BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Perendaman Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas Dalam Larutan Kopi dan Teh Terhadap Kekuatan Impak dan Transversal

     

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Basis Gigitiruan

2.1.1 Pengertian

  Basis gigitiruan lepasan adalah bagian dari gigitiruan yang bersandar pada permukaan jaringan lunak dan merupakan tempat melekatnya anasir gigitiruan. Basis gigitiruan lepasan digunakan untuk membentuk bagian dari gigitiruan, baik yang terbuat dari logam ataupun non logam. Basis gigitiruan lepasan memperoleh

  2,4,35

  dukungan melalui kontak yang erat dengan jaringan mulut dibawahnya. Fungsi basis gigitiruan lepasan antara lain tempat melekatnya anasir gigitiruan yang akan mengembalikan fungsi pengunyahan (mastikasi), menyalurkan tekanan oklusal ke jaringan pendukung, gigi penyangga atau linggir sisa, memenuhi faktor kosmetik, memberikan stimulasi kepada jaringan yang berada di bawah dasar gigitiruan yang sering disebut juga dengan jaringan sub basal, memberikan retensi dan stabilisasi

  5 pada gigitiruan.

  Berbagai macam bahan telah digunakan dalam pembuatan basis gigitiruan seperti kayu, tulang, keramik, logam, aloi, dan beberapa jenis polimer. Selain itu, juga telah dikembangkan beberapa bahan lain sebagai bahan basis gigituran, antara lain

  8,10

  vukanit, nitroselulosa, fenol-formaldehid, dan porselen. Walaupun berbagai bahan telah digunakan untuk membuat basis gigitiruan, namun belum ada bahan yang dapat

  5,6,8,10

  memenuhi semua persyaratan basis gigitiruan. Daya tahan dan sifat dari suatu bahan basis gigitiruan sangat dipengaruhi oleh bahan basis gigitiruan tersebut. Meskipun pada tahun 1940, vulkanit merupakan bahan yang paling banyak dipakai untuk basis gigitiruan, namun bahan ini dianggap kurang higienis karena mudah menyerap saliva, susah dibersihkan, kurang estetis, dan mudah terjadi perubahan

  7,8,10,35

  dimensi. Demikian pula fenol-formaldehid yang sukar dalam proses

  10 pembuatannya dan mudah terjadi perubahan warna dalam rongga mulut.

     

2.1.2 Persyaratan

  Bahan basis gigitiruan yang ideal harus memenuhi persyaratan sebagai

  5,8-10

  berikut: 1.

  Tidak toksik dan tidak mengiritasi 2. Tidak larut dalam cairan mulut, tidak menyerap cairan mulut, tidak bereaksi dengan cairan mulut.

3. Mempunyai sifat-sifat mekanis yang adekuat:

  a) Modulus elastisitas tinggi

  b) Proportional limit tinggi sehingga tidak mudah berubah bentuk secara permanen jika mendapat tekanan c)

  Kekuatan transversal tinggi

  d) Ketahanan yang cukup

  e) Kekuatan impak tinggi sehingga basis tidak mudah fraktur saat terjatuh

  f) Kekuatan fatigue tinggi

  g) Memiliki kekerasan dan ketahanan terhadap abrasi yang baik

  h) Konduktivitas termal tinggi i)

  Densitas rendah untuk menjaga retensi gigitiruan rahang atas j) Temperatur untuk melunakkan harus lebih tinggi dari temperatur makanan dan minuman dalam mulut

4. Estetis dan stabilitas warna baik 5.

  Hal lain yang menjadi pertimbangan antara lain:

  a) Radiopak sehingga apabila fragmen pecahan dari basis gigitiruan tidak sengaja tertelan atau terhirup maka dapat dideteksi dengan menggunakan X-ray b)

  Mudah diproses dengan peralatan dan harga yang minimum

  c) Mudah dimanipulasi dan direparasi

  d) Tidak mudah mengalami perubahan dimensi baik saat pembuatan dan saat pemakaian e)

  Mudah dibersihkan

     

  Namun sampai saat ini belum ada satupun bahan basis gigitiruan yang memenuhi semua persyaratan diatas. Walaupun demikian, apapun bahan basis gigitiruan yang digunakan baik dari logam maupun resin harus mempunyai hasil yang

  3,5,6,8,10 sedekat mungkin dengan persyaratan diatas.

2.1.3 Klasifikasi

  Bahan yang digunakan untuk basis gigitiruan dapat diklasifikasikan menjadi

  6 dua kelompok, yaitu logam dan non logam.

2.1.3.1 Logam

  Logam yang dapat digunakan sebagai bahan basis gigitiruan antara lain

  7

  kobalt kromium, aloi emas, aluminium, dan stainless steel. Basis gigitiruan yang terbuat dari logam dapat dibuat lebih tipis dan akurat dan dapat mempertahankan bentuk dibandingkan bahan resin, namun bahan logam susah disesuaikan dan direparasi. Basis gigitiruan dari bahan logam memiliki kelebihan dalam menyalurkan stimulasi terhadap jaringan di bawah basis sehingga sangat menguntungkan dalam

  3 mengurangi atropi tulang alveolar dibandingkan bahan resin.

  Bahan logam sebagai basis gigitiruan memiliki beberapa keunggulan, antara

  3,5

  lain:

  a) Merupakan penghantar termis yang baik, karena setiap perubahan suhu yang terjadi akan langsung disalurkan ke jaringan di bawahnya. Rangsangan seperti ini akan menstimulasi dan mempertahankan kesehatan jaringan di bawah basis gigitiruan.

  b) Memiliki ketepatan dimensional yang tinggi. Basis gigitiruan dari bahan logam tidak hanya lebih tepat, namun juga dapat mempertahankan bentuk tanpa terjadi perubahan selama pemakaian dalam mulut. Hal ini disebabkan tidak terjadinya

  internal strain

  selama proses pembuatannya, sehingga tidak terjadi perubahan bentuk dan volume. Ketepatan bentuk basis akan menciptakan kontak yang baik dengan jaringan mulut di bawahnya sehingga meningkatkan retensi yang disebut dengan interfacial surface tension.

     

  c) Tahan terhadap abrasi sehingga permukaannya tetap licin dan mengkilat, serta tidak menyerap cairan mulut. Sifat ini membuat deposit makanan maupun kalkulus sulit melekat. Kalaupun terjadi perlekatan, kalkulus dapat dengan mudah dibersihkan secara mekanis. Karena karakteristik ini, basis gigitiruan dengan bahan logam sering disebut “naturally cleaner”.

  d) Dapat dibuat lebih tipis tanpa mengurangi kekuatannya sehingga ruang gerak bagi lidah relatif lebih luas.

  Di samping keunggulan, bahan logam sebagai basis gigitiruan juga

  3,5

  mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:

  a) Basis gigitiruan dengan bahan logam tidak mungkin dilapis atau dicekatkan kembali.

  b) Warna basis gigitiruan dengan bahan logam tidak sesuai dengan warna jaringan sekitarnya sehingga bila dipakai di bagian anterior akan menganggu estetik.

c) Relatif lebih berat, terutama bila dipakai untuk rahang atas.

  d) Perluasan basis gigitiruan dengan bahan logam sampai ke lipatan bukal maupun pengembalian kontur pipi dan bibir sulit dilakukan.

  e) Teknik pembuatan basis gigitiruan dengan bahan logam lebih rumit dan mahal.

  Basis gigitiruan dengan bahan logam memiliki beberapa indikasi pemakaian, antara lain penderita dengan hipersensitif terhadap resin, penderita dengan daya kunyah abnormal, ruang intermaksilar kecil, atas permintaan pasien, pasien dengan kebiasaan menyikat gigi secara berlebihan atau kasus dengan tulang pendukung yang

  3,5 stabil.

2.1.3.2 Non Logam

  Berdasarkan sifat termal, basis gigitiruan lepasan non logam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu thermoplastic dan thermohardening. 1)

  Thermoplastic Bahan thermoplastic adalah bahan yang tidak mengalami perubahan kimia selama proses pembuatannya. Produk yang dihasilkan serupa dengan bahan dasar,

     

  hanya saja terjadi perubahan dalam bentuknya. Bahan ini dapat dilunakkan dengan panas dan dibentuk menjadi bentuk yang lain. Contoh bahan thermoplastic yang pernah digunakan sebagai basis gigitiruan adalah nitrat selulosa (seluloid), vinil,

  6,7 nilon, polikarbonat, dan resin termoplastik.

  2) Thermohardening

  Bahan thermohardening adalah bahan yang mengalami perubahan kimia selama proses pembuatannya Hasil dari produk tersebut berbeda dari bahan dasar setelah selesai diproses. Setelah proses pembuatan selesai, bahan thermohardening tidak dapat menjadi lunak kembali oleh pemanasan. Contoh bahan thermohardening

  6,7 adalah vulkanit, fenol-formaldehid, dan resin akrilik (polimetil metakrilat).

2.2 Resin Akrilik

2.2.1 Pengertian Resin akrilik yang murni sebenarnya tidak berwarna, transparan, dan padat.

  Untuk mempermudah pemakaiannya dalam kedokteran gigi, polimer diwarnai untuk mendapatkan warna dan derajat kebeningan. Resin akrilik memiliki warna serta sifat optik tetap stabil di bawah kondisi mulut yang normal, dan sifat-sifat fisiknya telah terbukti sesuai untuk aplikasi kedokteran gigi. Secara teknis resin akrilik diklasifikasikan sebagai bahan thermoplastic. Namun dalam bidang kedokteran gigi, resin akrilik lebih banyak dipakai sebagai bahan thermohardening/thermoset yaitu setelah selesai pembuatan tidak dipanaskan dan dikembalikan ke bentuk semula lagi. Resin akrilik dikembangkan sejak 1930-an dan dipakai sebagai biomaterial

  2,33,36 kedokteran gigi pada pertengahan tahun 1940-an.

  Resin akrilik merupakan bahan basis gigitiruan yang terdiri dari bubuk dan cairan. Sejak pertengahan tahun 1940-an, kebanyakan basis gigitiruan dibuat dengan menggunakan resin akrilik (polimetil metakrilat). Resin merupakan plastik lentur yang dibuat dengan menggabungkan molekul-molekul metil metakrilat multipel. Salah satu alasan mengapa resin akrilik dipakai sebagai bahan basis gigitiruan adalah proses pembuatan yang mudah. Bahan resin akrilik ini biasanya dikemas dalam

     

  sistem bubuk-cairan. Cairan mengandung metil metakrilat yang tidak terpolimer dan bubuk mengandung resin poli (metil metakrilat) pra-polimerisasi dengan bentuk butir-butir kecil. Bila cairan dan bubuk diaduk dengan proporsi yang tepat, diperoleh massa yang dapat dibentuk. Kemudian, bahan dimasukkan ke dalam mold (rongga

  2,25 cetakan) dari bentuk yang diinginkan serta dipolimerisasi.

2.2.2 Jenis Resin Akrilik

  Resin akrilik dapat diklasifikasikan ke dalam resin akrilik polimerisasi panas,

  2,9

  resin akrilik swapolimerisasi, dan resin akrilik polimerisasi sinar. Resin akrilik dapat diaktivasi dengan panas, cahaya, atau kimiawi (swapolimerisasi) sehingga molekul-molekul monomer akan bergabung membentuk molekul yang lebih besar

  6 (polimer) yang dikenal dengan polimetil metakrilat.

  Resin akrilik polimerisasi panas terdiri dari bubuk dan cairan dimana setelah mengalami proses pencampuran dan pemanasan akan membentuk suatu bahan yang

  8

  kaku. Resin akrilik polimerisasi panas digunakan hampir dalam semua pembuatan basis gigitiruan. Energi termal yang diperlukan untuk polimerisasi dapat diperoleh

  10,25,36 dengan menggunakan waterbath atau microwave.

  Resin akrilik polimerisasi sinar terdiri dari matriks uretan dimetakrilat dan

  microfine silica

  dan camphorquinone yang berperan sebagai inisiator. Proses

  9,25

  polimerisasinya menggunakan sinar tampak (VLC) sebagai aktivator. Polimerisasi terjadi di dalam suatu unit kuring yang menggunakan lampu halogen dengan panjang

  

9

cahaya 400 – 500 nm selama kira-kira 10 menit.

  Resin akrilik swapolimerisasi merupakan resin akrilik yang mengalami polimerisasi pada suhu kamar. Bahan ini sebenarnya mirip dengan resin akrilik polimerisasi panas, akan tetapi berbeda dalam hal inisiasi polimerisasi. Resin akrilik swapolimerisasi (cold curing atau self curing autopolymeryzing) adalah resin akrilik yang ditambahkan aktivator kimia, yaitu dimetil paratoluidin karena memerlukan aktivasi secara kimia dalam proses polimerisasi. Resin ini jarang digunakan sebagai bahan untuk membuat basis gigitiruan karena kekuatan dan stabilitas warnanya tidak sebaik resin akrilik polimerisasi panas. Selain itu, jumlah monomer sisa pada resin

     

  akrilik swapolimerisasi lebih tinggi dibandingkan resin akrilik polimerisasi

  9,25,36 panas.

2.3 Resin Akrilik Polimerisasi Panas

  Resin akrilik polimerisasi panas merupakan polimer yang paling banyak digunakan dalam pembuatan basis gigitiruan dibandingkan jenis resin yang lain. Bahan ini terbuat dari bahan polimetil metaklirat yang memerlukan energi termal atau energi panas dalam proses polimerisasinya. Energi termal yang dibutuhkan untuk

  10,25 proses polimerisasinya dapat diperoleh dari waterbath atau microwave.

2.3.1 Komposisi

  8,35,37,38

  Komposisi resin akrilik terdiri dari:

  a) Bubuk (Polimer) 1.

  Polimer : polimetil metakrilat 2. Inisiator : 0,2 - 0,5% benzoil peroksida 3. Pigmen : merkuri sulfida, kadmium sulfida, kadmium selenida, ferric

  oxide 4.

  Opacifiers : seng, titanium oksida 5. Plasticizers : dibutil pthalat 6. Serat sintetik/organik : serat nilon atau serat akrilik 7. Partikel inorganik : serat kaca, zirkonium silikat

  b) Cairan (Monomer) 1.

  Monomer : metil metakrilat 2. Inhibitor : 0,003 – 0,1 % hidrokuinon untuk mencegah polimerisasi selama penyimpanan

3. Plasticizers : dibutil pthalat 4.

  Bahan untuk memacu ikatan silang (cross-linking agent) seperti etilen glikol dimetakrilat (EGDMA). Bahan ini berpengaruh pada sifat fisik polimer dimana polimer yang memiliki ikatan silang bersifat lebih keras dan tahan terhadap

  8,35,37,38 pelarut.

     

2.3.2 Manipulasi

  Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat manipulasi resin akrilik polimerisasi panas yaitu: a)

  Perbandingan polimer dan monomer Perbandingan polimer dan monomer yang baik adalah 3 atau 3,5 : 1 berdasarkan volume dan 2,5 : 1 berdasarkan berat. Dengan perbandingan yang benar maka monomer akan cukup untuk membasahi keseluruhan partikel polimer. Bila monomer terlalu sedikit maka tidak semua polimer terbasahi sehingga saat kuring, resin akrilik masih ada yang berbentuk butir-butir. Bila monomer terlalu banyak maka akan terjadi peningkatan pengerutan volume polimerisasi yang lebih besar (21% satuan volume) dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi pada adonan resin akrilik yang seharusnya (7% volume) sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai fase dough (konsistensi) dan akhirnya menyebabkan timbulnya

  10,25 porositas pada resin akrilik.

  b) Pencampuran

  Bubuk dan cairan dalam perbandingan yang benar dicampur di dalam

  2,10,35 tempat yang tertutup lalu dibiarkan hingga mencapai dough stage.

  Pada saat pencampuran ada lima tahap yang terjadi yaitu: (i)

  Tahap I (sandy stage) : polimer meresap ke dalam monomer membentuk suatu fluid yang tidak bersatu. (ii)

  Tahap II (sticky stage) : permukaan polimer larut dalam monomer dan melekat dengan pot, serta berserabut bila ditarik. (iii) Tahap III (dough stage) : polimer telah jenuh di dalam monomer. Massa yang lebih halus dan dough like (seperti adonan). Pada tahap ini massa dapat dimasukkan ke dalam mold.

  (iv) Tahap IV (rubber hard stage) : penetrasi yang lebih lanjut dari polimer. Bahan tidak plastis lagi dan tidak dapat dimasukkan ke dalam mold.

  (v) Tahap V (hard stage) : selama periode tertentu, adonan menjadi keras yang disebabkan oleh penguapan monomer bebas. Secara klinis, adonan nampak

  2,10,35 amat kering dan tahan terhadap deformasi mekanik.

     

  c) Mould lining

  Setelah semua malam dikeluarkan dari mold dengan cara menyiramnya dengan air mendidih dan detergen, dinding mold harus diberi bahan separator (cold

  mould seal ) untuk mencegah merembesnya monomer ke bahan mold dan

  berpolimerisasi sehingga menghasilkan permukaan yang kasar, merekat dengan

  2,10 bahan mold, dan mencegah air dari gips masuk ke dalam resin akrilik.

  d) Pengisian

  Mengisi resin akrilik ke dalam mold disebut packing. Tahap ini merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam pembuatan basis gigitiruan. Sewaktu melakukan pengisian resin akrilik ke dalam mold perlu diperhatikan agar mold terisi penuh dan sewaktu di-press terdapat tekanan yang cukup pada mold. Hal ini dapat dicapai dengan mengisikan adonan akrilik sedikit lebih banyak ke dalam mold. Jika jumlah adonan yang dimasukkan ke dalam mold kurang maka dapat menyebabkan

  2,10,35 terjadinya shrinkage porosity.

  e) Kuring

  Mold yang telah diisi dipanaskan dalam oven atau waterbath dimana besar temperatur dan lama pemanasan harus dikontrol. Jika suhu pemanasan saat kuring terlalu rendah maka basis gigitiruan akan mengandung monomer sisa yang tinggi. Hal ini sangat penting dan harus dihindari. Suhu pemanasan juga tidak boleh terlalu tinggi

  

9,10,35

karena dapat menyebabkan internal porositas.

  Proses kuring yang paling tepat yang disarankan oleh Japan Industrial Standard’s (JIS) adalah pemanasan pada suhu

  39 70°C selama 90 menit, kemudian ditingkatkan mejadi suhu 100°C selama 30 menit.

  f) Setelah proses kuring selesai, kuvet dikeluarkan dan dibiarkan sampai mencapai suhu kamar. Kemudian kuvet dipisahkan dan resin akrilik dikeluarkan,

  2,10 dilakukan penyelesaian akhir dan dipoles.

2.3.3 Sifat

  Sifat bahan basis gigitiruan terbagi atas sifat fisis, sifat biologis, sifat mekanis,

  3,8 dan sifat kemis.

     

  2.3.3.1 Sifat Fisis

  Ketika monomer metakrilat terpolimerisasi untuk membentuk poli (metil

  3

  metakrilat), kepadatan massa bahan berubah dari 0,94 menjadi 1,19 g/cm . Perubahan menghasilkan pengerutan volumetrik sebesar 21%. Akibatnya, pengerutan volumetrik yang ditunjukkan oleh massa terpolimerisasi sebesar 6 - 7% sesuai dengan nilai yang

  7,25 diamati dalam penelitian laboratorium dan klinis.

  Konduktivitas termal adalah pengukuran termofisika mengenai seberapa baik panas disalurkan melalui suatu bahan. Konduktivitas termal resin akrilik polimerisasi

  • 4

  panas sangat rendah, yaitu 5,7 x 10 °C/cm sehingga dapat mengakibatkan masalah

  8,37

  selama proses pembuatan gigitiruan. Sifat brittle resin akrilik polimerisasi panas dapat meningkat melalui adanya pemanasan yang mengakibatkan gigitiruan mudah

  8,37 rapuh sehingga terjadi fraktur.

  Porositas dapat terjadi pada bagian permukaan maupun bagian dalam basis gigitiruan resin akrilik. Apabila temperatur resin akrilik melebihi titik didih monomer (100,8°C) maka monomer yang tidak bereaksi mendidih dan menghasilkan porus di dalam basis gigitiruan yang sedang diproses. Porositas akan mengakibatkan kekuatan

  2,10

  basis gigitiruan menjadi lebih rendah. Porositas dapat memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kekuatan resin akrilik. Ada 2 jenis porositas yang dapat kita temukan pada basis gigitiruan, yaitu shrinkage porosity dan gaseous porosity.

  Shrinkage porosity

  kelihatan sebagai gelembung yang tidak beraturan bentuknya di seluruh permukaan gigitiruan. Sedangkan, gaseous porosity terlihat berupa gelembung kecil halus yang seragam, biasanya terjadi terutama pada basis gigitiruan

  10 yang tebal dan dibagian yang lebih jauh dari sumber panas.

  2.3.3.2 Sifat Biologis

  Sebagai bahan basis gigitiruan, resin akrilik harus biokompatibel dengan jaringan rongga mulut. Hal ini berarti resin akrilik tidak bersifat toksik dan tidak mengiritasi. Sampai saat ini basis gigitiruan dengan resin akrilik dikenal sebagai bahan yang biokompatibel dan jarang dikeluhkan pasien. Namun, ada beberapa kasus

  8

  dimana pasien menunjukkan reaksi alergi terhadap resin akrilik. Hal ini kebanyakan

     

  disebabkan oleh monomer sisa atau asam benzoat. Bahkan dalam resin akrilik yang

  10 terpolimerisasi dengan sempurna pun masih ada sekitar 0,2 - 0,5% monomer sisa.

  Kemampuan basis gigitiruan untuk menyerap cairan berhubungan dengan kemampuan mikroorganisme tertentu untuk berkolonisasi pada permukaan gigitiruan, misalnya Candida albicans, terutama pada pasien dengan kebersihan rongga mulut

  9,35 yang buruk.

2.3.3.3 Sifat Kemis

  Resin akrilik polimerisasi panas relatif menyerap air lebih sedikit pada lingkungan yang basah. Daya absorbsi air pada resin akrilik polimerisasi panas adalah

  2

  37

  sebesar 0,69 mg/cm . Absorbsi air oleh resin akrilik polimerisasi panas terjadi akibat proses difusi, dimana molekul air dapat diabsorbsi pada permukaan polimer yang padat dan menempati posisi diantara rantai polimer sehingga memisahkan ikatannya. Hal ini mengakibatkan terjadinya ekspansi dan menganggu ikatan rantai

  25

  • 6

  polimer. Koefisien difusi resin akrilik polimerisasi panas adalah 0,011 x 10

  2

  cm /detik pada suhu 37°C. Temperatur juga dapat mempengaruhi daya absorbsi air

  25,37

  resin akrilik polimerisasi panas. Setiap kenaikan berat akrilik sebesar 1% yang disebabkan oleh absorbsi air akan menyebabkan terjadinya ekspansi linear sebesar 23%. Sebaliknya pengeringan bahan ini akan disertai oleh timbulnya kontraksi. Oleh karena hal ini maka basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas harus tetap

  

10

direndam dalam air saat sedang tidak digunakan.

  Resin akrilik polimerisasi panas juga dapat bereaksi dengan zat seperti metanol, fenol, benzena, dan lainnya sehingga menyebabkan penurunan kekuatan baik dalam hal kekerasan permukaan, kekuatan impak, maupun kekuatan transversal. Apabila fenol berkontak dengan resin akrilik maka akan menyebabkan kerusakan

  40

  resin akrilik secara kimiawi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hanny Tri Indri Astuty (2010) bila resin akrilik berkontak dengan fenol maka akan terjadi perusakan kimiawi pada permukaan resin akrilik sehingga dapat menyebabkan retak atau

  crazing

  dan penurunan kekuatan serta kekerasan. Bila kekerasan resin akrilik menurun maka kekuatan impak juga akan menurun. Hasil penelitiannya juga

     

  menunjukkan bahwa semakin lama perendaman RAPP dalam larutan cuka apel yang

  26 mengandung polifenol maka kekerasan permukaan RAPP akan semakin menurun.

  Shen (1989) dalam penelitiannya dengan phenolic buffer mengemukakan bahwa RAPP yang berkontak dengan fenol 5% akan menunjukkan peningkatan berat karena penyerapan air dan mengalami kerusakan kimiawi pada permukaannya. Disamping itu juga ditemukan bahwa morfologi permukaan RAPP tersebut menjadi berlubang-

  14,29,30 lubang kecil dan butir polimer tampak jelas.

  Resin akrilik mempunyai sifat menyerap air atau cairan. Fenol merupakan suatu senyawa dan mempunyai berat molekul yang lebih kecil dari berat molekul polimer resin akrilik. Hal ini menyebabkan fenol dapat berpenetrasi ke dalam lempeng resin akrilik dan terjadi pemutusan rantai panjang polimer. Fenol yang berkontak dengan lempeng akrilik akan bereaksi dengan ester dari polimetil metakrilat sehingga ikatan rantai polimer dari resin akrilik menjadi terganggu dan mengakibatkan sifat fisis lempeng akrilik semakin melemah. Senyawa tersebut akan masuk ke dalam permukaan resin akrilik, mengakibatkan permukaannya mengembang dan menjadi lunak. Perusakan secara kimiawi menimbulkan kekasaran pada permukaan resin akrilik sehingga dapat menyebabkan retak atau crazing dengan

  26,31 penurunan kekerasan permukaan serta kekuatan impak dan transversal RAPP.

  Polifenol (polyphenol) adalah kelompok bahan kimia dengan lebih dari satu unit fenol per molekul. Oleh karena itu, polifenol yang berkontak dengan lempeng akrilik akan bereaksi dengan ester dari polimetil metakrilat dalam lempeng resin akrilik. Ikatan rantai polimer dari resin akrilik menjadi terganggu mengakibatkan terjadinya

  14,29,33 crazing

  sehingga sifat fisis resin akrilik melemah. Wahyu, dkk (2013), dalam penelitiannya yang merendam RAPP dalam ekstrak rosela 30% menunjukkan semakin lama waktu perendaman berbanding terbalik dengan penurunan kekuatan impak. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan polifenol dalam ekstrak rosela

  33

  yaitu golongan flavonoid. Penelitian selanjutnya yang menggunakan ekstrak mengkudu yang juga mengandung senyawa polifenol dalam bentuk flavonoid malah

  30,33 tidak menunjukkan penurunan terhadap kekuatan transversal yang signifikan.

  Erika (2011), yang melakukan penelitian tentang kekuatan transversal RAPP setelah

     

  direndam dalam ekstrak binahong 25% menunjukkan penurunan kekuatan transversal yang signifikan setelah perlakuan. Hal ini disebabkan oleh kandungan polifenol

  

34

  dalam ekstrak daun binahong yaitu sekitar 5%. Handayani, dkk (2013), melakukan penelitian tentang perendaman RAPP dalam larutan cabai rawit yang mengandung polifenol dalam bentuk flavonoid menunjukkan adanya penurunan kekuatan impak yang signifikan. Selain itu, dalam penelitiannya yang merendam RAPP dalam ekstrak buah kiwi yang mengandung polifenol dalam bentuk flavonoid menunjukkan adanya

  31,32 penurunan kekuatan impak yang berkaitan dengan durasi perendaman.

2.3.3.4 Sifat Mekanis

  Sifat mekanis RAPP terbagi menjadi kekuatan impak, kekuatan transversal, dan crazing. Beberapa faktor tertentu dapat mempengaruhi kekuatan impak dan transversal RAPP, yaitu mulai dari tahap manipulasi hingga tahap kuring. Kekuatan impak dan transversal yang dihasilkan dapat berbeda-beda tergantung dari teknik pengadukan, kandungan monomer sisa, micro porosity yang tidak terlihat, jarak waktu dari tahap pengisian ke dalam mold sampai pengepresan, dan jarak waktu dari proses pengepresan hingga proses kuring.

2.3.3.4.1 Kekuatan Impak

  Kekuatan impak merupakan besar energi yang diserap oleh suatu material

  7

  ketika material tersebut patah oleh tekanan yang tiba-tiba. Salah satu penyebab

  23

  mudahnya terjadi fraktur adalah kekuatan impak resin akrilik yang rendah. Basis gigitiruan resin akrilik seharusnya memiliki kekuatan impak yang tinggi untuk mencegah terjadinya fraktur apabila terjatuh, seperti saat gigitiruan dibersihkan, batuk, atau bersin. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh El-Sheikh dan Al-Zahrani (2006), diperoleh data bahwa patahnya gigitiruan akibat kekuatan impak

  24 yang rendah merupakan kasus yang paling sering terjadi yaitu sebesar 80,4%.

  Besar kekuatan impak RAPP menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh

  • 3

  2

  23 Goguta L (2006) adalah 4,73 x 10 J/mm . Sedangkan menurut hasil penelitian

     

  yang dilakukan oleh Desi Watri (2010), besar kekuatan impak RAPP adalah sebesar

  • 3

  2

  42 4,75 x 10 J/mm .

  Terdapat dua alat untuk menguji kekuatan impak, yakni alat penguji Charpy dan Izod. Pada alat penguji Charpy, kedua ujung spesimen diletakkan pada posisi horizontal. Pada alat penguji Izod, sampel dijepit pada salah satu ujungnya secara vertikal. Kekuatan impak suatu bahan dapat diukur dengan cara menjepit kedua ujung sampel pada alat penguji kekuatan impak. Pendulum yang ada pada alat dilepaskan hingga membentur sampel sehingga sampel patah. Hasil yang tertera pada alat

  10

  penguji dicatat, lalu dilakukan perhitungan kekuatan impak dengan rumus berikut: Keterangan:

  E = energi (joule) b = lebar sampel (mm) d = ketebalan sampel (mm)

2.3.3.4.2 Kekuatan Transversal

  Kekuatan transversal adalah ketahanan suatu batang uji yang ditumpu pada

  25

  kedua ujungnya dan diberikan beban hingga sampel menjadi patah. Fraktur midline sering disebabkan oleh kekuatan transversal yang rendah, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus fraktur yang terjadi disebabkan oleh tekanan pengunyahan

  24 yang berulang-ulang adalah sebesar 16,1%.

  Standar kekuatan transversal basis gigitiruan adalah tidak kurang dari 60 – 65 Mpa. Besar kekuatan transversal RAPP berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

  41

  oleh Desi Watri (2010) adalah sebesar 93,57 Mpa. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nirwana (2005), besar kekuatan transversal RAPP

  42 adalah sebesar 94,94 Mpa.

  Kekuatan transversal atau fleksural suatu bahan dapat diketahui dengan cara memberikan beban pada sebuah sampel berbentuk batang yang bertumpu pada kedua ujungnya dan beban tersebut diberikan ditengah-tengahnya. Lalu diberikan tekanan

     

  secara konstan meningkat hingga sampel patah. Nilai yang tertera pada alat penguji

  41

  dicatat, lalu dimasukkan kedalam perhitungan menggunakan rumus berikut: Keterangan :

  2 S = kekuatan transversal (kg/cm )

  I = jarak antar beban pendukung (cm) P = beban (kg) b = lebar sampel /batang uji (cm) d = tebal sampel/batang uji (cm)

2.3.3.4.3 Crazing

  Gigitiruan juga dapat mengalami crazing yaitu retakan yang muncul pada permukaan basis gigitiruan resin akrilik. Crazing menyebabkan efek melemahkan basis gigitiruan yaitu menurunnya kekerasan permukaan basis, serta menurunnya kekuatan impak dan transversal resin akrilik yang dapat menyebabkan mudahnya

  10,35 fraktur.

  10,35,37 Crazing

  dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain:

  a) Pasien yang memiliki kebiasaan melepaskan gigitiruan dan membiarkannya kering begitu saja tanpa direndam. Tegangan mekanis akibat siklus penyerapan air dan pengeringan yang berlangsung berulang kali akan menghasilkan tegangan tensil yang cukup di permukaan untuk menyebabkan crazing. Oleh karena itu, pasien diinstruksikan untuk tetap menyimpan gigitiruan dengan cara direndam untuk mempertahankan kelembaban.

  b) Pemakaian anasir gigitiruan porselen dapat menyebabkan crazing pada daerah basis disekitar leher gigi porselen tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan koefisien ekspansi termal.

  c) Crazing dapat terjadi saat perbaikan basis gigitiruan yaitu pada saat monomer metil metakrilat berkontak dengan resin akrilik yang sedang direparasi.

     

  2.3.4 Keuntungan

  Keuntungan resin akrilik polimerisasi panas sebagai bahan basis gigitiruan

  8-10

  adalah: 1.

  Tidak toksik 2. Tidak mengiritasi 3. Tidak larut dalam cairan mulut 4. Estetis baik 5. Koefisien ekspansi termal tinggi 6. Temperatur pelunakan lebih tinggi daripada suhu makanan dan minuman 7. Ikatan yang baik antara basis dan anasir gigitiruan 8. Proses pembuatan dan pemolesan mudah 9. Harga relatif murah 10.

  Mudah direparasi

  2.3.5 Kerugian

  Kelemahan resin akrilik polimerisasi panas sebagai bahan basis gigitiruan

  9,10,15

  adalah: 1.

  Ketahanan terhadap benturan rendah 2. Ketahanan terhadap abrasi rendah 3. Konduktivitas termal rendah 4. Kekuatan fleksural rendah 5. Adanya monomer sisa yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitif 6. Dapat terjadi perubahan dimensi 7. Dapat terjadi distorsi 8. Dapat menyebabkan crazing apabila berkontak dengan fenol

2.4 Kopi

  Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan

  12,21

  ekstraksi biji tanaman kopi. Kopi merupakan komoditi perkebunan andalan

  40 Indonesia yang diusahakan oleh perkebunan negara, swasta maupun rakyat. Sejarah

     

  kopi telah dicatat sejak abad ke 9. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai

  21

  kalangan masyarakat Indonesia. Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400.000 ton kopi per tahunnya. Tingkat konsumsi kopi dalam negeri berdasarkan hasil survei LPEM UI tahun 1989 adalah sebesar 500 gram/kapita/tahun. Dewasa ini diperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800

  13 gram/kapita/tahun (AEKI, 2011).

2.4.1 Jenis Kopi

  18 Secara umum terdapat dua jenis kopi, yaitu arabika dan robusta.

2.4.1.1 Kopi Arabika

  Kopi arabika merupakan tipe kopi tradisional dengan cita rasa terbaik. Secara umum kopi ini tumbuh di negara-negara beriklim tropis atau subtropis. Kopi ini berasal dari Ethiopia. Walau berasal dari Ethiopia, kopi arabika telah menguasai sekitar 70% pasar kopi dunia dan sekarang telah dibudidayakan di berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Latin, Afrika Tengah, Afrika Timur, India, dan Indonesia. Kopi arabika tumbuh pada ketinggian 700 – 1700 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh hingga 3 meter bila kondisi lingkungan baik. Suhu tumbuh

  12,21 optimalnya adalah sekitar 16 – 20°C.

  Ciri-ciri dari tanaman kopi arabika ini, yaitu panjang cabang primernya rata- rata mencapai 123 cm, sedangkan ruas cabangnya pendek-pendek. Batangnya berkayu, keras, dan tegak serta berwarna putih keabu-abuan. Keunggulan dari kopi arabika antara lain bijinya berukuran besar, beraroma harum, dan memiliki cita rasa yang baik. Kelemahan kopi ini adalah rentan terhadap penyakit HV. Oleh karena itu, sejak muncul kopi robusta yang tahan terhadap penyakit HV, dominasi kopi arabika mulai tergantikan. Secara umum, ciri-ciri kopi arabika yaitu beraroma wangi yang sedap menyerupai aroma perpaduan bunga dan buah, terdapat cita rasa asam yang tidak terdapat pada kopi jenis robusta, cita rasanya jauh lebih halus (mild) daripada

  21 kopi robusta, dan terkenal pahit.

     

  Gambar 1. Kopi Arabika

2.4.1.2 Kopi Robusta

  Kopi robusta merupakan kopi yang pertama kali ditemukan di Kongo pada

  12,21

  tahun 1898 dan mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1900. Kopi robusta merupakan turunan dari beberapa jenis kopi, yaitu Coffea canephora, Coffea quillou,

  21

  dan Coffea uganda. Kopi robusta dapat dikatakan sebagai kopi kelas dua karena rasanya yang lebih pahit, sedikit asam, dan mengandung kafein dalam kadar yang

  12

  jauh lebih banyak. Selain itu, cakupan daerah tumbuh kopi robusta lebih luas daripada kopi arabika yang harus ditumbuhkan pada ketinggian tertentu. Kopi robusta dapat ditumbuhkan dengan ketinggian 800 m diatas permukaan laut. Hal ini menjadikan kopi robusta lebih murah. Selain itu, kopi robusta tahan terhadap

  12,38 serangan hama dan penyakit, terutama terhadap serangan jamur karat (HV).

  Kopi robusta memiliki beberapa keunggulan yaitu lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit (khususnya penyakit HV), mampu tumbuh dengan baik pada ketinggian tempat 400 – 700 m di atas permukaan laut pada suhu 21 - 24°C, produksinya lebih tinggi dari kopi arabika. Secara umum, kopi robusta memiliki beberapa ciri-ciri, antara lain memiliki rasa yang menyerupai coklat, aroma yang dihasilkan khas dan manis, warna bijinya bervariasi tergantung cara pengolahannya,

  

21

  serta teksturnya lebih kasar dari kopi arabika. Di Indonesia, 90% jenis kopi yang

  14 banyak diproduksi dan dikonsumsi adalah jenis robusta.

     

  Gambar 2. Kopi Robusta

2.4.2 Komposisi

  Kopi memiliki nama latin Coffea sp. Buah kopi terdiri atas 4 bagian yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), kulit tanduk (parchment), dan

  21

  biji (endosperm). Kulit buah kopi banyak mengandung karbohidrat dan protein,

  40

  senyawa kafein, tanin dan polifenol lainnya (asam kafeat dan klorogenat). Biji kopi mengandung protein, minyak aromatis, dan asam-asam organik.

  12,21

  Komposisi kimia pada biji kopi arabika adalah sebagai berikut: 1.

  Protein : 9,17% 2. Lemak : 2% 3. Serat kasar : 27,65% 4. Gula reduksi : 12,4% 5. Gula non reduksi : 2,02% 6. Abu : 3,33% 7. Tanin : 4,47% 8. Total pektin : 6,52% 9. Kafein : 1,1%

     

  21 Komposisi kimia pada biji kopi robusta adalah sebagai berikut: 1.

  Gula reduksi : 12,4% 2. Gula non reduksi : 2% 3. Tanin : 1,8-8,56% 4. Total pektin : 6,5% 5. Kafein : 1,3% 6. Asam klorogenat : 2,6% 7. Total asam kafeat : 1,6%

  2.4.3 Pengolahan

  Biji kopi kering tidak dapat langsung dikonsumsi karena belum mempunyai aroma, rasa, dan warna yang khas. Oleh karena itu biji kopi tersebut harus diolah lebih lanjut untuk memperoleh sifat-sifat yang dikehendaki. Pengolahan dasar yang dilakukan yaitu penyangraian dan penggilingan. Biji kopi disangrai pada suhu 193 - 199°C (light roast), 204°C (medium roast) dan 213 - 221°C (dark roast). Penyangraian dihentikan apabila kopi sudah mudah dipecah dengan kedua jari tangan. Selanjutnya didinginkan dan digiling dengan menggunakan grinder. Lalu

  21

  dilakukan penyaringan agar ukuran partikelnya seragam. Hasil olahan kopi dapat berupa berbagai jenis makanan dan minuman, antara lain kopi hitam, espresso, latte, kopi instan, kopi moka, capuccino, kopi tubruk. Namun yang paling sering dikonsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah kopi hitam yang merupakan ekstraksi langsung dari perebusan biji kopi yang disajikan tanpa penambahan bahan

  16,21 apapun.

  2.4.4 Keuntungan

  Mengkonsumsi kopi mempunyai beberapa manfaat bagi tubuh, antara lain kandungan kafein dalam kopi yang ternyata mampu menekan pertumbuhan sel kanker secara bertahap. Selain itu, kafein mampu menurunkan resiko terkena diabetes melitus tipe 2 dengan cara menjaga sensitivitas tubuh terhadap insulin. Kafein dalam kopi juga telah terbukti mampu mencegah penyakit serangan jantung. Pada beberapa

     

  kasus, konsumsi kopi juga dapat membuat tubuh tetap terjaga dan meningkatkan konsentrasi walaupun tidak signifikan. Selain itu, kopi juga dapat meningkatkan metabolisme energi terutama untuk mencegah glikogen (gula cadangan dalam tubuh).

  12,21 Kopi juga dapat mencegah penyakit saraf seperti alzheimer.

  Selain kafein, kopi juga mengandung senyawa antioksidan dalam jumlah yang cukup banyak. Adanya antioksidan dapat membantu tubuh dalam menangkal efek perusakan oleh senyawa radikal bebas, seperti kanker, diabetes, dan penurunan respon imun. Beberapa contoh senyawa antioksidan yang terdapat didalam kopi adalah flavanoid, asam klorogenat, tokoferol, kumarin, dan lainnya. Dengan

  12,21,43 perebusan, aktivitas antioksidan ini dapat ditingkatkan.

2.4.5 Kerugian

  Selain beberapa keuntungan diatas, kopi juga memiliki beberapa efek samping. Enzim CYP1A2-2 yang memetabolisme kafein memiliki laju metabolisme yang lambat sehingga kebanyakan orang dengan tipe ini tidak merasakan efek kesehatan dari kafein dan bahkan cenderung menimbulkan efek yang negatif. Selain itu, pada beberapa kasus ditemukan bahwa orang yang mengkonsumsi kopi akan

  12 menimbulkan efek jantung berdebar-debar.

  Kopi mengandung antioksidan yang lebih dikenal dengan polifenol. Polifenol yang terkandung dalam kopi adalah tanin, asam klorogenat, dan asam kafeat. Golongan tanin yang utama dari kopi adalah golongon tanin terkondensasi yang biasa disebut flavanoid. Flavanoid merupakan golongan antioksidan dengan komposisi terbesar dalam kopi. Pada kopi robusta, total polifenol yang terkandung adalah

  20-22 sebesar 6 – 12,76%.

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Viona dkk (2011), lama perendaman resin akrilik dalam larutan kopi aceh ulee kareng menujukkan bahwa besarnya kekerasan permukaan berbanding terbalik dengan durasi perendaman. Semakin lama

  27

  perendaman, maka semakin rendah kekerasan permukaan. Menurunnya kekerasan permukaan tentu akan mempengaruhi kekuatan impak dan transversal resin akrilik polimerisasi panas. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyohadi (2013)

     

  juga menunjukkan adanya penurunan kekuatan impak RAPP dengan penambahan

  14 serat kaca 3% setelah direndam dalam larutan kopi.

  Selain itu, kebiasaan minum kopi juga dapat menyebabkan perubahan warna pada basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Aggarwal (2012), terlihat adanya perbedaan warna yang signifikan dalam uji analisis sebelum dan sesudah perendaman dalam larutan kopi

  18

  dan teh. Sementara itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Imirzalioqlu dkk (2012), juga didapati adanya perubahan warna pada RAPP secara klinis setelah dilakukan percobaan dengan teh dan kopi sehingga disarankan bahwa meminimalisasi konsumsi kopi dan teh sangat baik untuk pemakaian jangka panjang gigitiruan

  19 lepasan dengan basis RAPP.

  Minum kopi sudah menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Minuman kopi dapat dikonsumsi oleh semua orang termasuk orang yang memakai gigitiruan dengan basis resin akrilik polimerisasi panas. Sewaktu mengkonsumsi kopi, plat akrilik akan terpapar terutama pada seseorang yang mengkonsumsi setiap hari dengan frekuensi per hari yang tidak sedikit. Pada umumnya orang mengkonsumsi kopi pada saat sarapan sehingga kandungan zat polifenol dalam kopi dapat menempel pada basis dalam jangka waktu yang cukup lama.

2.5 Teh

  Teh (Camelia sinensis) adalah minuman yang dibuat dengan cara menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dengan air panas. Teh merupakan sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan kadar lemak,

  15

  karbohidrat, atau protein mendekati nol persen. Teh sebagai bahan minuman penyegar dan menyehatkan, serta merupakan salah satu komoditi unggulan

  16

  perkebunan di Indonesia. Tanaman teh berasal dari Cina dan India. Teh menjadi kultur tersendiri bagi negara-negara di Asia, seperti Cina, Jepang, India, dan Indonesia. Pohonnya berbentuk semak yang hanya tumbuh di daerah tropis dan

     

  subtropis. Daunnya mengandung Alkaloid Koffein yang membawa pengaruh

  17 menyegarkan dan menyenangkan.

2.5.1 Jenis Teh

  Teh dibagi menjadi empat kelompok, yaitu teh hitam, teh oolong, teh hijau,

  17 dan teh putih.

2.5.1.1 Teh Hitam

  Teh hitam atau yang lebih dikenal dengan teh merah karena air seduhannya berwarna merah. Teh hitam merupakan jenis teh yang paling umum di dunia. Teh hitam dibagi menjadi dua jenis berdasarkan cara pengolahannya yaitu ortodoks atau CTC. Ortodoks adalah teh yang diolah dengan cara tradisional, sedangkan CTC merupakan singkatan dari crush, tear, curl yang telah berkembang sejak tahun 1932. Teh hitam yang belum diramu (unblended) dikelompokkan berdasarkan asal

  17

  perkebunan, tahun produksi, dan periode pemetikan. Teh hitam mengandung lebih sedikit katekin dibandingkan dengan teh hijau karena dalam proses pengolahannya, teh hitam dirancang agar katekin mengalami oksidasi untuk memperbaiki rasa, warna,

  22

  dan aromanya. Teh hitam diproduksi oleh lebih dari 75% negara di dunia,

  15,17

  sedangkan teh hijau diproduksi kurang lebih 25% negara di dunia. Teh hitam merupakan jenis teh yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

  Gambar 3. Teh Hitam

     

  2.5.1.2 Teh Hijau

  Teh hijau merupakan teh yang mengalami proses oksidasi dalam jumlah

  22 minimal sehingga memiliki kadar katekin yang lebih besar daripada teh hitam.

  Proses oksidasi dihentikan dengan dipanaskan menurut cara tradisional Jepang atau

  15

  digongseng menurut cara tradisional Cina. Jenis teh hijau awalnya dikeringkan untuk keperluan sendiri di Cina, Jepang, dan Indonesia. Sejak beberapa tahun lalu,

  17 jenis teh ini digemari juga di Eropa.

  Gambar 4. Teh Hijau

  2.5.1.3 Teh Putih

  Teh putih merupakan teh yang dibuat dari pucuk daun yang tidak mengalami proses oksidasi dan sewaktu belum dipetik dilindungi dari sinar matahari untuk menghalangi pembentukan klorofil. Teh putih diproduksi dalam jumlah lebih sedikit

  15 dibandingkan jenis teh lain sehingga harganya menjadi lebih mahal.

  Gambar 5. Teh Putih

     

2.5.1.4 Teh Oolong

2.5.2 Komposisi

  2

  Katekin : 1-2% 2. Epikatekin : 1-3% 3. Epikatekin Galat : 3-6% 4. Gallokatekin : 1-3% 5. Epigallokatekin : 3-6% 6. Epigallokatekin Galat : 1-13%

  22 1.

  segar adalah sebagai berikut:

  ) dalam teh merupakan komponen utama yang mendominasi sekitar 30% berat kering teh. Katekin merupakan kerabat tanin terkondensasi yang sering disebut polifenol karena banyaknya gugus fungsi hidroksil yang dimilikinya. Katekin merupakan senyawa utama yang menentukan mutu, baik cita rasa, tampilan, maupun warna air seduhan.

  6 O

  Teh oolong merupakan teh yang proses oksidasinya dihentikan di tengah- tengah antara teh hitam dan teh hijau yang biasanya memakan waktu 2-3 hari.

  6 H

  (C

  15 Katekin

  Teh juga mengandung kafein sekitar 3% dari berat kering atau sekitar 40 mg per cangkir, teofilin dan teobromin dalam jumlah sedikit.

  15,17

Dokumen yang terkait

Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

2 55 77

Kekuatan Impak Resin Akrilik Polimerisasi Panas Setelah Perendaman Dalam Larutan Tablet Pembersih Gigitiruan

5 87 64

Pengaruh Perendaman Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas Dalam Larutan Kopi dan Teh Terhadap Kekuatan Impak dan Transversal

9 108 100

Pengaruh Penambahan Serat Kaca pada Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas terhadap Kekuatan Impak dan Transversal

9 81 84

Pengaruh Perendaman Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas Dalam Larutan Pembersih Peroksida Alkali Terhadap Perubahan Dimensi Dan Kekuatan Transversal

4 126 125

BAB 2 TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Resin Akrilik Polimerisasi Panas 2.1.1 Komposisi - Pengaruh Perendaman Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas Dalam Ekstrak Kayu Manis Terhadap Jumlah Candida albicans

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Penambahan Serat Polietilen terhadap Kekasaran Permukaan dan Penyerapan Air Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Akrilik 2.1.1 Pengertian - Kekuatan Impak Resin Akrilik Polimerisasi Panas Setelah Perendaman Dalam Larutan Tablet Pembersih Gigitiruan

0 0 12

Kekuatan Impak Resin Akrilik Polimerisasi Panas Setelah Perendaman Dalam Larutan Tablet Pembersih Gigitiruan

0 1 14