya adalah:
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 22 dari 97

Ketiga pahlawan tersebut berada pada jaman yang berbeda dengan keteladanan yang
berbeda pula. Sri Mangkunegara IV berpesan supaya kita meneladani apa yang telah
dilakukan ketiganya semampunya. Janganlah kita membuang contoh baik tersebut
dalam mencari dan menetapi keutamaan seorang ksatria.

Secara keseluruhan, Patih Suwanda dikenal dengan kautaman triprakaranya: “Guna,
Kaya dan Purun”, kepandaian dan ketrampilan, kecukupan sebarangnya serta
keberaniannya. Sedangkan Kumbakarna mengedepankan “Bela negara” mungkin ini
yang kita kenal dengan “Right or wrong my country”. Adapun Adipati
Karna dikagumi karena kesetiaan dan komitmennya: “Setya mring sedya”, berani
mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen
walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang dia bela adalah pihak yang salah.

SERAT WULANG REH
Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wulang Reh
Secara harfahh Serat Wulang Reh berasal dari kata-kata : serat
yang berarti tulisan; wulang yang berarti pelajaran atau pendidikan;

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 23 dari 97

dan reh yang berarti perintah. Maksudnya adalah tulisan mengenai
pendidikan yang berisi pesan-pesan moral atau budi pekertih yang
menuntun

ke

arah

sikap

dan

perilaku

yang

baik.

Hal

itu

diungkapkan dalam berbagai ungkapanh seperti marsudeng budi
(mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi pekertinya);
patrap tata krama (perilaku sopan); tindak tanduk kang hutama
(perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang
mulia). Kebalikan dari itu adalah tindak tanduk kang nistha (perilaku
yang hina). Dengan demikian kandungan buku tembang Serat
Wulang

Reh

adalah

nilai-nilai

atau

pesan-pesan

moralh

yang

merupakan esensi dari pendidikan karakter (watak).
Dalam tradisi sastra Jawah buku-buku tembang pada umumnya
berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu
berbeda dengan gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat
hiburan. Dalam konteks masa kinih keinginan untuk menjadikan
nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi sebagai media pendidikan
nilai masih sering mengemukah tidak hanya dari kalangan pemikir
dan praktisi pendidikanh namun juga dari sebagian artis penyanyi itu
sendiri. Dalam majalah Kognisia; Media Aspiratif Kritis & Humanis,
Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UIIh yang bertajuk
“Mimpi Indah Masyarakat Etis” (No. 02 Tahun IIh September 2000)h
Franky Sahilatuah pelantun lagu Bis Kota, Kereta Malam, Orang
Pinggiran, dan Perahu Retak itu mengatakan bahwa ia lebih suka
berbicara tentang nilai-nilai dan realitas sosial. Ketika ditanya
pesannya untuk generasi muda yang bergelut di bidang seni musikh
ia mengatakan : “Pesan saya hanya satu. Kita harus mampu
mengangkat tema-tema lagu kita menjadi sarat dengan nilai-nilai.
Pemahaman terhadap realitas sosial pun harus kita tingkatkan”.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 24 dari 97

Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga
mengganggu pikiran Bimboh kelompok musikus yang melegendah yang
oleh Kompas diangkat dalam rubrik Tokoh Pilihan (Jumath 11
Sepember 2009). Ia mengemukakan kegelisahannya dalam melihat
karut-marut negeri ini. Ia merasakan bangsa Indonesia hari ini sudah
kehilangan rasa (roh) Indonesianya. Ada perubahan nilaih perubahan
karakter pada bangsa ini. Rasanya ini bukan bangsa Indonesia. Kita
kehilangan akhlak santunh budi pekertih kehilangan nuansa-nuansa
flosofsh spiritual. Bangsa ini yang sudah kehilangan rasa saling
menghargaih kehilangan rasa kebersamaan dan harmonih kehilangan
rujukanh

kehilangan

kecerdasan

dan

kecendekiwananh

dan

kehilangan cita-cita besarnya. Terlalu banyak yang hilang dari bangsa
ini. Yang tampak ke permukaan adalah individualish egoish sektarianh
maling-maling

bergentayangan/

koruptorh

kasar

dan

beringash

kehilangan sense of belonging, sense of responsibility, semangat proft
dan percaloanh criminal creative, etos kerja yang rendahh pintar
menuntuth pintar menyalahkan. Antar komponen masyarakat seolaholah ada sekath bahkan kesenjangan yang tajam.
Adapun Serat Wulang Rehh di dalamnya terdapat kandungan
nilai-nilai moral atau budi pekerti yang tersebar di 13 pupuh tembang
yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing tembang
dapat diungkapkan sebagai berikut.

1.

Dandanggula
Pupuh Dandanggula terdiri dari 8 pada/bait yang berisi pesanpesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingnya setiap orang memahami pesanh isyarath atau
pelajaran

dalam

hidupnyah

agar

manusia

mampu

menjalankan peran kemanusiaannya.
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 25 dari 97

o Al Quran adalah sumber spirit yang benarh yang tidak semua
orang mampu memahaminya kecuali atas petunjuk-Nya.
Untuk memahami kandungan Al Quranh orang tidak boleh
ngawur, melainkan harus berguru.
o Seorang guru harus mempunyai karakter khusush yaitu baik
budi

pekertinyah

mematuhi

hukum

(aturan

agama)h

beribadahh dan suka menolong. Lebih baik lagi jia ia seorang
pertapah yang sifatnya amungkul (tidak melihat ke atas dalam
urusan duniawi; tidak sombong)h dan tidak memikirkan
pemberian orang lain.
o Seseorang yang mengajarkan ngelmu (pengetahuanh wawasanh
kebijaksanaan) harus bersumber pada dalil (Al Quran)h Al
Haditsh Ijma’h dan Qiyas.
o Sindiran terhadap kecenderungan yang sudah terjadi pada
saat itu, yaitu guru mencari muridh sedangkan seharusnya
murid mencari guru.
o Sindiran terhadap orang yang belum matang ruhaninyah
namun

telah

menganggap

dirinya

setara

pujangga.

Omongannya tidak karuanh namun ia tak sadar bahwa orang
lain mencibirnya. Terhadap orang seperti itu perlu dinasehati
dengan halush agar dapat menangkap pelajaran.
Dari 8 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait kelimah berisi tentang karakter ideal seorang guruh
yang hingga kini masih sering dijadikan rujukan dalam wacana
etika guru. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai
berikut.

Lamun sira hanggeguru kaki
hamiliha manungsa kang nyata
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 26 dari 97

hingkang becik martabate
sarta kang wruh hing kukum
kang ngibadah lan kang wirangi
sukur oleh wong tapa
hingkang wus hamungkul
tan mikir pawehing liyan
iku pantes sira guranana kaki
sartane kawruhana

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :

Jika kalian berguruh ananda
pilihlah manusia yang sunguh-sungguh
(yang) baik martabatnya
serta yang tahu hukum (aturan agama)
yang taat beribadah dan suka menolong
akan lebih baik jika mendapati seorang pertapa
yang sudah menunduk (tidak melihat ke atash tidak sombong)
tidak mengharap pemberian orang lain
itulah orang yang pantas kau jadikan guru
maka hendaknya kalian ketahui

Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
becik martabate (baik budi pekertinya); wruh ing kukum
(mematuhi

hukum/perintah

agama);

ngibadah

(beribadah); wirangi (suka menolong); hamungkul (tidak
melihat ke atas dalam urusan duniawi; tidak sombong);
FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 27 dari 97

tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian
orang lain)
b. Karakter yang buruk :
cumanthaka (lancang); basa kang kalantur (pembicaraan
yang tidak terkontrol).
2.

Kinanthi
Pupuh Kinanthi terdiri dari 16 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingnya melatih ketajaman hati (kecerdasan emosional dan
spiritual) agar mampu menerima petunjukh pesanh atau
pelajaran.
o Ketajaman hati itu dicapai melalui kebiasaan tidak terlalu
banyak makan dan tidurh tidak menuruti segala kesenanganh
hidup sederhana/ sesuai kebutuhanh menumbuhkan jiwa
kesatriah dan mampu mengendalikan diri.
o Seorang pemimpin tidak boleh tinggi hati dan tidak berdekatdekat dengan orang yang mentalnya buruk. Sementara ituh
meskipun terhadap orang yang rendah kedudukannyah jika
kelakuannya terpuji dan banyak wawasanh maka ia perlu
didekati.
o Lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perkembangan kepribadian atau karakter anak-anak muda.
Pengaruh yang buruk disebut sebagai panuntuning iblis.
o Anak-anak muda hendaknya suka jejagongan (bertukar fkiran)
dengan orang-orang yang lebih tuah serta mendengarkan
petuah atau cerita mereka.
o Kritik untuk anak-anak muda yang pada saat itu gejalanya
telah mengabaikan sikap rendah hati (handap hasor)h bahkan
lebih menunjukkan sifat congkakh sombongh dan arogan.

FAJAR DIGITAL LIBRARY FOR SASINDO 2015

Halaman 28 dari 97

Dari 16 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait pertama dan kedua tentang petuah untuk menahan
(membatasi) makan dan tidurh yang diulang hingga tiga kali
dal