TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL Internasional. Perspektif

TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Teori hubungan internasional adalah studi hubungan
internasional dari sudut pandang teoretis; studi ini berusaha
memberikan kerangka kerja konseptual sehingga hubungan
internasional dapat dianalisis.[1] Ole Holsti mendeskripsikan
teori hubungan internasional bertindak sebagai sepasang kaca
mata berwarna, sehingga si pemakai hanya bisa melihat
peristiwa-peristiwa menonjol terkait dengan teori tersebut.
Seorang penganut realismemungkin menolak penuh suatu
peristiwa yang dianggap krusial oleh seorang konstruktivis, dan
sebaliknya. Tiga teori paling populer adalah realisme,
liberalisme, dan konstruktivisme.[2]
Teori hubungan internasional dapat dibagi menjadi teori
“positivis/rasionalis” yang berfokus pada analisis tingkat
negara, dan “pascapositivis/reflektivis” yang mencakup arti
keamanan yang lebih luas, mulai dari keamanan kelas, jenis
kelamin, hingga pascakolonial. Banyak cara berpikir yang
bertentangan dalam teori HI,
termasukkonstruktivisme, institusionalisme, Marxisme, neoGramscianisme, dan lain-lain. Bagaimanapun juga, dua
pemikiran positivis muncul sebagai teori dominan,

yaitu realismedan liberalisme; meski konstruktivisme terus
memosisikan diri sebagai arus utama.[3]
TEORI-TEORI DALAM ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Teori-teori Utama Foreign policy adalah Realisme
Neorealisme Idealisme Liberalisme Neoliberalisme Marxisme
Teori dependensi Teori kritis Konstruksivisme Fungsionalisme
Neofungsiionalisme
Secara garis besar teori-teori foreign policy dapat dibagi
menjadi dua pandangan epistemologis “positivis” dan “pascapositivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metodemetode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak
kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus
berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran
kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lainlain. Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia
sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebasnilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neorealisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan
alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam
dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” foreign policy adalah tidak
mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah
bahwa sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme,
menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat

(seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori
pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaanpertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang dimaksudkan
dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya,
bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan

direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering
mempromosikan pendekatan normatif terhadap foreign policy,
dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu
yang sering diabaikan dalam foreign policy “tradisional” karena
teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta”
dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama
periode akforeign policyr 1980-an/1990 perdebatan antara para
pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori
pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan disebut
sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga.
Pengertian Konstruktivisme (Sosial konstruktivisme)
Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan
identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk
dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian
pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena

wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan
kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang
menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of
behavior),sedangkan konstruktivisme sosial muncul sebagai
sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan
liberalisme. Teori ini muncul sebagai penjembatan antara
perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan
neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme,
feminisme, critical theori.

Konstruktivisme sosial berada pada posisi tengah antara
meanstream utama realisme, neorealisme, liberalisme di satu
sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan teori,
konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational
choice dengan postmodernisme. Konstruktivisme berperan
penting dalam menjembatani perbedaan sudut pandang antara
kaum rasionalis dan reflektivis (Zehfuss : 252). Dengan
demikian, konstruktivisme sebenarnya mencoba memposisikan
dunia material tidak independen tetapi selalu berinteraksi
dengan dunia sosial dalam konteks sentral intersubyektivitas

dalam memposisikan mazhabnya sebagai penengah dari
berbagai teori HI.
Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan
bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang
secara alamiah ada dengan sendirinya dan independen dari
interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat
sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata
hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia. Asumsi yang
berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan
konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik
temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak
sepenuhnya alamiah dan tidak juga sepenuhnya nihil.
Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang
didasarkan oleh fakta yang secara materil bisa ditangkap
ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak
menuntun/tidak menentukan bagaimana kita melihat realitas

sosial. Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah
hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial).
Kritik Konstruktivisme terhadap Neoliberal & Neorealis

Kritik terhadap neoliberalisme
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik
terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut
membantu konstruktivisme dalam mebangun dan
mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang
rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga
asumsi orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orangorang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama,
neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan
adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya
mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan
perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah
bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan
identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki
internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme
membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam
agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji
perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan
kepentingan aktor
Kritik terhadap neorealisme


Neorealisme menurut pandangan Konstruktivisme adalah
matrealistis,yang dimaksudkan disini adalah power (kekuatan
militer) dan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara
sebagai pembentukan identitas yang dimiliki, tentu hal ini
sangat bertentangan dengan konstruktivisme. Konstruktivis
memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan
bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan
identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan
identitas membentuk pemahaman negara dan merespon
kondisi di sekitarnya. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun
neoliberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu
yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak
mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan
kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di
antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan
merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun
neorealis dan neoliberalis mengakui bahwa proses interaksi
mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas
dan kepentingan


Asumsi dasar Konstruktivisme
Pandangan tentang negara

Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan
pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan
lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara
misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik,
ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan
hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan
oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negaranegara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara
terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan
terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman
terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap rekannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme
memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional,
sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada
perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu
terbentuklah apa yang disebut dengancollective meanings.
Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya
intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada

akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Pandangan Konstruktivisme mengenai negara menurut
Alexander Wendt adalah sebagai berikut :
(1) Negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori politik
internasional
(2) Struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat
intersubyektif, daripada bersifat material

(3) Identitas dan kepentingan negara lebih membangun
struktur-struktur sosial tersebut, dari pada diserahkan secara
eksogen pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik
domestik.
Pandangan anarki dalam sistem Internasional
“Anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal
tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis
yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur
interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena
yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negaranegara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi
oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup
dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”)

maka sistem tersebut akan dikarakterkan
denganpeperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai
dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan
eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi
negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak
mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut
pendapat para pakar HI non-realis. Para pendukung pascapositivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan
mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan
konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis
yanglain.Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki
adalah sebuah efek dari praktik pemikiran konstruktivis reguler
“anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”

Peranan Ide dalam Hubungan Internasional
Bagi perkembangan hubungan internasional teori mengenai
konstruktivisme memberikan suatu“brainstorming” bagi teoriteori yang lainnya. Kehadiran konstruktivisme yang sering
disebut sebagai perantara antara teori-teori rasionalis dengan
reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan cara
pandang baru atas realitas hubungan internasional. Pendekatan
konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat

terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin
kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi
alternatif tool of analysis yang cukup diperhitungkan ketika
pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa
menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara.
Pandangan tentang perang dan damai
Konstruktivisme memberikan sumbangan untuk mengkaji
persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas tersebut
berkembang dan memberikan pemahaman bagi negara untuk
merespon kondisi sekitarnya. Konstruktivisme beranggapan
bahwa perang terjadi akibat adanya pilihan secara sadar dari
suatu negara.Interaksi yang terjadi antar negara saling
mempengaruhi sistem internasional.Perang tetap dapat terjadi
atas dasar keputusan negara,sedangkan keputusan yang telah
dibuat negara dipengaruhi oleh identitas dan kepentingan yang
dimiliki oleh negara tersebut. Faktor penyebab perang datang
dari berbagai aspek mulai dari ekonomi,politik dan sosial

Pandangan tentang Individu
Dalam teori Konstruktivisme Manusia adalah mahluk individual

yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas
manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya
dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling
memahaminya. Interaksi sosial antar individu akan
menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan.
Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan
hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut.
Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih
bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau
menerima sistem internasional, membentuk kembali model
relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan
berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam
speech acts.
Varian-varian Konstruktivisme
Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama,
konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran
yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik.
Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt,
memiliki kesamaan dengan neorealis dalam artian keduanya
memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara
sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses
yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut.

Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis
sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara
berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau
internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi
dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang
penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda
dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu
sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami
anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa.
(Alexander Wendt, Anarchy is what states make of it ,1992).
Konstruktivisme Level unit berusaha melihat hubungan
pengaruh norma-norma sosial dan legal di tingkat domestik
bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan
negara. Peter Katzenstein merupakan salah figur penting
konstruktivisme dari varian ini, Katzenstein berusaha
menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman
yang sama, sebagai negara yang kalah perang, mengalami
pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju
demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal
dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein,
perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma
sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara
tersebut. Sekalipun tidak mengabaikan peran peran norma
internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan
negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik
menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi
yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan

antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas
dan kepentingan negara-negara yang berbeda.( Peter
Katzenstein, Cultural Norms and National Security: Police and
Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany
in Europa (1999))
konstruktivisme holistik berusaha menjembatani kedua
posisi dua varian konstruktivisme yang bertolak belakang di
atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai
dua aspek berbeda dari tatanan sosial dan politik yang sama.
Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika
perubahan global terutama dalam kaitannya dnegan muncul
dan hancurnya negara berdaulat melalui hubungan timbal balik
antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini
ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard
Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam
politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari
puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada
pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka
pengetahuan (1986, 1993). Cara yang kedua diwakili oleh
karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang
Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan
mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena
besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang
bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung
bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai
salah satu preposisi ontologis konstruktivisme. Dalam artian ini,
gagasan, norma maupun budaya dipahami memiliki peran yang

sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari
keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia.
Realisme dan Neorealisme
·

Realisme sebagaimana seperti sebuah teori yang lain,

memiliki landasan pemikiran yang mendasar. Realisme sejak
pertama muncul sebagai sebuah teori terus mangalami
perubahan, terutama perubahan dalam memahami konsep
dasar, mulai dari teori realisme klasik yang dikemukakan oleh
Thucydides pada tahun 430-400 sebelum masehi sampai
dengan teori neorealisme yang dipopulerkan oleh Kenneth
Waltz pada tahun 1979 masehi.
·

Seiring perkembangan dalam studi Hubungan

Internasional, maka terjadi pula perkembangan atau mungkin
juga perubahan dalam teori realisme. Realisme klasik sebagai
teori realisme yang pertama muncul secara perlahan kemudian
berkembang dan berubah menjadi teori neorealisme. Dalam
realisme klasik dan neoklasik, pandangan subjektif dari para
pemimpin negara merupakan pusat perhatiannya. Realisme
klasik begitu menekankan pada asumsi dasar manusia yang
bersifat pesimis dan skeptis. Bahkan Morgenthau
merincikannya bahwa manusia itu jauh lebih mementingkan
dirinya sendiri. Namun sebuah teori realisme baru pada tahun
1979 muncul dengan pendekatan yang berebeda dari realisme
klasik dan neoklasik. Teori itu dinamakan teori neorealisme
yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz. Kenneth Waltz

memfokuskan pada struktur sistem dan bukan pada manusia
sebagai pencipta dan pengoperasi sistem.
·

Inti dari ajaran realisme adalah mengenai keamanan dan

kelangsungan hidup negara dimana hal ini semua dirangkum
dalam satu kata yang disebut “power”. Perbedaan pendekatan
mengenai gambaran power inilah yang akhirnya membedakan
aliran teori realis. Ketika para penganut teori realisme klasik
dan neoklasik berpendapat bahwa sesungguhnya power itu
adalah kekuatan militer, maka pro kontra mucul sebagai bagian
dari kritik terhadap realisme klasik dan neoklasik. Perkara
mengenai kekuatan militer sebagai power tidak dibenarkan
seluruhnya oleh para penganut realisme lain. Neorealisme
muncul sebagai pembenahan dari pendekatan realis klasik
mengenai power tersebut. Neorealisme melihat power bukan
hanya sekedar kekuatan sumber daya militer tetapi juga
dengan kemampuan memaksa dan mengontrol negara lain
yang berada dalam sistem, Adapun perbedaan mendasar
lainnya antara realisme klasik dan kontemporer, yaitu sikap
negara menghadapi kondisi anarkis. Bagi realis klasik,
sistemlah yang akhirnya menciptakan kondisi anarkis tersebut.
Namun sangat berbeda dengan neorealis yang melihat bahwa
kondisi anarkis itu adalah sistem itu sendiri. Maksudnya seperti
ini, dalam persepsi realis klasik, interaksi yang tercipta dan
diciptakan oleh aktor-aktor hubungan internasional -seperti
negara dan pelaksana berwenangnya, NGO, MNC, dll- telah
melahirkan sebuah sistem. Sistem inilah yang akhirnya
menciptakan kondisi anarki. Padahal kondisi anarki

internasional menurut realisme klasik yaitu tidak ada kekuatan
(negara) yang mengatur dunia ini sebab tidak boleh ada
kekuasaan yang berlebihan. Namun semua kembali kepada
sifat dasar manusia yang selalu merasa cemas akan keamanan
negara serta kepentingan nasionalnya, maka sistem yang
diciptakan manusia tersebut menjadi anarkis sebab banyak
terjadi pengabaian dalam pelaksanaan sistem tersebut.
Namun bagi neorealisme, negara-negara adalah para
pencari kekuasaan dan sadar keamanan, bukan karena sifat
dasar manusia tetapi lebih disebabkan karena struktur sistem
internasional mendorong mereka melakukan demikian. Sejak
dimulainya pemikiran mengenai tatakelola hubungan antar
negara terutama ketika teori realisme lahir, sebuah agenda
utama telah ditetapkan secara tidak langsung, yakni keamanan
nasional dan kelangsungan hidup negara. Agenda itu masih
tetap dipertahankan oleh seluruh saliran realisme, entah itu
realisme klasik maupun neorealisme. Mungkin terdapat sedikit
perbedaan dari cara melihat akar permasalahan serta
kesimpulan yang diambil.
Perspektif-perspektif dalam Hubungan Internasional
Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang
sama seperti :
1.

Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena

itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.

2.

Perhatian fundamental manusia terhadap perang

memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti
keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan
peradaban.
3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya
yang jahat tetapi lembaganya
yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi
orang untuk bertindak egois

dan merusak yang lainnya,

termasuk perang.
4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah
dengan menghapuskan lembaga yang
mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan
usaha
kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional
saja, oleh
sebab itulah
6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk
menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.

III. REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung
Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang
Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang
marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif
Realisme.
Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya
berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme.
Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat,
berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja
sama. I. CURRENT HISTORY
Hubungan internasional sebagai ladang penyelidikan
intelektual sebagian besar dipengaruhi fenomena abad ke-20.
Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik.
Sejarah diplomatik merupakan salah satu pendekatan
untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadiankejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk
kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History
terhadap studi HI.
Lingkungan pada awal abad ketika lahirnya studi HI dimulai
dengan optimisme. Banyak orang yakin bahwa perdamaian dan
kemakmuran akan hadir. Hukum internasional menguat dan
konferensi perdamaian Den Haag 1899 dan 1907 dipicu oleh

harapan bahwa persenjataan bisa diawasi dan Eropa takkan
mengalami perang lagi.
Namun harapan itu hancur karena Perang Dunia I yang pecah
mulai 1914. Pengalaman menyakitkan ini melahirkan
pencarian pengetahuan mengenai sebab-sebab perang,
misalnya, dalam konteks teori. Oleh karena itulah para
pengambil kebijakan dan pakar memerlukan sebuah
teori untuk meramalkan pecahnya perang dan
bagaimana mencegahnya.
IDEALISME POLITIK
Perang Dunia I membuka pintu terhadap revolusi paradigma
dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik
perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun
demikian aliran current history masih memiliki pengikutnya.
Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang
sama seperti :
1.

Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena

itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.
2.

Perhatian fundamental manusia terhadap perang

memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti
keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan
peradaban.

3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya
yang jahat tetapi lembaganya
yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi
orang untuk bertindak egois

dan merusak yang lainnya,

termasuk perang.
4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah
dengan menghapuskan lembaga yang
mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan
usaha
kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional
saja, oleh
sebab itulah
6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk
menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.
REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung
Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang
Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang

marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif
Realisme.
Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya
berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme.
Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat,
berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja
sama.
PENDEKATAN PERILAKU (THE BEHAVIORAL APPROACH)
Aliran realisme klasik menyiapkan secara serius pemikiran
teoritis mengenai kondisi global dan kaitan empiris. Namun
demikian ketidakpuasan karena kurangnya data, reaksi
tandingan, kesulitan dalam peristilahan dan metode,
mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970an.
Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi
hubungan internasional maka banyak mempengaruhi
pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian.
Aliran Perilaku dalam hubungan internasional bagian dari
gerakan besar yang menyebar dalam ilmu-ilmu sosial secara
umum. Sering

disebut pendekatan ilmiah

(scientific

approach), behavioralisme menantang model-model yang
ada dalam mempelajari perilaku
teori-teorinya yang

manusia dan basis

disebut tradisionalisme.

Perdebatan panas sering mewarnai para ilmuwan mengenai
prinsip-prinsip dan prosedur yang paling tepat dalam meneliti
hasil-hasil fenomena internasional. Debat itu berpusat pada
makan teori dan syarat-syarat teori yang memadai dan
metode terbaik yang tepat untuk pengujian teori.
Sebagian besar perdebatan berlangsung antara penganut
perilaku dan kubu tradisionalis sangat hangat. Memang
benar “berteori mengenai teori” dan berteori tentang
hubungan internasional sering bercirikan perdebatan. Literatur
pada periode ini diwarnai dengan isu-isu metodologis,
bukannya masalah substantif.
Asumsi yang sama dan preskripsi analitik merupakan ini dari
gerakan perilaku. Aliran Perilaku mengusahakan generalisasi
seperti hukum mengenai fenomena internasional. Yakni,
pernyataan mengenai pola-pola dan keteraturan melintasi
waktu dan tempat.
Ilmu, kata kaum penganut perilaku, adalah aktivitas
membuat generalisasi. Oleh sebab itu tujuan penelitian
ilmiah adalah menemukan pola-pola ajeg perilaku antar
negara dan penyebab-penyebabnya.
Bertolak dari perspektif ini sebuah teori

hubungan

internasional harus berisi pernyataan hubungan antar dua atau
lebih variabel, khusus untuk kondisi dimana hubungan

berlangsung dan menjelaskan mengapa hubungan itu bisa
berlangsung.
Untuk menemukan teori-teori itu, penganut perilaku
condong kepada analisa komparatif lintas nasional tak hanya
sekedar studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu
seperti terlihat dalam pendekatan Current History.
Kubu perilaku juga menekankan perlunya mengumpulkan
data mengenai karakteristik negara dan bagaiman
berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itulah gerakan
perilaku ini diwarani dengan studi kuantitatif hubungan
internasional.
PENDEKATAN NEOREALISME STRUKTURAL (THE
NEOREALIST STRUCTURAL APPROACH)
Pendekatan realisme politik masih penting sebagai perspektif
teoritis yang mendasari analisa masalah keamanan nasional.
Namun juga mendapat popularitasnya setelah terbentuk
dalam teori umum politik internasional yang disebut
neorealisme atau realisme struktural.
Neorealisme membedakan antara eksplanasi peristiwa
politik internasional di tingkat nasional seperti negara yang
diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi
peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem
atau teori sistem.

Apa yang neorealis inginkan adalah “mensistemasikan
realisme politik kedalam teoris sistem yang kuat, deduktif
dari politik internasional.”
Seperti dikemukakan Kenneth M Waltz dalam bukunya
yang berpengaruh Theory of International Politics (1979) dan
dianggap sebagai karya utama pemikiran neorealis, “struktur
internasional muncul dari intreraksi negara dan kemudian
hambatan yang dihadapi dalam mengambil tindakan tertentu
saat terdorong ke negara lain.”
Seperti dalam realisme klasik, anarki dan ketiadaaan
lembaga sentral (sebuah pemerintah) menjadi ciri struktur
sistem. Negara masih menjadi aktor utama. Mereka bertindak
sesuai dengan prinsip menolong diri sendiri dan semuanya
mengusahakan agar bisa bertahan.
Oleh karena itu menurut realisme struktural, negara tak
berbeda dalam tugas-tugasnya yang dihadapinya. Yang
berbeda adalah kapabilitasnya. Kapabilitas mendefinisikan
posisi negara dalam sistem dan distribusi kapabilitas
mendefinisikan sistem struktur.
Demikian pula perubahan dalam distribusi kapabilitas
merangsang perubahan dalam struktur sistem seperti dari
konfigurasi kekuatan multipolar ke bipolar atau dari bipolar
menuju unipolar.

Kekuatan juga masih menjadi konsep sentral realisme
struktural. Namun demikian, masalah merebut kekuasaan tak
lagi dianggap tujuan seperti dalam realisme klasik. Hal itu
juga tidak dilihat sebagai karakter manusia.
Seperti dijelaskan Waltz, “negara berusaha dalam cara yang
lebih kurang masuk akal menggunakan cara yang ada untuk
mencapai tujuan yang terjangkau”.
Cara-cara itu digolongkan dalam dua kategori yakni usaha
internal seperti meningkatkan kemampuan ekonomi, kekuatan
militer, mengembangkan strategi yang lebih pintar serta
usaha eksternal seperti memperkuat dan memperluas
aliansi atau memperlemah dan membubarkan aliansi
musuhnya.
Keseimbangan kekuatan (balance of power) muncul lebih
kurang secara otomatis dari instink untuk bertahan.
“Kencenderungan keseimbangan kekuatan untuk membentuk
apakah sejumlah negara semua negara secara sadar
bertujuan membentuk dan mempertahankan keseimbangan
atau apakah sejumlah atau beberapa negara bertujuan
dominasi universal,” tulis Waltz (1979).
Sekali sistem internasional terbentuk, sistem itu “akan menjadi
kekuatan yang dimana unit-unit didalamnya tak mampu
mengontrol, sistem itu membatasi perilaku mereka dan

menempatkan mereka antara niat mereka dan hasil dari
tindakan mereka.”

INSTITUSIONALISME NEOLIBERAL
Seperti

halnya neorealis,

institusionalis

neoliberal

menggunakan teori struktural politik internasional. Mereka
terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional,
bukannya karakteristik unit atau sub unit didalamnya.
Namun mereka memberi lebih banyak perhatian cara
lembaga internasional dan aktor non negara lainnya
mempromosikan kerja sama internasional.
Daripada hanya menggambarkan dunia dimana negaranegara di dalamnya enggan bekerja sama karena masingmasing merasa tidak aman dan terancam oleh yang
lainnya, institusionalis neoliberal membuktikan syarat-syarat
kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang
tumpang tindih diantara entitas politik yang berdaulat.
Sebagai tambahan dari idealisme klasik, akar intelektual
pendekatan yang biasa disebut pula neoliberalisme dapat
dilacak dari studi integrasi regional yang mulai merebak pada
tahun 1950-an dan tahun 1960-an saat para pakar
berusaha memahami proses dimana unifikasi politik negara
bedaulat mungkin bisa dicapai.

Untuk mengkaji konsep dalam pemikiran neoliberalis, perlu
kita
lihat tiga perspektif yang berdekatan dengannya.
Interdependensi yang kompleks (Complex
Interdependence)
sebagai sebuah Pandangan Dunia
Sebagai

sebuah perspektif analitik

yang

eksplisit,

inderdendensi kompleks (complex interdependence) muncul
pada tahun 1970-an untuk menantang asumsi-asumsi kunci
kerangka teoritis saingannya, khususnya realisme klasik.
Pertama, menantang asumsi yang ada bahwa negara bangsa
hanya satu-satunya aktor penting dalam politik dunia.
Lalu mereka memperlakukan aktor lain seperti perusahaan
multinasional dan bank-bank transnasional sebagai
“penting bukan karena hanya kegiatannya dalam mengejar
kepentingan mereka, namun juga karena
mereka bertindak sabuk transmisi sehingga membuat
kebijakan pemerintah di sejumlah negara lebih sensitif
terhadap negara lain (Keohane dan Nye, 1988).
Dalam pengertian ini, interdependensi kompleks sebagai
sebuah “holistik”, konsepsi sistem yang melukiskan politik

dunia sebagai jumlah interaksi banyak bagian dalam
“masyarakat global” (Holsti, 1988).
Kedua, intedependen kompleks mempertanyakan apakah isu
keamanan nasional mendominasi agenda keputusan negara
bangsa. Berdasarkan kondisi interdependensi, agenda politik
luar negeri menjadi “semakin luas dan beragam” karena
jangkauan luas kebijakan “pemerintah”, meskipun
sebelumnya dipandang sebagai kebijakan domestik.
Ketiga, perspektif yang dipertikaikan dalam konsep populer
bahwa kekuatan militer satu-satunya alat dominan dalam
menggunakan pengaruh di politik internasioal, khsusnya
diantara negara industri dan masyarakat demokratis di Eropa
dan Amerika Utara.
2. Rejim-rejim internasional
Meskipun sistem internasional masih memiliki karakter
anarkis, sifatnya dapat lebih dikonseptualisasikan sebagai
anarki yang tertib dan sistem secara keseluruhan sebagai
“masyarakat anarkis” karena kerja sama, bukan konflik, sering
hasil yang dapat diamati dalam hubungan antar negara.
Karena realitas ini, masalah baru muncul : bagaimana prosedur
dan aturan yang terlembagakan untuk manajemen kolektif
masalah kebijakan global dapat dibentuk dan dipertahankan
? Kepentingan dalam masalah itu muncul dari dua tujuan
motivasi kebanyakan analis neoliberal. Pertama, “keinginan

memahami seberapa jauh hambatan bersama
mempengaruhi perilaku negara”. Kedua, kepentingan dalam
merancang strategi untuk menciptakan “tatanan dunia”
yang lebih tertib.
Menuru sebuah definisi, rejim adalah sistem terlembaga
kerja sama dalam isu-isu tertentu. Krasner (1982) menjelaskan,
“ini adalah pemasukan perilaku dengan prinsip dan norma
yang membedakan aktivitas rejim yang diperintah dalam
sistem internasional dari aktivitas yang lebih konvensional
oleh kepentingan sempit yang terukur”. Oleh karena itu
esensi dari sebuah rejim adalah terdiri dari “sistem aturan
perilaku internasional”.
Sistem moneter global dan sistem perdagangan yang
tercipta setelah Perang Dunia II merupakan ekspresi jelas dari
rejim-rejim internasional.
Teori Stabilitas Hegemoni
Seperti ditekankan oleh perspektif institusionalis neoliberal,
aktor-aktor non negara memainkan peran penting dalam
kerja sama internasional yang menjadi karakter Tatanan
Ekonomi Internasional Liberal.
Perspektif ini juga mengajak memperhatikan peran
menentukan kekuatan besar Amerika Serikat dalam
mempromosikan stabilitas dan operasi efektif rejim moneter
dan perdagangan pasca Perang Dunia II.

Masalah yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya
kekuasaan AS seperti dipersepsikan banyak pihak tehadap
lembaga rancangannya untuk mendorong kerja sama
internasional ? Apakah menurunnya pengaruh itu bisa
menjelaskan ketidaktertiban tatanan ekonomi global yang
muncul sejak 1970-an ? Masalah-masalah inilah yang jadi
perhatian khusus bagi analis yang tertarik pada stabilitas
hegemoni.
Teoritisi stabilitas hegemoni membedakan definisi hegemoni
dengan menekankan kapasitas kekuatan militer untuk
mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi
untuk menentukan dan mendikte aturan yang
mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi
internasional.
Dalam konteks institusionalisme neoliberal, teori stabilitas
hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan
bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa
negara-negara penting (hegemonik) di hirarki tertinggi
(seperti AS setelah Perang Dunia II) termotivasi
mempromosikan rejim internasional yang menguntungkan yang
tak hanya menguntungkan diri tapi juga negara lain.