LAPORAN WAWANCARA BUDAYA TIONGKOK VS BUD

LAPORAN WAWANCARA KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
BUDAYA TIONGKOK VS BUDAYA INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Komunikasi Lintas Budaya
Dosen Pengampu : Ilham Gemiharto,S.Sos.,M.Si
Ditha Prasanti, S.I.Kom.,M.I.Kom.

Disusun Oleh :
Tanti Rahmawati

(210110150062)

Anggit Giniafitri

(210110150068)

Noor Dina Camelia

(210110150080)

Ilmu Komunikasi C


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….
1.1
1.2
1.3
1.4

Latar Belakang Wawancara…………………………………………………..
Topik Wawancara…………………………………………………………….
Tujuan Wawancara…………………………………………………………….
Waktu dan Tempat Wawancara………………………………………………

BAB II HASIL WAWANCARA………………………………………………………
2.1 Narasumber…………………………………………………………………….

2.2 Pewawancara…………………………………………………………………..
2.3 Transkip Hasil Wawancara……………………………………………………
BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………………..
3.1 Komponen Budaya…………………………………………………………….
3.2 Aspek Komunikasi Non Verbal………………………………………………..
3.3 Persepi Orang Mereka Terhadap Orang Indonesia……………………………
3.4 Persepsi Mereka Tentang Kebiasaan Orang Indonesia……………………….
3.5 Kebiasaan Mereka Saat Berkomunikasi………………………………………
3.6 Usaha-Usaha Yang Dilakukan Dalam Penyesuaian Antar Budaya…………..
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………….
4.1 Simpulan……………………………………………………………………..
4.2 Saran………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
DOKUMENTASI……………………………………………………………………….

BAB I

PENDAHULUAN
1.1


Latar Belakang Wawancara
Komunikasi lintas budaya menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji dan
diperbincangkan, pasalnya setiap budaya memiliki berbagai komunikasi verbal maupun
nonverbal yang berbeda antara budaya yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut
yang tidak jarang dapat membuat persepsi atau pemaknaan yang berbeda antar berbeda
budaya saat mereka berkomunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui
hal-hal yang berbeda dalam komunikasi antar budaya tersebut, kami tertarik untuk
mewawancarai salah satu mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas yang sedang
melakukan student exchange ke Universitas Padjadjaran untuk menggali lebih dalam
mengenai kebudayaan Tiongkok di daerah asalnya.

1.2

Topik Wawancara
Tradisi dan Cara Berkomunikasi dalam Kebudayaan Tiongkok

1.3

Tujuan Wawancara
 Memenuhi tugas Komunikasi Lintas Budaya

 Memperoleh informasi dari narasumber mengenai budaya Tiongkok
 Menggali lebih dalam mengenai tradisi/kebiasaan berkomunikasi yang biasa
dilakukan dalam budaya Tiongkok.

1.4

Waktu dan Tempat Wawancara
Wawancara ini dilaksanakan pada :
Hari / Tanggal
: Kamis, 9 Maret 2017
Pukul
: 11.00 WIB-selesai
Tempat
: Fakultas Ilmu Budaya Unpad

BAB II
HASIL WAWANCARA
2.1

Narasumber

Nama Narasumber
Umur
Pekerjaan

: Yusuf (Kou Guizhi)
: 18 tahun
: Mahasiswa Sastra Indonesia (Students Exchange to Unpad)

2.2

2.3

Pewawancara
Nama Pewawancara
Juru Kamera

: Noor Dina Camelia dan Tanti Rahmawati
: Anggit Giniafitri

Transkip Hasil Wawancara

 Apa kepercayaan/agama yang dianut di Tiongkok?
Jawab : Konghucu, Tao, Islam, Protestan namun mayoritas Konghucu.
 Adakah aspek komunikasi nonverbal yang biasa digunakan dalam orang-orang
budaya Tiongkok saat berkomunikasi?
Jawab : kami menganut konsep waktu monokronik yang menghargai waktu,
berusaha untuk tepat menepati janji. Selain itu, komunikasi nonverbal juga
dilakukan saat gerakan tubuh saat gongshou untuk memberikan penghormatan
kepada orang lain, dan lain-lain.
 Menurutmu, bagaimana persepsi kamu mengenai orang-orang Indonesia? terutama
saat mereka berkomunikasi satu sama lain?
Jawab : first impression saya ketika pertama kali berkomunikasi dengan orang
Indonesia adalah sikap mereka yang ramah terhadap saya.
 Budaya Tiongkok termasuk ke dalam high context atau low context
communication?
Jawab : termasuk ke dalam low context communication
 Apakah kamu merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang Indonesia?
Jika iya, bagaimana cara kamu mengatasi kesulitan-kesulitan itu?
Jawab : awalnya memang merasa sulit, namun seiring berjalannya waktu saya
dapat beradaptasi terutama dalam berkomunikasi dengan teman-teman saya dari
Indonesia.


BAB III
PEMBAHASAN
Republik Rakyat Tiongkok (Hanzi Sederhana: 中华人民共和国; Hanzi Tradisional: 中
華人民共和國; Pinyin: Zhōnghuá Rénmín Gònghéguó; Pee h-ōe-jī: Tiong-hôa Jîn-bîn Kiōnghô-kok, disingkat RRT atau Tiongkok; literal: Republik Rakyat Tionghoa) adalah sebuah
negara yang terletak di Asia Timur yang beribukota di Beijing. Juga diterjemahkan sebagai
Republik Rakyat Cina/RRC sejak 28 Juni 1967 hingga 14 Maret 2014 [3] Negara ini memiliki
jumlah penduduk terbanyak di dunia (sekitar 1,35 milyar jiwa) dan luas wilayah 9,69 juta
kilometer persegi, menjadikannya ke-4 terbesar di dunia. Penjelasan diatas kami lampirkan
mengenai Republik Rakyat Tiongkok secara singkat mengingat narasumber kami berasal dari

Tiongkok. Adapun informasi yang kami dapatkan setelah melakukan kegiatan wawancara
dengan narasumber antara lain komponen budaya, aspek komunikasi non verbal, persepsi
mereka terhadap orang Indonesia dan kebiasaannya, kebiasaan mereka saat berkomunikasi
dan usaha penyesuaian antar budaya, penjelasan terkait hal tersebut dibahas lebih lanjut di
bawah ini :
3.1 Komponen Budaya
 Agama/kepercayaan
Menurut informasi dari narasumber, agama dalam budaya Tiongkok adalah
Kong Hu Cu, Tao, Islam Protestan dan Katolik, namun mayoritas masyarakat

Tiongkok menganut agama Konghucu. Tidak hanya itu, masyarakat Tiongkok
menganut beberapa kepercayaan diantaranya saat musim gugur pertengahan, mereka
akan bersama-sama menyantap kue bulan. Menurut kepercayaan mereka, hal ini
dilakukan untuk menyatakan rasa rindu pada keluarga. Tradisi lain juga dilakukan
yaitu tradisi Festival Duan Wu Jie (端午節) atau biasa disebut Festival Twan Yang
(Peh Cun, Bak Cang) jatuh setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Twan Yang
memiliki arti, yakni ‘Twan’ yang artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi
pokok atau sumber; dan ‘Yang’ artinya sifat positif atau matahari, jadi Twan Yang
ialah saat matahari memancarkan Cahaya paling keras. Hari Raya ini dinamai pula
Duan Wu. “Wu” artinya saat antara jam 11.00 s/d 13.00 siang, jadi perayaan ini
tepatnya ialah pada saat tengah hari. Orang-orang percaya bahwa rebusan obatobatan yang dipetik pada saat itu akan besar khasiatnya. Karena letak matahari tegak
lurus, orang percaya telur ayam pun bila ditegakkan saat itu akan dapat berdiri tegak
lurus. Hari raya ini disebut pula dengan nama Peh Cun yang artinya merengkuh
Dayung atau Beratus Perahu. Dinamai demikian karena pada hari itu sering diadakan
perlombaan dengan banyak perahu.
 Sikap
Perbedaan sikap yang narasumber rasakan saat berada di Tiongkok dan
Indonesia sebenarnya tidak cukup signifikan. Pasalnya, ia tetap menunjukkan sikap
pribadinya sebagai orang Tiongkok yang selalu tepat waktu dalam menepati janji.
Namun, ia hanya merasa cukup heran ketika orang-orang Indonesia harus bangun

pagi pukul lima dan memulai aktivitas kesehariannya, berbeda dengan orang
Tiongkok yang bersiap-siap memulai aktivitas pukul tujuh. Selain itu, setelah
narasumber mengerti bahwa orang-orang Indonesia menganut konsep waktu
polikronik, ia akan memaklumi ketika ia mempunyai sebuah janji untuk bertemu

dengan seseorang namun orang tersebut datang terlambat padahal narasumber telah
berada di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Berbeda ketika ia berada di
Tiongkok, ia tidak lagi menolerir seseorang yang memiliki janji untuk bertemu
dengannya kecuali keterlambatan dengan alasan yang jelas, karena narasumber
merasa bahwa sesama orang Tiongkok memiliki konsep waktu yang sama yaitu
monokronik, dimana mereka memang ‘diharuskan’ untuk menepati janji tepat waktu.
 Pandangan Dunia
Menurut apa yang dilansir narasumber, ia mengemukakan dan memandang
bahwa di dunia ini terdapat banyak budaya dengan ciri khas yang berbeda. Tentunya
dengan budaya yang berbeda, cara berkomunikasi mempersepsi sesuatu hal juga
berbeda. Oleh karena itu, kita harus memahami satu sama lain walaupu berbeda
budaya. Sama halnya, ketika narasumber memandang bahwa budaya Indonesia
memiliki nilai plus dan minus. Ia mengemukakan bahwa dirinya akan mengikuti
niali-nilai positif yang orang Indonesia tunjukkan seperti bersikap ramah dan sopan
santun terhadap orang lainsaat berkomunikasi sekalipun dengan orang baru maupun

budaya yang berbeda. Selain itu, ia juga memandang bahwa budaya Indonesia
memiliki keunikan tersendiri dimana di setiap daerahnya memiliki suku yang
berbeda dengan keragaman bahasa maupun adat istiadat yang berbeda pula.
3.2 Aspek Komunikasi Non Verbal
a. Kronemik
Kronemik membahas terkait soal penggunaan waktu dalam komunikasi
nonverbal yang meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya
aktivitas yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta ketepatan
waktu (punctuality). Dalam budaya Tiongkok, mereka menganut konsep waktu
monokronik dimana mereka mempersepsi waktu sebagai sesuatu yang berjalan lurus
(linier), penganut konsepwaktu itu cenderung menghargai waktu, membagi-bagi serta
menepati jadwal waktu secara ketat. Hal tersebut memang benar adanya selaras
dengan apa yang dilansir oleh narasumber bahwa ia mengaplikasikan konsep waktu
tersebut dengan memilih melakukan satu perkerjaan dalam satu waktu cenderung
memulai dan mengakhiri pekerjaannya tepat waktu dan terorganisasi terutama dalam
mengerjakan tugas kuliah.
b. Kinesik
Dalam komunikasi nonverbal, kinesik atau gerakan tubuh meliputi kontak
mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh. Salah satu contoh komunikasi


nonverbal berupa bahasa tubuh yang biasa digunakan dalam budaya Tiongkok adalah
Gongshou ( 拱 手 ), juga disebut ‘gong’ ( 拱 ), atau ‘zuoyi’ ( 作 揖 ) merupakan tata
krama dalam interaksi ketika saling bertemu di kalangan etnis Tiongkok dan
perantauannya. Saat bertemu, kedua tangan saling memeluk dan diangkat di depan
badan, memberi hormat kepada lawan bicara. Sejak jaman dulu tradisi ini sudah ada.
Cara ini kemungkinan timbul karena meniru tangan budak yang terbelenggu, yang
berarti kita bersedia menjadi budak si lawan bicara, bersedia diperintah. Biasanya
tradisi gongshou ini masih dilakukan; dilakukan seperti saat hari Imlek (saling
memberikan ucapan Gongxi diikuti gerakan tangan gongshou), memberi ucapan
selamat kepada pengantin baru, ucapan selamat ulang tahun kepada seseorang,
ucapan selamat atas buka usaha baru, saat memulai perlombaan wushu, kesenian
barongsai dan sebagainya.

Gambar : Cara memberikan salam ala gongshou

Cara memberikan salam ala gongshou, wanita untuk gambar kiri; sementara pria
untuk gambar kanan. Cara memberikan salam ala gongshou sendiri dimasyarakat saat
ini umumnya seperti gambar ilustrasi diatas. Namun ada beberapa pengecualian,
seperti :

 Pada olahraga Wushu, semua atlet akan melakukan gongshou seperti tampak
seperti foto Jetli diatas; dimana tangan kiri membuka lurus, sementara tangan
kanan menutup/melipat.
 Pada jaman dahulu, cara memberikan gongshou oleh (1) bangsawan atau pejabat
tinggi, dan (2) kaum terpelajar/sastrawan, umumnya seperti gambar ilustrasi
dibawah ini :

Gambar 1: Gaya gongshou bangsawan atau pejabat istana kerajaan

Gambar 2 : Gaya gongsou kaum terpelajar atau sastrawan pada jaman dulu

Beberapa orang menyebutkan bahwa sebenarnya gongshou memiliki kelebihan
daripada jabat tangan, diantaranya :

 Pertama, lebih higienis. Karena tangan kita tidak bersentuhan dengan tangan lawan
bicara, maka gongshou lebih higienis daripada jabat tangan.
 Kedua, lebih praktis. Memberi hormat kepada ratusan atau bahkan ribuan orang,
cukup dengan melakukan gongshou satu kali. Apabila kita berjabat tangan, harus
menjabat tangan orang satu per satu.
 Ketiga, lebih indah. Postur tubuh saat melakukan gongshou lebih gagah dan elegan
dibandingkan dengan berjabat tangan.
 Keempat, lebih bebas. Jabat tangan memerlukan kerjasama kedua belah pihak,
barulah jabat tangan itu dianggap telah dilakukan. Sering kita menjumpai atau
bahkan mengalami sendiri, dimana ketika kita sudah mengulurkan tangan namun
lawan bicara kita tidak melihatnya, sehingga jabat tangan tidak terjadi, dan
akibatnya kita merasa canggung. Berbeda dengan gongshou, dimana tidak
memerlukan balasan dari lawan bicara. Kita bebas mau melakukan gongshou
kapan saja
Sedangkan, bahasa tubuh yang lain, mayoritas sama dengan apa yang digunakan di
Indonesia seperti melingkarkan kedua jari untuk menunjukkan persetujuan atas
sesuatu. Selain itu, beberapa tampilan wajah yang biasanya mereka gunakan untuk
mengekspresikan sesuatu seperti mengerutkan dahi saat mereka merasa kebingungan
ataupun sedang memikirkan suatu hal.

c. Haptik
Bentuk komunikasi nonverbal berpa sentuhan dapat menyampaikan pesan
mengenai tujuan atau perasaan dari sang penyentuh, Sentuhan juga dapat
menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif ataupun
negatif. Sentuhan dapat termasuk bersalaman, menggenggam tangan, berciuman,
mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain. Dalam berkomunikasi, orang-orang dalam
budaya Tiongkok melakukan interaksi secara intim seperti menyentuh lawan bicara
ketika mereka sudah merasa bahwa keduanya memang telah mengenal satu sama
lain dalam waktu yang cukup lama maupun memiliki kedekatan yang intim antara

mereka. Mereka biasanya melakukan sentuhan dalam hubungan keluarga seperti
seorang ibu yang mengelus kepala anaknya.
d. Proksemik
Proksemik yaitu jarak yang digunakan ketika berkomunikasi dengan orang
lain, termasuk juga tempat atau lokasi posisi dimana Anda berada. Pengaturan jarak
menentukan seberapa jauh atau seberapa dekat tingkat keakraban Anda dengan orang
lain, menunjukkan seberapa besar penghargaan, suka atau tidak suka dan perhatian
Anda terhadap orang lain, selain itu juga menunjukkan simbol sosial. Dalam ruang
personal, orang-orang dalam budaya Tiongkok saat berkomunikasi dengan orang lain
terutama dengan orang baru, mereka termasuk ke dalam jarak sosial. Dalam jarak ini
pembicara menyadari betul kehadiran orang lain, karena itu dalam jarak ini
pembicara berusaha tidak mengganggu dan menekan orang lain, keberadaannya
terlihat dari pengaturan jarak antara empat kaki hingga dua belas kaki.
e. Okulesi
Okulesi terkait dengan gerakan mata atau posisi mata dalam berkomunikasi.
Saat berinteraksi dengan orang lain, orang-orang budaya Tiongkok menatap mata
sang lawan bicara seperti umumnya orang Indonesia. Mereka melakukan hal ini,
karena mereka percaya bahwa dengan menatap mata sang lawan bicara itu artinya
mereka menghargai dan mendengarkan orang yang sedang mereka ajak bicara.
f. Appearance
Appearance membahas terkait bagaimana seseorang menampilkan citra diri
mereka melalui penggunaan pakaian, sepatu, atau atribut yang mereka kenakan.
Sesuai pengamatan penulis, orang-orang Tiongkok yang diwakili oleh narasumber
yaitu Yusuf, ia menampilkan citra dirinya dengan berpakaian kemeja dan celana serta
bersepatu. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa orang-orang Tiongkok
memperhatikan penampilan mereka dengan berpakaian rapi sehingga persepsi orangorang akan muncul dan menilai atau melabelling dirinya sebagai orang yang teratur
dan tidak amburadul.
g. Posture
Posture dalam komunikasi nonverbal membahas mengenai postur duduk dan
berdiri. Postur duduk maupun berdiri yang dilakukan orang-orang dalam budaya
Tiongkok tidak jauh berbeda dalam budaya Indonesia. Postur saat berdiri mereka
akan berjalan dengan posisi pundak yang tegak dan tatapan mata mengarah ke depan
sedangkan ketika duduk mereka akan memosisikan dua kaki bersebelahan, berbeda

ketika melakukan penghormatan pada raja jaman dahulu, dengan melipat kedua kaki
ke belakang sedangkan posisi badan tegap menghadap ke depan.
h. Paralinguistik
Paralinguistik adalah unsur komunikasi nonverbal dalam suatu ucapan, yaitu
cara berbicara. Contohnya adalah nada bicara, nada suara, keras atau lemahnya suara,
kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lain-lain. Berdasarkan pengamatn
kami, narasumber dengan budaya Tiongkoknya dalam berkomunikasi dengan orang
lain menggunakan nada bicara yang lembut, kecepatan berbicara yang standar/umum
saat orang berkomunikasi, dan intonasi atau pengucapan yang cukup baik dalam
bahasanya. Namun, kami juga sempat mengalami kesulitan saat melakukan
wawancara, karena ia masih melakukan penyesuaian budaya sehingga narasumber
masih sulit untuk mengucapkan kata vokal secara jelas dalam bahasa Indonesia.
3.3 Persepi orang mereka terhadap orang Indonesia
Orang-orang Indonesia itu cukup ramah. Ketika datang ke Indonesia dan beradaptasi
dengan lingkungan kampus unpad, banyak teman-temannya yang mengajak dia mampir
ke rumahnya untuk berkunjung. Baginya orang-orang Indonesia sangat baik. Namun
menurutnya masih ada kekurangan yakni orang-orang Indonesia seringkali membiasakan
budaya terlambat (terlambat berangkat ke kampus ataupun janjian) sementara di
tiongkok sendiri mereka menerapkan budaya tepat waktu, hal inilah yang bertentangan
menurut yusuf. Tapi secara keseluruhan menurut pengalamannya sejauh ini tidak ada
yang aneh, orang Indonesia itu biasa saja menurutnya. Lalu pandangannya mengenai
orang-orang keturunan China di Indonesia, ia tidak begitu mengenal secara dalam ia
hanya kenal lewat media seperti tv atau media sosial. Dan menurutnya orang-orang china
di Indonesia itu terlihat masih kesulitan untuk begaul dengan penduduk asli, sehingga
masih ada yang menikah dengan sesama orang China. Dan menurutnya kebanyakan
orang-orang keturunan china (orang china yang menikah dengan orang Indonesia) itu
tidak bisa berbahasa mandarin.
3.4 Persepsi mereka tentang kebiasaan orang Indonesia jika dibandingkan dengan diri
mereka pada saat berkomunikasi
Berdasarkan Narasumber (Yusuf), orang-orang Indonesia cukup ramah, bahkan ada
sebagian dari mereka yang mengajak Yusuf main ke rumah untuk berkenalan dengan
keluarga mereka. Hal ini menunjukan bahwa orang Indonesia sangat terbuka terhadap
orang lain bahkan kepada orang yang baru ia kenal. Akan tetapi terdapat kekurangan
pada kebiasaan orang Indonesia yakni mereka kurang tepat waktu dalam segala hal.

Misalnya, kebiasaan yang dilakukan oleh mahasiswa saat mereka menghadiri kelas pagi,
mereka seringkali datang tidak tepat waktu atau terlambat masuk kelas. Hal ini
merupakan kebiasaan buruk yang dapat membuat kesal orang-orang yang memiliki
budaya Low Context. Berbeda dengan orang Tiongkok yang selalu tepat waktu dalam
segala hal, bahkan ketika ada mata kuliah yang rentang waktunya cukup jauh antara mata
kuliah satu dengan yang lainnya, Yusuf lebih memilih untuk menunggu mata kuliah
tersebut di Kampus, berbeda dengan orang Indonesia yang mayoritas memilih pulang ke
kosan dan kembali ke kampus pada saat mata kuliah lainnya dimulai.
Kebiasaan lainnya yang terjadi pada orang Indonesia yaitu pada saat bangun tidur,
Yusuf mengatakan bahwa mayoritas orang Indonesia beragama Islam, mereka
mempunyai kebiasaan bangun pagi-pagi sekitar jam 5 untuk melaksanakan shalat atau
beribadah. Jika dibandingkan, hal ini berbeda sekali dengan orang Tiongkok yang
dimana mereka bisa bangun kapan saja tanpa adanya peraturan yang mengharuskan
mereka bangun pagi, hanya mungkin jika ada mata kuliah pagi sekitar jam 7, mereka
terpaksa untuk bangun pagi.
Untuk adat istiadat sendiri budaya Indonesia dan budaya Tiongkok mempunyai
perbedaan. Misalnya pada saat peringatan orang meninggal dalam budaya Tiongkok,
mereka harus menggunakan pakaian putih selama tiga hari. Sedangkan ketika ada orang
Indonesia yang meninggal, mereka tidak diwajibkan untuk menggunakan pakaian warna
putih, melainkan ada adat istiadat tersendiri yang berbeda dengan budaya Tiongkok.
Peristiwa atau kepercayaan yang dianut oleh kedua budaya ini merupakan komunikasi
nonverbal, yang dimana terdapat makna dari setiap kebiasaan atau adat istiadat yang
dilakukan. Yusuf juga mengatakan bahwa orang-orang Indonesia lebih banyak
menggunakan komunikasi nonverbal saat berbicara seperti mimik wajah, gestur tubuh,
gerakan bola mata (Okulesik), dll. Hal ini seringkali mempunyai makna tersembunyi
dalam komunikasi nonverbal, banyak kepura-puraan yang dilakukan oleh orang
Indonesia saat mereka berkomunikasi.
Dalam berbicara dengan orang lain, budaya Tiongkok jauh lebih tegas, mereka
mempunyai tingkat keseriusan yang tinggi dan selera humor yang rendah. Orang
Indonesia seringkali bertengkar dengan orang Cina karena perbedaan watak. Contohnya,
ketika orang Indonesia bekerja pada orang Cina, orang Indonesia dinilai santai saat
bekerja, bahkan mereka seringkali melakukan pekerjaan sambil mengobrol. Orang Cina

tidak menyukai perilaku seperti itu,

tanpa adanya pertimbangan mereka dengan

langsung memarahi orang Indonesia yang lalai atau berleha-leha saat bekerja. Budaya
Indonesia jauh lebih High Context dibandingkan dengan budaya Tiongkok. Contoh lain
seperti yang terjadi pada Gubernur DKI Jakarta yakni Basuki Tjahaja Purnama, yang
dikenal sebagai orang yang kasar, orang yang seenaknya berbicara, tegas dan serius.
Sementara orang Indonesia yang dikenal lebih lembut dan selalu menghargai orang lain,
maka jika keduanya disatukan akan selalu mengalami konflik. Orang-orang Tiongkok
jauh lebih profesional saat bekerja jika dibandingkan dengan orang Indonesia.
Menurut Yusuf, kalau di Indonesia mungkin orang-orang sudah terbiasa mengobrol
dengan menghabiskan waktu yang cukup lama, ketika mereka bertemu dengan orang lain
atau dengan orang baru sekalipun. Orang Indonesia selalu menyapa orang lain
dimanapun, hal ini membuat orang Indonesia dianggap sebagai orang yang ramah. Jika
dibandingkan dengan orang Tiongkok ketika mereka bertemu dengan orang lain, mereka
lebih mencari sesuatu hal yang baru seperti mebaca buku, beraktivitas diluar dengan
melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat, ketimbang mengobrol. Kebiasaan lainnya
yaitu ketika makan, orang Indonesia tidak diperbolehkan untuk memakan makanan
langsung dari tempatnya, karena berdasarkan kepercayaan orang Indonesia hal tersebut
dianggap tidak baik dan tidak sopan. Sedangkan di Tiongkok hal tersebut sudah menjadi
kebiasaan dan mereka seringkali makan dengan porsi yang cukup besar.
Orang-orang Tiongkok terbiasa untuk bejalan kaki, mereka tidak masalah ketika
mereka harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh, hal ini berbeda sekali dengan
orang Indonesia yang menurut Yusuf malas untuk berjalan kaki, mereka telah dimanjakan
oleh transfortasi yang ada. Hal ini yang membuat orang Tiongkok terkadang lebih sukses
jika dibandingkan dengan orang Indonesia ketika mereka membuka bisnis, karena dilihat
dari tingkat kegigihan yang jauh berbeda. Perbedaan yang lainnya ditemukan pada saat
orang Indonesia berkomunikasi dengan orang tua, orang Indonesia terlihat lebih akrab
layaknya seperti teman ketika mengobrol dengan orang tua. Berbeda dengan orang
Tiongkok yang selalu berbicara dengan sopan kepada orang yang lebih tua, karena
mereka menghormati orang tua, mereka diajarkan untuk patuh kepada orang tua dan
tidak boleh membangkang apa yang diperintahkan oleh orang tua.

Adapun pendapat

yang diberikan oleh Yusuf tentang keturunan Cina yang tinggal di Indonesia, menurutnya
keturunan Cina di Indonesia sudah mulai mengikuti kebiasaan orang Indonesia dalam

bentuk penyesuaian diri mereka. Keturunan Cina yang tersebar di berbagai negara,
mayoritas tidak dapat berbicara bahasa mandarin.
3.5 Kebiasaan mereka saat berkomunikasi
Kebiasaan yusuf saat berkomunikasi yang kami perhatikan adalah ia masih sering
banyak jeda dalam berbicara karena masih belajar dalam penggunaan bahasa Indonesia,
kemudia ia juga sering terlihat menggunakan gestur tangan ketika bicara. Ia juga
menceritakan bahwa saat pertama kali tiba di Indonesia ia masih kesulitan dalam
berkomunikasi karena tidak begitu menegrti bahasanya tetapi seiring berjalannya waktu
ia pun sudah biasa dengan keadaan tersebut. Yusuf juga termasuk orang yang cepat
beradaptasi dengan kebiasaan berkomunikasi di Indonesia. Kemudian jika Indonesia
kebiasaan berkomunikasi dengan orang baru cenderung langsung to the point, bicara
langsung di tempatnya (mau itu di tempat ramai atau tidak), maka di tiongkong tidak
demikian, orang tiongkok menggunakan cara yang lebih halus ketika ingin mulai
berkomunikasi dengan orang baru yakni mencari tempat khusus untuk bicara, tujuannya
agar membicaraan mereka lebih fokus dan tidak terganggu oleh berbagai gangguan
(noise). Kebiasaan berkomunikasi masyarakat tiongkok menurut yusuf, mereka
umumnya termasuk ke dalam low context communication karena tidak banyak bicara
basa-basi. Tetapi hal itu juga tergantung apabila hubungannya sudah akrab ia cenderung
menggunakan low context, sebaliknya jika berbicara dengan orang asing akan cenderung
high context.
3.6 Usaha-usaha yang dilakukan dalam penyesuaian antar budaya
Saat pertama kali, Yusuf mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, dia tidak
memahami apa yang orang lain bicarakan. Tetapi setelah dia belajar sastra Indonesia di
Unpad, dia mulai memahami apa yang orang lain katakan serta dapat berbicara dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Alasan Yusuf memilih sastra Indonesia yaitu karena
Yusuf ingin belajar berbagai bahasa yang ada di dunia. Yusuf termasuk orang yang cepat
dalam aktualisasi atau penyesuaian diri dengan budaya Indonesia, karena dalam waktu
yang cukup singkat yakni 6 bulan belajar sastra Indonesia di Unpad, menurut kami itu
waktu yang cukup singkat untuk penyesuaian diri dengan lingkungan, bahkan pada saat
kami wawancarai dengan lancarnya Yusuf berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Tentunya Yusuf pernah mengalami masalah antarbudaya, seperti kurangnya pemahaman
tentang apa yang dikatakan oleh orang lain atau terjadinya miskomunikasi, karena
keterbatasan bahasa yang dialami oleh Yusuf. Untuk mengatasi hal tersebut, Yusuf

berusaha untuk lebih mendalami bahasa Indonesia, serta memahami kebiasaan yang di
lakukan oleh orang Indonesia.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil kegiatan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa setiap budaya
yang berbeda memiliki komunikasi yang berbeda baik komunikasi verbal maupun
nonverbal yang memunculkan persepsi atau pemaknaan yang berbeda pula saat
berkomunikasi satu sama lain. Kegiatan wawancara yang penulis lakukan adalah dengan
salah satu mahasiswa student exchange yang berasal dari Tiongkok. Terdapat banyak
perbedaan yang muncul dalam komponen budaya diantaranya agama, sikap, dan
pandangan dunia, aspek komunikasi nonverbal yang menyangkut konsep waktu
monokronik, bahasa tubuh, paralinguistik, sentuha, dan lain-lain. Persepsi mereka
terhadap orang Indonesia yang menyatakan bahwa orang Indonesia termasuk ke dalam
kategori ramah. Kebiasaan saat mereka berkomunikasi dan usaha penyesuaian budaya

yang realatif cukup cepat dalam waktu enam bulan narasumber sudah dapat melakukan
penyesuaian budaya dengan baik.
4.2 Saran
Sebaiknya kita tetap menjalin hubungan dengan orang lain terutama orang yang
berbeda budaya dengan memulai berkomunikasi sekaligus menggali dan bertukar
informasi mengenai setaip budaya yang dianutnya. Demikianlah laporan hasil kegiatan
wawancara ini kami buat dengan yang sebenar-benarnya. Semoga laporan hasil
wawancara ini dapat menjadi acuan, pertimbangan , serta motivasi dan koreksi bagi
kegiataan wawancara selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.tionghoa.info/gongshou-cara-penghormatan-tradisional-ala-tionghoa/#more-6009
http://www.tionghoa.info/festival-perayaan-duan-wu-bak-cang/

DOKUMENTASI