Faktor Yang Berhubungan Dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I Pada Akhir Pengobatan Fase Intensif Di Kota Medan
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GAGAL
KONVERSI PASIEN TB PARU KATEGORI I PADA AKHIR
PENGOBATAN FASE INTENSIF DI KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
HELENA RUGUN NAULI NAINGGOLAN
NIM 087027002
MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(2)
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GAGAL
KONVERSI PASIEN TB PARU KATEGORI I PADA AKHIR
PENGOBATAN FASE INTENSIF DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
HELENA RUGUN NAULI NAINGGOLAN
NIM: 087027002
MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(3)
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.
Nama : HELENA RUGUN NAULI NAINGGOLAN
NIM : 087027002
Tanda tangan :
(4)
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : HELENA RUGUN NAULI NAINGGOLAN
NIM : 087027002
Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GAGAL KONVERSI PASIEN TB PARU KATEGORI I PADA AKHIR PENGOBATAN FASE
INTENSIF DI KOTA MEDAN
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat, dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada tanggal : 29 Maret 2013 Yang menyatakan
(Helena Rugun Nauli Nainggolan)
(5)
ABSTRAK
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia dan merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di tingkat dunia maupun di Indonesia, menjadi latarbelakang penelitian ini untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan, dimana metode penelitian adalah analitik observasional dengan pendekatan Cross sectional, kasus diambil dari penderita tuberkulosis paru yang sudah mendapat pengobatan akhir fase intensif di puskesmas kota Medan, RSHAM dan Klinik Jemadi pada Desember-Februari 2013, jumlah sampel sebanyak 114. Hasil penelitian, dari 114 responden, 36 orang (31,6%) terjadi gagal konversi. Delapan faktor berhubungan gagal konversi berdasarkan uji Chi-Square yaitu tingkat pendapatan kurang (p-value 0,001), pendidikan rendah (p-value 0,011), status gizi kurang (p-value 0,022), kebiasaan merokok value 0,05), penyakit penyerta value 0,007), kepatuhan berobat (p-value 0,000), peran PMO (p-(p-value 0,000) dan petugas kesehatan (p-(p-value 0,000), sedangkan dua faktor lain yang diteliti yaitu umur (p-value 0,932 > 0.05) dan jenis kelamin (p-value 0,965) tidak berhubungan dengan kejadian gagal konversi. Analisa multivariat regresi logistic:faktor yang dominan mempengaruhi gagal konversi adalah PMO dan kepatuhan berobat.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempengaruhi kegagalan konversi penderita TB paru kategori I pada fase akhir intensif adalah tingkat pendapatan, pendidikan, status gizi, rokok, penyakit penyerta, kepatuhan berobat, PMO, petugas kesehatan dan fakor risiko yang paling dominan mempengaruhi gagal konversi adalah PMO dengan PR 65,478 (95% C.I.: 11,306-379,219) dan kepatuhan berobat dengan PR 13,51 (95% C.I.: 2,439-74,836), jadi disarankan agar tidak terjadi kegagalan konversi, penderita TB paru yang berobat perlu adanya pendidikan kesehatan tentang pentingnya keteraturan minum obat selama pengobatan, peran PMO perlu ditingkatkan dan diberikan pelatihan.
Kata kunci: faktor risiko, gagal konversi, TB paru, Medan.
i
(6)
ABSTRACT
Mycobacterium tuberculosis infects one-third of the world's population and is a major public health problem in the world including in Indonesia. a background study was to determine the factors associated with failed conversion category I pulmonary tuberculosis patients at the end of the intensive phase of treatment in the city of Medan, where the method of research is observational analytic cross sectional approach, the cases were pulmonary tuberculosis patients who have received treatment at the end of the intensive phase of community health centers in Medan city, H.Adam Malik Hospital and clinic of Jemadi in December-February, 2013, the pointed as 114. The results, 36 people (31.6%) occurred the conversion failed. Eight factors associated conversion failed by Chi-Square test is less income level (p-value 0.001), lower education (p-value 0.011), malnutrition status (p-value 0.022), smoking (p-value 0.05), co-morbidities (p-value 0.007), treatment compliance (p-value 0.000), the role of PMO (p-value 0.000) and health workers (p-value 0.000), whereas two other factors: age (p-value 0.932 > 0.05) and sex (p-value 0.965) was not associated with the incidence of failed conversion. Multivariate logistic regression analysis: the dominant factor influencing the conversion was unsuccessful PMO and treatment compliance. Conclusion: Risk factors affecting conversion failure is less income level, lower education, malnutrition status, smoking, co-morbidities, treatment compliance, the role of PMO and health workers, and dominant affecting conversion failure is the PMO with PR 65.478 (95% CI: 11.306 to 379.219) and treatment compliance with PR 13.51 (95% CI: 2.439 to 74.836), so advised to avoid conversion failure, pulmonary TB patients seeking treatment need for health education on the importance of regularity of medication during treatment, the role of the PMO needs to be improved and given training.
Keywords: risk factors, conversion failed, pulmonary tuberculosis, Medan.
ii
(7)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : HELENA RUGUN NAULI NAINGGOLAN Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 11 Mei 1967
Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Menikah
Nama Suami : Johnson Sagala, SE Jumlah Anak : 1 (satu) anak perempuan
Nama Anak : Corry Rosalyn Johanna Tania Sagala Jumlah Anggota Keluarga : 7 (anak ke-5 dari 7 bersaudara)
Alamat Rumah : Jl. Periuk No. 48 Kel. S. P. Tengah Kec. M. Petisah Telepon Rumah : 061-4579939
HP (Hand phone) : 085275718103, 081260090004 Email : [email protected]
Pekerjaan/Jabatan : Kepala Puskesmas Rantang, DKK Medan
Riwayat Pendidikan :
1. 1972 – 1974 : TK Swasta Methodist Medan 2. 1974 – 1980 : SD Swasta Budi Murni Medan 3. 1980 – 1983 : SMP Swasta Immanuel Medan 4. 1983 – 1986 : SMA Negeri 1 Medan
5. 1986 – 1992 : Fakultas Kedokteran USU Medan
iii
(8)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, kasih dan karuniaNya yang berkelimpahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul ‘Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan Fase Intensif di Kota Medan’, dan telah dinyatakan lulus diseminarkan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Kedokteran Tropis pada Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan, saran dan masukan dari berbagai pihak. Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM&H, MSc(CTM), SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.dr.Gontar.A.Siregar,Sp.PD-KGEH atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa program studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ketua Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.dr.Chairuddin P.Lubis,DTM&H,Sp.A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen yang telah memberikan pengetahuan yang berguna bagi penulis.
iv
(9)
Bapak dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K), selaku pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan, saran dan waktu beliau hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Ibu Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku konsultan statistik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga penulisan ini layak untuk diteliti dan selalu memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Bapak dr. Alwinsyah Abidin, SpPD(K), selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis.
Ibu dr Tetty Aman Nasution, M.Med, Sc selaku Dosen Penguji II dan juga selaku sekretaris MKT yang banyak memberikan saran, arahan, masukan dan motivasi kepada penulis.
Kepala Puskesmas se-kota Medan yang telah memberikan ijin penelitian di puskesmas dan bapak/ibu petugas kesehatan (petugas TB) di puskesmas yang telah banyak memberikan bantuan dan waktunya untuk melakukan penelitian ini.
Bapak Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K), selaku Kepala SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan ijin penelitian di poli Paru RSUP H Adam Malik Medan.
Bapak dr. H. Zainuddin Amir, SpP(K), selaku Pimpinan dari Klinik Jemadi beserta petugas kesehatan dan pegawai di Klinik Jemadi yang telah memberikan ijin, bantuan dan arahan untuk melakukan penelitian
Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan jajarannya, yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di puskesmas se kota Medan, diantaranya Kepala sie PMK DKK Medan, dr. Pocut, M.Kes yang telah berkenan memberikan data program TB DKK Medan paling update dan bapak Firman, dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara yang juga berkenan memberikan data program TB paling update se-Propinsi Sumatera Utara sebagai masukan dalam penelitian ini.
Sahabat-sahabat seperjuangan mahasiswa MKT, Yusmarita, Nora, Sorna, Rosdiana, Faisal, Salim, Sasilia dan terutama dr. Riyani Susan, MKT yang telah
v
(10)
membantu baik tenaga, pikiran, motivasi dan dorongan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Semua pihak yang tidak bisa disampaikan satu persatu yang telah membantu sehingga penulisan ini akhirnya dapat selesai.
Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada batas penulis sampaikan kepada Papi, Maniur Nainggolan dan Mami Siti Nursani Rajagukguk tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan memberi dorongan semangat serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepada mami orangtuaku tercinta, kupersembahkan tesis ini semoga dengan selesainya penulisan ini, dapat memberikan setetes embun menyejukkan hatimu, melihatmu tersenyum bahagia dan melupakan semua penyakitmu di hari-hari tuamu akan membuat hidupku lebih berarti. Doamu setiap malam mendoakan kami anak-anakmu, menyadarkan kami akan tulusnya hati seorang ibu. Papiku yang walau sudah senang disamping Bapa di surga, tak akan pernah kulupa nasehat dan petuahmu karena papi adalah motivatorku terbaik yang senantiasa menasehatiku untuk selalu ‘melayani’ dahulu baru ‘dilayani’, karena sebagai petugas kesehatan harus mau dan ikhlas sebagai ‘abdi’ masyarakat.
Terakhir tapi yang paling berarti bagi penulis, suamiku tercinta Johnson Sagala, SE dan anakku Corry Rosalyn Johanna Tania Sagala, penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga atas segala doa, ketulusan, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan, yang selalu setia dalam suka dan duka, telah memberi semangat dan kekuatan sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan hingga tesis ini selesai.
Kepada semua tadi penulis hanya berharap semoga semua pihak yang sudah membimbing dan membantu sehingga penulisan ini selesai mendapatkan berkat dan balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari penulisan ini jauh dari kesempurnaan baik dari materi, kedalaman pembahasan, maupun penulisan. Semua itu karena kekurangan dari penulis, untuk itu saran dan koreksi sangat penulis harapkan.
Dengan kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang penulis lakukan, semoga Tuhan membalas segala budi baik
vi
(11)
Bapak, Ibu dan Saudara semua. Semoga ilmu, ketrampilan dan pembinaan yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.
Medan, 29 Maret 2013 Penulis
(Helena Rugun Nauli Nainggolan)
vii
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ... i
Abstract ... ii
Daftar Riwayat Hidup ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... viii
Daftar Tabel ... x
Daftar Gambar ... xi
Daftar Singkatan ... xii
Daftar Lampiran ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Hipotesis Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis ... 7
2.2 Tinjauan Umum tentang Faktor yang Berhubungan dengan Konversi ... 18
2.3 Kerangka Teori Penelitian ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
3.1 Jenis Penelitian ... 29
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 29
3.4 Variabel Penelitian ... 31
3.5 Kerangka Konseptual Penelitian ... 32
3.6 Definisi Operasional ... 33
3.7 Instrumen Penelitian ... 36
3.8 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 36
3.9 Pengolahan Data dan Analisis Data ... 37
. BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40
4.1 Hasil Analisis Univariat ... 40
4.1.1 Karakteristik Responden ... 40
4.1.2 Distribusi Responden Berdasar Status Gizi dan Penyakit Penyerta ... 41
4.1.3 Distribusi Responden Berdasar Kebiasaan Merokok dan Kepatuhan Berobat ... 42
viii
(13)
4.1.4 Distribusi Responden Berdasar Peran PMO dan Petugas
Kesehatan ... 42
4.2 Hasil Analisis Bivariat ... 43
4.2.1 Hubungan Usia dengan Gagal Konversi ... 43
4.2.2 Hubungan Penyakit Penyerta dengan Gagal Konversi.. 44
4.2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gagal Konversi 44
4.2.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Gagal Konversi ... 45
4.2.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Gagal Konversi 45
4.2.6 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Gagal Konversi 46
4.2.7 Hubungan Status Gizi (IMT) dengan Gagal Konversi 47
4.2.8 Hubungan Kepatuhan Berobat dengan Gagal Konversi 47
4.2.9 Hubungan Peran PMO dengan Gagal Konversi ... 48
4.2.10 Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan Gagal Konversi ... 48
4.3 Hasil Analisis Multivariat ... 49
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 51
4.4.1 Keterbatasan Penelitian ... 51
4.4.2 Gambaran Deskriptif ... 52
4.4.3 Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi .... 57
4.4.4 Faktor yang Dominan Mempengaruhi Gagal Konversi 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
5.1 Kesimpulan ... 69
5.2 Saran ... 70
Daftar Pustaka ... 72
Lampiran ... 80
ix
(14)
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Nomor Judul Halaman
2.1 Skala IUATLD pemeriksaan dahak mikroskopis... 10
2.2 Jenis dan Sifat serta Dosis OAT... 11
2.3 Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori I... 14
2.4 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak... 16
4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Medan... 40
4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi-IMT dan Penyakit Penyerta di Kota Medan... 41
4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok dan Kepatuhan Berobat di Kota Medan... 42
4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Peran PMO dan Petugas Kesehatan di Kota Medan... 42
4.5 Tabel Hubungan Usia dengan Kejadian Gagal Konversi... 43
4.6 Tabel Hubungan Penyakit Penyerta dengan Gagal Konversi... 44
4.7 Tabel Hubungan Perokok dengan Gagal Konversi... 44
4.8 Tabel Hubungan Jenis Kelamin dengan Gagal Konversi... 45
4.9 Tabel Hubungan Pendidikan dengan Gagal Konversi... 45
4.10 Tabel Hubungan Pendapatan dengan Gagal Konversi... 46
4.11 Tabel Hubungan Status Gizi dengan Gagal Konversi... 47
4.12 Tabel Hubungan Kepatuhan Berobat dengan Gagal Konversi... 47
4.13 Tabel Hubungan PMO dengan Gagal Konversi... 48
4.14 Tabel Hubungan Petugas Kesehatan dengan Gagal Konversi.... 48
4.15 Variabel yang Masuk dalam Analisis Multivariat... 49
4.16 Faktor yang Dominan Mempengaruhi Kejadian Gagal Konversi 50
x
(15)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Kerangka Teori Penelitian... 28
3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 32
xi
(16)
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN Nama Pemakaian pertama kali pada halaman
AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome ... 1
ARTI Annual Risk of TB Infection ... 1
BTA Basil Tahan Asam ... 2
Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia ... 1
Dinkes Dinas Kesehatan ... 1
Ditjen PP& PL Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ... 1
Ditjen Binkesmas Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat ... 18
DM Diabetes Mellitus ... 22
DOT Directly Observed Therapy ... 2
DOTS Directly Observed Treatment, Shorcourse chemo therapy ... 2
E Etambutol ... 11
H Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide)... 11
HBC High Burden Country ... 1
HIV Human Immunodeficiency Virus ... 2
IMT Indeks Massa Tubuh... 4
IUATLD International Union Against TB and Lung Diseases 2
Kemenkes RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ... 1
KDT Kombinasi Dosis Tetap ... 11
MDR Multi Drugs Resistance ( kekebalan ganda terhadap obat) ... 1
n Jumlah sampel ... 43
OAT Obat Anti Tuberkulosis ... 3
p Probabilitas ... 43
PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ... 9
PMO Pengawas Menelan Obat ... 2
xii
(17)
PPTI Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia ... 22
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat ... 29
R Rifampisin ... 11
RSUP Rumah Sakit Umum Pusat ... 29
S Streptomisin ... 11
SD Sekolah Dasar ... 34
SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ... 34
SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ... 34
SPS Sewaktu-Pagi-Sewaktu ... 8
SPSS Statistical Product an Service Solutions ... 37
TB Tuberkulosis ... 1
TB/HIV Tuberculosis – Human Immune-Deficiency Virus 1
TB-MDR Tuberculosis – Multy Drug Resistant ... 1
UNHAS Universitas Hasanuddin ... 51
UPK Unit Pelayanan Kesehatan ... 15
WHO World Health Organization ... 1
Z Pirazinamid ... 11
xiii
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Cara kerja penelitian ‘Faktor yang Berhubungan dengan Gagal
Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan
Fase Intensif di Kota Medan’... 76 2 Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian ... 77
3 Kuesioner penelitian Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan
Fase Intensif di Kota Medan ... 78
4 Definisi Operasional Penelitian ... 82
5 Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan ... 85
6 Master Data Penelitian ... 86
7 Hasil Analisis Univariat faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan
fase intensif di kota Medan ... 91
8 Hasil Analisis Bivariat faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan
fase intensif di kota Medan... 94
9 Hasil Analisis Multivariat faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan
fase intensif di kota Medan ... 104
xiv
(19)
ABSTRAK
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia dan merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di tingkat dunia maupun di Indonesia, menjadi latarbelakang penelitian ini untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan, dimana metode penelitian adalah analitik observasional dengan pendekatan Cross sectional, kasus diambil dari penderita tuberkulosis paru yang sudah mendapat pengobatan akhir fase intensif di puskesmas kota Medan, RSHAM dan Klinik Jemadi pada Desember-Februari 2013, jumlah sampel sebanyak 114. Hasil penelitian, dari 114 responden, 36 orang (31,6%) terjadi gagal konversi. Delapan faktor berhubungan gagal konversi berdasarkan uji Chi-Square yaitu tingkat pendapatan kurang (p-value 0,001), pendidikan rendah (p-value 0,011), status gizi kurang (p-value 0,022), kebiasaan merokok value 0,05), penyakit penyerta value 0,007), kepatuhan berobat (p-value 0,000), peran PMO (p-(p-value 0,000) dan petugas kesehatan (p-(p-value 0,000), sedangkan dua faktor lain yang diteliti yaitu umur (p-value 0,932 > 0.05) dan jenis kelamin (p-value 0,965) tidak berhubungan dengan kejadian gagal konversi. Analisa multivariat regresi logistic:faktor yang dominan mempengaruhi gagal konversi adalah PMO dan kepatuhan berobat.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempengaruhi kegagalan konversi penderita TB paru kategori I pada fase akhir intensif adalah tingkat pendapatan, pendidikan, status gizi, rokok, penyakit penyerta, kepatuhan berobat, PMO, petugas kesehatan dan fakor risiko yang paling dominan mempengaruhi gagal konversi adalah PMO dengan PR 65,478 (95% C.I.: 11,306-379,219) dan kepatuhan berobat dengan PR 13,51 (95% C.I.: 2,439-74,836), jadi disarankan agar tidak terjadi kegagalan konversi, penderita TB paru yang berobat perlu adanya pendidikan kesehatan tentang pentingnya keteraturan minum obat selama pengobatan, peran PMO perlu ditingkatkan dan diberikan pelatihan.
Kata kunci: faktor risiko, gagal konversi, TB paru, Medan.
i
(20)
ABSTRACT
Mycobacterium tuberculosis infects one-third of the world's population and is a major public health problem in the world including in Indonesia. a background study was to determine the factors associated with failed conversion category I pulmonary tuberculosis patients at the end of the intensive phase of treatment in the city of Medan, where the method of research is observational analytic cross sectional approach, the cases were pulmonary tuberculosis patients who have received treatment at the end of the intensive phase of community health centers in Medan city, H.Adam Malik Hospital and clinic of Jemadi in December-February, 2013, the pointed as 114. The results, 36 people (31.6%) occurred the conversion failed. Eight factors associated conversion failed by Chi-Square test is less income level (p-value 0.001), lower education (p-value 0.011), malnutrition status (p-value 0.022), smoking (p-value 0.05), co-morbidities (p-value 0.007), treatment compliance (p-value 0.000), the role of PMO (p-value 0.000) and health workers (p-value 0.000), whereas two other factors: age (p-value 0.932 > 0.05) and sex (p-value 0.965) was not associated with the incidence of failed conversion. Multivariate logistic regression analysis: the dominant factor influencing the conversion was unsuccessful PMO and treatment compliance. Conclusion: Risk factors affecting conversion failure is less income level, lower education, malnutrition status, smoking, co-morbidities, treatment compliance, the role of PMO and health workers, and dominant affecting conversion failure is the PMO with PR 65.478 (95% CI: 11.306 to 379.219) and treatment compliance with PR 13.51 (95% CI: 2.439 to 74.836), so advised to avoid conversion failure, pulmonary TB patients seeking treatment need for health education on the importance of regularity of medication during treatment, the role of the PMO needs to be improved and given training.
Keywords: risk factors, conversion failed, pulmonary tuberculosis, Medan.
ii
(21)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru (Depkes RI, 2008). Telah dikenal lebih dari satu abad yang lalu, yakni sejak diketemukannya kuman penyebab TB oleh Robert Koch tahun 1882, namun sampai saat ini penyakit TB tetap menjadi masalah kesehatan dan tantangan global di tingkat dunia maupun di Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Pada tahun 2010, World Health Organization (WHO) menyatakan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2011, jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.
Saat ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara negara dengan beban TB tertinggi - High Burden Country (HBC) di dunia (WHO, 2010a), meskipun demikian berbagai tantangan baru perlu menjadi perhatian yaitu Tuberculosis – Human Immune-Deficiency Virus (TB/HIV), Tuberculosis – Multy Drug Resistant (TB-MDR), TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya (Kemenkes RI DirJend PP & PL, 2011b). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus atau 49% (Kemenkes RI DirJend PP & PL, 2011c).
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%, yang berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi dan 10% dari yang terinfeksi akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2007). Profil Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota se-provinsi Sumatera Utara Tahun 2007 diperoleh data kota Medan, menunjukkan dari 2.367 pasien TB yang diobati
1
(22)
hanya 1.172 yang sembuh (49,51%) dan ini adalah urutan kedua yang terendah tingkat keberhasilan pengobatan setelah kota Binjai (35,34%).
Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-effective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya TB-MDR (Depkes RI, 2007). Directly Observed Therapy (DOT) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan TB paru.
Salah satu petunjuk (indicator) yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan (evaluasi terapi) adalah dengan menentukan angka pengubahan (konversi) sputum (dahak). Conversion Rate (Angka Konversi) adalah persentase pasien baru TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif (dua bulan). Keberhasilan angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Target program pemberantasan TB paru salah satunya ialah pencapaian angka konversi minimal 80% pada fase awal (intensif), khususnya pada penderita paru BTA positif.
Beberapa penelitian menyatakan ada pengaruh faktor internal dan eksternal penderita TB paru BTA positif terhadap konversi dahak pada akhir fase awal (intensif). Seperti hasil penelitian Ritha Tahitu & Amiruddin (2007) di kota Ambon Provinsi Maluku Tahun 2006 pada penderita TB paru BTA positif baru yang mengalami gagal konversi (BTA dahaknya tetap positif) pada akhir pengobatan fase intensif dengan usia 15 tahun keatas menunjukkan bahwa responden yang tidak patuh minum obat akan berisiko 41,8 kali mengalami kegagalan konversi dibanding responden yang patuh minum obat dan responden yang Pengawas Menelan Obat atau PMO-nya tidak rutin dalam mengawasi penderita akan berisiko 48,0 kali mengalami kegagalan konversi dibanding responden yang PMO mengawasinya secara rutin untuk minum obat. Ramos (2004) meneliti karakteristik pasien TB paru dengan HIV positif di Brazil mendapatkan hasil bahwa kegagalan pengobatan umumnya terjadi pada pasien TB
2
(23)
paru dengan HIV positif (45,5%), lebih tinggi daripada pasien TB paru dengan HIV negatif (12,2%). Adapun hasil penelitian Suprijono (2005) menyatakan bahwa umur penderita TB paru yang gagal konversi di kabupaten Purworejo dan sekitarnya terbanyak 31-45 tahun (41,2%), tingkat pendidikan terbanyak SD (53%), status pekerjaan tidak mempunyai penghasilan tetap (94%), dan faktor risiko yang mempengaruhi konversi dahak adalah : ketidak teraturan minum obat dan gejala efek samping obat. Fahrudda (2001) mendapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.
Di Sumatera Utara kasus baru TB paru meningkat 160/100.000 penduduk, dengan penduduk Sumatera Utara 12 juta maka penderita TB paru di Sumatera Utara ada 19.000 orang (Sukarni, 2006). Di kota Medan, data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2007, menunjukkan dari 2.367 pasien TB yang diobati hanya 1.172 yang sembuh (49,51%). Pada tahun 2008 dari triwulan I hingga triwulan III, ditemukan 162 penderita TB paru, serta terdapat 70 penderita yang mengalami konversi. Masih rendahnya cakupan angka konversi berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena penderita yang mengalami kegagalan konversi masih memberi peluang menjadi sumber penularan TB pada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, kegagalan konversi memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis), dapat menambah penyebarluasan penyakit TB, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB.
Berdasarkan latar belakang di atas dan belum adanya sampai saat ini penelitian secara khusus mengenai profil pasien TB paru kategori I yang gagal konversi di kota Medan maka perlu dilakukan penelitian tentang “Faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan”.
3
(24)
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Faktor apa saja yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan gagal konversi pasien TB paru kategori I pada akhir pengobatan fase intensif di kota Medan.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di Kota Medan.
b. Untuk mengetahui hubungan umur penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
c. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
d. Untuk mengetahui hubungan kepatuhan berobat dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
4
(25)
f. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
g. Untuk mengetahui hubungan penyakit penyerta dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
h. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok penderita dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
i. Untuk mengetahui hubungan PMO dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
j. Untuk mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
k. Untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru Kategori I di kota Medan.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
Ada hubungan faktor status gizi, umur, jenis kelamin, kepatuhan berobat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, penyakit penyerta, kebiasaan merokok, PMO dan dukungan petugas kesehatan terhadap kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif pasien TB paru kategori I.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Untuk membuktikan adanya beberapa faktor risiko sebagai gambaran profil penderita TB paru Kategori I yang berperan terhadap kegagalan konversi pada akhir pengobatan fase intensif.
5
(26)
b. Dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan (DKK Medan) dan mempermudah petugas kesehatan di dalam memberikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita TB untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam pengobatan yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya resistensi.
c. Sebagai informasi tambahan diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca serta bagi penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.
d. Bagi peneliti menambah ilmu pengetahuan tentang profil penderita TB paru yang mengalami kegagalan pengobatan fase intensif dan faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi TB paru.
6
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis
2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007). Mycobacterium tuberculosis ini merupakan kuman berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,30-0,60/µm. Mempunyai dinding sel yang unik, berupa lapisan lilin yang komposisi utamanya adalah mycolic acid, asam lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik sehingga disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan TB aktif lagi.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.
Sumber penularan yang utama adalah penderita TB paru dengan BTA positif, yang ditularkan melalui percikan dahak (droplet) yang mengandung basil TB pada saat batuk, bersin maupun bicara (Miller, 2002). Orang lain akan tertular apabila droplet tersebut terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, dan dari paru ke bahagian tubuh lainnya (extrapulmonar) melalui melalui bronchus (saluran nafas), sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, atau percontinuitatum (melalui penyebaran langsung). Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
(28)
menghirup udara tersebut. Penderita TB paru yang dalam pemeriksaan dahak BTA (-), penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kurang lebih 5 – 10% individu yang terinfeksi kuman TB akan menderita penyakit TB paru dalam beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya tahan tubuh (imunitas) yang rendah di antaranya karena gizi buruk atau menderita HIV/AIDS.
2.1.2 Klasifikasi tuberculosis
Ada beberapa klasifikasi, salah satunya berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :
a. TB paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB.
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif 2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
8
(29)
2.1.3 Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif (DepKes RI, 2007) : • Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
• Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
• Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
2.1.4 Gejala penyakit tuberkulosis paru
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas dua golongan, yaitu gejala sistemik (demam dan malaise) dan gejala respiratorik, seperti batuk, sesak napas, nyeri dada (PDPI, 2011). Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang suspek (tersangka) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (DepKes RI, 2007).
2.1.5 Diagnosis tuberkulosis paru
Diagnosis pasti TB paru pada orang dewasa ditegakkan bila ditemukan kuman tuberkulosis (BTA) di dalam dahak atau jaringan paru penderita (Miller, 2002). Suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
9
(30)
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (DepKes RI, 2007).
Pembacaan Sediaan Slide BTA
Hasil pemeriksaan mikroskopis dibacakan dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease), yaitu:
Tabel 2.1. Skala IUATLD dalam Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dahak
Mikroskopis
Hasil Keterangan
Negatif Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang
+1, +2, ..., +9 (sesuai jumlah basil)
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang
1+ Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang
2+ Ditemukan 1-10 BTA per lapang pandang dalam setidaknya 50 lapang pandang
3+ Ditemukan >10 BTA per lapang pandang dalam setidaknya 20 lapang pandang
Sumber: Depkes (2007)
2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
10
(31)
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (DepKes RI, 2007). Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat dan dosis sebagaimana pada Tabel 2.1.
Tabel 2.2 Jenis dan Sifat serta Dosis OAT
Jenis OAT Sifat
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5
(4-6)
10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10
(8-12)
10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25
(20-30)
35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15
(12-18) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15
(15-20)
30 (20-35)
Sumber: DepKes RI (2007)
2.1.6.1 Prinsip pengobatan
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT) oleh PMO.
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
11
(32)
2.1.6.2 Tahap awal (intensif)
1) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (DepKes RI, 2007).
2.1.6.3 Tahap lanjutan
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (DepKes RI, 2007).
2.1.6.4 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia sesuai rekomendasi WHO dan IUATLD, dan kategori paduan OAT yang paling sering dipakai adalah :
1) Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
2) Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 (DepKes RI, 2007).
Untuk paket OAT dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
1) OAT dalam bentuk Obat Kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
2) OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan sisipan, yang dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi effek samping KDT.
12
(33)
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1) menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi,
2) menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) 3) mengurangi efek samping.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya:
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), artinya, selama 2 bulan pertama obat yang diberikan adalah INH (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari. Kemudian 4 bulan selanjutnya INH (H) dan rifampisin (R) tiga kali dalam seminggu. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru
13
(34)
Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT ≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber: DepKes RI (2007)
2) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) , artinya, selama satu bulan pertama obat yang diberikan adalah INH (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan lima bulan berikutnya diberikan INH (H), rifampisin (R), dan etambutol (E) tiga kali seminggu. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
2.1.7 Conversion Rate (Angka Konversi)
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
14
(35)
Perhitungan angka konversi untuk pasien TB baru BTA positif :
Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang konversi
Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang diobati
Di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula.
2.1.8 Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik pada TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.4.
X 100 %
15
(36)
Tabel 2.4 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
TIPE PASIEN
TB U R A I A N HASIL BTA
TINDAK LANJUT
Pasien baru BTA positif dengan
pengobatan kategori 1
Akhir tahap Intensif
Negatif Tahap lanjutan dimulai. Positif Dilanjutkan
dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan. Sebulan sebelum Akhir Pengobatan
Negatif OAT dilanjutkan.
Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Akhir Pengobatan (AP) Negatif dan minimal satu pemeriksaan sebelumnya negatif Sembuh.
Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Pasien baru BTA
neg & foto toraks mendukung TB dengan pengobatan
kategori 1
Akhir intensif Negatif Berikan
pengobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap. Positif Ganti dengan
Kategori 2 mulai dariawal.
Pasien BTA positif dengan pengobatan
kategori 2
Akhir Intensif Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan.
16
(37)
Positif Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan
pengobatan tahap lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan obat. Sebulan sebelum
Akhir Pengobatan
Negatif Lanjutkan pengobatan hingga selesai. Positif Pengobatan gagal,
disebut kasus kronik, bila mungkin lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik. Akhir Pengobatan
(AP)
Negatif Sembuh.
Positif Pengobatan gagal, disebut kasus kronik, jika mungkin, lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik
Sumber: DepKes RI (2007)
17
(38)
2.2 Tinjauan Umum tentang Faktor yang Berhubungan dengan Konversi
2.2.1 Faktori internal penderita TB paru a. Jenis kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan masyarakat (Ditjen Binkesmas) Depkes RI (2010) status kesehatan masyarakat berbasis gender fakta hasil survei kesehatan nasional tahun 2006 proporsi laki-laki (57%) lebih banyak daripada perempuan (43%). Pada laki-laki-laki-laki lebih tinggi mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial, karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru.
Menurut WHO (2003), sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Kepekaan untuk terinfeksi penyakit ini adalah semua penduduk, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tua muda, bayi dan balita. Angka pada pria selalu lebih tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 dan kemudian menurun. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002).
b. Umur
Umur berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru, dimana umur dapat mempengaruhi kerja dan efek obat karena metabolisme obat pada orang yang muda berbeda dengan orang tua. Insidensi tertinggi TB paru biasanya pada usia muda atau produktif, yaitu umur 15-45 tahun (Crofton, 2002). Dewasa ini 18
(39)
dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi.
Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis pada umumnya menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk TB paru. Makin tua usia akan terjadi perubahan fungsi secara fisiologik, patologik dan penurunan sistem pertahanan tubuh dan ini akan mempengaruhi kemampuan tubuh menangani OAT yang diberikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Trihadi dan Rahardja (1995), menunjukkan bahwa kelompok usia di atas 35 tahun memberikan respon yang kurang baik terhadap pengobatan. Penelitian kohort Gustafson (2004) juga menyatakan terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1,36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08.
Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Depkes, 2007). Usia yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis, karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009).
c. Status gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supriasa, 2001). Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor kelaparan atau gizi buruk pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak mengurangi daya tahan terhadap penyakit TB (Crofton, 2002).
Menurut Hernilla (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran dan buah-buahan secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis. Status gizi berpengaruh pada cara tubuh kita melawan basil tuberkel. Apabila gizi yang masuk dalam tubuh cukup, akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi 19
(40)
daya tahan tubuh terhadap penyakit, karena kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru.
d. Pendidikan
Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita, hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mempengaruhi kesuksesan pengobatan penderita. Pengetahuan sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Kemenkes RI DirJend PP & PL, 2011a). Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan dan penyakitnya sehingga akan semakin tuntas proses pengobatan dan penyembuhannya, termasuk penyakit TB paru. Fahrudda (2001) mendapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 2003). Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006).
e. Tingkat pendapatan
Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006). Kemiskinan memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk 20
(41)
dengan status ekonomi rendah atau miskin dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia (Crofton, 2002 dan WHO, 2003).
Menurut Pertiwi (2004), orang yang memiliki penghasilan yang rendah memiliki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan yang tinggi. Hasil penelitian Mahpudin (2006) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru BTA positif salah satunya adalah pendapatan perkapita dengan OR 2,145.
Tingkat pendapatan yang rendah diduga mempengaruhi perubahan konversi sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif. Hal ini karena dengan kondisi keuangan yang kurang baik maka orang akan sulit membayar biaya berobat, transport, memperbaiki pola makan dan sebagainya sehingga pengobatan dihentikan sendiri karena kehabisan dana (Robert, 2002).
f. Kepatuhan berobat
Menurut Rowley (2001) kepatuhan atau yang dikenal dengan adherensi adalah tindakan nyata untuk mengikuti aturan atau prosedur dalam upaya perubahan sikap dan perilaku individu yang dipengaruhi oleh pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan, sosio demografi, faktor psikososial berbentuk kepercayaan terhadap perubahan perilaku. Kepatuhan berobat dalam hal ini adalah kegiatan meminum obat Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) pada dua bulan pertama setiap hari, diminum sekaligus dan tidak pernah lupa. Kepatuhan berobat pada penelitian ini menyangkut aspek jumlah serta jenis OAT yang diminum, keteraturan waktu minum obat yang harus diminum pada fase intensif. Gagal dan tidaknya konversi BTA sangat ditentukan pengobatan. Sedangkan pengobatan dapat berhasil dipengaruhi oleh kepatuhan. Namun variabel kepatuhan tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi sakit dan penyakitnya, sistem pelayanan kesehatan dan pengobatannya.
21
(42)
g. Merokok
Merokok tembakau merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh (Leung, 2010) sehingga dapat mempengaruhi kesembuhan pengobatan penderita TB paru. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan‐ bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahan berbahaya dan racun dalam rokok bahkan tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang disekitarnya yang tidak merokok. Merokok dapat menyebabkan sistim imun di paru menjadi lemah sehingga mudah untuk perkembangan kuman mycobacterium.
h. Faktor penyakit lain yang menyertai
Jurnal Tuberkulosis Indonesia yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) pada Maret 2012 diantaranya melaporkan bahwa adanya penyakit lain menyertai seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV – AIDS dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
2.2.2 Faktor eksternal penderita TB paru 2.2.2.1 Aspek pelayanan kesehatan 1) Faktor Pengawas Minum Obat (PMO)
Menurut Aditama (2008), salah satu yang menyebabkan sulitnya TB paru dibasmi adalah kenyataan bahwa obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatannya memakan waktu yang lama, setidaknya 6 bulan.
22
(43)
Hal ini menyebabkan penderita tidak menuntaskan pengobatannya dan bahkan putus obat.
Untuk itu diperlukan Pengawas Minum Obat (PMO) untuk menjaga agar penderita tidak putus berobat atau teratur berobat, WHO tahun 1995 telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai pendekatan terbaik penanggulangan TB. Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek yang diawasi oleh PMO untuk menjamin seseorang menyelesaikan pengobatannya (Depkes, 2007).
a) Persyaratan PMO
(1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
(2) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
(3) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
(4) Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
b) Tugas seorang PMO
(1) Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
(2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
(3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
(4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka tuberkulosis untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (PPTI, 2010).
2) Peran Petugas Kesehatan
Peran petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi pasien dengan memberikan bantuan berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata, atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh pada 23
(44)
perilaku penerimanya (Depkes, 2002). Dukungan emosional sehingga merasa nyaman,merasa diperhatikan, empati, merasa diterima dan ada kepedulian. Dukungan kognitif dimana pasien memperoleh informasi, petunjuk, saran atau nasehat.
Menurut Mukhsin (2006), hubungan yang saling mendukung antara pelayanan kesehatan dan penderita, serta keyakinan penderita terhadap pelayanan kesehatan lanjutan merupakan faktor-faktor yang penting bagi penderita untuk menyelesaikan pengobatannya. Pelayanan kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB. Pelayanan kesehatan mengandung dua dimensi, yakni (1) menekankan aspek pemenuhan spesifikasi produk kesehatan atau standar teknis pelayanan kesehatan (2) memperhatikan perspektif pengguna pelayanan yaitu sejauh mana pelayanan yang diberikan mampu memenuhi harapan dan kepuasan pasien. Interaksi petugas kesehatan dengan penderita TB terjadi di beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan obat dan pada waktu kunjungan rumah.
Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang TB perlu dilakukan, karena masalah tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis (Depkes, 2002). Penyuluhan tuberkulosis dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media.
3) Ketersediaan obat
Salah satu strategi DOTS adalah jaminan ketersediaan OAT bahkan harus yang bermutu untuk penanggulangan TB dan diberikan kepada pasien secara cuma-cuma (Kemenkes-RI. 2009). Dengan jaminan ketersediaan obat OAT, tidak terjadi kegagalan pengobatan karena obat tidak dimakan secara rutin. Obat yang tersedia tidak lengkap juga dapat mengakibatkan terjadi resistensi OAT dan akan menambah kasus MDR-TB.
24
(45)
2.2.2.2 Aspek kesehatan lingkungan
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment). Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) dan sanitasi lingkungan yang buruk akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB (Atmosukarto, 2000).
1) Kondisi rumah
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Pada umumnya, lingkungan lingkungan fisik dan sosial rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) yang berpengaruh pada penyebaran penyakit TB meliputi kelembaban udara, ventilasi rumah, suhu rumah, pencahayaan rumah, kepadatan penghuni rumah dan lantai rumah.
Bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis. Kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40‐60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Depkes RI, 2000).
Menurut Atmosukarto dan Soeswati (2000), kuman tuberkulosis bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko penghuninya menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari. Penelitian Girsang tahun 2000, menyatakan kuman mycobacterium tuberculosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari.
25
(46)
2) Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Lingkungan sangat mempengaruhi penyebaran penyakit TB, dimana lingkungan yang kurang kebersihan dan sirkulasi udara yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular terutama penyakit TB.
2.2.2.3 Aspek mikroba atau sifat dari kuman mycobacterium tuberculosa
Penelitian untuk mengetahui faktor apa saja penyebab kegagalan dalam pengobatan TB telah banyak dilakukan dan aspek mikroba telah banyak diteliti sebagai salah satu penyebab kegagalan pengobatan dimana seseorang terinfeksi oleh kuman TB yang memang sudah memiliki sifat resistensi terhadap obat-obat TB. Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup (Setiabudy, 1995).
Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitifitas mikroba terhadap antimikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi kromosal dan resistensi ekstrakromosal. Sifat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba sejak semula resisten terhadap pengaruh suatu antimikroba, yang dikenal sebagai sifat resisten alamiah.
Perubahan sifat genetik karena kuman memperoleh elemen genetik yang membawa sifat resistensi yang dikenal sebagai resistensi yang diperoleh (acquired resistance). Atau resistensi dari luar disebut resistensi yang dipindahkan (transferred resistance), dapat juga terjadi akibat adanya mutasi genetik yang spontan atau akibat rangsang antimikroba (induced resitance) (Setiabudy, Vincent, 1995). Berbeda dengan resistensi pada banyak bakteria terhadap antibiotika dimana resistensi dapat dengan transformasi, tranduksi atau konjugasi gen, resisten yang didapat mycobacterium tuberculosis adalah pada mutasi gen kromosom utama (genomically based).
26
(47)
Sel bakteria tumbuh dan memperbanyak diri, replikasi terjadi berulang-ulang sehingga jumlah yang besar selama infeksi atau pada permukaan tubuh. Untuk tumbuh dan berkembang, organisme harus mensintesa atau memerlukan banyak biomolekul.
Obat antimikroba mengganggu dengan proses yang spesifik bahan-bahan esensial untuk pertumbuhan dan atau perkembangan mikroba tersebut. Mekanisme kerja antimikroba dapat dipisahkan pada kelompok seperti penghambat sintesa dinding sel, penghambat fungsi membran sitoplasma, penghambat sintesa asam nukleat, penghambat fungsi ribosom (Baron, 1996).
Sama seperti mekanisme kerja obat antimikroba, resistensi kuman terhadap obat umumnya terjadi dalam 4 jalur, yaitu adanya proses enzimatik, penurunan permeabilitas terhadap antibiotik, modifikasi letak reseptor obat dan peningkatan sintesa metabolit antagonis terhadap antibiotik.
Prinsip pengobatan TB paru dengan masa pengobatan tahap insentif selama 2 bulan dengan terapi pemberian pengobatan kombinasi adalah untuk memastikan tidak terjadinya mutan resisten pada satu obat (single resistance), kemudian 4 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan untuk membunuh kuman yang masa pertumbuhannya lambat. Isoniazid dan Rifampisin adalah dua OAT yang sangat poten membunuh lebih dari 99% basil TB dalam 2 bulan awal pengobatan (WHO, 2003)
Bersama kedua obat ini Pirazinamid dengan efek yang tinggi yang bekerja terhadap basil semidorman yang tidak dipengaruhi oleh OAT yang lain. Penggunaan obat ini bersamaan dengan OAT yang lain mengurangi masa pengobatan dari 18 bulan menjadi 6 bulan. Oleh karena itu munculnya strain resisten terhadap salah satu atau lebih obat-obat ini menjadi perhatian yang utama sebagai penyebab kejadian gagal konversi.
27
(48)
2.3 Kerangka Teori Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, maka kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Aspek penderita :
Jenis Kelamin Umur
Status gizi
Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Kepatuhan berobat Kebiasaan merokok Penyakit penyerta
Aspek pelayanan kesehatan :
Pengawas Menelan Obat (PMO)
Peran petugas kesehatan Ketersediaan obat
Konversi (+)/(-)
Aspek kesehatan lingkungan :
Kondisi rumah Sanitasi lingkungan ASPEK
INTERNAL PENDERITA
ASPEK EKSTERNAL PENDERITA
Aspek mikroba atau sifat kuman mycobacterium tuberculosa
28
(49)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Menggunakan rancangan penelitian analitik observasional dengan pendekatan Cross sectional, dimana pada penelitian ini tidak dilakukan suatu perlakuan pada subjek penelitian dan dilakukan hanya pada satu waktu tertentu selama waktu penelitian (Ghazali, 2008 dan Notoadmodjo, 2010). Penelitian ini dilakukan dengan mempelajari hubungan faktor internal dan eksternal pasien TB paru kategori I dengan gagal konversi pada akhir pengobatan fase intensif.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Februari 2013 yang meliputi persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data beserta perbaikannya. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan, praktek dokter swasta Klinik Jemadi dan puskesmas di kota Medan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah pasien TB paru kategori I usia > 18 tahun.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi
1. Pasien TB paru kategori I dengan BTA positif 2. Usia > 18 tahun
3. Pada akhir pengobatan fase awal (intensif)
29
(50)
4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir persetujuan penderita
b. Kriteria eksklusi
1. Pasien TB dengan penyakit penyerta kronis seperti kanker,
2. Pasien yang lagi mendapat pengobatan dengan steroid (kortikosteroid)
c. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus :
20
2 0
0
(
1
)
(
1
)
a a a
P
P
P
P
Z
P
P
Z
n
Keterangan :n = Besar sampel minimum
Zα = Tingkat kepercayaan 95% (Z=1,96) Zβ = Kekuatan uji 80% = 0,841
P0 = Proporsi kegagalan TB Paru 30%
Pa = Prakiraan proporsi kegagalan TB Paru 45%
Dengan menggunakan rumus di atas, maka besar sampel dapat dihitung sebagai berikut:
22 45 , 0 30 , 0 ) 45 , 0 1 ( 45 , 0 841 , 0 30 , 0 1 30 , 0 96 , 1 n
2 2 15 , 0 418 , 0 898 , 0 n 77 nPada penelitian ini, sampel berjumlah 114 orang.
0225 , 0 316 , 1 2 n~ 80 orang
30
(51)
3.4 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen).
a. Variabel dependennya adalah konversi penderita TB paru kategori I. b. Variabel independennya meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, status gizi, kepatuhan berobat, adanya penyakit penyerta, kebiasaan merokok, PMO dan petugas kesehatan.
31
(52)
Pemeriksaan Ulang Dahak Setelah 2 (dua) bulan pengobatan
3.5 Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Aspek Internal Penderita :
1. Jenis Kelamin 2. Umur
3. Status gizi
4. Tingkat pendidikan 5. Tingkat pendapatan 6. Kepatuhan berobat 7. Kebiasaan merokok 8. Penyakit penyerta
Aspek Eksternal Penderita: Pelayanan kesehatan
1. Pengawas Menelan Obat (PMO)
2. Petugas kesehatan
Gagal Konversi
Variabel independen
Variabel dependen
BTA (+)
KONVERSI BERHASIL
KONVERSI GAGAL
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
32
(53)
3.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut, artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian dapat diulangi oleh orang lain (Nursalam, 2003 : 106): 1. Pasien TB paru kategori I adalah pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB
paru BTA negatif foto toraks positif dan pasien TB ekstra paru yang mendapat pengobatan paduan OAT Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), artinya selama 2 bulan pertama obat yang diberikan adalah INH (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari yang kemudian 4 bulan selanjutnya INH (H) dan rifampisin (R) tiga kali dalam seminggu.
2. Konversi adalah perubahan dari BTA positif menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif.
3. Pengobatan fase intensif adalah pengobatan tahap awal (intensif) dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat dimana bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
4. Jenis kelamin adalah identitas gender responden dibedakan laki-laki atau perempuan.
Alat ukur: kuesioner,
cara ukur: wawancara/pengamatan, hasil ukur: laki-laki atau perempuan, skala: nominal.
5. Umur adalah lamanya kehidupan responden sejak tahun lahir sampai tahun saat dilakukan penelitian dihitung dengan angka tahun.
Alat ukur: kuesioner,
cara ukur: wawancara atau dari kartu status pasien berobat, hasil ukur: muda (18-45 tahun) dan tua (> 45 tahun), skala: ordinal.
33
(54)
6. Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diukur dari Indeks Massa Tubuh (IMT)
.
Alat ukur: kuesioner,
cara ukur: timbangan injak (kg) untuk mengukur berat badan dan microtoise (m) untuk mengukur tinggi badan,
hasil ukur: baik/lebih bila IMT 18,5 – 25 atau > 25 dan kurang bila IMT < 18,5 skala: nominal.
7. Pendidikan adalah jenis pendidikan formal yang terakhir yang diselesaikan responden.
Alat ukur: kuesioner, cara ukur: wawancara,
hasil ukur: rendah (SD,SMP) dan tinggi (SMA, Diploma, Sarjana), skala: ordinal.
8. Tingkat pendapatan adalah penghasilan dari kepala keluarga berdasarkan UMR tahun 2012/2013 di Sumatera Utara.
Alat ukur: kuesioner,
cara ukur: wawancara/pengamatan,
hasil ukur: kurang Rp1.500.000 dan cukup Rp1.500.000, skala: ordinal.
9. Kepatuhan berobat adalah perilaku penderita TB Paru dalam menaati jadwal pengobatan yang telah ditetapkan secara teratur dan lengkap tanpa terputus. Alat ukur: kuesioner atau melalui kartu berobat dari awal pengoba tan sampai dengan akhir bulan ke-2,
cara ukur: wawancara/pengamatan melalui kartu berobat,
hasil ukur: patuh bila minum obat teratur tanpa putus dan tidak patuh bila tidak minum obat teratur,
skala: nominal.
34
(1)
.796
.420
3.590
1
.058
2.216
.973
5.048
.433
.262
2.728
1
.099
1.542
rokokk(1)
Constant
Step
1
aB
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: rokokk.
a.
Variables in the Equation
1.110
.420
6.973
1
.008
3.034
1.331
6.913
.100
.317
.100
1
.752
1.105
penyakitk(1)
Constant
Step
1
aB
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: penyakitk.
a.
Variables in the Equation
5.318 .843 39.836 1 .000 204.000 39.121 1063.773
-1.735 .443 15.345 1 .000 .176
pmo(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: pmo. a.
(2)
ANALISIS MULTIVARIAT
-23.162
8038.594
.000
1
.998
.000
.000
.
1.959
.322
36.990
1
.000
7.091
petugask(1)
Constant
Step
1
aB
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: petugask.
a.
Variables in the Equation
1.158 1.011 1.311 1 .252 3.184 .439 23.115
1.584 1.015 2.435 1 .119 4.872 .667 35.605
1.020 1.005 1.030 1 .310 2.772 .387 19.855
3.992 1.051 14.426 1 .000 54.177 6.904 425.126
3.479 1.268 7.529 1 .006 32.429 2.702 389.209
-.322 1.070 .091 1 .763 .725 .089 5.895
.971 1.218 .635 1 .426 2.640 .242 28.749
-6.584 1.877 12.304 1 .000 .001
pendapatank(1) rokokk(1) penyakitk(1) pmok(1) kepatuhank(1) pddknk(1) imtk(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: pendapatank, rokokk, penyakitk, pmok, kepatuhank, pddknk, imtk. a.
109
(3)
1.048 .944 1.231 1 .267 2.851 .448 18.142
1.552 1.002 2.403 1 .121 4.723 .663 33.629
1.110 .971 1.307 1 .253 3.035 .452 20.367
3.914 1.002 15.264 1 .000 50.081 7.031 356.720
3.474 1.261 7.591 1 .006 32.253 2.725 381.723
.973 1.221 .635 1 .426 2.646 .242 28.985
-6.659 1.872 12.648 1 .000 .001
pendapatank(1) rokokk(1) penyakitk(1) pmok(1) kepatuhank(1) imtk(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Variable(s) entered on step 1: pendapatank, rokokk, penyakitk, pmok, kepatuhank, imtk. a.
Variables in the Equation
.867 .903 .923 1 .337 2.381 .406 13.963
1.526 .987 2.390 1 .122 4.600 .664 31.847
.959 .924 1.076 1 .300 2.608 .426 15.956
4.002 1.000 16.022 1 .000 54.724 7.710 388.395
2.927 .988 8.771 1 .003 18.672 2.691 129.555
-5.710 1.331 18.404 1 .000 .003
pendapatank(1) rokokk(1) penyakitk(1) pmok(1) kepatuhank(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: pendapatank, rokokk, penyakitk, pmok, kepatuhank. a.
(4)
1.592 .995 2.557 1 .110 4.912 .698 34.562
.807 .890 .821 1 .365 2.241 .391 12.832
4.110 .967 18.047 1 .000 60.933 9.149 405.812
3.007 .991 9.210 1 .002 20.236 2.901 141.147
-5.324 1.214 19.227 1 .000 .005
rokokk(1) penyakitk(1) pmok(1) kepatuhank(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: rokokk, penyakitk, pmok, kepatuhank. a.
Variables in the Equation
1.735 .999 3.015 1 .082 5.668 .800 40.164
4.180 .948 19.419 1 .000 65.335 10.182 419.242
3.075 1.002 9.412 1 .002 21.640 3.036 154.265
-5.127 1.175 19.031 1 .000 .006
rokokk(1) pmok(1) kepatuhank(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: rokokk, pmok, kepatuhank. a.
111
(5)
Classification Tablea
72 6 92.3
2 34 94.4
93.0 Observed
.00 1.00 konversi kel
Overal l Percentage Step 1
.00 1.00
konversi kel Percentage
Correct Predicted
The cut value i s .500 a.
4.182 .896 21.775 1 .000 65.478 11.306 379.219
2.603 .873 8.885 1 .003 13.510 2.439 74.836
-3.928 .774 25.770 1 .000 .020
pmok(1) kepatuhank(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Variable(s) entered on step 1: pmok, kepatuhank. a.
(6)
4.180 .948 19.419 1 .000 65.335 10.182 419.242
3.075 1.002 9.412 1 .002 21.640 3.036 154.265
1.735 .999 3.015 1 .082 5.668 .800 40.164
-5.127 1.175 19.031 1 .000 .006
pmok(1) kepatuhank(1) rokokk(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: pmok, kepatuhank, rokokk. a.
Classification Tablea
74 4 94.9
3 33 91.7
93.9 Observed
.00 1.00 konversi kel
Overal l Percentage Step 1
.00 1.00
konversi kel Percentage
Correct Predicted
The cut value i s .500 a.
113