BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian - Faktor Yang Berhubungan Dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I Pada Akhir Pengobatan Fase Intensif Di Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

  Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru (Depkes RI, 2008). Telah dikenal lebih dari satu abad yang lalu, yakni sejak diketemukannya kuman penyebab TB oleh Robert Koch tahun 1882, namun sampai saat ini penyakit TB tetap menjadi masalah kesehatan dan tantangan global di tingkat dunia maupun di Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Pada tahun 2010, World Health Organization (WHO) menyatakan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2011, jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.

  Saat ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara negara dengan beban TB tertinggi - High Burden Country (HBC) di dunia (WHO, 2010a), meskipun demikian berbagai tantangan baru perlu menjadi perhatian yaitu Tuberculosis

  • – Human Immune-Deficiency Virus (TB/HIV), Tuberculosis Multy Drug Resistant (TB-MDR), TB pada anak dan masyarakat

  rentan lainnya (Kemenkes RI DirJend PP & PL, 2011b). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus atau 49% (Kemenkes RI DirJend PP & PL, 2011c).

  Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%, yang berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi dan 10% dari yang terinfeksi akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2007). Profil Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota se-provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 diperoleh data kota Medan, menunjukkan dari 2.367 pasien TB yang diobati

  1 hanya 1.172 yang sembuh (49,51%) dan ini adalah urutan kedua yang terendah tingkat keberhasilan pengobatan setelah kota Binjai (35,34%).

  Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis

  and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB

  yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse

  chemotherapy (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang

  secara ekonomis paling efektif (cost-effective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya TB-MDR (Depkes RI, 2007). Directly Observed Therapy (DOT) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan TB paru.

  Salah satu petunjuk (indicator) yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan (evaluasi terapi) adalah dengan menentukan angka pengubahan (konversi) sputum (dahak). Conversion Rate (Angka Konversi) adalah persentase pasien baru TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif (dua bulan). Keberhasilan angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Target program pemberantasan TB paru salah satunya ialah pencapaian angka konversi minimal 80% pada fase awal (intensif), khususnya pada penderita paru BTA positif.

  Beberapa penelitian menyatakan ada pengaruh faktor internal dan eksternal penderita TB paru BTA positif terhadap konversi dahak pada akhir fase awal (intensif). Seperti hasil penelitian Ritha Tahitu & Amiruddin (2007) di kota Ambon Provinsi Maluku Tahun 2006 pada penderita TB paru BTA positif baru yang mengalami gagal konversi (BTA dahaknya tetap positif) pada akhir pengobatan fase intensif dengan usia 15 tahun keatas menunjukkan bahwa responden yang tidak patuh minum obat akan berisiko 41,8 kali mengalami kegagalan konversi dibanding responden yang patuh minum obat dan responden yang Pengawas Menelan Obat atau PMO-nya tidak rutin dalam mengawasi penderita akan berisiko 48,0 kali mengalami kegagalan konversi dibanding responden yang PMO mengawasinya secara rutin untuk minum obat. Ramos (2004) meneliti karakteristik pasien TB paru dengan HIV positif di Brazil mendapatkan hasil bahwa kegagalan pengobatan umumnya terjadi pada pasien TB paru dengan HIV positif (45,5%), lebih tinggi daripada pasien TB paru dengan HIV negatif (12,2%). Adapun hasil penelitian Suprijono (2005) menyatakan bahwa umur penderita TB paru yang gagal konversi di kabupaten Purworejo dan sekitarnya terbanyak 31-45 tahun (41,2%), tingkat pendidikan terbanyak SD (53%), status pekerjaan tidak mempunyai penghasilan tetap (94%), dan faktor risiko yang mempengaruhi konversi dahak adalah : ketidak teraturan minum obat dan gejala efek samping obat. Fahrudda (2001) mendapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.

  Di Sumatera Utara kasus baru TB paru meningkat 160/100.000 penduduk, dengan penduduk Sumatera Utara 12 juta maka penderita TB paru di Sumatera Utara ada 19.000 orang (Sukarni, 2006). Di kota Medan, data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2007, menunjukkan dari 2.367 pasien TB yang diobati hanya 1.172 yang sembuh (49,51%). Pada tahun 2008 dari triwulan I hingga triwulan III, ditemukan 162 penderita TB paru, serta terdapat 70 penderita yang mengalami konversi. Masih rendahnya cakupan angka konversi berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena penderita yang mengalami kegagalan konversi masih memberi peluang menjadi sumber penularan TB pada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, kegagalan konversi memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis), dapat menambah penyebarluasan penyakit TB, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB.

  Berdasarkan latar belakang di atas dan belum adanya sampai saat ini penelitian secara khusus mengenai profil pasien TB paru kategori I yang gagal konversi di kota Medan maka perlu dilakukan penelitian tentang “Faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan”.

  1.2 Perumusan Masalah Penelitian

  Faktor apa saja yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

  1.3.1 Tujuan umum

  Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan.

  1.3.2 Tujuan khusus

  a. Untuk mengetahui hubungan status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di Kota Medan.

  b. Untuk mengetahui hubungan umur penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.

  c. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.

  d. Untuk mengetahui hubungan kepatuhan berobat dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.

  e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan. f. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.

  g. Untuk mengetahui hubungan penyakit penyerta dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.

  h. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan. i. Untuk mengetahui hubungan PMO dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan. j. Untuk mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru

  Kategori I di kota Medan. k. Untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota

  Medan.

1.4 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis penelitian ini adalah: Ada hubungan faktor status gizi, umur, jenis kelamin, kepatuhan berobat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, penyakit penyerta, kebiasaan merokok, PMO dan dukungan petugas kesehatan terhadap kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru kategori I.

1.5 Manfaat Penelitian

  a. Untuk membuktikan adanya beberapa faktor risiko sebagai gambaran profil penderita TB paru Kategori I yang berperan terhadap kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif. b. Dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan (DKK Medan) dan mempermudah petugas kesehatan di dalam memberikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita TB untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam pengobatan yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya resistensi.

  c. Sebagai informasi tambahan diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca serta bagi penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.

  d. Bagi peneliti menambah ilmu pengetahuan tentang profil penderita TB paru yang mengalami kegagalan pengobatan fase intensif dan faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi TB paru.