MEMASUKI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: TANTANGAN DAN ANCAMAN BAGI KEBERAGAMAN AGAMA DI ASIA TENGGARA

  Newsletter Interfidei Januari-Juni 2015 L

  Dokumentasi Margareta E. Widyaningrum

  Fokus ................................. 2 Fitur ................................... 9 Kronik .............................. 12 Refleksi ........................... 30 Agenda ............................ 32

  Website http://www.interfidei.or.id Editorial............................. .1

  Twitter @dian_interfidei

  Facebook Institut DIAN/Interfidei

  Phone.:0274-880149. Fax.:0274- 887864 E-mail dianinterfidei@yahoo.com

  Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia.

  Diterbitkan oleh Institut DIAN/ Interfidei Jl. Banteng Utama 59,

  Keuangan Eko Putro Mardianto, Fita Andriani

  Setting/ Layout Ryo Emanuel

  ebih dari satu dekade lalu, para pemimpin ASEAN sepa- kat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 ini. Tujuann- nya adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dan meningkatkan daya saing ASE- AN sehingga bisa sejajar dengan negara-negara maju di kawasan Asia. Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masya- rakat Ekonomi Asean (MEA) ini tidak hanya membuka arus per- dagangan barang atau jasa, dan juga pasar tenaga kerja professi- onal, tetapi juga membuka ruang bebas bagi meningkatnya kebera- gaman (kuantitas dan kualitas), termasuk keberagaman agama dan paham keagamaan.

  Tim Redaksi Elga Sarapung, Wiwin Siti Ami- nah, Wening Fikriyati

  Pemimpin Redaksi Wiwin Siti Aminah

  IN SOUThEAST ASIA Penanggung Jawab Elga Sarapung

  ENTERING ThE ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015: ThREATS AND ChALLENGES fOR ThE RELIGIOUS DIvERSITY

  One of the three pillars of the ASEAN Economic Community is concerned with socio-cultural matters in ASEAN, leading to the formation of the ASEAN Social and Cultural Community which aims to further the wealth of the ASEAN members in the aspect of culture, education, health, and social. This community is expec- ted to realize a civilized society

  Asian by the end of 2015. The purpose of this idea is to incre- ase the economic stability and competitiveness in ASEAN so that it can compete with other developed countries in Asia. The establishment of this market, or now referred to as ASEAN Eco- nomic Community, aims not only to allow easier transaction of go- ods and services and professional workers, but also opens up possi- bility for the increase in the quan- tity and quality of diversity, inclu- ding diversity in religious beliefs.

  ore than a decade ago, the leaders of ASEAN agreed upon forming a single market in the Southeast

  EDITORIAL MEMASUKI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: TANTANGAN DAN ANCAMAN BAGI KEBERAGAMAN AGAMA DI ASIA TENGGARA M

  Salah satu dari tiga pilar MEA adalah berkaitan dengan social budaya di ASEAN sehingga diben- tuklah Komunitas Sosial dan Bu- daya ASEAN yang bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan antar negara ASEAN dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesehatan. Ko-

  Penanggung Jawab

  Interfidei newsletter Editorial

  munitas ini diharapkan dapat that prioritizes tole- menciptakan masyarakat yang rance, respect, so- beradab, saling menjaga tole- lidarity, and huma- ransi antarnegara ASEAN, saling nism between the members of ASEAN. menghormati, menciptakan rasa persaudaraan yang lebih kuat

  To Indonesia, the ASEAN Econo- serta menjungjung tinggi rasa ke- manusiaan antar negara ASEAN. mic Community

  Bagi Indonesia, MEA 2015 2015 gives better tentu saja dapat memberikan ha- hope to the incre- rapan besar akan meningkatnya ase of health and kesejahteraan dan keamanan public security. Ho- rakyat. Akan tetapi, sejauh mana wever, how ready is pemerintah Indonesia siap un- our government in tuk mengimplementasikan MEA implementing the

  2015. Tantangan dan ancaman ASEAN Economic Community 2015? seperti apa yang akan dihadapi

  What kinds of threats and challenges are to be fa- dan perlu diantisipasi oleh pemerintah dan masya- rakat Indonesia, khususnya berkaitan dengan ke- ced by our nation and government, especially con- beragaman. Bagaimana agar keberagaman agama cerning diversity? How to make the diversity of re- dan budaya bangsa Indonesia dapat tampil sebagai ligions and cultures as an element of strength for the upcoming ASEAN Economic Community 2015? kekuatan dalam mengisi MEA 2015.

  Pertanyaan-pertanyaan di atas coba dijawab The questions above are to be answered by dalam Newsletter Edisi Pertama tahun ini, khusus- the first edition of this year’s Newsletter, specifi- nya dalam rubric Fokus dengan menampilkan dua cally in Focus rubric which presents an article from artikel dari Ahmad Suaedy dan Ekrajh. Untuk Profil Ahmad Suaedy. The Profile rubric of this edition akan menampilkan JAKATARUB, sebuah komunitas presents JAKATARUB, an interfaith community in antaragama di Bandung yang sangat aktif melaku- Bandung that has been very active in many inter- kan berbagai kegiatan dialog antaragama. faith dialogue activities.

  Selamat membaca! Happy Reading!

  Institut DIAN/Interfidei mengucapkan:

  • Selamat Tahun Baru Imlek - Selamat Hari Raya Galungan - Selamat Hari Raya Nyepi - Selamat Hari Raya Idul Fitri - Selamat Hari Raya Paskah - Selamat Hari Raya Kuningan - Selamat Hari Raya Waisak

  Edisi Januari-Juni 2015

  Focus Edisi Januari-Juni 2015

DISKURSUS MINORITAS MUSLIM DI ASIA TENGGARA: MENYONGSONG KOMUNITAS ASEAN 2015

MUSLIM MINORITY DISCOURSE

1 Oleh Ahmad Suaedy

  Context

  Globalization, on one side, has brought forth a lot of changes and op- portunities, among which is the increas- ing migration and widening demographic shift. The establishment of ASEAN Com- munity 2015 will hasten these changes and shifts, not only in ASEAN regions, but also in non-ASEAN territories. As a result, soci- ety becomes increasingly plural and multicultural. On the other side, as an implication of the globali- zation along with democratization of society, the minorities start to demand for equal rights and treatment like the rest of the communities where they belong. The reason for the demands is that they have been feeling abused, in both their col- lective and their individual rights.

  Nevertheless, every place or territory has different context that is unique. In developed countries like Europe or America, the minorities mostly consist of immigrants. However, in ASEAN, the minorities consist of the indigenous people as well. Only three out of ten ASEAN countries are Muslim-dominant countries. Interestingly, in some states or provinces of these three Muslim-domi- nant countries, Muslim is the minority. Conversely, in certain states or provinces of ASEAN countries where non-Muslim are the majority, Muslim are the majority. 1 This article was presented in the Regional Seminar held

  by Institut Islam Asia Tenggara (ISAIS, Institute of Southe- ast Asian Islam), State Islamic University Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia on 24-26 September 2014

  IN SOUThEAST ASIA: WELCOMING ASEAN COMMUNITY 2015 1 by Ahmad Suaedy Director of ISAIs, Institut Islam Asia Tenggara

  (Institute of Southeast Asian Islam) State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta Konteks

  Globalisasi di satu sisi telah mela- hirkan banyak perubahan dan keterbu- kaan. Diantaranya terjadinya arus deras migrasi dan pergeseran demografis yang meluas. Dimulainya Komunitas ASEAN 2015 akan mempercepat perubahan dan pergeseran ini, tidak hanya di kawa- san ASEAN, tetapi juga antara ASEAN dan negara non ASEAN. Akibatnya masyarakat kian plural dan multikultual. Di sisi lain, sebagai bagian akibat dari globalisasi dan demokratisasi, kalangan minoritas mulai menuntut agar mereka diperlakukan sama dengan warga negara lainnya, karena selama ini mereka merasa tertindas, baik hak-hak individu- nya maupun hak kolektifnya.

  Namun demikian, setiap tempat atau wilayah memiliki konteks yang berbeda-beda. Di negara- negara maju seperti Eropa dan Amerika, dan di kota-kota besar, minoritas biasanya adalah para imigran. Namun di ASEAN minoritas umumnya adalah penduduk asli. Hanya tiga dari sepuluh ne- gara ASEAN yang mayoritas penduduknya Muslim. Bahkan di tiga negara tersebut, beberapa negara bagian atau provinsi, muslim merupakan minori- tas. Demikian pula, di negara-negara dengan ma- yoritas non muslim, di beberapa negara bagian atau provinsinya, Muslim menjadi mayoritas. 1 Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar Regional di-

  selenggarakan oleh Institut Islam Asia Tenggara (ISAIS), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakar- ta,Indonesia 24-26 September 2014

  (Direktur Institut Islam Asia Tenggara (ISAIs), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Ahmad Suaedy

  Interfidei newsletter Fokus

  When engaging the topic of minority, we actu- ally discuss about the matter of citizenship. In the context of democracy and human rights, the most fundamental principle is the equal treatment of citizens regardless of religion, race, or gender. In the discourse of Islam, the term ummah is more

  Bangsa dan Kewarganegaraan: Sebuah Perspektif

  noritas), yakni hukum bagi Muslim yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau negara-negara se- kuler sebagai imigran. Namun demikian tidak ada pembahasan mengenai hukum bagi warga minori- tas pribumi Islam yang tinggal di negara-negara non Muslim atau sekluer seperti di Asia Tenggara. Para penulis Indonesia mengenai Fiqh Aqalliyat pun jus- teru hanya fokus membahas tentang kaum minori- tas Muslim di Barat.

   Fiqh Aqalliyat (fiqh mi-

  Saat ini telah muncul

  Di dalam teks-teks klasik Islam, minoritas Mus- lim di negara-negara atau masyarakat non-Muslim jarang dibahas. Abul Fadl menulis bahwa sampai jatuhnya Kekaisaran Usmani, diskusi mengenai mi- noritas Muslim di negara-negara atau masyarakat non-Muslim lebih banyak membahas persoalan halal atau haram. Imam Hanafi, misalnya menurut Fadl, menyatakan bahwa Muslim dilarang tinggal di negara-negara atau masyarakat non muslim karena takut adanya diskriminasi dan pelarangan menjalankan ibadah islam. Dengan kata lain, pem- bahasan tersebut sangat berorientasi fiqih.

  ) dan Muslim sebagai minori- tas. Sisi yang kedua lebih menarik dibicarakan dan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.

  Sesungguhnya di dalam Islam hampir tidak ada wacana minoritas, atau setidaknya isu terse- but jarang dibahas secara serius dalam tradisi in- telektual Islam. Akan tetapi paling tidak ada dua sisi yang perlu dibahas ketika mendiskusikan ke- lompok minoritas dalam Islam, yakni minoritas menurut Islam (non-Muslim atau dalam Islam se- ring disebut dzimmi

  Minoritas dalam Wacana Islam

  Pertanyaannya bagaimana kita harus melihat minoritas Muslim di Asia Tenggara dan penelitian seperti apa yang dapat dirancang dalam rangka menyambut Komunitas ASEAN 2015?

  Nation and Citizenship: A Perspective

  Edisi Januari-Juni 2015

  donesian writers tend to focus on the discussion in the context of Muslim minority in Western society.

  Fiqh Aqalliyat, In-

  law for the Muslim living in secular or non-Mus- lim societies as immigrants. However, there is no discussion about similar law for the indigenous Muslim minority living in secular countries in Southeast Asia. On the topic of

  Fiqh Aqalliyat (fiqh of the minority), which is an Islamic

  Recently, there has been the issuing of

  . Imam Hanafi, according to Fadl, states that Muslims are forbidden to stay in non-Muslim societies or countries due to the worry of being deprived of the right to perform the teachings of Islam. In other words, the discus- sion is very fiqh-oriented.

  In the classic Islamic texts, Muslim minority in non-Muslim countries or societies is seldom dis- cussed. Abul Fadl states that until the fall of the Ottoman Empire, the discussion on Muslim minor- ity in non-Muslim societies mostly focuses on the issues of halal and haram

  Actually, Islam barely contains any discourse regarding Minority, or to put it simply, the issue is not extensively discussed in the intellectual tra- dition of Islam. However, there are at least two aspects to be considered when discussing the mi- nority group in Islam: Minority according to Islam (non-Muslim, or often referred to as dzimmi in Is- lam) and Muslim as minority. The later will be the focus of this article.

  Minority in the Discourse of Islam

  The question then, is how to view the Muslim minority in Southeast Asia and what kind of study can be designed to welcome the ASEAN Commu- nity 2015?

  Ketika membahas minoritas, sesungguhnya kita membahas soal kewarganegaraan. Dalam de- mokrasi dan hak asasi manusia, prinsip yang paling

  Focus Edisi Januari-Juni 2015

  popular compared to the term “citizenship”. On the other hand, the concept of ummah waives the issue of Muslim minority as well as the discourse of non-Muslim minority, except in the classic dis- course like dzimmah.

  The Organisasi Konferensi Islam (OIC-Islam Conference Organization), a united movement of Muslim countries, for example, did not put the issue of Muslim minority as its focus at the be- ginning. Only until 1970, under the leadership of Khadafi as the President of Libya, that the issue regarding Muslim minority gained proper recog- nition; especially in regard to the conflict in Min- danao, South Philippines and the Muslim of Patani, Southern Thailand. OIC just gave recognition to the problem of Muslim minority at almost the same time of the formation of Muslim Minority Founda- tion in Europe and creating of Journal of Muslim Minority Affairs. However, it is unclear whether there was a causal relation regarding the events and the recognition.

  A handful of articles regarding Muslim minori- ty in Southeast Asia, with local expression, and the relationship between them has surfaced; especial- ly the ones written by French or Dutch authors in

  Journal of Muslim Minority Affairs and in the book Indonesia and the Malay World (Routledge, 2010),

  a book which is dedicated to commemorate the 50 years of Malayan study by several British academi- cians. However, since most of them are written by Western academicians, the Islamic context itself seems to be ignored in these writings. Umar Fa- rouk, a Malaysian Professor of Hiroshima City Uni- versity, is among the Muslim interested in writing numerous articles on the issue of Muslim minority in Asia in general, not only in ASEAN. Yet, despite his expertise in comparative politics, even Farouk also tends to be pervasive regarding the explora- tion of the discourse of Islamic doctrine in its re- lation with the issue of minority and nationality. penting adalah perlakuan yang sama setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, tan- pa membedakan agama, suku, ras atau jenis kela- min. Di dalam wacana Islam, terminologi ummah lebih popular dibandingkan dengan “kewargane- garaan”. Sedangkan konsep ummah mengabaikan pembahasan tentang minoritas Muslim dan juga wacana tentang minoritas non-Muslim, kecuali da- lam diskursus klasik seperti dzimmah.

  Organisasi Konferensi Islam (OKI) misalnya, yang merupakan gerakan global dari negara-nega- ra Islam, pada awalnya bahkan tidak menempat- kan minoritas Muslim salah satu fokusnya. Baru pada tahun 1970-an, di bawah kepemimpinan Khadafi, presiden Libya, minoritas muslim mulai mendapatkan perhatian, dalam kasus konflik di Mindanao, Filipina Selaran dan Muslim Patani, Thailand Selatan. OKI baru memberi perhatian terhadap minoritas Muslim hampir bersamaan dengan pembentukan Yayasan Minoritas Muslim di Eropa dan Jurnal Minoritas Muslim. Akan teta- pi tidak jelas, apakah keduanya berhubungan atau tidak.

  Sejumlah artikel mengenai minoritas Muslim di Asia Tenggara, dengan ekspresi lokal, dan hu- bungan antara keduanya mulai muncul, khususnya dari para penulis Perancis dan Belanda, serta arti- kel di

  Journal of Muslim Minority Affairs dan buku Indonesia and the Malay World (Routledge, 2010),

  buku untuk memperingati 50 tahun studi menge- nai Malaya oleh beberapa akademisi Inggris. Na- mun demikian, karena sebagian besar ditulis oleh para akademisi Barat, maka wacana dalam Islam sendiri terabaikan dalam karya-karya tersebut. Ada seorang Muslim yang telah menulis banyak mengenai minoritas Muslim di Asia, tidak hanya wilayah ASEAN, yaitu Umar Farouk, seorang Pro- fesor asal Malaysia di Hiroshima City University. Namun, sebagai seorang ahli dalam bidang per- bandingan politik, ia juga cenderung tidak meng- eksplorasi wacana doktrin Islam dan hubungannya minoritas dengan kewarganegaraan.

  Interfidei newsletter Fokus

  Edisi Januari-Juni 2015 ASEAN Muslim Minority: Several Cases

  Muslim minority in each country faces differ- ent problems. In turn, every country also handles different kinds of Muslim minority. However, there is a potent and profound common factor in the historical journey of Islam in almost all of ASEAN countries, despite the diversity in the profanity and influence of the different religions within the communities.

  The most important factors in the historical journey of Islam, including the history of Islam, are the concepts of modern nationalism and state nation. Even so, at this point, the focus of the Mus- lim intellectuals have shifted to developing new theories regarding the society of Islam or ummah.

  The discourse of Muslim minority in regards to nationality includes the discourse of non-Muslim Minority in Islam and the discourse of nationality in state-nations in general. Thus, the discussion of Muslim minority has to take the issue of non-Mus- lim minority into consideration as well.

  In Muslim-dominant countries, there has been a new phenomenon of rejecting “new” and “local” sect/denomination. Different moves have been taken by three different countries: 1) Brunei Darussalam, their existence is made ille- gitimate starting from and through constitutions, 2) Malaysia, their existence is prevented through repressive government legislations and policy, 3) Indonesia, their existence is prevented through the opportunistic move of the government which accommodates the aspirations and demands from the radical groups through certain legislations.

  In the states or provinces where Muslim is the minority like in Mindanao and Patani, the Muslims experienced a colonial domination and hegemon- ic majority democracy with key issues such as land ownership transfer, natural resources monopoly, and centralistic governance by the central govern- ment. Thus, they are marginalized.

  Meanwhile, in countries where their number is really small and are spread throughout the terri- tories, they have to rely heavily on the political sys-

  Minoritas Muslim ASEAN: Beberapa Kasus

  Minoritas Muslim di masing-masing negara memiliki masalah yang berbeda-beda. Demikian juga, setiap negara menghadapi minoritas Muslim yang berbeda-beda pula. Namun demikian, ada kemiripan yang kuat dan cukup mendalam me- ngenai perjalanan sejarah Islam di hampir semua negara ASEAN, meskipun di masing-masing tem- pat mengalami kedalaman dan pengaruh agama yang bebeda-beda dalam masyarakatnya.

  Faktor yang paling penting dalam perjalanan sejarah, termasuk sejarah Islam, adalah nasional- isme modern dan negara bangsa. Namun demiki- an, pada titik ini perhatian para intelektual Muslim telah beralih ke menciptakan teori baru tentang masyarakat Islam atau ummah. Wacana tentang minoritas Muslim berkaitan dengan kewargane- garaan mencakup wacana minoritas non-Mus- lim dalam Islam dan wacana kewarganegaraan di negara-bangsa pada umumnya. Oleh karena itu membahas minoritas Muslim, juga harus memba- has minoritas non-Muslim.

  Di negara-negara mayoritas Muslim, akhir-akhir ini muncul sebuah fenomena baru yakni adanya penolakan terhadap aliran “baru” dan “lokal”. Tin- dakan yang berbeda telah diambil oleh tiga nega- ra yang berbeda: 1) Brunei Darussalam, kehadiran mereka dicegah mulai dari dan melalui Konstitusi; 2) Malaysia mencegahnya melalui undang-undang dan kebijakan pemerintah yang represif; 3) Indo- nesia dalam bentuk oportunisme pemerintah ter- hadap tuntutan kaum radikal dan mengakomodasi aspirasi mereka dalam hukum dan kebijakan.

  Di negara bagian atau provinsi dimana Muslim menjadi minoritas seperti di Mindanao dan Patani, meeka telah mengalami warisan dominasi kolonial dan demokrasi mayoritas hegemonik dengan ber- bagai persoalan kunci seperti pengalihan kepemilik- an tanah, monopoli atas pengelolaan sumber daya alam, dan pemerintahan yang sentralistik oleh pe- merintah pusat. Sehingga mereka termarginalsiasi.

  Sedangkan di negara-negara di mana mereka menjadi minoritas sangat kecil dan tersebar, na-

  Focus Edisi Januari-Juni 2015

  Bahkan, sejumlah pemimpin Buddha ikut terlibat dalam diskriminasi dan propaganda anti Islam.

  Hak untuk memiliki pemerintahan sendiri dan untuk memilih kepemimpinan mereka sendiri. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah di mana ada mayoritas Muslim menempati wilayah tertentu lo- cal seperti di Mindanao dan Patani;

  Secara umum ada beberapa aspek penting berkaitan dengan hak-hak minoritas Muslim di ne- gara-negara belum maju sesuai dengan tuntutan lokal masing-masing.

  Tuntutan minoritas di negara-negara Asia Tenggara atau negara-negara yang belum maju lainnya cen- derung lebih berorientasi pada masalah ekonomi, sosial dan politik daripada perilaku atau ibadah praktik keagamaan.

  Qordhowi dan Jasser Audah (Timur Tengah), lebih berorientasi pada perilaku etis dan ibadah murni dalam Islam, seperti shalat, pertemuan Jumat, pu- asa, tempat ibadah, kuburan dan makanan halal.

  Fiqh Aqalliyat di Barat, menurut Yusuf

  gara maju.

  fiqh aqalliyat dalam konteks Asia Teng- gara. Fiqh Aqalliyat di ASEAN harus berbeda dari Fiqh Aqalliyat yang berkembang di Barat atau ne-

  Jika fiqh diterjemahkan sebagai “ilmu pengeta- huan” bukan hanya “sebuah panduan praktis bagi etika perilaku individu” akan sangat menarik untuk melihat

  Fiqih Aqalliyat di Asia Tenggara?

  The right to natural resource management for the better good of the local society, without waiving its contribution to national wealth and land own- ership transfer (Mindanao and Patani); and maybe Rohingya in Arakan, Myanmar. This is similar to the case of Papuan society who are mostly non-Muslim in Indonesia as a Muslim-dominant country. sib mereka lebih banyak bergantung pada sistem politik dan kelompok-kelompok yang berkuasa. Di Kamboja misalnya, ia lebih akomodatif karena hubungan pribadi dan partai PM Hun Sen dengan kelompok Islam. Di Vietnam situasinya mirip de- ngan di negara-negara komunis lainnya. Di Myan- mar, negara yang sedang mengalami masa transisi ke arah demokrasi, segalanya menjadi lebih buruk.

  tem set by the ruling parties. In Cambodia, for ex- ample, the condition is more accommodative due to the personal and political relationship of Prime Minister Hun Sen party with the Islamic group. In Vietnam, the condition is pretty much the same as in other communist countries. In Myanmar, a country that is undergoing a transition to democ- racy, everything is even worse; Buddhist leaders are even involved in the acts of discrimination and anti-Islam propaganda.

  The right to have independent government and to choose its leader independently. This de- mand primarily happens in areas where there are Muslim majority occupying a particular local area like in Mindanao and Patani;

  In general, there are several crucial aspects re- garding Muslim minority rights in non-developed countries in accordance with the respective local demands:

  tery, and Halal consumables. On the other hand, the demands of the Muslim minority in Southeast Asia and other developing countries are more ori- ented towards the economic, social and political problems, in comparison to religious practices.

  shalat, Friday gathering, fasting, Mosque, ceme-

  developing and Western countries. Fiqh Aqalliyat in the West, according to Yusuf Qordhowi and Jasser Audah (Middle East) is more oriented on the ethical behavior and pure practices in Islam such as prayer/

  aqalliyat in the context of Southeast Asia. Fiqh Aqa- lliyat in ASEAN must be different from the one in

  tical guidance on the ethics of individual behavior,” then it would be very interesting to understand fiqh

  fiqh is translated as “Science” not only “a prac-

  If

  Fiqh Aqalliyat in Southeast Asia

  Hak untuk mengelola sumber daya alam demi kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat setem- pat, tanpa mengabaikan kontribusinya bagi kese- jahteraan nasional dan pengalihan hak atas tanah (Mindanao & Patani); dan mungkin Rohingya di Arakan, Myanmar. Hal ini mirip dengan yang ter-

  Interfidei newsletter Fokus

  Hak untuk berekspresi, beribadah menurut keyakinan masing-masing, dan hak-hak dasar lain- nya. Hal ini terutama terjadi di negara-negara yang mengalami transisi demokrasi seperti Kamboja dan Myanmar.

  Komunitas ASEAN 2015 menghadirkan sebuah tantangan untuk membahas dinamika dan kemung- kinan adanya solusi baru di berbagai daerah.

  Perlu dilakukan penelitian mengenai komuni- tas minoritas Muslim di berbagai daerah untuk me- mahami karakter dan tuntutan mereka di masing- masing konteks.

  Wacana mengenai minoritas Muslim dalam tradisi intelektual Islam masih berorientasi pada negara maju daripada terhadap isu-isu di negara- negara Muslim sendiri (lokal / nasional / regional)

  Kesimpulan dan Rekomendasi:

  Semua ini belum memperhitungkan migrasi besar-besaran ke daerah tertentu, seperti umat Is- lam ke Papua dan Nusa Tenggara Timur atau umat Kristen ke kota-kota besar seperti Jakarta.

  Hak untuk bekerja dan tindakan afirmatif di- perlukan di negara-negara di mana Muslim menjadi minoritas yang signifikan (dalam jumlah dan kapa- sitas) seperti di Singapura, Laos dan kota-kota besar lainnya, termasuk di negara luar ASEAN seperti Pa- pua Nugini dan Timor Leste.

  Kebebasan berkeyakinan dan berekspresi bagi agama minoritas dalam Islam itu sendiri. Hal ini terjadi di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei.

  Hak asasi manusia dan perlindungan agama dan keyakinan serta tempat-tempat ibadah. Hal ini terutama terjadi di negara-negara komunis se- perti Vietnam.

  There is a demand to establish cooperation be- tween higher education bodies and research bod- ies in regards of ASEAN Community 2015 commem- oration in order to build a wealthy, dynamic, and harmonic society. jadi pada masyarakat Papua yang sebagian besar non Muslim di Indonesia yang mayoritas Muslim.

  Edisi Januari-Juni 2015

  ASEAN Community 2015 has brought a new challenge to discuss the dynamics and the possi- bility of new solutions in many places.

  There is a necessity to conduct research on Muslim minorities in various areas to better un- derstand each of their characteristics and de- mands in different contexts.

  The discourse of Muslim minority in the intel- lectual tradition of Islam is still oriented towards the issues in developed countries instead of to the issues in Muslim-dominant countries (local/na- tional/regional)

  Conclusion and Recommendations

  These demands have not considered the surge of migration to certain areas, like the migration of Muslim to Papua and East Nusa Tenggara or the migration of the Christian to big cities like Jakarta.

  The right to work and to do affirmative actions in countries where Muslim as the significant mi- nority (in number and capacity), like in Singapore, Laos, and other big cities in non-ASEAN countries such as Papua New Guinea and East Timor.

  The freedom of religious expression and faith for minority groups within Islam itself. This is the case in Muslim-dominant countries like Indonesia, Malaysia, and Brunei.

  The Basic Human Rights and the protections of religions and beliefs as well as the worshiping places. This is mainly the case in communist coun- tries like Vietnam.

  The right to express, to worship according to their respective beliefs, and to get other basic rights. This mainly happens in countries undergo- ing democratic transition such as Cambodia and Myanmar.

  Perlu ada kerjasama antara lembaga pendi- dikan tinggi dan lembaga penelitian dalam rangka merayakan Komunitas ASEAN 2015 dan memba- ngun masyarakat yang sejahtera dan dinamis, dan juga harmonis.

  Feature Edisi Januari-Juni 2015

JARINGAN KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA (JAKATARUB) JAKATARUB, JARINGAN KERJASAMA ANTAR

  D

  i tengah tingginya kasus intoleransi di Jawa Barat, terdapat sekelompok pemuda dan masyarakat di kota Bandung yang memben- tuk wadah silaturahmi sekaligus menjadi jejaring lintas agama, sebuah gerakan yang terus beru- paya menyemaikan benih-benih perdamaian dan toleransi. Mereka menamakan jaringan tersebut sebagai Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama (JAKATARUB).

  JAKATARUB bermula dari serangkaian wor- kshop tentang keberagaman dan toleransi yang diadakan Institute for Culture and Religion Studi- es (INCReS) dan Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) pada 10-12 November 2000 di Pesantren Al-Wasilah, Garut dan pada 20-22 April 2001 di Vi- hara Vipassana Graha, Lembang.

  A

  midst the high number of religious intoler- ance cases in West Java, a group of youth in Bandung built a network to connect people of different religious beliefs. This network intends to grow the seeds of peace and tolerance in soci- ety. The youth named the network as JAKATARUB,

  Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama (Coop- erative Network of Inter-Religious Communities).

  JAKATARUB was originated from a series of workshops on religious diversity and tolerance held by the Institute for Culture and Religion Stud- ies (INCReS) and Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA, Society of Inter-Religious Communication) on 10-12 November 2000 at Pesantren Al-Wasi- lah, Garut; and also on 20-21 April 2001 at Vihara Vipassana Graha, Lembang, West Java.

  (COOPERATIVE NETWORK OF INTER- RELIGIOUS COMMUNITIES)

  Interfidei newsletter Fitur

  Edisi Januari-Juni 2015

  Workshop ini muncul dari niatan para tokoh agama serta budayawan nasional dan Jawa Barat yang disokong oleh alm. K.H. Ab- durrahman Wahid (Gus Dur). Tujuan diadakannya wor- kshop adalah demi mendorong keru- kunan agama dalam konteks pengenal- an yang mendalam sekaligus kerja sama yang strategis. Sambutan pun sangat luas. Acara ini dihadiri oleh sejumlah pemimpin agama dan kaum muda dari berbagai komunitas keagamaan di Jawa Barat. Para peserta ini kemudian bersepakat untuk membentuk sua- tu jaringan kerja antar umat beragama. Pada 12 Mei hingga 30 Juni 2001 diadakan beberapa kali pertemuan berkala yang difasilitasi Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Bandung untuk mendiskusikan pendirian jaringan tersebut.

  Nama JAKATARUB dipilih selain karena me- rupakan akronim dari Jaringan Kerja Antar Umat Beragama, juga homonim dengan nama tokoh da- lam mitologi Jawa: Jaka Tarub. Analogi yang ingin ditekankan adalah sebagaimana Jaka Tarub meng- intip para bidadari yang turun dari Kahyangan, umat beragama di Indonesia perlu untuk berani ‘mengintip’ satu sama lain demi menghadirkan ke- rukunan dan perdamaian dalam pengenalan yang mendalam.

  Visi dan Ciri Jaringan

  JAKATARUB bertujuan untung menghadirkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama de- ngan pengenalan yang mendalam antar satu sama lain. Jaringan ini menekankan pergerakannya pada bidang budaya dan penguatan kesadaran masya- rakat. JAKATARUB bersifat independen, tidak bera-

  These work- shops were initiated by groups of reli- gious figures and na- tional and West Java culturalists, with the support of the late K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). The aim of having these workshops is to encourage har- mony between reli- gious communities through in-depth introduction as well as strategic cooperation. The workshops, attended by several religious figures and youth from various religious communities in West Java, were well-received. The participants of the workshops agreed upon forming a network be- tween religious communities. Regular meetings to discuss the formation of the cooperative network were then held from 12 May to 30 June 2001. The meetings were facilitated by Gereja Katolik Hati Tak

  Bernoda Santa Perawan Maria (Catholic Church of the Immaculate Heart of Saint Mary).

  The name JAKATARUB was selected for, apart from being a proper acronym of Jaringan Ker-

  ja Antar Umat Beragama, it also refers to a char- acter from the Javanese Mythology: Jaka Tarub.

  Just like Jaka Tarub, who peeked on the nymphs descending from heaven, the emphasized analogy from the choosing of the name is to encourage the religious communities to “peek” on one another for the sake of creating harmonious and peaceful coexistence within profound understanding.

  Vision and Characteristics of Network

  JAKATARUB aims to create tolerance and har- mony between religious communities through pro- found understanding between one another. The network emphasizes its movements on cultural aspects and the improvement of public awareness.

  Chronicles Edisi Januari-Juni 2015

  JAKATARUB is an independent body that is not af- filiated with any political parties, or serving under other organizations.

  Network Focus and Activities Since 2015, JAKATARUB based its entire activi- ties and products on the following themes  Theological discussion 

  Art and Cultural Elaboration 

  Media Campaign 

  Enrichment of the Concept of Nationality Numerous activities have been held by JA-

  KATARUB. They range from celebration of the in- ternational tolerance day adopting the theme of Bandung: the Sea of Peace in 2013 and 2014, inter- faith discussion (held at least 7 times a year), visit to the places of worship, religious holidays gather- ing, book discussion, seminar, to culturally-themed film discussion and performance. Furthermore, JA- KATARUB also hold Youth interfaith Camp annually.

  The network does not only reach out to reli- gious communities, but also reaches out to non-re- ligious communities. These non-religious commu- nities are also invited to be involved, and even to become presenters in the interfaith discussions.

  On 2013, JAKATARUB also initiated a project of the book “Dialog 100”, which was initiated by one of its members, Rio Tuasikal. The book contains 100 stories of interfaith friendships. The stories revolve around the theme of rejecting hate, destroying prejudice, and strengthening social bond. All the stories in “Dialog 100” are true stories which are written personally applying casual style of writing from 100 people of different regions in Indonesia. In 2014, the book was finally released by the Insti- tute DIAN/Interfidei and has since been discussed on several occasions in order to promote the val- ues of religious tolerance and peace. filiasi dengan partai poltik atau ada di bawah lem- baga lainnya.

  Fokus Jaringan dan Kegiatan

  Mulai 2014 JAKATARUB memusatkan semua aktivitas dan produknya pada tema:  Diskusi teologis  Elaborasi Seni dan Budaya 

  Kampanye Media  Pengayaan Konsep dan Wawasan Kebangsaan

  Berbagai kegiatan telah diselenggarakan oleh JAKATARUB. Mulai dari perayaan hari toleransi internasional bertema Bandung Lautan Damai ta- hun 2013 dan 2014, diskusi antarkepercayaan (da- lam setahun setidaknya digelar 7 kali), tur rumah ibadah, silaturahmi hari besar keagamaan, bedah buku, seminar, sampai diskusi dan pagelaran film terkait tema-tema budaya. Selain itu tiap tahun JAKATARUB juga mengadakan Kamp pemuda lin- tas iman (Youth Interfaith Camp).

  Tidak hanya kelompok agama dan penghayat kepercayaan saja yang mereka rangkul. Kelompok masyarakat yang tidak beragama juga mereka un- dang untuk terlibat, bahkan menjadi pembicara dalam diskusi antarkepercayaan.

  Pada tahun 2013 lalu, JAKATARUB juga meng- inisiasi proyek pembuatan buku Dialog 100 yang digagas oleh salah satu anggotanya, yaitu Rio Tu- asikal. Buku tersebut berisi 100 kisah persahabat- an lintas Iman. Kisah-kisah tersebut merupakan kumpulan pengalaman seputar upaya menolak kebencian, merobohkan prasangka, dan membibit persaudaraan. Seluruh kisah yang ada dalam buku DIALOG 100 adalah nyata, ditulis personal dengan gaya sehari-hari oleh 100 orang dari berbagai da- erah di Indonesia. Tahun 2014 lalu, buku tersebut akhirnya diterbitkan oleh Institut DIAN/Interfidei dan telah didiskusikan di berbagai kesempatan dalam rangka mempromosikan nilai-nilai perda- maian.

  Interfidei newsletter Kronik RAPAT PENGURUS DAN PERENCANAAN BOARD MEETING AND STRATEGIC PLANNING STRATEGIS INSITUTE DIAN/INTERfIDEI Of INSTITUTE DIAN/INTERfIDEI

  ada tanggal 17 – 18 Januari 2015, Interfidei te- n 17-18 January 2015, Institute DIAN/In- lah berhasil menyelenggarakan Rapat Pengu- terfidei held a board meeting followed by rus Yayasan Institut DIAN/Interfidei dilanjut- a strategic planning for the next five years.

  P O

  kan dengan acara Perencanaan Strategis Interfidei On the first day, the twelve members of the board untuk lima tahun ke depan. Pada hari pertama, attended and responded to the presentation of pengurus Yayasan yang dihadiri oleh 12 orang, men- Interfidei’s activity reports for the period of 2013- dengarkan dan menanggapi hasil laporan kegiatan 2014. After the presentation was done in detail, Interfidei selama kurun waktu 2013-2014. Setelah the board then ratified the content of the reports. dipaparkan dengan detail, kemudian Pengurus Ya-

  The meeting was then followed by the yasan mengesahkan hasil laporan tersebut. institute’s strategic planning for the next five years

  Sore harinya dan diteruskan pada hari kedua, (2015-2020) which started in the afternoon of the pertemuan dilanjutkan dengan membahas peren- first day and continued to the second day. It was canaan strategis In- agreed upon that terfidei untuk lima the vision for Inter- tahun ke depan fidei institute for the next period is “Real-

  (2015-2020). Dise- izing an Indonesia pakati visi Interfidei ke depan adalah that is plural, dem-

  “T erwujudnya Indo- ocratic, just, free

  nesia yang pluralis,

  from terror, abuse,

  demokratis, berkea-

  and discrimination,

  dilan, bebas dari ke-

  while prioritizing

  takutan, penindasan

  peace and human-

  dan diskriminasi,

  istic values.” Fur-

  dengan mengede-

  thermore, it was

  pankan nilai-nilai

  established that the

  

kemanusiaan dan perdamaian”. Sedangkan misi new mission of Interfidei for the new period is

Interfidei adalah “ Menempatkan agama pada pro- “To put religion in its proportion by strengthening

  porsinya dan memperkuat nilai-nilai Ke-Indonesia- the national values of Indonesia in religious prac- an dalam praktek beragama melalui pendidikan, di- tice through education, dialogue, network, peace alog, penguatan jaringan, penyebaran narasi damai and anti-violation campaign, as well as advocacy.” dan nirkekerasan, dan advokasi”. Selain itu, disepa- Moreover, it was agreed upon that the motto of kati juga motto Interfidei adalah “Mempertemukan Interfidei is “Converging hearts through dialogue.” hati dengan dialog”. Pertemuan ini juga berhasil The meeting also yielded other results like formu- merumuskan bersama isu strategis, strategi dan lating strategic issues, program, and activities for program serta kegiatan Interfidei untuk lima tahun the Institute to conduct in its next 5 year-period. ke depan.

  (WR) (WR) Edisi Januari-Juni 2015

  Chronicles Edisi Januari-Juni 2015

  DISKUSI TENTANG “DAMPAK PERUBAHAN DEMOGRAfI MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP DINAMIKA PERBEDAAN” Y

  ogyakarta kini mengalami banyak perubahan dalam 10 tahun terakhir. Meski terkenal seba- gai City of Tolerance, beberapa konflik antar agama dan antar etnis sempat mewarnai kehidup- an masyarakat Yogya. Kasus pembubaran paksa pengajian dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada 2012, penolakan paskah bersama di Gunung Kidul pada 2014, hingga kasus Florence yang menggem- parkan dunia maya tahun lalu adalah sinyal me- rebaknya sikap intoleran di kalangan masyarakat. Pada 19 Januari 2015 Interfidei mengadakan disku- si untuk menyoroti per- soalan tersebut. Diskusi yang mengangkat tema “Dampak Perubahan Demografi Masyarakat Yogyakarta terhadap Dinamika Perbedaan” dilaksanakan di Univer- sitas Kristen Duta Wa- cana. Pembicara dalam diskusi tersebut antara lain, Agus Indiyanto (An- tropologi UGM), Amran Ampulembang (Direktur Intel Keamanan POLDA DIY), dan Arie Sujito (FISI- POL UGM) dengan moderator Elga Sarapung.

  Agus Indiyanto memaparkan data perubahan demografi penduduk di Yogyakarta berdasarkan agama dan mengingatkan adanya potensi konflik dari perubahan demografi tersebut karena rentan disalahgunakan pihak tertentu untuk membangun prasangka terhadap agama lain. Selain itu Agus juga membahas perubahan tata ruang Yogya yang memicu konflik di kehidupan sehari-hari seperti kemacetan. Menurut Agus, diperlukan ruang inter- aksi simbolik di Yogya. Sementara itu, Arie Sudjito menilai problem-problem struktural yang terjadi di masyarakat diperkuat oleh kecenderungan pe- layanan publik yang buruk. Orang menjadi mudah

  A DISCUSSION ON“THE IMPACT OF YOGYAKARTA SOCIETY DEMOGRAPHIC CHANGES ON THE DYNAMICS OF DIFFERENCES” Y

  ogyakarta has been experiencing a lot of changes in the past 10 years. Despite of its fame as the City of Tolerance, several inter-re- ligious conflicts as well as conflicts between ethnics has its portion in tinting the life of the people of Yogya. The case of forced dismissal of the Indone- sian Ahmadiyah praying activity in 2012, a refusal of allowing an Easter celebration in Gunungkidul in 2014, and the case of Florence, which stroke the cyber world last year are signs of the spreading of intolerance among the people. On 19 January 2015

  Interfidei held a discus- sion to highlight these problems. A discussion themed “The Impact of Yogyakarta Society Demographic Changes on the Dynamics of Dif- ferences” was held at Universitas Kristen Duta Wacana. The speakers of the discussions are Agus Indiyanto (Anthropolo- gy, UGM), Amran Ampulembang (the Security Intel- ligence Director of DIY PD), and Arie Sujito (Faculty of Social and Political Science, FISIPOL UGM). The discussion was moderated by Elga Sarapung.

  Agus Indiyanto explain the data on the citizen demographic changes in Yogyakarta based on their religions and reminded the participants on the possibility of conflict arising from these changes for its vulnerability to be misused by some parties to build prejudice towards other religions. Agus also explain about the city layout changes which triggered conflicts in the daily lives such as traffics. According to Agus, a symbolical interaction place is needed in Yogya. Meanwhile, Arie Sudjito con- sidered that the structural problems happening in the society is supported by the tendency of bad

  Interfidei newsletter Kronik

  Edisi Januari-Juni 2015

  jengkel dan cenderung mengamankan diri dengan sikap eksklusif atau tindakan kriminal. Ditambah lagi peran intelektual, pemimpin, dan tokoh aga- ma yang semakin jarang membicarakan isu-isu publik membuat orang jadi apatis. Pada akhirnya forum untuk membicarakan masalah publik pun semakin surut.

  Menanggapi persoalan yang dipaparkan oleh narasumber lainnya, Amran Ampulembang menga- takan pihaknya bersama kepolisian juga memoni- tor potensi konflik dan melakukan mediasi sebelum konflik itu terjadi. Diakui Amran, terkadang polisi menghadapi dilema saat melakukan upaya pene- gakan hukum. “Dalam konteks kehidupan ini, tidak ada konsekuensi yang nol. Semua ada konsekuensi- nya. Apakah itu kecil atau besar pasti ada konseku- esinya,” ungkap Amran. (WF)

  SEMINAR “MENEMUKAN KEMBALI

  INDONESIA” K

  oalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) mulai bekerja sejak ta- hun 2008 untuk mendorong pembentukan sebuah komisi kebenaran, mengkritisi dan men- dampingi lembaga negara yang membuat undang- undang untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Setelah sekian lama menanti tanpa hasil, KKPK berinisiatif untuk menggelar proses pengungkapan kebenaran yang disebut Tahun Ke- benaran. KKPK terdiri dari 47 organisasi masyara- kat sipil, termasuk pegiat HAM di tingkat nasional dan daerah serta organisasi korban, salah satu di antaranya adalah Institut DIAN/Interfidei.