Perjanjian Internasional yang telah dira

BAB I
PENDAHULUAN

1. Perkembangan Hukum Perjanjian Internasional Sebelum Berdirinya
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam perkembangan sejarah hubungan internasional, perjanjian yang dilakukan
antara negara mempunyai peranan yang sangat mendasar, apalagi perjanjian itu sendiri
merupakan sumber Hukum Internasional dan sekaligus sebagai cara bagi semua negara
untuk mengembangkan kerjasama yang damai meskipun sistem sosial dan konstitusinya
berbeda. Hal ini sejalan dengan tujuan United Nations dalam rangka menciptakan
keadaan dalam suasana yang adil dan menghormati kewajiban-kewajiban internasional
yang timbul dengan perjanjian antar negara tersebut.
Sebelum berdirinya United Nations, masalah perjanjian antar negara baik bersifat
bilateral maupun multilateral, dalam perkembangan kemajuan Hukum Internasional
masih belum dapat dikodifikasikan secara menyeluruh dan mendasar, karena itu di dalam
praktek pembuatan perjanjian antar negara pada masa itu masih didasarkan pada aturanaturan kebiasaan internasional. Mengenai mekanisme untuk membentuk aturan-aturan
baru dalam Hukum Internasional adalah sangat terbatas. Kebiasaan tersebut hanya
mengandalkan pada tindakan dalam praktek negara yang didukung oleh ‘Opinio
Jurist’,walaupun tidak selalu, biasanya merupakan suatu proses yang berkembang dan
tepat pada waktunya.
Perjanjian itu di lain pihak merupakan cara yang lebih bersifat langsung dan

formal dalam pembentukan Hukum Internasional. Negara melakukan kegiatan-kegiatan
yang sangat banyak dengan menggunakan perjanjian itu sebagai alat walaupun dirasakan
kurangnya prosedur di dalam Hukum Internasional. Sedangkan kenyataannya ada banyak
cara, di mana subyek dalam perundang-undangan nasional sesuatu negara dapat
membuat hak dan kewajiban yang mengikat. Sebagai contoh, suatu peperangan akan
diakhiri, pertikaian akan diselesaikan, wilayah akan diduduki/didapat, kepentingankepentingan khusus telah ditentukan, suatu persekutuan dibentuk dan suatu organisasi
internasional didirikan, yang semuanya itu dibuat dengan menggunakan perjanjian.
Karena itu konsep tentang perjanjian dan pelaksanaannya menjadi faktor yang sangat
penting bagi perkembangan Hukum Internasional.1
1 Shaw MN, International Law, Second Edition, 1986, p.458.

1

Dengan adanya perjanjian dan bentuk persetujuan internasional lainnya tersebut
telah merupakan kenyataan yang tercatat dalam sejarah. Sejak masa Grotius ( Hugo de
Groot) sampai masa-masa sesudahnya hal itu telah merupakan kebiasaan bagi negarawan
untuk menggunakan aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan yang bersifat
kontraktual antara individu-individu secara tersendiri dalam mengembangkan aturanaturan Hukum Internasional yang mengatur perjanjian antar negara. Kemudian setelah
beberapa dekade terdapat usaha untuk merumuskan aturan-aturan Hukum Internasional
tersebut. Walaupun usaha-usaha yang dirintis itu masih dalam tahap rancangan tentang

prinsip-prinsip umum, dalam prakteknya telah diterapkan oleh negara sebagai
keseragaman yang diharapkan dapat mendorong usaha kodifikasi Hukum Perjanjian
Internasional di masa berikutnya. Usha-usaha itu telah dapat dibuktikan dengan adanya
Konvensi Havana mengenai Perjanjian pada Tahun 1928 dan Harvard Research in
International Law yang menghasilkan suatu “Rancangan Konvensi tentang Hukum
Perjanjian” pada Tahun 1935.2
Namun, usaha-usaha tersebut dianggap kurang bersifat menyeluruh di bidang
Perjanjian Internasional, karena itu dianggap perlu dan mendesak bagi United Nations
untuk segera melakukan kodifikasi dan pengembangan kemajuan Hukum Perjanjian
Internasional

guna

membina

perdamaian

dan

keamanan


internasional

dan

mengembangkan hubungan bersahabat serta tercapainya kerjasama antar negara.
Kebutuhan yang sangat mendesak dari masyarakat United Nations tersebut juga didasari
adanya dua pengalaman yang penting, yaitu, pertama adanya kesulitan dari negara yang
akan menyampaikan instrumen ratifikasi terhadap Perjanjian Multilateral dengan
“keberatan-keberatan”, “pensyaratan-pensyaratan” atau “Reservations”, dan ke dua,
keikutsertaan negara-negara baru dalam Perjanjian Multilateral Umum (General
Multilateral Treaties) yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa (League of
Nations) yang sudah ada sebelum United Nations terbentuk.
a. Ratifikasi Perjanjian Multilateral dengan “Reservations”
Masalah “keberatan” terhadap Perjanjian Multilateral menjadi persoalan yang
praktis pada waktu “The General Assembly” dalam Tahun 1950 menghadapi masalah
“Keberatan” terhadap konvensi Mengenai Pencegahan dan Penghukuman Terhadap
Kejahatan Genosida”3 meminta kepada International Court of Justice untuk
2 Lihat Fenwick CG, International Law, Fourth Edition, 1965, p.514-549, lihat juga Glahn
Gv, Law among Nations, An Introduction to Public International Law, Second Edition,

1970,p.420.
3 yang disetujui oleh General Assembly pada tanggal 9 Desember 194 Convention on
the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 8 dan telah berlaku tanggal 12

2

memberikan pendapatnya tentang akibat “keberatan” terhadap konvensi dan dalam
waktu yang bersamaan juga telah menyerukan kepada International Law Commission 4
untuk mempelajari masalah umum dari sudut pandang kodifikasi dan pengembangan
kemajuan Hukum Internasional.5
International Court of justice kemudian memberikan jawaban yang dianggap
masih menyangsikan yaitu dengan mengusulkan agar setiap pihak konvensi
mempertimbangkan bahwa negara yang membuat “keberatan” merupakan pihak
terhadap konvensi tersebut, apabila “keberatan” itu menurut pendapatnya adalah
sesuai dengan maksud dan tujuan konvensi itu, yaitu dengan membuat keputusan
tersendiri dengan negara tertentu.6 International Court of justice telah berpedoman
pada praktek yang telah ada pada Sekretaris Jenderal United Nations, bahwa suatu
“keberatan” yang dinyatakan sah haruslah diterima oleh para pihak yang membuat
perjanjian.7
General


assembly

kemudian

mengakhiri

persoalan

tersebut

dengan

mengesahkan suatu Resolusi yang meminta kepada Sekretaris Jenderal United
Nations untuk tetap berlaku sebagai depositor dari semua dokumen yang berisi
“keberatan-keberatan”

itu

kepada


negara-negara

yang

berkepentingan

dan

menyerahkannya kepada setipa negara untuk menarik konsekuensi hukum dari
penyampaian itu.8
b. Keikutsertaan Negara-Negara Baru Dalam Perjanjian Multilateral Umum.
Sehubungan dengan masalah keikutsertaan negara-negara baru sebagai pihak
pada Perjanjian Multilateral Umum tertentu yang dihasilkan semasa Liga BangsaBangsa, dalam Tahun 1962 General assembly pernah meminta kepada Komisi Hukum
Internasional9 untuk mempelajari masalah tersebut. Pada masa itu Dewan Liga
Bangsa-Bangsa telah diberikan otorisasi untuk mengundang negara-negara lainnya
Januari 1951.
4 Untuk mengembangkan Hukum Internasional secara progresif, maka The General
Assembly of the United Nations dalam sidangnya yang ke dua pada Tahun 1947
mengeluarkan sebuah Resolusi Nomor 174/II tentang Pembentukan “International Law

Commission” didasarkan pada ketentuan Pasal 13 ayat 1 butir a-Charter of the United
Nations yang berbunyi :..promoting international cooperation in the political fields and
encouraging the progressive development of International law and its codification.
5 Fenwick CG, Ibid.p.528.
6 UN Yearbook, 1951, p.820.
7 Report of the International Law Commission, 1951, p.3-8.
8 UN Yearbook, 1951, p.832.
9 Lihat Resolution of the General Assembly of the United Nations 1766 (XVII) tanggal 20
Nopember 1962 dan lihat pula “the Work of the International Law Commission, Fifth
Edition, New York, 1996, p.56.

3

sebagai tambahan untuk menjadi pihak dari perjanjian-perjanjian tersebut, tetapi bagi
negara-negara yang tidak diundang oleh Dewan sebelum dibubarkannya Liga BangsaLiga Bangsa pada Tahun 1946 tidak dapat menjadi pihak karena tidak adanya
undangan untuk itu. Masalah tersebut pada mulanya oleh International law
Commission telah dimintakan perhatian dari General Assembly.
Dalam tahun yang sama dalam laporan International Law Commission kepada
General Assembly telah dinyatakan bahwa International law Commission telah
menemukan kesulitan dalam usaha mencari penyelesaian yang cepat dan memuaskan

terhadap masalah tersebut melalui jalur rancangan pasal-pasal mengenai Hukum
Perjanjian dan karena itu menyarankan untuk membicarakan kemungkinan
penyelesaian masalahnya lebih cepat dengan menggunakan prosedur yang lain seperti
langkah-langkah administratif.
Atas rekomendasi International law Commission maka General Assembly
telah mengeluarkan Resolusi

10

yang menetapkan bahwa General Assembly

merupakan badan yang paling layak untuk meneruskan tugas The League of Nations
sehubungan dengan adanya 21 Perjanjian Multilateral umum yang sifatnya Non
Politis atau teknis yang dihasilkan sewaktu berdirinya the League of Nations. Resolusi
itu juga minta kepada Sekretaris Jenderal United Nations mengenai beberapa hal:
a. Agar resolusi tersebut juga diberitahukan kepada pihak dari perjanjianperjanjian multilateral umum, tetapi mereka yang bukan anggota United
Nations;
b. Menyampaikan resolusi ini kepada negra-negara anggota yang menjadi pihak
dari perjanjian-perjanjian multilateral umum;
c. Mengadakan konsultasi jika perlu dengan negara-negara tersebut serta BadanBadan Khusus United Nations yang ada kaitannya denga masalahnya

mengenai apakah perjanjian-perjanjian multilateral umum yang tidak berlaku
lagi telah digantikan, atau tidak lagi ditawarkan kepada negara lain untuk
aksesi atau memerlukan tindakan lain untuk menyesuaikan dengan kondisi
seperti yang ada sekarang;
d. Melaporkan kepada General Assembly dalam sidang berikutnya mengenai
pelaksanaan resolusi ini;
e. Mengundang setiap negara anggota baik United Nations maupun Badan
Khusus United Nations atau yang menjadi pihak dalam Statuta International
Court of Justice ataupun yang telah dipercayakan dengan tugas-tugas General
10 Lihat Resolusi Majelis Umum PBB 1903 (XVIII) tanggal 18 Nopember 1963, lihat juga
The Work of the International Law Commission, p.57-58.

4

Assembly dan yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pihak dari
perjanjian yang dipersoalkan untuk melakukan aksesi dengan mendepositokan
satu instrumen aksesi kepada Sekretaris Jenderal United Nations.
Atas dasar resolusi tersebut, General Assembly kemudian menyatakan persetujuannya
terhadap 9 dari 21 perjanjian multilateral umum itu yang dapat diaksesi oleh negaranegara lainnya yang berminat sebagai tambahan dan meminta perhatian dari para
pihak yang berkeinginan untuk mengesahkan beberapa perjanjian itu pada kondisi

seperti yang ada sekarang, khususnya dalam hal pihak-pihak yang baru akan
memintanya.11
2. Lingkup Perjanjian Internasional.
Mengenai lingkup dari permasalahan perjanjian internasional hampir tidak ada
batasnya karena menyangkut masalah politik, ekonomi, perdagangan, sosial,
kebudayaan, dan berbagai persoalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Daftar macam
perjanjian juga hampir tidak ada akhirnya dari perjanjian tentang Persekutuan Militer,
pengaturan Perlucutan Senjata, perilaku peperangan,, membuat perdamaian, jaminan
terhadap netralitas, penyelesaian sengketa, perbatasan, ekstradisi, hubungan
diplomatik dan konsuler, pelayaran dan lalu-lintas perkapalan, penerbangan, bea
cukai, hak cipta, perpajakan, imigrasi, kondisi perburuhan, kesejahteraan sosial,
pertukaran budaya, bantuan ekonomi dan teknik, masalah pengungsi, timbangan dan
ukuran, perhubungan dan topik-topik khusus lainnya.
Bagi kerjasama dan saling ketergantingan internasional memang diperlukan
bagi negara-negara untuk membuat ratusan perjanjian yang bukan saja mengatur
urusan mereka satu sama lain, tetapi juga untuk meningkatkan kepentingan dan
kemudahan masing-masing. Seperti juga kontrak-kontrak dalam kehidupan domestik,
perjanjian benar-benar merupakan pokok dalam hubungan masyarakat internasional.12
Kemampuan untuk membuat perjanjian internasional adalah merupakan satu atribut
dari negara yang berdaulat.13 Suatu perjanjia pada dasarnya merupakan persetujuan

antara para pihak mengenai berbagai persoalan internasional. Meskipun perjanjianperjanjian itu dibuat antara negara dan organisasi internasional pada intinya juga
menyangkut hubungan antara negara. International Law Commission ternyata telah
11 Lihat Resolution of the General Assembly 2021 (XX) tanggal 5 Nopember 1965.
12 Tung, William, International Law in an Organizing World, New York 1968, p.327.
13 PCIJ (1923) Seri A. No.1.

5

dapat menyelesaikan seperangkat rancangan pasal-pasal mengenai perjanjian antar
negara dan organisasi internasional.14
Kemudian Konvensi Internasional mengenai Hukum Perjanjian telah
ditandatangani pada Tahun 1969 dan telah berlaku sejak Tahun 1980, karena itu maka
penekanannya pada aturan-aturan yang layak yang telah muncul diantara negaranegara. Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian 1969 sebagian memuat Hukum
Kebiasaan15 dan merupakan kerangka dasar bagi setiap pembicaraan mengenai sifat
perjanjian.
3. Fungsi Dan Tujuan Perjanjian Internasional.
Dalam

kehidupan

masyarakat

internasional

dewasa

ini,

Perjanjian

Internasional mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa diabaikan. Fungsi
pentingnya telah mendapatkan pengakuan umum anggota masyarakat bangsa-bangsa.
Keadaan demikian tercermin pada masyarakat internasional yang tertuang dalam
Preambul Konvensi Wina Tahun 1969 mengenai Perjanjian Internasional. Peran
penting yang fundamental dari Perjanjian Internasional dalam sejarah hubungan
internasional tidak dapat dipungkiri lagi. Beberapa fungsi dan tujuan Perjanjian
Internasional adalah sebagai berikut :
a. Perjanjian Internasional merupakan sarana utama yang praktis bagi transaksi dan
komunikasi antar anggota masyarakat negara;
b. Perjanjian Internasional sebagai sumber Hukum Internasional, yang oleh keluarga
bangsa-bangsa telah diakui mempunyai posisi tertentu yang berkembang dengan
pesat. Sumber-sumber Hukum Internasional yang lain dewasa ini terbukti tidak
memiliki kemampuan seperti Perjanjian Internasional dalam menanggulangi
tuntutan yang semakin besar dari masyarakat internasional;
c. Perjanjian Internasional sebagai sarana pengembangan kerja sama internasional
secara damai telah menunjukkan hasil positif. Tidak terhitung lagi jumlah negara
di semua kawasan dunia telah mengadakan kerjasama antar negara melalui
perundingan internasional yang menghasilkan banyak Perjanjian Internasional.
d. Perjanjian Internasional sebagai media penyelesaian sengketa internasional.
Sengketa internasional yang bermunculan di berbagai bagian dunia tidak sedikit
yang diselesaikan dengan sarana Perjanjian Internasional;

14 Yearbook of the International Law Commission, 1982, Vol.II, Pt 2,p.9, lihat Shaw MN,
p.458-459.
15 Lihat Kasus Namibia, dalam ICJ Reports, 1971, p.16,47 dan Kasus Fisheries
Jurisdiction, ICJ Reports, 1973, p.3, 18.

6

e. Perjanjian Internasional merupakan alat kontrol bagi para peserta yang terlibat di
dalam melaksanakan isi perjanjian tersebut;
f. Perjanjian Internasional menjamin “kepastian Hukum” (Rechtzeikerheid) bagi
para pihak yang berkepentingan;
g. Perjanjian Internasional menimbulkan hukum (Law Making) bagi subyek, peserta
dalam Perjanjian Internasional yang bersangkutan.

BAB II
KODIFIKASI HUKUM PERJANJIAN16

A. Hukum Perjanjian Sebagai Topik Utama.
International Law Commission dalam sidangnya yang pertama Tahun 1949
telah menempatkan Hukum Perjanjian Internasional diantara topik-topik yang
dianggap cocok untuk kodifikasi. Karena pembahasan topik-topik lainnya maka
16 The Work of the International law Commission, 1996, p.58-63.

7

Komisi baru dapat membicarakan kembali topik Hukum Perjanjian pada Tahun 1953
dalam sidangnya yang ke lima dan kemudian dalam sidangnya yang ke enam Tahun
1954. Namun tidak ada kemajuan yang berarti yang diperoleh dari komisi karena
penggantian penggantian rappoteur khusus (special rapporteur) yang terjadi pada
saat itu.
Di dalam perkembangan lebih lanjut dalam lima sidangnya yang diadakan
antara Tahun 1956-1960, komisi telah menerima laporan-laporan yang cukup berhasil
dari rapporteur khusus yang menangani masalah Hukum Perjanjian dengan disertai
rancangan De Novo dan kemudian disusunnya dalam bentuk satu “Expository Code”
atau “Code of a General Character” dan belum dalam bentuk konvensi internasional.
Pada waktu itu Komisi ternyata baru dapat memusatkan pekerjaannya mengenai topik
Perjanjian Internasional pada sidangnya yang ke sebelas pada Tahun 1959 dan telah
berhasil mengesahkan sementara naskah yang terdiri dari 14 pasal termasuk
komentarnya. Pada waktu komisi melaporkan hasil kerjanya mengenai topik tersebut
kapada General Assembly dalam tahun yang sama, komisi juga telah menjelaskan
alasan-alasan keterlambatannya dengan menyatakan sebagai berikut :
“Secara singkat, hukum Perjanjian bukanlah dengan sendirinya tergantung dari
perjanjian, tetapi merupakan bagian dari Hukum Kebiasaan Internasional
secara umum. Pertanyaan bisa timbul apakah Hukum Perjanjian itu
diwujudkan dalam suatu Konvensi Multilateral, tetapi beberapa negara tidak
menjadi pihak atau menjadi pihak pada konvensi itu dan kemudian sesudahnya
menolaknya, karena ternyata mereka akan atau tetap terikat pada ketentuanketentuan dari perjanjian tersebut sepanjang ketentuan-ketentuan itu
memasukkan Hukum Kebiasaan Internasional de lege lata.
Tidak diragukan lagi kesulitan timbul bila suatu konvensi memasukkan aturanaturan hukum kebiasaan internasional. Dalam praktek hal itu sering tidak
menjadi masalah. Dalam hal Hukum perjanjian hal itu bisa menjadi masalah
karena Hukum Perjanjian itu sendiri merupakan dasar dari kekuatan dan
pengaruh dari semua perjanjian. Dengan pertimbangan-pertimbangantersebut
maka jika diputuskan untuk memasukkan “Code” tersebut atau sebagian
darinya dalam bentuk satu konvensi internasional, maka perumusan akan
sangat berubah dan mungkin penghapusan dari beberapa pokok, yang sudah
tentu diperlukan “.17
Dalam sidangnya yang ke tiga belas, International law Commission telah
merubah cara kerjanya dengan mempersiapkan rancangan pasal yang mampu untuk

17 Yearbook of the International law Commission, 1959, volume II, document A/4169,
para. 18

8

dijadikan dasar bagi suatu Konvensi Internasional. Keputusan ini kemudian dijelaskan
lagi oleh Komisi dalam sidangnya yang ke empat belas sebagai berikut :
“Pertama, satu “Expository Code” bagaimanapun juga telah dirumuskan
dengan baik, tidak dapat diwujudkan sebagai sesuatu yang efektif seperti satu
konvensi untuk menggabungkan hukum, dan penggabungan Hukum perjanjian
adalah penting sekali dewasa ini pada waktu banyak negara baru telah menjadi
anggota masyarakat Internasional.
Kedua, Kodifikasi Hukum Perjanjian Internasional melalui suatu Konvensi
Multikultural akan memberikan peluang bagi semua negara untuk ikut serta
secaralangsung dalam perumusan hukum jika mereka menghendakinya, dan
keikutsertaan mereka dalam pekerjaan-pekerjaan kodifikasi nampaknya bagi
komisi sangat diperlukan agar hukum Perjanjian dapat ditempatkan sebagai
dasar yang paling luas dan paling terjamin.18

B. Pengesahan Rancangan Pasal-Pasal.
Dalam sidang yang sama komisi telah berhasil mengesahkan satu rancangan
sementara yang terdiri dari 29 pasal mengenai kesimpulan, masa berlakunya dan
registrasi perjanjian serta memutuskan untuk menyampaikan rancangan tersebut
kepada pemerintah negara-negara anggota untuk memperoleh tanggapan. Dalam
membahas laporan komisi tersebut, dalam tahun yang sama General Assembly telah
memberikan rekomendasi kepada komisi untuk menerukan pekerjaannya tentang
hukum perjanjian dengan memperhatikan semua pandangan yang diketemukan dalam
sidang General Assembly oleh para delegasi negara anggota dari tanggapan tertulis
yang disampaikan oleh Pemerintah negara-negara anggota.19
Dalam tahun berikutnya Komisi tekah membahas laporan dari Rapporteur Khusus dan
kemudian mengesahkan lagi rancangan sementara yang terdiri dari 24 pasal meliputi
pembatalan, berakhirnya dan penangguhan perjanjian serta memutuskan seperti biasanya
untuk menyampaikan kepada pemerintah negara-negara anggota untuk mendpatkan komentar
mereka. Dalam sidangnya yang ke enam-belas Tahun 1964, komisi kemudian membahas lagi
laporan Rapporteur Khusus dan mengesahkan satu rancangan sementara dari 19 Pasal
berikutnya tentang penerapan, pengaruh, peninjauan kembali dan penafsiran perjanjian dan
18 Ibid. 1962, volume II, document A/5209, para.17.
19 Lihat Resolusi General Assembly of the United Nations 1765 (XVII) tanggal 20
nopember 1962.

9

dengan demikian lengkaplah sudah rancangan sementara mengenai topik itu. Bagian ke tiga
dari rancangan pasal-pasal ini juga dimintakan komentar dari pemerintah-pemerintah negara
anggota.
Pada sidangnya yang ke tujuh-belas komisi sudah mulai mengadakan tinjauan
kembali tentang rancangan pasal-pasal sehubungan dengan komentar yang ditrerima dan
pembicaraan dalam Komite VI (Komite Hukum) General Assembly di mana mayoritas
banyak dari wakil-wakil negara anggota menyepakati keputusan komisi untuk memberikan
kodifikasi terhadap Perjanjian Internasional dalam bentuk “Konvensi”.

Di sidang

berikutnya, komisi telah selesai mempelajari rancangan pasal-pasal yang terdiri dari 75 pasal
termasuk komentar masing-masing. Pada waktu komisi menyampaikan laporannya kepada
General

Assembly,

komisi

memberikan

rekomendasi

agar

General

Assembly

menyelenggarakan satu Konferensi Internasional yang Berkuasa Penuh (International
Conference of Plenipotentiaries) untuk mempelajari rancangan pasal-pasal yang dihasilkan
oleh komisi mengenai Hukum Perjanjian dan menyelesaikan satu Konvensi mengenai
masalah itu.20
Dalam penyusunan rancangan pasal-pasal, komisi memutuskan untuk membatasi
lingkup penerapan dari pasal-pasal tersebut untuk perjanjian-perjanjian yang dibuat antara
negara, tidak dimasukkan perjanjian-perjanjian antara negara dan subyek Hukum
Internasional lainnya (misalnya seperti Organisasi Internasional) dan antara subyek-subyek
lainnya tersebut. Komisi juga memutuskan untuk tidak memasukkan Persetujuan
Internasional yang bukan dalam bentuk tertulis. Disamping itu komisi juga memutuskan
bahwa rancangan pasal-pasal tersebut tidak memuat ketentuan apapun mengenai topik-topik
seperti: dampak pecahnya peperangan bagi perjanjian-perjanjian, suksesi negara dalam
kaitannya dengan perjanjian-perjanjian, masalah tanggung jawab internasional suatu negara
dalam hal gagalnya melaksanakan kewajiban suatu perjanjian, “most favoured nation
clause”, dan penerapan perjanjian yang diadakan untuk hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan atau dinikmati oleh individu-individu.
C. Penyelenggaraan Konferensi Internasional Berkuasa Penuh.
Atas rekomendasi komisi, maka General Assembly dalam sidangnya yang ke dua
puluh satu telah memutuskan untuk menyelenggarakan satu Konferensi Internasional
20 Yearbook of the International Law Commission, 1966, vol.II, document
A/6309/rev.1.para.9-38

10

Berkuasa Penuh (International Conference of Plenipotentiaries) untuk membicarakan Hukum
Perjanjian Internasional dan untuk menggabungkan hasil yang dicapai oleh komisi dalam
suatu konvensi internasional dan instrumen-instrumen lainnya serupa itu jika dipandang
layak. General Assembly

juga minta kepada Sekretaris Jenderal United Nations untuk

mengadakan sidang pertama pada awal 1968 dan sidang yang ke dua pada awal 196921.
Tahun berikutnya, General Assembly juga memutuskan untuk mengadakan sidang
pertama konferensi Perserikatan bangsa-Bangsa mengenai Hukum Perjanjian dalam bulan
Maret 1968 di Wina Austria22 (United Nations Conference on the Law of treaties). Atas dasar
ini, maka sidang pertama telah diselenggarakan pada tanggal 26 Maret sampai 24 Mei 1968
di kota Wina dan dihadiri oleh 103 negara termasuk para peninjau dari 13 Badan Khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan Antar Pemerintah lainnya. Sedangkan sidang
keduanya diselenggarakan di tempat yang sama dari tanggal 6 April sampai 22 Mei 1969 dan
dihadiri oleh 110 negara serta peninjau dari 15 badan Khusus dan Badan Antar Pemerintah.23
Akhirnya konferensi telha mengesahkan Konvensi Wina mengenai hukum Perjanjian
pada tanggal 23 Mei 1969 dengan perbandingan suara 76 negara menyetujui, satu negara
menyatakan menolak (Perancis) dan 19 negara lagi menyatakan abstain (termasuk semua
anggota Blok Soviet). Konvensi ini terdiri dari Mukadimah, 85 Pasal dan Satu lampiran.
Konvensi ini telah dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 23 Mei 1969 dan diteruskan
sampai tanggal 30 Nopember 1969 di kementerian Luar negeri Austria dan setelah itu di
markas Besar perserikatan Bangsa-Bngsa di New York sampai tanggal 30 April 1970.
Penandatanganan tersebut dilakukan sambil menunggu ratifikasi. Konvensi terbuka untuk
aksesi oleh setiap negara yang bukan penandatangan, diperbolehkan menjadi pihak. Sejak
tanggal 27 januari 1980 konvensi itu telah mulai berlaku dan sampai tanggal 20 Oktober 2003
telah ada 96 negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi.
Disamping telah disahkannya Konvensi mengenai Hukum Perjanjian itu, konferensi
juga telah menyetujui dua Deklarasi dan lima Resolusi24:
a. Declaration on the Prohibition of Military, Political or Economic Coercion in the
Conclusion of Treaties:
b. Declaration on Universal Participation in the Vienna Convention on the Law of
Treaties:
c. Lima Resolusi yang dilampirkan pada Final Act of the Conference.25
21 Lihat Resolusi Majleis Umum PBB 2166 (XXI) tanggal 5 Desember 1966.
22 Ibid, Resolusi 2287 (XXII) tanggal 6 Desember 1967.
23 Lihat Official Records of the United Nations Conference on the Law of treaties, First
Session (E.68.V.7), Ibid, Second Session E.70.V.6)
24 United nations, The Work of the International Law Commission, Sixth Edition, Volume
1 p.158.

11

D. Konvensi Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Antara
Organisasi Internasional dan Organisasi Internasioanl.26
Setelah Konvensi tentang Perjanjian Antar Negara berhasil disahkan, maka
Komisi dalam masa kerja berikutnya menyiapkan rancangan perjanjian antara negara dan
organisasi internasional dan antara organisasi internasional dengan organisasi
internasional. Rancangan naskah konvensi ini diserahkan oleh Komisi kepada General
Assembly dan kemudian dengan Resolusi Nomor 39/86 Tahun 1984, tanggal 13
Desemebr 1984 General Assembly menyerukan kepada negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelenggarakan konferensi di Wina dari tanggal
18 februari sampai 21 Maret 1986. Berdasarkan pada rancangan naskah konvensi hasil
karya Komisi tersebut, diadakanlah konferensi di Wina pada tanggal tersebut dengan
landasan pokok pembahasan hasil kara komisi. Pada tanggal 20 maret 1986 wakil=-wakil
para pihak yang mengadakan perundingan berhasil menyepakati naskah final konvensi
dan pada tanggal 21 Maret 1986 perjanjian itu terbuka untuk ditandatangani oleh semua
negara yang hadir dalam konferensi. Kemudian sebagaimana biasa kepada negara-negara
diberikan kesempatan untuk menyatakan persetujuan terikat pada konvensi. Selanjutnya
konvensi ini lebih dikenal dengan nama ”Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Hukum
Perjanjian Antar Negara dan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional
dan Organisasi Internasional (The 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties
between State and International Organisation and between International Organisation
and International Organisation), atau disebut juga Konvensi Wina 1986 .
Timbul pertanyaan, mengapa Hukum Perjanjian Internasional ini dipisahkan
pengaturannya di dalam masing-masing konvensi yang berbeda ? Menurut International
Law Commission Hukum Perjanjian Internasional yang tumbuh dan berkembang
sebelumnya dalam bentuk Hukum Kebiasaan Internasional bagian terbesar merupakan
kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berkenaan dengan perjanjian antar
negara. Juga dalam prkateknya ternyata negara-negara lah yang paling banyak dan paling
sering mengadakan perjanjian internasional. Kaidah-kaidah Hukum Perjanjian
25 Lihat Official records of the United Nations Conference on the Law of Treaties, First and
second Sessions, Document of the Conference (United nations Publication,
Doc.A/Conf.39/26.
26 Baca pada I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional bagian 1 (Bandung:
Mandar Maju, 2002),p.8-11.

12

Internasional yang mengatur tentang perjanjian antar negara ternyata sangat luas ruang
lingkupnya. Sedangkan pada lain pihak, perjanjian antara negara dengan organisasi
internasional maupun antara organisasi internasional dan organisasi internasional dalam
beberapa hal memiliki karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan perjanjian antara
negara dengan negara.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dipandang lebih tepat
jika Hukum Perjanjian Internasional yang mengatur perjanjian antara negara dengan
negara diatur dalam konvensi tersendiri. Demikian pula kaidah hukum Perjanjian antara
negara dan organisasi internasional dan perjanjian antara organisasi internasional dan
organisasi internasional diatur dalam suatu perjanjian tersendiri. Meskipun terpisah
dalam masing-masing konvensi, tidaklah berarti bahwa substansi dari ke dua konvensi
tersebut berbeda sama sekali, sebagian besar substansinya mengandung kesamaan.
Pertanyaan selanjutnya akan timbul, bagaimanakah pengaturan hukumnya
mengenai

perjnjian-perjanjian

internasional

antara

negara

ataupun

organisasi

internasional di satu pihak dengan subyek-subyek Hukum internasional lainnya ?
Demikian pula pengaturan tentang perjanjian antara subyek subyek Hukum Internasional
lainnya selain daripada negara dan organisasi internasional satu dengan lainnya ?
Sepanjang mereka ini memilikikapasitas untuk mengadakan perjanjian internasional dan
memang haknya untuk mengadakan perjanjian internasional diakui dan dijamin oleh
Hukum Internasional.,maka kaidah-kaidah hukum Perjanjia Internasional yang
mengaturnya adalah kaidah-Kaidah hukum Perjanjian Internasional yang berupa
Kebiasaan Internasional.
Ditinjau dari segi substansi kaidah-kaidah hukum dari ke dua konvensi tersebut
dapat dikatakan bahwa substansinya itu merupakan perpaduan secara harmonis antara
kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional yang sebelumnya berbentuk hukum
Kebiasaan Internasional pada satu pihak dan kaidah-kaidah Hukum Perjanjian
Internasional yang sama sekali baru sebagai hasil pengembangan progresif dari Hukum
Internasional pada lain pihak. Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah Hukum perjanjian
Internasional yang memang sebelumnya sudah ada dan berlaku sebagai hukum kebiasaan
internasinal yang diformulasikan kembali ke dalam pasal-pasal kovensi dan disamping

13

itu terdapat juga beberapa pasal yang merupakan hasil pengembangan progresif atas
kaidah-kaidah hukum Perjanjian Internasional.27
Dengan adanya dua konvensi tentang Hukum Perjanjian Internasional tidaklah
berarti bahwa kaidah-kaidah itu sudah semuanya tercakup ke dalam ke dua konvensi ini,
di luar ke dua konvensi masih terdapat kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional
yang antara lain berbentuk hukum kebiasaan Internasional, sepanjang tidak bertebtangan
dengan kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang terdapat dalam ke dua konvensi;
kaidah-kaidah Hukum perjanjian internasional yang berbentuk Yurisprudensui, doktrin
atau pendapat sarjana ataupun yang berupa General principles of Law reqognized by
Civilized Nations, maupun yang berbentuk keputusan atau resolusi organisasi-organisasi
internasional. Dengan perkataan lain semua yang dikemukakan di atas itu merupakan
sumber hukum dalam arti formal dari hukum perjanjian internasional.28

E. DEFINISI DAN PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL.29
1. Pengertian Perjanjian Internasional.
Di zaman modern, perjanjian internasional telah merupakan sumber Hukum
Internasional yang sangat penting. Bila Mahkamah Internasional harus memutuskan
satu perselisihan internasional, upaya pertama adalah untuk menemukan apakah ada
perjanjian internasional apa tidak. Dalam hal terdapat suatu perjanjian yang mengatur
persoalan yang disengketakan, keputusan Mahkamah akan didasarkan pada
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Perjanjian internasional menempati

27 Inilah merupakan salah satu bukti bahwa antara kegiatan pengkodifikasian Hukum
Internasional dengan pengembangan progresif Hukum Internasional seperti ditegaskan
dalam Pasal 13 ayat 1 butir a Piagam PBB, walaupun secara teoritis dapat dibedakan
pengertiannyam tetapai secara praktis ternyata sukar untuk dibedakan, apalagi
dipisahkan. Lihat dan bacalah ulasan Mochtar Kusumaatmadja dalam MASALAH LEBAR
LAUT TERRITORIAL PADA KONFERENSI-KONFERENSI HUKUM LAUT DI JENEWA 1958 DAN
1960, DISERTASI, Penerbit PT Universitas , Bandung, Thn.1962, hlm.13-17.
28 Bandingkan dengan sumber-sumber Hukum Internasional pada umumnya, yang terdiri
atas perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, putusan badan-badan peradilan atau
yurisprudensi, doktrin atau pendapat para sarjana, dan putusan atau resolusi organisasiorganisasi internasional. Semuanya ini adalah juga merupakan sumber hukum dalam
arti formal dari Hukum Perjanjian Internasional, sebab pada hakekatnya Hukum Perjanjian
Internasional itu adalah hanya salah satu bagian atau salah satu bidang saja dari Hukum
Internasional pada umumnya.
29 Lihat Satow’s Guide to Diplomatic Practice, Fifth Edition, New York, 1979, Bab 29.

14

posisi sama yang penting di dalam bidang Hukum Internasional sebagaimana
perundang-undangan di dalam hukum nasional.
Perjanjian Internasional adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih
di mana mereka membina atau mencari hubungan yang diatur oleh Hukum
Internasional. Menurut pandangan Oppenheim, perjanjian internasional adalah
persetujuan yang bersifat kontraktual antara negara atau organisasi negara yang
menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi para pihak.30 Lain halnya
pendapat Schwarzenberger yang mendefinisikan, perjanjian adalah persetujuan
diantara subyek Hukum Internasional yang menimbulkan suatu kewajiban yang
mengikat di dalam Hukum Internasional, sedangkan menurut Starke, dalam hampir
semua kasus obyek perjanjian adalah untuk mengenakan kewajiban yang mengikat
pada negara-negara yang menjadi pihak pada perjanjian tersebut.31
Dalam rancangan sementara yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional,
telah memberikan definisi tentang Perjanjian Internasional sebagai berikut:
“Setiap persetujuan internasional dalam bentuk tertulis apakah yang
terhimpun dalam satu instrumen atau dua atau lebih instrumen yang
berkaitan dan apapun juga bentuknya (perjanjian, konvensi, protokol,
covenant, piagam, statuta, akta, deklarasi, concordat, pertukaran nota,
agreed minute, memorandum persetujuan, modus vivendi atau sesuatu
sebutan lainnya) yang dibuat antara dua negara atau lebih atau subyek
Hukum Internasional lainnya yang diatur oleh Hukum Internasional.
Mengenai pencantuman subyek hukum “Internasional lainnya” dimaksudkan
untuk memberi peluang terhadap perjanjian yang dibuat oleh organisasi
internasional, Takhta Suci Vatikan dan kesatuan internasional lainnya.
Di dalam Konvensi Wina Tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian seperti terlihat
dalam rancangan akhir yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional, ketentuanketentuan dibatasi pada perjanjian-perjanjian antar negara (Pasal 1). Di dalam Pasal 3
dinyatakan bahwa Konvensi Wina Tahun 1969 tidak berlaku bagi persetujuan internasional
yang dibuat oleh negara-negara dan subyek Hukum Internasional lainnya atau antara
subyek Hukum Internasional yang lain tersebut atau bagi persetujuan internasional yang
bukan dalam bentuk tertulis tidak akan berpengaruh terhadap kekuatan hukum
persetujuan-persetujuan semacam itu. Sedangkan Pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969
30 Oppenheim L, International law, vol.1, Eight Edition, hlm.877, lihat pula Fawett JES,
The Law of Nations, London, 1968, hlm.89.
31 Starke, JG, An Introduction to International Law, Eight Edition (1977), hlm.459.

15

memberikan definisi bahwa suatu perjanjian seperti juga persetujuan internasional yang
dibuat oleh negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah
tersusun dalam satu instrumen, dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun
bentuknya yang dibuat secara khusus. Ketentuan ini memberi peluang pada masalah
tentang stattus atau kedudukan persetujuan yang dibuat antar negara dan individu-individu
serta badan hukum secara tersendiri dan yang diatur dalam hukum nasional.
2. Definisi Perjanjian Internasional.
Pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969 memberikan definisi suatu perjanjian,
untuk maksud konvensi tersebut sebagai berikut :
“Treaty means an international agreement concluded between states, in
written form and governed by International Law, wether embodied in a
single instrument or in two or more related instruments and whatever its
particular designation. (Perjanjian artinya suatu persetujuan internasional
yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh
Hukum Internasional baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua
atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga
namanya).
Definisi ini tidak memasukkan persetujuan antara negara yang diatur oleh hukum
nasional dan persetujuan antar negara yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menciptakan hubungan secara hukum. Tidak dimasukkannya ke dua jenis persetujuan ke
dalam definisi perjanjian jelas merupakan hal yang sudah biasa, tetapi definisi yang
diberikan di dalam Konvensi Wina 1969 sejauh itu dianggap lebih kontroversial, karena
tidak memasukkan persetujuan lisan antara negara dan persetujuan dari jenis apapun
antara organisasi internasional atau antara dengan organisasi internasional.32
Definisi perjanjian dalam konvensi Wina 1969 sengaja tidak memasukkan persetujuan
internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau diantara
organisasi internasional sendiri33 dan tidak juga memasukkan persetujuan internasional
tidak dalam bentuk ertulis. Komisi Hukum Internasional yang menyiapkan rancangan
pasal-pasal mengenai Hukum Perjanjian sebagai dasar pekerjaannya untuk pengembangan
kemajuan dan kodifikasi yang dicantumkan dalam Konvensi Wina mengenai Hukum
Perjanjian menjelaskan bahwa definisi tentang istilah Perjanjian yang diusulkan sama
sekali bukan dimaksudkan untuk menyangkal bahwa subyek hukum internasional lainnya
32 Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law, Seventh Edition,
Akehurst’s, hlm.130-131.
33 A/9610/Rev.1. A/10010/Rev.1 dan A/32/10.

16

seperti organisasi internasional, kelompok pemberontak, boleh saja membuat perjanjian
sama halnya dengan Komisi hukum Internasional yang menjelaskan bahwa pembatasan
istilah perjanjian dan persetujuan internasional yang dinyatakan dalam tulisan bukanlah
dimaksudkan untuk menyangkal kekuatan hukum dari persetujuan lisan yang dibuat di
bawah hukum Internasional.34
Definisi yang diberikan oleh Mc.Nair lebih luas dibandingkan dengan Konvensi Wina
1969 karena dengan memasukkan persetujuan internasional yang dibuat antara negara dan
organisasi internasional, atau diantara organisasi internasional sendiri, tetapi definisi
tersebut tidak memasukkan persetujuan yang tidak dalam bentuk tertulis. Tentu saja
Mc.Nair menyadari khususnya bahwa meskipun hal itu jarang untuk menemukan
persetujuan lisan yang dibuat diantara negara, tidak bisa dikatakan bahwa hukum
internasional menganggap bentuk tertulis itu merupakan hal yang penting untuk
pembuatan suatu persetujuan antar negara35 Dalam hal ini Mc.Nair merujuk pada
Keputusan Permanent Court of International Justice (PCIJ) dalam kasus “Legal Status of
Eastern Greenland” dalam Tahun 1933 tatkala PCIJ harus membicarakan arti hukum dari
“suatu pernyataan lisan” yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Norwegia M.Ihlen yang
ditujukan kepada Duta Denmark yang ditempatkan di Norwegia. PCIJ menyimpulkan
sebagai berikut :
“Bahwa satu jawaban seperti ini yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri atas
nama pemerintahnya untuk menjawab permintaan dari wakil diplomatik dari
negara lain, mengenai masalah yang ada di bawah bidang wewenangnya, adalah
mengikat pada negara di mana Duta itu berasal.”36

Mahkamah Internasional juga pernah membicarakan seberapa jauh pernyataan lisan
yang diberikan oleh seorang Kepala Negara, seorang Menteri Luar Negeri atau menterimenteri lainnya dalam pemerintahan yang menimbulkan suatu komitmen yang mengikat pada
negara yang bersangkutan. Dalam kasus uji coba nuklir (Australia Vs Perancis ) dalam tahun
1974, Mahkamah telah menghubungkan bobot khusus dari pernyataan-pernyataan yang
dibuat oleh Presiden Perancis, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri sesudah
dilakukan secara lisan dalam masalah itu. Pernyataan-pernyataan tersebut menurut
Mahkamah kehendak dari Perancis untuk menghentikan uji coba nuklir di udara setelah
34 Report of the International Law Commission on its 17 th and 18 th Sessions (1966),
A/6305/Rev.1, hlm.22
35 Mc.Nair, Sir Arnold, The Law of Treaties, Oxford 1973, )p.cit.p.7
36 PCIJ Series A/B No.53 hlm.57.

17

selesai serangakaian uji coba yang dilakukan dalam tahun 1974. Dalam memberikan analisa
mengenai arti hukum dari pernyataan-pernyataan tersebut Mahkamah menyatakan sebagai
berikut :
“Mengenai masalah bentuk, harus dilihat bahwa ini bukan dalam wewenang hukum
Internasional yang harus menentukan syarat-syarat yang tepat atau khusus. Apakah
suatu pernyataan dibuat secara lisan atau tertulis tidak ada perbedaan yang mendasar,
untuk penyatuan semacam itu yang dibuat dalam situasi tertentu dapat menimbulkan
komitmen dalam Hukum Internasional yang tidak perlu bahwa semua itu harus
dilakukan dalam bentuk tertulis”37

Meskipun demikian perlu juga kita meninjau definisi perjanjian internasional
antara negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan
organisasi internasional, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) butir a dari
Konvensi Wina tahun 1986 sebagai berikut :
“Treaty means an international agreement governed by International Law and
concluded in written form:
i. Between one or more states and one or more international
organisations, or
ii. Between international organisations, wether that agreement is
iii. embodied in a single instrument or in two or more related instruments
and whatever its particular designation.
(Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum
Internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis:
1. antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional;
atau
2. sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen
atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang
apapun juga namanya.)

Menurut I Wayan Parthiana, ke dua macam pengertian perjanjian internasional baik
dalam Konvensi Wina Tahun 1969 maupun dalam Konvensi Wina Tahun 1986 mengandung
unsur atau kualifikasi yang sama seperti kualifikasi perjanjian internasional . Hanya saja
sesuai dengan masing-masing namanya, ruang lingkupnya menjadi lebih sempit. Dapat
dikatakan bahwa ke dua pengertian perjanjian internasional itu merupakan pemisahan dari

37 ICJ Report (1974) hlm.267.

18

pengertian perjanjian internasional berdasarkan pada subyek-subyek hukum yang dapat
membuat ataupun dapat terikat pada suatu perjanjian.38

3. Definition of key terms used in the UN Treaty Collection
Introduction
This introductory note seeks to provide a basic - but not an exhaustive - overview of the key
terms employed in the United Nations Treaty Collection to refer to international instruments
binding at international law: treaties, agreements, conventions, charters, protocols,
declarations, memoranda of understanding, modus vivendi and exchange of notes. The
purpose is to facilitate a general understanding of their scope and function.
Over the past centuries, state practice has developed a variety of terms to refer to
international instruments by which states establish rights and obligations among themselves.
The terms most commonly used are the subject of this overview. However, a fair number of
additional terms have been employed, such as "statutes", "covenants", "accords" and others.
In spite of this diversity of terminology, no precise nomenclature exists. In fact, the meaning
of the terms used is variable, changing from State to State, from region to region and
instrument to instrument. Some of the terms can easily be interchanged: an instrument that is
designated "agreement" might also be called "treaty".
The title assigned to such international instruments thus has normally no overriding legal
effects. The title may follow habitual uses or may relate to the particular character or
importance sought to be attributed to the instrument by its parties. The degree of formality
chosen will depend upon the gravity of the problems dealt with and upon the political
implications and intent of the parties.
Although these instruments differ from each other by title, they all have common features and
international law has applied basically the same rules to all of these instruments. These rules
are the result of long practice among the States, which have accepted them as binding norms
in their mutual relations. Therefore, they are regarded as international customary law. Since
there was a general desire to codify these customary rules, two international conventions
were negotiated. The 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties ("1969 Vienna
38 I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bagian I (Bandung: mandar Maju,
2002),hlm.15.

19

Convention"), which entered into force on 27 January 1980, contains rules for treaties
concluded between States. The 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between
States and International Organizations or between International Organizations ("1986 Vienna
Convention"), which has still not entered into force, added rules for treaties with international
organizations as parties. Both the 1969 Vienna Convention and the 1986 Vienna Convention
do not distinguish between the different designations of these instruments. Instead, their rules
apply to all of those instruments as long as they meet certain common requirements.
Article 102 of the Charter of the United Nations provides that "every treaty and every
international agreement entered into by any Member State of the United Nations after the
present Charter comes into force shall as soon as possible be registered with the Secretariat
and published by it". All treaties and international agreements registered or filed and recorded
with the Secretariat since 1946 are published in the UNTS. By the terms "treaty" and
"international agreement", referred to in Article 102 of the Charter, the broadest range of
instruments is covered. Although the General Assembly of the UN has never laid down a
precise definition for both terms and never clarified their mutual relationship, Art.1 of the
General Assembly Regulations to Give Effect to Article 102 of the Charter of the United
Nations provides that the obligation to register applies to every treaty or international
agreement "whatever its form and descriptive name". In the practice of the Secretariat under
Article 102 of the UN Charter, the expressions "treaty" and "international agreement"
embrace a wide variety of instruments, including unilateral commitments, such as
declarations by new Member States of the UN accepting the obligations of the UN Charter,
declarations of acceptance of the compulsory jurisdiction of the International Court of Justice
under Art.36 (2) of its Statute and certain unilateral declarations that create binding
obligations between the declaring nation and other nations. The particular designation of an
international instrument is thus not decisive for the obligation incumbent on the Member
States to register it.
It must however not be concluded that the labelling of treaties is haphazard or capricious. The
very name may be suggestive of the objective aimed at, or of the accepted limitations of
action of the parties to the arrangement. Although the actual intent of the parties can often be
derived from the clauses of the treaty itself or from its preamble, the designated term might
give a general indication of such intent. A particular treaty term might indicate that the
desired objective of the treaty is a higher degree of cooperation than ordinarily aimed for in
such instruments. Other terms might indicate that the parties sought to regulate only technical
20

matters. Finally, treaty terminology might be indicative of the relationship of the treaty with a
previously or subsequently concluded agreement.
(b) Treaty as a specific term: There are no consistent rules when state practice employs the
terms "treaty" as a title for an international instrument. Usually the term "treaty" is reserved
for matters of some gravity that require more solemn agreements. Their signatures are usually
sealed and they normally require ratification. Typical examples of international instruments
designated as "treaties" are Peace Treaties, Border Treaties, Delimitation Treaties, Extradition
Treaties and Treaties of Friendship, Commerce and Cooperation. The use of the term "treaty"
for international instruments has considerably declined in the last decades in favor of other
terms.

Agreements
The term "agreement" can have a generic and a specific meaning. It also has acquired a
special meaning in the law of regional economic integration.
(a) Agreement as a generic term: The 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties
employs the term "international agreement" in its broadest sense. On the one hand, it defines
treaties as "international agreements" with certain characteristics. On the other hand, it
employs the term "international agreements" for instruments, which do not meet its definition
of "treaty". Its Art.3 refers also to "international agreements not in written form". Although
such oral agreements may be rare, they can have the sam