SYEKH YUSUF DAN (HASRAT) PERJALANAN HAJI KE PUNCAK BAWA KARAENG SYEKH YUSUF AND (DESIRE) PILGRIMAGE TO PUNCAK BAWA KARAENG

SYEKH YUSUF DAN (HASRAT) PERJALANAN HAJI KE PUNCAK BAWA KARAENG SYEKH YUSUF AND (DESIRE) PILGRIMAGE TO PUNCAK BAWA KARAENG

Irfan Palippui

Dosen di Fakultas Ekonomi dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Fajar, Makassar irfanpalippui@gmail.com

Abstract

This work employs Lacanian psychoanalysis to investigate the symptom of pilgrimage to Puncak Bawa Karaeng. The intention of pilgrimage to Puncak Bawa Karaeng is inspired by the spiritual stories of Syekh Yusuf to experience the journey of knowledge (alliungi panggisengang) to Puncak Bawa Karaeng then to Mecca. This is then translated by the Yusuf ’s followers as their pilgrimage. This paper underlines that the pilgrimage to Puncak Bawa Karaeng is congregation ’s articulation following the tarekat of Syekh Yusuf as a salik way toward the real pilgrimage – pilgrimage as way home to return to our God.

Keywords : Haji Bawa Karaeng, Symptom, Desire, and Islam-Sang-Yusuf.

Abstrak

Tulisan ini menggunakan psikoanalisis Lacanian untuk menggeledah gejala (symptom) perhajian ke Puncak Bawa Karaeng. Hasrat yang mendorong subjek berhaji ke Puncak Bawa Karaeng berasal dari kisah pengalaman spiritual yang dialami oleh Syekh Yusuf saat melangsungkan perjalanan pengetahuan (alliungi panggisengang) ke Puncak Bawa Karaeng, lalu ke Mekah. Kisah inilah yang diterjemahkan ulang oleh pengikut Yusuf, sebagai penanda dalam mengidentifikasi diri – yang sedang melakukan fase perjalanan haji. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, perjalanan haji ke Puncak Bawa Karaeng adalah bentuk artikulasi dari jemaat Haji Bawa Karaeng, yang sedang menjalankan tarekat Syekh Yusuf sebagai jalan salik dalam menuju haji yang sesungguhnya – haji sebagai jalan pulang ke hadirat Ilahi.

Kata kunci : Haji Bawa Karaeng, gejala (symptom), Hasrat dan Islam-Sang-Yusuf.

Pendahuluan

Di samping perhajian dengan segala Mula-mula, ide tulisan ini berangkat dari

permasalahan itu, penulis kemudian menemukan kegelisahan penulis melihat daftar panjang

jenis haji berbeda – selanjutnya akan dibahas perjalanan haji di Indonesia, dengan segala

dalam tulisan ini, yakni: Haji Bawa Karaeng – permasalahannya, serta mimpi besar para

berhaji ke puncak Gunung Bawa Karaeng. muslim di kampung penulis, yang mendambakan

Perjalanan haji tersebut tidaklah butuh puluhan kakinya menggapai “Rumah Tuhan”. Mimpi

tahun bekerja di sawah, mengumpulkan receh demi berhaji adalah niatan mulia bagi muslim, apalagi

receh hasil panen sebagai uang pangkal dan tidak merupakan rukun wajib bagi mereka yang

perlu puluhan tahun menanti (daftar tunggu) mampu melakukannya. Hanya saja, banyak

pemberangkatan. Lalu, apa yang mendorong orang diantaranya memilih jalan tersebut dengan

melangsungkan tradisi tersebut? “menerbangkan” (menjual) beberapa hektar

Syahdan, Haji Bawa Karaeng muncul sawahnya, karena biaya “terbang” yang cukup dari dua pokok tradisi, yakni: pertama, Gunung mahal. Bahkan, ada juga warga yang harus rela

kembali berkubang tanpa kebun dan sawah, Bawa Karaeng yang berarti “Mulut atau Sabda

menggigit jari seraya merayakan kostum dan Tuhan” diyakini sebagai tempat suci. Tempat

bersemayamnya Tu Rie Arana atau To Kammayya merasakan religiusitas tanpa tanah, karena telah Kananna (Yang Maha Berkehendak) yang tergantikan oleh level sosial dan pakaian baru. memelihara kehidupan manusia di bumi. Dialah Terkhusus di kampung penulis, keinginan pemberi kebajikan sekaligus keburukan. Cara berhaji tidak sekadar untuk mereposisi situasi pandang itu telah membekas secara turun- spiritual, tetapi lebih dari itu, ada keinginan temurun dari moyang manusia di sana. Kedua, untuk mereposisi kelas sosial. perjalanan haji ke puncak Bawa Karaeng

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 173 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 173

terus mengalami Salamaka. Diceritakan bahwa Yusuf yang juga

perkembangan dan kebaruan, baik secara tematis seorang keturunan istana (dibesarkan oleh

maupun metodologis. Studi agama (religious keluarga kerajaan) di Gowa-Tallo telah bertemu

studies ), kalau selama ini dikatakan banyak dengan para wali di Puncak Bawa Karaeng.

bergelut dalam persoalan teologis, sosiologis, Yusuf kemudian berguru dan mendapatkan Ilmu

sejarah, antropologi maupun comparative religion, dari para Wali di sana, selanjutnya diperintahkanlah

secara mutakhir telah jauh meninggalkan kajian padanya untuk melakukan perjalanan haji ke

agama tradisional dan modern. Religious Mekah. Atas dasar itu, perjalanan haji melalui

studies telah jauh meninggalkan perdebatan perintah wali ke Yusuf diyakini menjadi

universalisme, dan keterwakilan ibadah, sehingga banyak orang

mengenai

esensialisme,

pengabaian pada (partikularitas) yang lain. yang mengasumsikan bahwa untuk berhaji cukup

Dengan kata lain, religious studies juga sangat ke Bawa Karaeng saja.

menekankan pendekatan interdisiplin, yang saat ini banyak dipakai lewat para pemikir

Melalui momen perayaan Iduladha, strukturalis (kalau tidak mau menyebutnya komunitas yang meyakini jalan tersebut, penganut pascastrukturalis) dan dianggap bisa adakalanya mereka mengurbankan/melepaskan mengatasi kelemahan studi agama sebelumnya. binatang di Puncak Bawa Karaeng. Selain itu, Kajian ini telah mengantarkan peneliti agama untuk mereka juga menamai tempat-tempat ritus, dapat lebih partikular melihat pengalaman seperti nama Madinah, Makkayya (Mekah), subjektivitas orang beragama, misalnya, melihat Titian Anjayya (jembatan siratalmustakim). agama lewat pengalaman sehari-hari, waktu atau Nama-nama itu kemudian menjadi penanda momen perjalanan, perjumpaan antara tradisi lokasi ritus yang ketika muslim di seluruh dunia agama-agama besar dengan kelokalan, -dengan menjalankan perjalanan haji ke Mekah, pada menggunakan teori wacana, narasi, hasrat- bulan yang sama, mereka juga melakukan dalam perspektif antropologi, semiotika, dan perjalanan ke Puncak Bawa Karaeng.

psikoanalisis.

Artikel ini

bertujuan memberikan

Luke Thurston (2004), menggunakan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya teori psikoanalisis dalam menggeledah karya- melacak atau membaca teks masyarakat yang karya James Joyce, membuktikan bagaimana selama ini terpinggirkan oleh wacana arus psikoanalisis dan estetika adalah satu domain, utama, khususnya di tanah Makassar-Bugis, yakni wacana ritus “Haji Bawa Karaeng” dan khususnya sebagai pengembaraan gejala (symptom)

dan sublimasi hasrat. Ia menemukan dalam wacana religiusitas lewat psikoanalisis. Mengapa karya-karya Joyce mengenai sesuatu yang psikoanalisis penting? Ia dapat menjadi cara tidak dapat terkatakan atau unspeakable ketika memeriksa hubungan antara bahasa ketidaksadaran mengalami penerjemahan. Ia menyebut itu dan hasrat spiritualitas yang dihadirkan oleh Thing /das Ding, atau Tuhan yang tidak bisa subjek. Menurut Lacan (dalam Morgan, 2009), terwakilkan oleh kata-kata. Lebih lanjut, Joyce psikoanalisis mencoba mengidentifikasi dan memperlihatkan aspek teologis, sehingga sangat memeriksa wacana asing – di dalam spiritualitas bersinggungan dengan problem of psychoanalysis ketidaksadaran seseorang – lewat gejala (symptom). dalam praktik kita membacanya, khususnya Dengan memahami wacana asing – lewat gejala menemukan kebaruan di dalamnya. (symptom) – kita dapat melacak dan membaca

sistem pemaknaan yang ingin diutarakan oleh Tulisan tentang Haji Bawa Karaeng subjek (dalam tatanan bahasa simbolik).

telah banyak, baik mereka yang mengunggahnya di Singkatnya, psikoanalisis dapat menjadi cara

media daring maupun terbitan media luring, dan untuk memahamkan kita tentang posisi (diri)

juga penelitian ilmiah tentangnya. Safri (2002) subjek. Lewat wacana, ia membuat kita

menguraikan pendapat masyarakat lokal, alim memahami pembentukan diri, hubungan diri

ulama, munculnya tradisi dan landasan berhaji, dengan sosial, pembentukan pengetahuan lewat

serta proses pelaksanaann Haji Bawa Karaeng. Liyan, sekaligus dapat menjadi terapi analitik.

Tulisan ini menunjukkan adanya perwujudan dua aliran kepercayaan yang telah saling terhubung.

Disinilah penulis melihat pentingnya Pertama, kepercayaan lama yang bersumber dari religious studies didudukkan dalam kajian nenek moyang. Kedua, kehadiran Islam yang budaya yang melihat kebudayaan sebagai a sukses menyesuaikan diri ke dalam kepercayaan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

pertama-pertama penulis mengurai perjalanan dan tidak hanya diikuti oleh masyarakat yang

subject of need (yang imajiner) 1 ke subject of bermukim di Kabupaten Gowa saja.

demand (yang simbolik) Islam Makassar-Bugis. Jalan tersebut memberitahukan pada kita fase yang

Selain itu, Mustaqim Pabbajah (2010) dialami subjek menangkap makna (memahami menyimpulkan tentang kegigihan Komunitas Haji diri) lewat pertemuan antara yang imajiner dan Bawa

yang simbolik.

kebiasaannya, meskipun mendapati banyak rintangan dalam menjalaninya. Munculnya cibiran

Menurut Lacan, dalam Deal dan Beal dan stigma, misalnya, justru itu yang diadopsi

(2005: 90), Man speaks, then, but it is because menjadi identitasnya. Menurut Pabbajah, di sinilah

the symbol had made him man. Jadi setelah terjadinya medan pertarungan makna, di mana

terlokasikannya ‘aku’ ke dalam tatanan simbolik, stereotype yang dilekatkan pada komunitas ini

bahasa di sanalah yang melahirkan subjektivitas malah berbalik menjadi resistensi, menjadi alat

‘aku’, mengambil alih ‘aku’ dan mengontrol untuk terus melanjutkan keyakinan yang

segala bentuk kehidupan ‘aku’. Pendek kata, dianutnya.

birth into language is birth into subjectivity, kata Lacan. Lebih lanjut, jalan itu juga telah

Baik Safri maupun Pabbajah belumlah menentukan posisi subjek yang dilahirkan dari

menyoal dorongan maupun hasrat subjek

Subjek yang gagal melakukan ritus haji di Puncak Bawa Karaeng.

persoalan

tersebut.

mengeluarkan dirinya dari infernal circle (neraka Kedua tulisan tersebut, untuk mengatakannya, demand ), ia akan diduduki oleh bahasa, menjadi cukup memberi informasi dalam penyelesaian

subjek demand sukses topik ini – khususnya dalam penggunaan konsep mengidentifikasi bahwa Liyan simbolik rupanya

psikosis.

Ketika

psikoanalisis dalam membaca jejak dan pembentukan juga lack (tidak mampu memenuhi permintaan hasrat subjek melahirkan perjalanan haji ke

pengembaraan pemenuhan Puncak Bawa Karaeng. Fokus inilah yang akan

subjek),

maka

kenikmatan segera dilakukan olehnya. Di tahap diangkat dalam tulisan ini, sebagaimana telah ini, subjek telah mengetahui bahwa Liyan juga dilakukan oleh Luke Thurston. Hanya saja lack , dan segera mengembara mencari sumber tulisan ini lebih mengutamakan pengalaman

kenikmatan pada objek yang lain. Di sinilah empirik, sedangkan dalam penelitian yang objek a kecil itu dihadirkan subjek sebagai dilakukan Thurston lebih fokus pada karya fantasi dalam rangka mengelola dan menyangga sastra; khususnya teks yang dibangun oleh Joyce

hasrat dalam pencarian kenikmatan itu. lewat dialog dan tokoh-tokohnya.

Berhaji ke Bawa Karaeng

pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini. Penjabaran singkat berikut merupakan Tulisan ini akan fokus menelaah bagaimana peran gejala (symptom) yang dipakai untuk mendiagnosis riwayat Syekh Yusuf terhadap terciptanya hasrat bahasa ketidaksadaran Haji Bawa Karaeng. yang mendorong subjek berhaji ke Puncak Bawa

Karaeng. Untuk menjawab masalah tersebut, penulis

menggunakan konsep fantasi sebagai penyebab

1 Pembentukan subjek Lacanian; dari fase hasrat subjek. Konsep hasrat ini sendiri di

pengenalan ego melihat i(o) atau pengalaman anak dalamnya menguraikan tentang tiga konsep

melihat ibunya sebagai ‘aku’. Faktanya pengenalan utama dari Lacan yang disebut: tatanan nyata,

itu adalah kekeliruan (misrecognition) ego atau anak imajiner, dan simbolik. Pendekatan yang

mengenali dirinya. Ego atau sang anak mengira digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan

bahwa ibunya atau liyan adalah dirinya. Fase ini, oleh kualitatif dengan desain etnografi eksperimen. Lacan disebut juga mirror stage atau fase cermin Disebut etnografi eksperiman karena data yang dalam tatanan imajiner. Tahap selanjutnya, ego atau

anak akan tahu bahwa liyan atau ibunya bukanlah diolah berbentuk narasi fiksi, lalu diperlakukan

dirinya. Peristiwa itulah membuat ego atau anak sebagai gajala bahasa ketidaksadaran dalam

mengalami alienasi, dan membawa dirinya untuk memeriksa penyebab hasrat subjek berhaji ke

mencari tahu cara mengatasi alienasi yang sedang Puncak Bawa Karaeng.

dialaminya itu. Dari fase inilah, secara bertahap sang ego belajar mengenai dirinya dan belajar memahami

Konsep fantasi digunakan untuk mengamati apa yang dimaui liyan padanya. Lebih lanjut, proses hasrat yang mendorong Haji Bawa Karaeng

ini akan membawa ego atau ‘aku’ melokasikan melangsungkan perhajian di Puncak Bawa

dirinya ke dalam tatanan simbolik (Lacan, 2005).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 175

Menurut cerita yang berkembang dalam Rasyid di Lembanna. 2 Menurut Tata, Penamaan masyarakat, bahwa orang yang melakukan

Haji Bawa Karaeng mencuat, konon, setelah perjalanan ini didasari oleh beberapa hal penting.

terjadinya badai yang pernah melanda puncak Pertama, mengisahkan kembali perjalanan Yusuf

Bawa Karaeng. Bersamaan dengan itu pemerintah dari Bawa Karaeng menuju Mekah. Kedua, pada

melarang pelaksanaan tradisi tersebut di atas malam Isra Mikraj, pintu langit terbuka

puncak Bawa Karaeng. Bermula pada tahun mengeluarkan cahaya ke bumi, dan salah satu

1987, waktu itu sekitar 14 orang pelaku tradisi lubang cahaya tersebut tepat turun di Bawa

meninggal dunia dan puluhan lainnya mengalami Karaeng. Ketiga, Bawa Karaeng sebagai bagian

luka-luka. Saat itulah pemerintah melekatkan dari Mekah membuat tempat itu sepadan

nama itu pada mereka: Haji Bawa Karaeng. pahalanya, dengan berhaji ke Mekah. Lagi pula,

Sejak tahun 1987, kejadian demi kematian yang

melanda jemaatnya bisa kejadian yang memakan korban terus berlanjut. diibaratkan mati syahid. Keempat, adanya Lima orang meninggal dunia pada tahun 1995 petunjuk hidayah atau ilham yang sering dan 1999. Selanjutnya, pada tahun 2001 didapatkan oleh seseorang untuk melakukan sebanyak dua orang. Ini menjadi alasan kuat perjalanan dan ritual ke Bawa Karaeng, baik pada pemerintah maupun otoritas Islam untuk melalui mimpi atau zikir. Kelima, diyakini melakukan intervensi, baik melalui dakwah bahwa di tempat ketinggian dapat mendekatkan langsung atau tidak langsung di tempat itu. diri dengan sang pencipta. Hal tersebut didasari

oleh keyakinan atas keberadaan para wali di Bawa Bagi Tata, memang ada pengakuan dari Karaeng. Keenam, di Bawa Karaeng terdapat

orang-orang yang pernah ke sana (pernah ke kesamaan nama-nama tempat, termasuk Makkaya,

Mekah dan Bawa Karaeng) bahwasanya, berhaji jejak kaki Nabi Ibrahim, tempat lahir Nabi Musa,

di sini sama rasanya dengan Mekah. Bahkan, di dan Padang Arafah.

Bawa Karaeng juga sering ditemukan coretan nama (nama depan mereka diberi kata haji), dan

Informasi di atas menjadi pegangan ini bisa saja doa (keinginan) para jemaat untuk penulis, yang akhirnya pada tanggal 29 Oktober dapat juga memiliki dan merasakan gelar haji. 2011, mengagendakan perjalanan ke Puncak Juga, bisa jadi itu merupakan penobatan gelar Bawa Karaeng. Ditemani kelompok mahasiswa

haji pada mereka.

pecinta alam di Universitas Negeri Makassar, perjalanan pun dimulai.

Selain itu, perjalan ke Puncak Bawa Karaeng sebagian besar karena nazar. Mereka

Lembanna merupakan tempat persinggahan lebih banyak bernazar atau meminta sesuatu yang selalu ramai oleh kedatangan Komunitas kepada Yang Kuasa. Sangat mungkin tulisan haji Pecinta Alam (KPA), dan lainnya. Bukan hanya di depan nama itu menjadi bagian dari itu, sebagian rumah milik warga sejak dahulu permohonan mereka. Sewaktu keinginannya terpenuhi, memang telah secara sukarela ditempati para mereka akan kembali ke atas, bahkan kadang pengunjung. Salah satunya, rumah Tata Rasyid. membawa kambing atau sapi. Mereka memotongnya Rumah yang telah bertahun-tahun digunakan di sana atau biasa juga di lepas begitu saja. oleh para pendaki berdiam sejenak sebelum

melanjutkan perjalanan ke puncak. Lembanna Tata sendiri mengakui b ahwa, “Dulu, merupakan salah satu titik start paling ramai

sewaktu belum punya anak laki-laki, aku dibandingkan dengan beberapa titik yang

bernazar. Pertama-tama meminta di atas Bawa menjadi landasan untuk sampai ke Puncak Bawa

Karaeng, kemudian meminta kepada Tuhan. Karaeng. Ia juga merupakan tempat berbenah,

Kita melaksanakan itu di Bawa Karaeng, karena persiapan fisik, juga mental dalam rangka

adat kebiasaan. Kebanyakan orang melepas menghadapi perjalanan. Jarak Lembanna dengan

ayam. Ada juga, pernah melepas kerbau yang Puncak Bawa Karaeng terhitung satu hari

diberi cincin. Ini diyakini tidak akan membuat perjalanan, berangkat pukul 6 pagi, sangat

longsor Bawa Karaeng. Aku bawa bajek (beras mungkin tiba pada pukul 18 sore.

ketan dicampur gula aren), pisang. Intinya, kita meminta kepada yang Atas dengan bernazar tapi

Cerita tentang Haji Bawa Karaeng bermula dengan pertemuan penulis dengan Tata

dilakukan di puncak Bawa Karaeng”.

2 Wawancara dilakukan di Lembanna, rumah Tata Rasyid, pada tanggal 3 September 2011.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

Bagi Tata, Perjalanan ke puncak itu Syekh Yusuf di Tallo. Setelah Syekh Yusuf laiknya memasuki pintu berlapis. Misalnya, Pos

dewasa, ia melakukan perjalanan ke Bawa Karaeng

I dianggap pintu gerbang. Di Pos I, setiap orang bersama Datu ri Panggentungang dan Lokmok ri atau kelompok diwajibkan bakar lilin dan

Antang. Bagi Karaeng Kila, rangkaian perjalanan sebatang rokok, lalu diletakkan di Saukang

mereka ke Puncak Bawa Karaeng adalah (sejenis sesajen). Sewaktu perjalanan ke atas,

menyejarahkan kembali perjalanan Yusuf dan didahulukan kaki kanan dan ke luar dengan kaki

dua orang tersebut. Mereka naik ke Puncak kiri, seperti saat masuk ke Masjid. Bahkan, di

Bawa Karaeng untuk bertemu dengan Raja Wali sana kita tidak boleh menggunakan sepatu.

dan Guru Wali.

Orang-orang yang melakukan perjalanan ke Karaeng Kila menegaskan bahwa di Bawa Karaeng meyakini bahwa tempat tersebut

Puncak Bawa Karaeng tersebutlah Syekh Yusuf merupakan pusat segalanya, sehingga bisa

mendapat perintah dari para wali untuk menghubungkan

membawa gagasan agamanya ke Mekah. Dengan menghubungkan Siratal Mustakim. Di Puncak

lain, bukan untuk belajar, tetapi Bawa Karaeng terdapat masjid yang secara mata

kata

menyampaikan apa yang telah menjadi gagasan kasar tidak terlihat – hanya mata yang terilhami

dan pemahamannya. Menurut Karaeng Kila, saja yang dapat menembusnya. Selain itu, Bawa

bahkan, konon sebelum Syekh Yusuf tiba di Karaeng merupakan muasal awal manusia,

Mekah, Nabi Muhammad sudah berpesan kepada bahkan di sinilah awal para nabi muncul dan

para Imam dan sahabat nabi bahwa nanti akan menjadi titik tolak datangnya Adam di muka

datang haji dari toddang (Timur jauh). Ia tidak bumi.

mengatakan bahwa akan naik haji, tetapi telah haji sebelum ke Mekah.

Di samping itu, keyakinan lainnya adalah jumlah 41 Nabi yang semuanya turun di

Lebih lanjut, Karaeng Kila, menyatakan Bawa Karaeng, 25 diantaranya berwujud

bahwa yang mereka lakukan di Puncak Bawa manusia dan 16 yang menjadi rambut, jadi

Karaeng adalah mengulangi kisah di atas. Para darah, jadi kulit, jadi daging, dan seterusnya –

jemaat menginap di beberapa tempat dan salat yang juga termaktub dalam diri manusia.

seperti orang yang ke Mekah. Jadi, katanya, Kepercayaan semacam itu, bagi mereka hanya

ritual di Bawa Karaeng tidak ada bedanya “ilmu hakiki” yang dapat menangkapnya, dan

dengan di Mekah. Orang ke Mekah adalah itu tidak dapat ditemukan atau dibaca dalam

melakukan ibadah, seperti salat, dzikir dan Quran. Selain Nabi, mereka juga meyakini

berdoa. Di sini mereka juga salat Fardu dan bahwa Quran itu lahir di atas (Puncak Bawa

Sunah, di tempat yang telah diten tukan. “Di sini Karaeng), hanya saja Syekh Yusuf membawa 30

kita memang merasakan bedanya salat. Karena juz saja ke Mekah dan 10 juz itu tinggal dalam

di sini itu mengundang hati kita sedih. tubuh manusia. Lebih lanjut, data yang

Mengingat yang maha kuasa. Membuat kita ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa

mengingat perbuatan-perbuatan yang pernah kita perhajian ini erat kaitannya dengan Syekh Yusuf

lakukan. Bagi saya, itu yang terasa! Entah yang yang sebagian pengikut ajarannya menganggap

lain, ” pungkasnya.

kewaliannya telah menembus ruang dan waktu.

Bagi mereka yang menganggap diri

Hasrat berhaji ke Puncak Bawa Karaeng

sebagai pengikut Syekh Yusuf menyatakan Bagian ini akan memaparkan munculnya bahwa Syekh Yusuf adalah anak dari Nabi hasrat Haji Bawa Karaeng. Seperti janji penulis

Hillere (Haidir). Karaeng Kila, 3 seorang pemimpin

di muka, di tahap ini akan digunakan konsep ritual komunitas tersebut menjelaskan, mula- Lacan mengenai kerja fantasi. Artinya, hanya mulanya seorang lelaki tua (yang sesungguhnya Nabi Haidir) turun di Ko’mara. Lelaki tua dalam rumusan atau konsep fantasi tersebut kita

dapat sampai pada apa yang disebut hasrat. tersebut kemudian menikahi anak Gallarang

Moncong Lohe, yang selanjutnya melahirkan Lacan menempatkan ide tentang Tuhan sebagai suatu wacana asing yang bersumber dari

3 Wawancara dilakukan pada tanggal 4 ketidaksadaran. Ia menyebut Tuhan sebagai September 2011, tepat pada puncak perayaan Idul

fantasi spiritualitas yang menghasilkan ilusi mitis. Adha, di Puncak Bawa Karaeng. Karaeng Kila adalah

Mengapa menghasilkan ilusi-mitis? Karena fantasi pemimpin jemaat yang beribadah di Puncak Bawa

itu sendiri adalah segudang objek penanda- Karaeng.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 177 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 177

riwayat di atas tidak lain adalah Nabi Haidir, dan telah dibungkus oleh fantasi) belum terbentuk

diyakini sebagai ayah dari Yusuf. Ayah dalam dan belum memiliki nama. Ia adalah objek a

hal ini diartikan secara metonimis. Ia sekaligus kecil, penyangga hasrat subjek yang berfungsi

penanda utama, Islam (hukum), Liyan, yang memberitahukan apa yang dimaui Liyan

menuntun dan menurunkan kepanritaan 5 (kecerdasan) padanya. Dengan kata lain, tanpa objek a yang

kepada Yusuf.

menopang keberadaan hasrat, subjek selamanya Kepanritaan di atas termanifestasi di saat akan berada dalam lingkaran neraka permintaan Yusuf menjadi seorang dewasa, lalu berjumpa (infernal circuit of demand), diduduki oleh dengan tokoh Islam lainnya, Datu Ri Panggentungan bahasa, menjadi psikosis. Ia terlanjur dimangsa dan Lomo Ri Antang. Pertemuan tersebut oleh kuasa hasrat sang ibu yang membuatnya tak menandakan bahwa kecerdasan yang dimiliki mampu mereproduksi bahasa. Yusuf dirasakan masih sesuatu yang kurang. Ada

Objek a kecil yang disebut Lacan adalah sesuatu yang ingin dicarinya, dan itu tidak ada mula-mula dari hadirnya Yusuf sebagai tokoh

dalam dirinya saat itu. Di sini terjadi drama Che yang dilahirkan oleh Islam, dalam hal ini

Voi? 6 Kamu mau ajaran Islam macam apa? diyakini sebagai anak dari Nabi Haidir. Kisah

Kamu mau Islam gimana ?” Kata Liyan. tersebut ditemukan dalam nukilan Lontara bilang

Kegelisahan itulah membuat subjek menyadari

bahwa rupanya Liyan juga lack. Liyan tidak yang menyatakan:

yang memuat riwayat perjalanan Syekh Yusuf 4 ,

dapat menggaransi kebutuhan subjek. 7 Drama Che voui “Di suatu malam Dampang Ko'mara pada subjek demand ini menunjukkan duduk menyepi sembari melihat

pada kita bagaimana subjek mengalami hasrat tanaman di kebunnya. Tiba-tiba ia

(menjadi subjek hasrat) lewat lack yang dialami melihat cahaya turun dari langit. Di

Liyan. Mengutip penyataan yang sering diulang- depan matanya tampak suatu sosok,

ulang oleh Lacan, Man’s desire is the Other’s sosok lelaki tua. Setelah cahaya itu

desire. 8 Hasrat seseorang adalah hasrat Liyan. hilang, sosok orang tua itu mendekati Dampang. ”

Apa yang sesungguhnya diingini oleh subjek adalah sesuatu yang tidak tergeletak di dalam bahasa Islam, tetapi berada dalam yang real – dunia yang tidak tersentuh bahasa

4 Semua percakapan yang dikutip dari simbolik. Permintaan itulah yang tidak tersedia rekaman kisah perjalanan Syekh Yusuf ke Bawa

pada subjek demand (bahasa Islam) yang akan Karaeng, sekarang telah tersedia dalam bentuk Mp3

membawanya mengalami subject as desire yang file, yang dibacakan lewat Sinrilik Tuanta Salamaka

lokasinya hanya terkandung dalam objek a kecil. atau riwayat perjalanan Syekh Yusuf dalam lontara

Objek a kecil menjadi objek hasrat atau bilang versi Gowa. Audio tersebut diambil langsung

penyebab hasrat subjek (causes desire). Objek dari rumah Haris Dg. Naba, setelah wawancara, pada

ini pula yang memiliki hubungan dengan bahasa tanggal 7 November 2011. Audio ini terbagi dalam

lima bagian kisah. Pertama, berkisah (berdurasi 1 jam) tentang awal mula datangnya orang yang

5 Kata dasar, panrita = cerdas. Jadi, ke- dijanjikan keselamatan oleh Tuhan, Syekh Yusuf

panrita-an berarti kecerdasan tertentu yang dimiliki Tajul Khalwatiyah Tuanta Salamaka ri Lino ri Ahera.

oleh seseorang.

Kedua, kisah (berdurasi 53 menit, 21 detik)

6 Untuk memahami Che Voui, lihat, Slavoj perjalanan Syekh Yusuf ke dan di tanah Mekah,

Žĭžek, The Sublime object of ideology, London: Verso, hingga ia menemukan jalan tarekat dan kesufiannya.

2008, hlm.111-112.

7 Liyan yang dimaksudkan di sini adalah Muhiddin dan Nabi Musa (berdurasi 7 menit, 06

Ketiga, perjumpaan Syekh Yusuf dengan Syekh

pengetahuan awal yang telah dimiliki Yusuf. detik). Keempat, bagian ini (berdurasi 1 jam) berkisah

8 Man's desire is the same as the Other's mengenai Nabi Musa berhadapan dengan Firaun,

desire," and "Man desires what the Other desires," kehadiran Yusuf di Banten, diutusnya Abdul Basir

all of which convey part of the meaning. For man not Tuan Rappang oleh Syekh Yusuf ke Gowa (untuk

only desires what the Other desires, but he desires it mengislamkan masyarakat Gowa). Kelima, kembalinya

in the same way; in other words, his desire is (berdurasi 33 menit, 50 detik) mayat Syekh Yusuf ke

structured exactly like the Other's. Man learns to Gowa. Lebih lanjut, kisah ini dapat disimak dan

desire as an other, as if he were some other person. diunduh di http://rasyajustice.blogspot.com/2012/03/

Lihat Bruce Fink, 1995, The Lacanian subject: sinrilik-syekh-yusuf-al-makassary.html.

between language and jouissance, hlm. 54.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

Islam (simbolik) dan yang imajiner. Dalam sangat penting dalam memahami hubungan hubungannya dengan yang simbolik, objek a

subjek di tatanan simbolik. Objek a kecil yang kecil berperan sebagai seperangkat penanda,

selama ini dirasakan hilang dalam imajinernya tetapi tidak dapat terartikulasikan karena hanya

Datu’ Ri Panggentungang kembali hadir di dalam berupa sisa, jejak dari penanda itu saja. Lalu,

diri Syekh Yusuf. Objek a atau objek yang imajiner dipakai untuk membungkus objek

kepanritaan dalam agama (Islam) yang selama

a kecil, sebagaimana dialami oleh ego di fase ini dikesampingkan oleh penanda utama. cermin, dalam meyakinkan subjek hasrat untuk

Penanda utama di sini, yakni Karaeng (raja), atau mengalami kembali jouissance atas penglihatannya

segenap penanda-penanda yang menghilangkan (gaze) pada objek Liyan. Lalu, di mana sesungguhnya

eksistensi Islam dalam masyarakat Gowa masa itu. objek a kecil itu? Inilah yang akan menjadi

Oleh karena itu, kehadiran Syekh Yusuf menjadi lintasan perjalanan Yusuf, di mana sisa atau

temp at bagi Datu’ Ri Panggentungang untuk jejaknya terdapat di belantara Bawa Karaeng.

menemukan kembali objek kenikmatan di dalam kepanritaan (yang dirasakan hilang darinya)

Untuk memenuhi kekurangan Yusuf, sekaligus untuk mengatasi kekalutan dalam yang mereka pun bersepakat melakukan perjalanan

real.

dalam rangka memperdalam ilmu yang dimilikinya. Dalam mengidentifikasi dirinya, Datu’

Fantasi yang dihadirkan oleh Datu’ Ri Ri Panggentungang mengajak Yusuf datang

Panggentungang dengan menjadikan kepanritaan padanya, lalu mengajaknya “alliungi pangisengang ri

Syekh Yusuf sebagai sumber hasrat memberi mangkasara ” mengelilingi “titik-titik” pengetahuan

harapan padanya untuk menelikung masuk ke yang ada di Makassar. Berangkatlah mereka

dalam apa yang diingininya. Fantasi ini disebut melalui tiga titik semedi; Bulu Saraung,

fantasi anaklitik aktif. Fantasi yang berupaya Lattimojong, dan Bawa Karaeng; gunung-

memiliki sekaligus mengembalikan kenikmatan gunung sakral dan tertinggi di tanah Makassar-

yang pernah hilang.

melewati semedi di tiga buah gunung tersebut. “titik-titik” pengetahuan di

Bugis. Bersama Lomo ri Antang dan Yusuf, ia

Mengitari

tanah Makassar atau alliungi pangisengang ri Sampai pada akhirnya ia tiba di puncak gunung mangkasara inilah menjadi jalan identifikasi terakhir, Puncak Bawa Karaeng. Fantasi macam gejala (symptom). Gejala (symptom) yang apa yang menghubungkan subjek dengan objek a dimaksud adalah gejala (symptom) ketidaksadaran kecil dari perjalanan ketiga orang ini? Objek a

kecil macam apa yang ditawarkan oleh gejala Datu’ Ri Panggentungang ketika mengajak

Syekh Yusuf alliungi pangisengang ri mangkasara. (symptom) dari perjalanan tersebut?

merupakan upaya Datu’ Ri Dari identifikasi di atas, kita dapat

Hal

itu

Panggentungang menawarkan objek a kecil (jalan menempatkan objek kepanritaan Syekh Yusuf

pemuasan) sebagai jalan identifikasi terhadap sebagai objek a kecil. Suatu objek pemenuhan

subjek Syekh Yusuf.

kenikmatan di dalam yang real- nya Datu’ Ri

Puncak Bawa Karaeng Panggentungang yang selama ini mengalami menjadi titik atau puncak dari seluruh alliungang represi. Kalau kita menarik benang merah atas (perjalanan) mereka? Pertama, Syekh Yusuf keberadaan agama Islam di tanah Makassar- adalah manusia Makassar-Bugis – bisa dikata, Bugis, partisipasi paling signifikan adalah masa itu Islam belumlah mendapat tempat kehadiran pa ra Syekh atau Datu’ini. Datu Ri

Mengapa

Panggentungang sendiri adalah keturunan “nyaman” untuk diterima secara baik, karena

masih kental dengan keyakinan agama lokal langsung dari Khatib tunggal Syekh Abdul Makmur atau dikenal dengan nama Datu’ Ri masyarakatnya. Kedua, dalam keyakinan agama

lokal masyarakat Makassar-Bugis (khususnya Bandang yang bertugas menyebarkan dan Agama Patuntung ) menganggap bahwa Bawa menegakkan (Syariat) Islam di tanah Makassar. Karaeng merupakan tempat bersemayamnya Tu

Kepanritaan Yusuflah menjadi objek a Rie Arana atau Yang Maha Berkehendak. kecil yang menjadi pusat dorongan, tempat

Ketiga, tempat ketinggian, puncak gunung, dibangunnya fantasi. Menurut Lacan, dalam

merupakan tempat paling baik untuk bermustajab Bracher (2009: 58) di sanalah tempat yang

atau semedi dan berdzikir bagi kalangan sufi. menghasilkan dan mempengaruhi suatu wacana,

Pendek kata, puncak Bawa Karaeng menjadi meskipun tampil dalam sesuatu yang kabur dan

tempat paling representatif untuk mempertemukan tidak dipahami. Namun, lokasi itu menjadi

ilmu ataupun hasrat dari kedua tokoh di atas.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 179

Bawa Karaeng menjadi between line (garis dalam diri subjek melihat Liyan padanya. Hasrat antara) yang diingini oleh hasrat pengetahuan

Liyan yang menjadi mediator antara Syekh Datu’ Ri Panggentung dan hasrat pengetahuan

Yusuf ($ ) dan objek yang mendefinisikan diri yang ada pada Syekh Yusuf. Pada tahap inilah

Yusuf, juga sebaliknya. Dari hubungan itu, fantasi subjek mengalami hasrat Liyan sebagaimana

memainkan fungsi dalam menempatkan identitas Liyan sebagai hasrat, menjadikan subjek sebagai

subjek, subject as desire.

hasrat. Di samping itu, Bawa Karaeng

Bawa Karaeng adalah objek a kecil merupakan “garis antara” dua pengetahuan manusia Makasar-Bugis. Bawa Karaeng sebagai

subjek. Pertemuan antara Islam Tasawuf dan belantara benda-benda spiritualitas, tempat

ilmu kebatinan lokal yang selama ini kosong di bersemayamnya jejak masa lalu agama nenek

tatanan simbolik. Wali (orang suci) dan Puncak moyang, Agama Patuntung. Objek itulah yang

Bawa Karaeng (tempat bersemayamnya Tu Rie disediakan oleh Datu’ Ri Panggentungang untuk

Arana ) mengantarai gap yang dirasakan Karaeng mengidentifikasi hasrat yang diingini oleh Syekh

dan Sang orang tua (pembawa bahasa Islam) di Yusuf.

dalam demand sebelumnya. Pada kasus ini, Wali dan Puncak Bawa Karaeng sukses mempertemukan

Lebih lanjut, fantasi mendorong subjek kenikmatan baru, hasrat baru, dan tentu saja terlibat ke dalam objek a kecil orang lain. Ini memperbaharui gejala (symptom) yang selama disebut juga sebagai fantasi narsistik aktif. Suatu

rangkaian penanda upaya melibatkan diri subjek untuk turut serta (penderitaan subjek mengelola bahasa Islam) di dalam kegiatan mencintai atau mengagumi objek tatanan simbolik. Perjalanan ini dapat dikatakan

a kecil pada pihak lain. Datu’ Ri sebagai jalan memperbarui gejala (symptom) panggentungang berupaya menyatukan apa yang subjek yang selama ini sekarat, sehingga diingininya itu dengan jalan mengidentifikasikan perjalanan ke Puncak Bawa Karaeng dan diri ke dalamnya. Suatu cara agar apa yang Pertemuan dengan Wali menjadi gejala (symptom) dimaui subjek, sama-sama dirasakan oleh Liyan. baru. Ia menjadi penanda baru yang akan Saling menghasrati. Apa yang kau mau adalah memperbarui kehidupan subjek di bawah restu seperti apa yang aku mau. Sang Ayah, Islam Makassar-Bugis (Komunitas

Seperti yang penulis sebutkan sebelumnya,

Bawa Karaeng):

ada dua poin utama di dalam fantasi. Poin kedua “Sang Wali berkata, “wahai Yusuf, adalah intersubjektivitas ( Žĭžek, 2008a: 8).

ternyata kamu telah mendatangi Bulu Intersubjektivitas ini penekanannya terletak pada

Saraung dan Lattimojong. Kenapa baru objek. Objek merupakan suatu yang mendefinisikan

kesini, padaku?” Sang Wali itu bertanya subjek. Hubungan intersubjektivitas ini merupakan

padanya …Aku telah lama berkeliling, hubungan yang saling menghadirkan. Objek

melewati perjalanan panjang, menimba kepanritaan yang dimiliki Syekh Yusuf

ilmu dalam semediku. Tetapi, aku menghadirkan kekosongan yang selama ini

belum menemukan pengetahuan yang dirasakan oleh Datu’ Ri Panggentungang. Sebaliknya,

ku cari itu. Barangkali engkaulah yang objek-objek yang dilalui Syekh Yusuf selama

dapat memberiku pengetahuan itu. Aku sangat menghendaki

berkah mengitari titik pengetahuan di tanah Makassar dan pengetahuan dari engkau... dan diajarkanlah

juga memberi kenikmatan terhadapnya. Objek a kepada mereka pengetahuan dari Sang kecil dari fantasi merupakan sesuatu dalam diri

Wali…Ketiganya lantas meminta pamit seseorang (yang melebihi dirinya) dalam rangka

dan kembali keperaduannya masing- memandang dirinya bernilai sebagai hasrat dari

masing. Tetapi, waktu itu Sang Wali Liyan. Inilah yang dimiliki oleh Syekh Yusuf

berpesan, “untuk terakhir kalinya, ada dalam mengantarai hasratnya kepada Liyan,

baiknya, kalian menuju Butta Parallua demikian pula saat Datu’ Ri Panggentungang

(tanah suci Mekah), sebab di sanalah kesempurnaan pengetahuan sesungguhnya .” mengintegrasikan dirinya ke dalam objek a 9

kecilnya Syekh Yusuf. Hasratlah yang mewujud ke dalam

objek. Hasrat bukanlah apa yang subjek inginkan,

9 Kisah Syekh Yusuf ini diunduh dari Sinrilik tetapi apa yang orang lain inginkan darinya. Apa

Tuanta Salamaka yang diunggah Rasya Yudistira di yang mereka lihat dalam diriku, apa diriku bagi http://rasyajustice.blogspot.com/2012/03/sinrilik- Liyan. Hal semacam inilah yang tertimbun di

syekh-yusuf-al-makassary.html.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

Istilah wali 10 memang banyak ditemukan di kataku, Tarikat adalah amalanku, dan Hakikat dalam konsep sufisme, yang dapat berarti bahwa

adalah maqamku (tujuanku) menuju Tuhan dan orang-orang yang mendalami ilmu sufi juga

bersama Tuhan. Di dalam Diwan Rumi dikatakan, dapat sampai pada level Waliullah/Wali Allah.

“Manakalah seseorang telah melepaskan (nafs) diri Menurut Rumi dalam Chittick (2011:179) para

dari kehidupan dunia ini, terlepaslah ia dari nabi dan wali (orang-orang suci) merupakan satu

syariat, terlepaslah ia dari Tarikat, dan hanya substansi. Ketika membicarakan hal pertama

Hakikat yang dapat mencapai Tuhan (Chittick, berarti menunjuk pada yang kedua. Setelah tidak

2011:15-16) .”

diturunkannya nabi pada zaman semacam ini, Proses yang dialami Yusuf bersama merekalah (wali atau syekh) yang bisa menunjukkan rekannya adalah jalan salik, pintu hakikat menuju jalan kebenaran pada seseorang untuk sampai

pada salik (orang yang sedang menempuh perjalanan – lokus keberadaan ilmu Tuhan –

jalan maqamat

tempat bersemayamnya kesempurnaan-kesempurnaan menuju Tuhan) – mendekap pada Ilmu Ilahi. Ilahia. Untuk sampai pada tahap itu, Yusuf mesti

Dalam hal ini, apa yang membedakan diarahkan oleh orang-orang suci, wali atau syekh istilah keimanan dan ketakwaan itu sendiri?

untuk sampai pada jalan rohani ini. Tentu saja, cara manusia mendekati Tuhan dalam

Pendakian menuju puncak Bawa Karaeng mengimplementasikan ilmu dan amalannya. Dalam bersama dua rekannya adalah tahap menuju ajaran Islam, kita seringkali mendengar istilah

syariat, tarikat, dan hakikat. Posisi pertama dan itu. “Kenapa baru datang padaku,”

maqamat

kata wali . Aku telah lama berkeliling, melewati kedua menekankan pada ilmu dan substansinya, perjalanan panjang, menimba ilmu dalam sementara substansi itu terletak pada praktik- semediku. Namun, aku belum menemukan pengetahuan amalam dari ilmu yang didapatkan darinya. yang ku cari itu. Barangkali engkaulah yang

Secara umum, dalam ajaran Islam, ilmu dapat memberiku pengetahuan itu. Aku sangat yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang

menghendaki berkah dan pengetahuan dari berasal dari al-Quran dan hadis Nabi Muhammad

engkau... Yusuf mau mengatakan, aku baru SAW. Kedua ilmu itu adalah hukum yang

menemukan getaran hasratku di sini. Biarkanlah mengatur hidup manusia di dalam masyarakatnya.

aku menjadi apa yang kau inginkan, aku sangat Misalnya, penegakan syariat Islam seyogyanya

ingin menjadi – berkah dari pengetahuan yang berkesesuaian dengan amalan dan perilaku

ada pada engkau.

umatnya. Perilaku tersebut tentu saja mengutamakan Dalam diskursus kebudayaan (khususnya sikap sebagai mukmin di dalam kehidupan bidang agama), hasrat semacam itu disebut sehari-harinya. Yakni, kuncinya pada amar ma’ruf nahi mungkar. Mukmin yang siap hasrat narsistik pasif (Bracher, 2009: 33). Hasrat

itu muncul dari dorongan penanda utama di melawan segala bentuk kebatilan dan penindasan. tatanan simbolik, agar subjek mendapat cinta Mukmin yang memerdekakan dan memperjuangkan atau pengakuan Liyan. Dorongan itu muncul dari kebaikan terhadap sesama manusia, tanpa hakikat (Ilmu Tuhan dan jalan untuk bersama membedakan jenis rambut, warna kulit, kualitas Tuhan) yang sedang dicari Yusuf. Simaklah isi dompet, merek pakaian maupun agamanya. pesan Wali ke Yusuf dan rekannya, “Untuk

Dalam konsep sufi, (khususnya ilmu terakhir kalinya, ada baiknya, kalian menuju dan amal sudah tidak menjadi fokus lagi) unsur

Butta Parallua (tanah suci Mekah), sebab di ketigalah yang menjadi inti

– kesadaran spiritual 11 sanalah kesempurnaan pengetahuan sesungguhnya .” menuju puncak kenikmatan dalam mendekati

Di sini, kita melihat bahwa Yusuf sukses kesempurnaan Ilahi – untuk menyatu dengan

mendapatkan cinta, pengakuan, atau menjadi apa Tuhan. Hanya saja, dalil mengenai hal itu, secara

yang diingini oleh Wali. Namun, untuk memiliki eksplisit tidak dijelaskan dalam Quran dan Hadis

kesempurnan pengetahuan yang sesungguhnya – Nabi. Menurut para sufi (Chittick, 2011:14) yang

bergeser ke hasrat narsistik aktif (jalan maqamat), mengutip perkataan Nabi: Syariat adalah kata-

Yusuf mesti menempuh perjalanan lagi – bertandang ke tanah suci Mekah. Perjalanan itu

untuk menemukan SWT berfirman,“Ketahuilah! Sesungguhnya wali- wali Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,

10 Siapa Wali itu? Di dalam Al-Quran, Allah

merupakan

langkah

11 Kisah Syekh Yusuf ini diunduh dari dan mereka pula tidak bersedih hati. Wali-wali Allah

Sinrilik Tuanta Salamaka yang diunggah Rasya itu ialah orang-orang yang beriman serta mereka pula

Yudistira di http://rasyajustice.blogspot.com/2012/ senantiasa bertaqwa ” (Surat Yunus 10: 62-63).

03/sinrilik-syekh-yusuf-al-makassary.html.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 181 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 181

menemukan maqamat atau Other Jouissance. “Berangkatlah, anakku! Temuilah Imam

Dalam dialog-dialog para sufi, realitas Syafi ’i, katakan padanya. Bagaimana

“ada” atau kenikmatan diri menjadi subjek “yang ada” mengada (di-ada-kan) dan

adalah ketika manusia telah bangun dari matinya yang tiada di-mengadakan (diper-ada-

(mereka menyebut kehidupan saat ini adalah kan). Bila ia hanya mengatakan “yang ada” saja bisa di tiadakan. Maka, mati). Dunia ini sendiri adalah maya, sementara

berkatalah itu pun bisa aku lakukan. realitas sesungguhnya adalah kematian yang Sebab, Kalau yang tiada saja di-

berarti kehidupan (Chodjim, 2002: 79). Hidup mengada-kan. Bagaimana dengan yang

ini mesti dikosongkan untuk sampai pada ada itu, kalau sebelumnya memang

kepenuhan yang sempurna. Artinya, kosong dari telah tiada .” 12 nafs

atau jiwa yang memuji sifat duniawi. Nukilan di atas adalah dialog yang

Ketika yang “ada” (sebagai penanda pesan bahasa) saja dapat dikosongkan, kesempurnaan

paling urgen dan memberi pengaruh besar terhadap argumentasi sufisme dan subjek “Haji pengetahuan yang dimiliki Yusuf melebihi dari

Bawa Karaeng”. Ini menjadi bagian paling apa yang akan dicarinya di tanah Mekah. Inilah yang paradoks di dalam perjalanan Syekh Yusuf

menentukan, apakah Yusuf hanya akan sampai – menjadi multitafsir –

transendental pada keduanya. Ini pula yang

versi lontara bilang Gowa

khususnya, merespon perjalanan haji ke Bawa pada falik 13 jouissance atau menerima anjuran di

Karaeng.

atas. Dengan kata lain, ia dapat dengan senang hati (tidak mengabaikan hukum atau anjuran

Dalam perjalanan Syekh Yusuf nantinya wali) menerima kastrasi/ mengorbankan (hasrat

ke Mekah (berdasarkan perintah Wali di Bawa sang ibu) sebagian ilmu yang didapatkannya di

Karaeng padanya) sebagai jalan menemukan Bawa Karaeng. Lalu, melanjutkan kisahnya ke

kesempurnaan sesungguhnya, menjadi inti tafsiran subjek “Haji Bawa Karaeng”. Di dalam versi

12 Kisah Syekh Yusuf ini diunduh dari lontara bilang Gowa ditemukan bahwa hanya Sinrilik Tuanta Salamaka yang diunggah Rasya

kisah kepenuhan dan kesempurnaan yang menyelimuti Yudistira di http://rasyajustice.blogspot.com/2012/

realitas perjalanan Yusuf. Singkatnya, kita dapat 03/sinrilik-syekh-yusuf-al-makassary.html.

13 Sang subjek gagal menemukan jouissance melihat bahwa kesempurnaan ilmu yang didapat Yusuf tidaklah didapatkan dari imam-imam yang dari Liyan (Sang Ayah) atau pemenuhan kenikmatan

bermukim di Mekah atau di dalam realitas melalui komunikasi (ritus) kepada Liyan yang

berfungsi sebagai pemilik Hukum atau Penanda simbolik di sana. Tak satu pun imam yang berani

Utama. Di bawah komando hukum, penanda utama- mengajarinya karena telah cukup kesempurnaan lah subjek merealisasikan ketersediaan penanda

pengetahuan yang telah dibawanya dari tanah (gejala/symptom yang telah dibaluti restu dari sang

Makassar (Jawi), Puncak Bawa Karaeng. ayah) kepada Liyan. Atas pengaminan kastrasi oleh

Bahkan, penanda pengetahuan yang dimilikinya subjek dari Sang Ayah membawa subjek ini

dianggap telah melampaui apa yang dimiliki menduduki posisi subjek neurosis, sehingga

oleh para imam-imam di sana. menseparasikan dirinya dari objek pemuasan yang selama ini diduduki oleh maternal phallus – sang ibu.

Di mana Yusuf menemukan kesempurnaan atau Inilah yang membedakannya dengan subjek yang

ekstase tertinggi menuju maqamat yang hanya sampai pada Phallic jouissance, di mana

ditujunya itu? Apakah di Mekah atau di suatu pemuasan hanya meciptakan subjek perversi. Subjek

tempat yang lokasinya di luar eksistensi yang gagal menseparasikan diri dari maternal phallus,

manusia? Ataukah untuk menegaskan ayat dalam sang ibu. Dengan kata lain, mereka mengalami represi,

Al-Quran bahwa Tuhan itu ada di mana-mana 14 – tetapi mengabaikannya, enggan melakukan separasi

karena takut pada kastrasi Sang Ayah Subjek perversi menggunakan larangan sebagai hasrat, kenikmatan. Ia

14 Al-Quran, Op. Cit.,Dan milik Allah Timur menggunakan hukumnya sendiri, penanda yang

dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah diciptakannya adalah penanda dari dirinya sendiri,

wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha dan tidak berada di bawah pedoman penandaan Sang

Mengetahui, (Surat Al-Baqarah, 115). Allah, tidak Ayah. Sederhananya, sebagai contoh, subjek merasa

ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus dirinya

menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk sesungguhnya tidak menggunakan hukum atau aturan

paling atau

sangat soleh,

namun

dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan dari Liyan Kudus. Subjek macam ini cenderung

apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi masokis, sadis, atau fetis.

syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

ini, fantasi selalu berperan serta menyediakan Tuhan juga selalu, dan akan selau ada di Puncak

koordinat dan memberitahukan lokasi objek Bawa Karaeng, Tuhan yang sering dikunjungi

hasratnya subjek pada Liyan. Fantasi selalu oleh jemaat “Haji Bawa Karaeng” saat bulan

terlibat dalam memata-matai dan menjaga Zulhajji merapat ke Bumi? Akan tetapi, tentu

hubungan subjek satu sama lain. Jalan itu saja, kita harus menyelisiknya lebih mendalam

diperlukan supaya objek hasrat yang dimauinya lagi!

dan yang dimaui Liyan padanya terus dalam kondisi “stabil”. Di sinilah penanda Islam di

Penutup

tanah Makassar-Bugis menemukan rangkaian makna baru dari perjalanan mereka. Perjalanan

Dokumen yang terkait

SEJARAH DAN DINAMIKA PRAKTIK HAK ULAYAT TANAH DI DESA PROBUR UTARA HABOLLAT KABUPATEN ALOR THE HISTORY AND DYNAMIC OF CUSTOMARY LAND TENURE IN THE VILLAGE OF PROBUR UTARA HABOLLAT, ALOR DISTRICT

0 2 22

PEMBAGIAN EPISTEMOLOGI HABERMAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL-BUDAYA THE CLASSIFICATION OF HABERMAS EPISTEMOLOGY AND ITS IMPLICATION TOWARD SOCIAL-CULTURAL RESEARCH METHODOLOGY

0 0 18

TELEVISI DAN MASYARAKAT DALAM ORDE MEDIA

0 0 7

FROM JAPANESE SOFT POWER TO COSPLAY HIJAB

0 0 18

DINAMIKA NILAI GOTONG ROYONG DALAM PRANATA SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN: STUDI KASUS MASYARAKAT BULUTUI DAN PULAU NAIN, SULAWESI UTARA THE DYNAMICS OF GOTONG ROYONG VALUES IN THE SOCIAL INSTITUTION OF FISHERMEN SOCIETIES: A CASE STUDY OF BULUTUI’S AND NAIN I

0 0 14

STRUCTURAL VIOLATION OF INDIGENOUS HUMAN RIGHTS IN INDONESIA: A CASE STUDY OF MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE (MIFEE) IN PAPUA KEKERASAN STRUKTURAL TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA: STUDI KASUS MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE

0 0 12

FLOOD CONTROL AND PEOPLE’S PARTICIPATION IN SURABAYA, 1950-1976

0 0 16

DARI ‘NEGARA ISLAM’ KE POLITIK DEMOKRATIS: WACANA DAN ARTIKULASI GERAKAN ISLAM DI MESIR DAN INDONESIA FROM ‘ISLAMIC STATE’ TO DEMOCRATIC POLITICS: DISCOURSES AND ARTICULATIONS OF ISLAMIST MOVEMENT IN EGYPT AND INDONESIA

0 0 18

UPACARA SEBA BADUY: SEBUAH PERJALANAN POLITIK MASYARAKAT ADAT SUNDA WIWITAN SEBA BADUY CEREMONY: A POLITICAL JOURNEY OF SUNDA WIWITAN TRADITIONAL COMMUNITY

1 1 12

EKSPLORASI ATAS PRAKTIK DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM KERAJAAN WAJO’ ABAD KE-1516 DAN KOMPATIBILITASNYA DENGAN SISTEM DEMOKRASI MODERN EXPLORATION ON DEMOCRATIC VALUES AND PRACTICES IN WAJO’ HISTORIC KINGDOM IN THE 15 TH AND 16 TH CENTURY AND THEIR COMP

0 0 16