Rangkuman Pembangunan Ekonomi Tiongkok d

PAPER

RANGKUMAN PEMBANGUNAN EKONOMI TIONGKOK
DAN PERBANDINGANNYA DENGAN
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

TELAAH BUKU:
PEMBARUAN EKONOMI TIONGKOK
DARI FOKUS PEDESAAN KE PASAR INTERNASIONAL
KARYA: T. M. SIREGAR

Oleh :
MUHAMMAD RAZI
NIM 41203401130016

PROGRAM PASCA SARJANA EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2014
i


DAFTAR ISI

I.

RANGKUMAN PEMBANGUNAN EKONOMI TIONGKOK .................. 1
A. Sejarah Singkat Feodalisme dan Revolusi Agraria Tiongkok ................ 1
B. Kondisi Sosio-Ekonomi Menjelang Hari Pembebasan 1949 .................... 3
C. Dasar Ekonomi Tiongkok .......................................................................... 4
D. Sistem Politik Penunjang Perekonomian Tiongkok ................................ 6
E. Intisari Pembangunan Ekonomi Tiongkok .............................................. 6

II. PERBANDINGAN PEMBANGUNAN EKONOMI KEDUA NEGARA ... 9
A. Sejarah Pembangunan Ekonomi Indonesia ............................................. 9
B. Pelaksanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia Pasca Orde Baru ........ 13
C. Perbandingkan

Pembangunan

Ekonomi


Indonesia

dengan

Pembangunan Ekonomi Tiongkok ............................................................ 16
III. KESIMPULAN ................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 19

ii

I. RANGKUMAN PEMBANGUNAN EKONOMI TIONGKOK

A. Sejarah Singkat Feodalisme dan Revolusi Agraria Tiongkok
Pembebasan Tiongkok di tahun 1949 menandai saat penting berakhirnya
perang rakyat Tiongkok. Proklamasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tanggal
1 Oktober 1949 oleh presiden pertama RRT Mao Zedong menandai terbentuknya
negeri sosialis pertama di Asia. Tiongkok adalah negeri pertama dengan sistem sosial
yang memungkinkan rakyat dengan pimpinan kelas buruh mengambil kedaulatan di
tangan sendiri. Sebelumnya bangsa Tiongkok berada di bawah sistem feodal yang
kokoh yang secara tradisional terus menanggung penindasan dan eksploitasi dari

penguasanya. Tiongkok diperintah oleh dinasti demi dinasti yang saling berganti dan
berperang sampai dinasti terakhir Qing yang digantikan oleh Republik Tiongkok di
bawah Dr. Sun Yat Sen tahun 1911. Di masa feodal, Tiongkok diperintah oleh
kekuasaan otokritik yang menindas kaum tani dan mengeksploitasinya secara biadab.
Pembebasan tahun 1949 itu didahului oleh perjuangan kaum petani yang
berlangsung lama. Masyarakat feodal Tiongkok bertahan hidup lebih dari 2000
tahun. Sedangkan masyarakat feodal Eropa bertahan hidup lebih singkat. Sejarah
panjang pemberontakan petani menunjukkan bahwa selalu ada usaha dari kaum
otokrat Tiongkok untuk mempertahankan mati-matian kekuasaannya, mulai dari
dinasti pertama (221 S.M.) sampai pada dinasti terakhir tahun 1911. Penyebab
masyarakat feodal Tiongkok bertahan hidup dalam kurun waktu yang lama jika
ditinjau dari sudut pandang ekonomi, hal itu terkait erat dengan sistem kepemilikan
tanah. Di Eropa, ketika sistem feodal berjalan, bentuk kepemilikan tanah yang
dominan adalah tanah warisan (fief). Fief tidak dapat dijual, melainkan diturunkan
kepada anak lelaki tertua. Sebaliknya di Tiongkok tanah milik dibagikan kepada
semua anak lelaki. Di samping itu, tanah dapat diperjualbelikan. Karena kepemilikan
tanah terus berubah, maka posisi kelas petani terhadap tuan tanah tidak tetap.
Sebagian petani tumbuh menjadi tuan tanah waktu jumlah tanah yang mereka miliki
bertambah, sebaliknya tuan tanah dapat merosot ke barisan petani setelah tanah-tanah
miliknya terlepas. Inti perjuangan petani Tiongkok selama berabad-abad adalah

bagaimana merebut tanah, karena merebut tanah berarti merebut kekuasaan. Inilah
pada pokoknya yang terjadi dalam perjuangan petani di Tiongkok, yaitu perjuangan
1

yang berlangsung sejak zaman Negara-negara Berperang sampai zaman pembaruan
agraria tahun 1950-an.
Sebelum Revolusi Agraria, yaitu perubahan sistem kepemilikan tanah di
tahun 1927, Mao Zedong yang pertama kali mencetuskan penelitian untuk melihat
komposisi kelas penduduk pedesaan. Hasil penelitian yang dilakukan di Hunan
Selatan tersebut, menjadi modal untuk memahami komposisi kelas masyarakat
Tiongkok dan untuk membangun teori tentang siapakah musuh dan siapakah sekutu
Perang Pembebasan Tiongkok. Kesimpulan penelitian ini adalah dalam masyarakat
Tiongkok terdapat lima kelas, yaitu:
1. Kelas Pertama, adalah kelas tuan tanah dan komprador (orang yang bekerja
sama dengan kekuatan asing dan melawan kepentingan Tiongkok). Mereka ini
merupakan satu-satunya pendukung borjuasi internasional, yang kehidupannya
tergantung pada imperialisme.
2. Kelas Kedua, adalah kelas borjuasi menengah yang mewakili sistem produksi
kapitalis di seluruh kota di Tiongkok. Kelas ini tidak dapat menerima konsep
Revolusi Komunis karena revolusi itu berlawanan dengan kemauan mereka.

3. Kelas Ketiga, adalah kelas borjuasi kecil yang terdiri dari kaum tani, pekerja
tangan lapisan bawah, cendekiawan, mahasiswa, lapisan bawah pejabat
pemerintahan, pengacara dan pengusaha kecil.
4. Kelas Keempat, adalah semi proletariat, terdiri dari lima lapisan: a) kebanyakan
petani, b) petani tak bertanah, c) pekerja tangan kecil, d) pekerja toko, dan e)
pedagang kecil.
5. Kelas Kelima, adalah proletariat, yang terdiri dari dua juta buruh dalam industri
moderen Tiongkok tahun 1926. Lapisan ini tidak terlalu besar karena
terbelakangnya industri Tiongkok. Partai Komunis Tiongkok mengakui kelas ini
sebagai kelas yang paling progresif dan maju, yang paling cocok untuk
membebaskan rakyat Tiongkok. Analisa ini menunjukkan bahwa kategori
pertama dan kedua tidak dapat disatukan dengan kekuatan revolusioner,
sedangkan kategori ketiga, keempat dan kelima merupakan kekuatan
revolusioner yang tersedia. Berdasarkan analisa kelas ini Mao Zedong
meletakkan garis-garis politik Revolusi Agraria Tiongkok.

2

Dengan analisa kelas tersebut, Partai Komunis menetapkan garis politik yang
tujuannya mengajak penduduk pertanian, khususnya kaum tani untuk mendukung

revolusi menentang kepemilikan tanah yang berlaku waktu itu. Sebaliknya kaum
tuan tanah dan komprador harus diisolasi dari kelas-kelas yang lain, termasuk kelaskelas menengah. Kelas-kelas menengah harus digarap dengan serius agar mereka
tidak mendukung kaum tuan tanah dan komprador, melainkan mendukung mayoritas
kelas kaum miskin dan kelas-kelas bawah lainnya, yang paling tertindas dan
tereksploitasi.
Satu isu politik yang penting pada masa itu adalah manajemen ekonomi.
Mempelajari manajemen ekonomi merupakan tugas penting yang jauh jangkauan
konsekuensinya. Manajemen ekonomi dipropagandakan tidak hanya di wilayahwilayah yang sudah dibebaskan, tapi juga di wilayah-wilayah musuh. Membuat
rakyat swasembada secara ekonomi akan mencegah mereka tergantung pada musuh.
Tujuannya adalah: 1) mengajar kaum tani mengorganisasi diri untuk melancarkan
produksi dan menutup defisit anggaran negara, dan 2) mengorganisasi kaum tani
untuk membangun badan-badan koperasi. Pelajaran lain yang harus dimengerti
adalah bahwa sistem rumah tangga individual yang sudah berlaku ribuan tahun
merupakan penyebab sebagian besar kemiskinan.
Revolusi Agraria ini tidak hanya membelejeti eksploitasi dan penindasan
yang dilakukan oleh kaum tuan tanah dan komprador, tetapi juga menjadi masa
latihan bagi rakyat, hingga kekuasaan politik, ekonomi dan lain-lain keterampilan
sosial, budaya dan politik yang diperlukan, pada akhirnya dapat dikuasai.

B. Kondisi Sosio-Ekonomi Menjelang Hari Pembebasan 1949

Kaum birokrat besar yang mewakili empat keluarga: Chiang Kai Shek, T.V.
Soong, H.H. Kung dan Chen bersaudara (Guo Fu dan Li Fu) dengan dukungan
kekuasaan negara dan angkatan bersenjata melakukan pungutan pajak luar biasa dan
menipu rakyat, hingga mampu menimbun modal dalam jumlah yang sangat besar.
Menjelang tahun Pembebasan 1949, modal keempat keluarga ini menguasai 2.448
bank, yang berarti menguasai lebih dari dua pertiga dari seluruh bank bangsa
Tiongkok yang jumlahnya 3.489 buah. Lebih dari itu, modal mereka merupakan dua
pertiga dari seluruh modal industri bangsa, dan 80% dari aset tetap bidang industri
3

dan komunikasi. Modal itu menguasai 90% dari produksi besi dan baja, 33% dari
batu bara, 67% dari tenaga listrik, 45% dari semen, seluruh industri minyak dan
logam nonfero, 40% dari seluruh kumparan benang, dan 0% dari perkakas tenun.
Kelompok empat keluarga ini memonopoli jalan kereta api, jalan raya dan
transportasi udara, serta menguasai 4% dari seluruh tonase kapal di negeri ini.
Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1926 dan 1946 neraca
perdagangan tiga kali kurang menguntungkan daripada sebelum perang tahun 1927.
Dalam dua belas tahun dari Juli 1937 sampai Mei 1949 inflasi di wilayah-wilayah
yang dikuasai oleh pemerintah Kuo Min Tang mencapai titik yang mengerikan, di
mana harga-harga meroket mencapai angka yang luar biasa tingginya. Di masa yang

kacau-balau itu, ekonomi Tiongkok yang terbelakang berada dalam keadaan yang
menyedihkan, kehidupan rakyat sangat berat. Kaum buruh mendapat upah yang jauh
di bawah biaya hidup layak dan selalu terancam menjadi pengangguran. Para petani
yang dieksploitasi oleh kaum tuan tanah hidup di tepi jurang kelaparan. Tak ada
yang dapat mereka makan kecuali dedak dan tumbuhan liar. Obat-obatan dan
perawatan kesehatan, budaya dan pendidikan untuk rakyat sama sekali tidak ada.

C. Dasar Ekonomi Tiongkok
Ekonomi Tiongkok sekarang masih terpusat pada cabang-cabang pokok
produksi pertanian, seperti pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Ekonomi
Tiongkok lama bersifat ekonomi pedesaan. Sekitar 85% penduduk tinggal di
pedesaan yang mayoritas pekerjaannya adalah petani. Penduduk pedesaan Tiongkok
adalah 800 juta orang, lebih besar dari penduduk Eropa, Amerika Utara dan Jepang
menjadi satu. Tahun 1990 mereka telah cukup memperoleh pangan dan sandang.
Struktur ekonomi Tiongkok yang secara historis merupakan negeri
semifeodal dan semikolonial sesudah Perang Candu (1840) selanjutnya diubah
menjadi tiga sektor atau lima bentuk ekonomi, sebagai berikut:
1. Ekonomi Negara, sektor ekonomi sosialis yang dikuasai oleh seluruh rakyat,
kekuatan utama dalam ekonomi nasional dan merupakan dasar material bagi
transformasi sosialis. Ekonomi negara ini menghasilkan 19,1% dari pendapatan

nasional tahun 1952.

4

2. Ekonomi Koperasi, bentuk ekonomi ini termasuk sektor ekonomi sosialis yang
dikuasai secara kolektif oleh kaum pekerja, merupakan bentuk organisasi transisi
kaum petani, perajin dan pekerja perorangan lain menuju kepemilikan kolektif.
Ekonomi koperasi menghasilkan 1,5% dari pendapatan nasional tahun 1952.
3. Ekonomi Perorangan, bentuk ekonomi petani perorangan, perajin dan pekerja
bebas lain, menghasilkan 71,8% dari pendapatan nasional tahun 1952, dan
merupakan pangsa ekonomi terbesar tahun 1952.
4. Ekonomi Kapitalis Swasta, ekonomi borjuasi nasional yang tetap ada ketika
perusahaan-perusahaan

yang

dimiliki

kaum


kapitalis

birokrat

disita,

menghasilkan 6,9% dari pendapatan nasional tahun 1952.
5. Ekonomi Kapitalis Negara, perusahaan-perusahaan kapitalis yang dikelola oleh
pemerintahan rakyat, menghasilkan hanya 0,7% dari pendapatan nasional tahun
1952.
Para pemimpin Tiongkok memutuskan bahwa perkembangan ekonomi
nasional harus didasarkan pada dua sektor: pertanian sebagai sektor basis, dan
industri sebagai tenaga pendorong. Pemerintah memprioritaskan pertanian dalam
berbagai kegiatan. Sistem ekonomi Tiongkok memberikan jaminan bahwa
pembangunan ekonomi selalu berada di bawah bimbingan pemerintah pusat. Hal ini
merupakan salah satu ciri khas sistem sosialis.
Selanjutnya sesudah rehabilitasi ekonomi Tiongkok selesai dalam tiga tahun
pasca Pembebasan dari 1949 sampai 1952, Pemerintahan Rakyat melancarkan
Rencana Lima Tahun (RLT) Pertama untuk Pembangunan Ekonomi Nasional di
tahun 1953. Tugas umum RLT Pertama itu adalah meletakkan dasar bagi

industrialisasi sosialis dari transformasi pertanian dan kerajinan tangan, dan
meletakkan dasar bagi transformasi sosialis dalam industri dan perdagangan swasta.
Selama berlangsungnya RLT Pertama (1953-1957) nilai hasil ekonomi dari pertanian
dan industri naik dengan angka tahunan 1,8%, sedangkan pada RLT Keenam (19811985) nilai hasil kotor bidang pertanian dan industri naik dengan angka rata-rata 11%
setahun.
RLT Keenam, Ketujuh dan Kedelapan yang dilaksanakan sejak berlakunya
Empat Modernisasi (1978-1995) telah memainkan peranan penting dalam
pembangunan Tiongkok baru. RLT Kesembilan yang dimulai tahun 1996, bersama
5

dengan Rencana Lima Belas Tahun (1996-2010) akan merupakan tahap ketiga
pembangunan ekonomi sosialis. Adapun Empat Modernisasi itu meliputi: a)
modernisasi pertanian, b) modernisasi industri, c) modernisasi iptek, dan d)
modernisasi sistem pertahanan.

D. Sistem Politik Penunjang Perekonomian Tiongkok
Tiongkok tidak memiliki sistem multipartai seperti di negara-negara Eropa
Barat, di mana terdapat satu atau lebih partai berkuasa dan satu atau lebih partai
oposisi. Tiongkok memiliki Partai Komunis Tiongkok sendiri yang punya fungsifungsi khusus dan yang mengabdi sebagai inti kepemimpinan demi sosialisme dan
sebagai partai yang berkuasa. Dewasa ini ada delapan partai demokratik di Tiongkok
yang ikut ambil bagian dalam urusan negara dan pemerintahan dan merupakan
“kawan-kawan dekat” Partai Komunis mereka melakukan kegiatan dengan kerja
sama penuh dengan pimpinan PKT. Kepada PKT mereka menoleh untuk
mengadakan konsultasi politik.
Partai-partai itu dipersatukan, mereka saling bekerja sama, dan mereka pun
saling mengawasi. PKT dan Partai Demokratik mengabdikan diri kepada Sosialisme
dengan ciri-ciri Tiongkok dan kepada penyatuan Tiongkok, sehingga membuat
Tiongkok negeri yang kuat dan makmur.

E. Intisari Pembangunan Ekonomi Tiongkok
1. Berkat kerja keras, cara berpikir dan cara kerja sendiri yang khas, pembaruan
ekonomi dan kebijakan pintu terbuka Tiongkok telah memperlihatkan
keberhasilan besar dalam banyak bidang di sektor ekonomi, terutama dalam
pembangunan ekonomi pertanian Tiongkok.
2. Cara berpikir itu didasarkan pada pencarian kebenaran dari fakta-fakta yang ada
dan bertolak dari kondisi konkret Tiongkok sendiri. Tiongkok membangun
sistem ekonomi sosialis dengan ciri-ciri Tiongkok, tidak secara membuta meniru
sistem-sistem ekonomi yang lain. Sistem Tiongkok itu memadukan perencanaan
dan mekanisme pasar.
3. Situasi internasional yang membaik sejak tahun 1970-an telah memberikan lebih
banyak peluang kepada Tiongkok untuk membuka pasarnya bagi para investor
6

internasional dan mengimpor teknologi maju dari negeri-negeri lain berdasarkan
prinsip saling menguntungkan.
4. Tiongkok mendapatkan peluang lebih banyak untuk mengeksploitasi sumbersumber alam sendiri dan memanfaatkan dana-dana internasional guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasionalnya secara optimal, menaikkan
pendapatan rakyat, dan meningkatkan kehidupan budayanya, terutama di
wilayah pedesaan di mana tinggal 90% dari 1,3 milyar penduduk Tiongkok.
5. Prioritas yang diberikan kepada pembaruan ekonomi telah mendatangkan
banyak hasil, seperti misalnya dalam pendidikan untuk memberikan kesadaran
politik mengenai kesulitan-kesulitan ekonomi di Tiongkok dan mengenai
tanggungjawab umum untuk ikut membantu memecahkan masalah-masalah
tersebut.
6. Dipadukannya

peranan

kolektif

dengan

semangat

perorangan

telah

menyebabkan naiknya produksi pertanian, hingga tersedia pangan dan sandang
yang cukup untuk semua orang. Luas lahan garapan meningkat tajam dan
produksi non pertanian meluas.
7. Tampilnya Perusahaan Perkotaan (PP) telah mempercepat pembangunan
ekonomi dan menciptakan sumber-sumber baru dari tanah, hutan dan air yang
memperbaiki tidak hanya situasi pangan tetapi juga perdagangan dalam dan luar
negeri.
8. Perbaikan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi, dan menjadi titik tolak yang lebih baik dalam menghadapi
persaingan di pasar internasional.
9. Kapasitas infrastruktur yang lebih baik, terutama dalam transportasi dan
komunikasi, energi dan konservasi air, telah membantu menjadikan Tiongkok
negeri yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya di dunia, dan telah
mendudukkan Tiongkok di jajaran negeri-negeri yang tinggi peringkat
ekonominya.
10. Potensi ekonomi nasional Tiongkok yang terus meningkat mendapat pujian dari
banyak negeri lain. Tapi ada juga beberapa negeri yang memandang
pembangunan ekonomi Tiongkok sebagai ancaman; hal ini harus diteliti lebih
mendalam. Dalam Empat Modernisasi, sistem pertahanan Tiongkok mendapat
7

perbaikan juga, tetapi ada beberapa orang yang secara terbuka menyatakan
khawatir bahwa pembangunan tersebut “negatif” akibatnya bagi stabilitas politik
regional, dan menyebabkan terjadinya kerusuhan sosial di Tiongkok.
11. Lima puluh tahun sesudah pembebasan dan dua puluh tahun sesudah kebijakan
pintu terbuka, Tiongkok telah memperoleh cukup pengalaman untuk
memecahkan masalah-masalah yang timbul. Move-move politik internasional
yang ditujukan kepada Tiongkok tidak boleh disepelekan. Partai Komunis
Tiongkok dan Pemerintah Tiongkok siap melindungi Tiongkok dari campur
tangan dari pihak luar negeri, pun dari dalam Tiongkok sendiri.
12. Pembangunan ekonomi pasar sosialis berjalan terus, dan basis mantap
pembangunan ekonomi Tiongkok yang dipadu dengan kesadaran politik rakyat
Tiongkok telah membuat Tiongkok cukup kuat untuk memecahkan masalahmasalah sampai pada akhirnya.

8

II. PERBANDINGAN PEMBANGUNAN EKONOMI KEDUA NEGARA

A. Sejarah Pembangunan Ekonomi Indonesia
Masa Orde Lama (1945-1966) menurut Asmenta (2012) dimulai dari tanggal
17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada masa awal kemerdekaan tersebut,
pembangunan ekonomi Indonesia masih dalam upaya perubahan dari struktur
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Pada saat itu, keadaan ekonomi
Indonesia mengalami stagflasi (artinya stagnasi produksi atau kegiatan produksi
terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi). Indonesia pernah mengalami sistem politik
yang demokratis yakni pada periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi
konflik politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun
sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial
dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi
Indonesia masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society dimana
struktur dualisme menerapkan diskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang
langsung maupun tidak langsung. Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah
buruk dibandingkan pada masa penjajahan Belanda.
Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai merambah kepada proyekproyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan presiden Soekarno
tentang Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun pada tahun 1961. Kebijakan
ini berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk
mendukung proyek besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan
menggunakan perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan
Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena
beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta
kurangnya tenaga ahli.
Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau
memburuk. Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk
pembangunan dan pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer
untuk biaya konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas
(dana revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa.
Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya hiperinflasi yang mencapai 650%.
9

Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai dekat
dengan negara-negara komunis.
Perekonomian Indonesia dapat dikatakan mulai membaik sejak zaman Orde
Baru. Pada awal Orde Baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi
prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 saat Orde Lama
masih berkuasa, tingkat inflasi kurang lebih 650% per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal
ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha non pribumi dan
sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi
campuran dalam kerangka sistem ekonomi Demokrasi Pancasila. Ini merupakan
praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam
perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah
tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR
dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakankebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian (Macklin, 2009).
Dikutip dari Budi (2011), tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi
di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap
sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menganggulangi
masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu
pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial dan politik serta
rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah
untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan
menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami
stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan
penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) secara bertahap dengan
target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara Barat. Menjelang akhir
tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank
Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter10

Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah Negara maju,

termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di
Indonesia. Dalam waktu yang relatif pendek setelah melakukan perubahan system
politiknya secara drastis, dari yang „pro‟ menjadi „anti‟ komunis, Indonesia
mendapat bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu memang
Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang sangat anti komunis dan sedang
berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas di
mata kelompok Negara Barat.
Menurut literatur dari Wikipedia (2012), setelah berhasil memulihkan kondisi
politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde
Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang
diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun.
Pembangunan

nasional

adalah

rangkaian

upaya

pembangunan

yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan
nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde
Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari
kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam
suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Sedangkan kebijakan ekonomi Indonesia diarahkan pada pembangunan di
segala bidang, tercermin dalam 8 Jalur Pemerataan, yaitu:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang
dan perumahan.
11

2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Selanjutnya pelaksanaan pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan 6 Pelita, yaitu:
1. Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi
landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan
taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap
berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah
pembangunan

bidang

pertanian

sesuai

dengan

tujuan

untuk

mengejar

keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
2. Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979.
Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan
Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi
mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan
pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik
12

berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur
Pemerataan.
4. Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik
berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di
tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi
resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah
mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat
berlangsung terus.
5. Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini
pembangunan ditekankan pada sektor pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi
ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi
sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran
yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program
pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan.
Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam
negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan
terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

B. Pelaksanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia Pasca Orde Baru
Wikipedia menulis, saat mundurnya presiden Soeharto dari jabatannya pada
tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian
digantikan Era Reformasi. Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru
di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang

13

mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi
atau Orde Reformasi sering disebut sebagai Era Pasca Orde Baru.
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi
dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain
seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran presiden B.J. Habibie
yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat
menghadapi perubahan zaman.
Menurut Macklin (2009), pemerintahan presiden B.J. Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam
dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun,
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya
di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Dalam masa kepemimpinan presiden Megawati, kebijakan ekonomi yang
ditempuh antara lain:
1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp
116.3 triliun.
2. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di
dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi
dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
14

Sedangkan pada masa kepemimpinan presiden Yudhoyono, kebijakan
kontroversial pertama presiden dalam bidang ekonomi adalah mengurangi subsidi
BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial
kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan
BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai
masalah sosial.
Sedangkan kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan per
kapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepalakepala daerah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang
pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak
lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri.
Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah
keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin
menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari
2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih
sangat kurang karena perbankan lebih suka menyimpan dana dalam bentuk Sertifikat
Bank Indonesia (SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor
dari luar negeri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif

15

C. Perbandingkan Pembangunan Ekonomi Indonesia dengan Pembangunan
Ekonomi Tiongkok
Dilihat dari sudut pandang historis, Indonesia dan Tiongkok adalah negari
yang sama-sama pernah dijajah dan melakukan perjuangan untuk membebaskan
negerinya dari cengkraman penjajah. Indonesia selama ratusan tahun dieksploitasi
sumber-sumber alamnya, dan begitu pula Tiongkok yang mengalami eksploitasi
dalam masa feodalisme.
Perekonomian Indonesia dan Tiongkok sama-sama dikembangkan dari
perekonomian pedesaan yang titik sentralnya ada pada sektor pertanian. Selanjutnya
dari basis ekonomi pertanian tersebut dikembangkan lebih lanjut sektor industri dan
sektor-sektor lain penunjang pembangunan ekonomi negara. Perekonomian kedua
negara juga direncanakan dan dikembangkan dengan sistem pembangunan jangka
pendek dan jangka panjang. Di Indonesia pada era Orde Baru, pembangunan jangka
pendek dinamakan Repelita yang realisasinya dimulai dari Pelita I sampai dengan
VI. Dan pembangunan jangka panjang dilakukan dalam periode 25-30 tahun.
Sedangkan di Tiongkok, pembangunan juga dibagi dalam tahap-tahap pelaksanaan.
Untuk jangka pendek dinamakan Rencana Lima Tahun (RLT) yang terealisasi RLT
Pertama sampai dengan RLT Kesembilan dan seterusnya. Untuk pembangunan
jangka panjang adalah Rencana Pembangunan Lima Belas Tahun.
Pada tahap realisasi dan hasil yang diperoleh, terdapat banyak perbedaan
besar antara pembangunan di Indonesia dengan di Tiongkok. Perbedaan ini terlihat
dari kondisi sekarang, di mana Tiongkok telah menjelma menjadi negara adidaya
dari sisi ekonomi yang diakibatkan oleh berkembang pesatnya industri di segala
sektor, yang didukung oleh penguasaan iptek, tanpa melupakan basis ekonominya di
sektor pertanian yang saat ini sudah semakin maju dan memberikan hasil yang
optimal bagi konsumsi dalam negeri dan juga ekspor ke negara-negara lain. Selain
itu negeri Tiongkok juga disokong oleh sistem pertahanan yang mumpuni dan
disegani dan diperhitungkan oleh negara lain bahkan oleh negara adikuasa, Amerika
Serikat. Hal ini sebagai cerminan bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi
Tiongkok konsisten dijalankan sesuai tahapan-tahapan yang telah direncanakan
dengan tetap berpegang teguh kepada dasar sosialisme sebagai buah pikiran dari
pendiri republik, Mao Zedong. Dengan sosialisme maka segala sesuatu menjadi
16

terpusat dan satu komando, sehingga kontrol akan mudah dilakukan dan menjamin
konsistensi pelaksanaan sistem sosial politik dan ekonomi meskipun terjadi
pergantian pucuk kepemimpinan. Walaupun saat ini dalam kehidupan politik sudah
terdapat multipartai, di mana ada delapan partai demokratik di Tiongkok yang ikut
ambil bagian dalam urusan negara dan pemerintahan, tapi pada prakteknya partaipartai tersebut dipersatukan, mereka saling bekerja sama, dan mereka pun saling
mengawasi. PKT dan Partai Demokratik mengabdikan diri kepada Sosialisme
sehingga membuat Tiongkok negeri yang kuat dan disegani di segala bidang.
Sedangkan Indonesia, dapat dikatakan pelaksanaan pembangunan tidak
konsisten dijalankan. Selalu saja terjadi perubahan dalam perencanaan pembanguan
setiap terjadi pergantian pucuk pimpinan di negeri ini. Sehingga perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan pada era kepemimpinan sebelumnya tidak berjalan pada
kepemimpinan yang baru. Pada akhirnya percepatan pembangunan ekonomi
Indonesia tidak seperti Tiongkok yang mampu melakukan lompatan hanya dalam
masa kurang lebih setengah abad. Pertanian sebagai basis pengembangan ekonomi di
Indonesia tidak digarap maksimal dan tidak dijadikan tulang punggung ekonomi
sebagaimana di Tiongkok. Dan akibatnya, Indonesia yang seharusnya mampu
menjadi pemasok produk-produk pertanian dunia, dewasa ini lebih banyak menjadi
importir produk-produk pertanian dari negeri-negeri tetangga.

17

III. KESIMPULAN

Membandingkan pembangunan ekonomi Tiongkok dengan pembangunan
ekonomi Indonesia dewasa ini terlihat jelas perbedaan yang nyata diantara keduanya.
Tiongkok yang saat ini sudah menjadi negara adidaya dalam segala bidang
merupakan eksportir utama dunia untuk produk-produk pertanian dan industri.
Barang-barang produksi Tiongkok banyak membanjiri pasar-pasar Indonesia dan
negara-negara lain, mulai dari produk hortikultura, tekstil, barang-barang elektronik
dan konsumsi rumah tangga dan lain sebagainya.
Sedangkan Indonesia, yang sama-sama berangkat dari sektor ekonomi
pertanian tertinggal jauh dibandingkan Tiongkok. Indonesia akhirnya menjadi pangsa
pasar barang-barang produksi Tiongkok tanpa mampu memberikan perlawanan yang
berarti dari industri serupa dari dalam negeri.
Perbedaan ini terletak dari konsistensi pelaksanaan program-program
pembanguan yang telah dicanangkan. Jika Tiongkok konsisten melakukan
pembangunan

sesuai

dengan

program

terpusat

yang

terus

dilakukan

berkesinambungan dari satu pemimpin ke pemimpin penerusnya, sedangkan yang
terjadi di Indonesia setiap ada pergantian kepemimpinan, maka program
pembangunan pemerintahan sebelumnya tidak dilakukan lagi. Sehingga dapat
dikatakan pembangunan dimulai dari awal lagi tidak meneruskan hasil yang telah
dicapai sebelumnya.

18

DAFTAR PUSTAKA

Asmenta, Hafiz. 2012. Perekonomian Indonesia pada Masa Orde Lama dan Orde
Baru
(http://hafizasmenta.blogspot.com/2012/03/perekonomian-indonesiapada-masa-orde.html), diakses pada 28 Juni 2012.
Budi,

Clemens.
2011.
Sejarah
Ekonomi
Indonesia
(http://clemensbudip.wordpress.com/2011/02/20/sejarah-ekonomiindonesia/), diakses pada 25 Juni 2012.

Macklin,
Boy.
2009.
Sejarah
Perekonomian
Indonesia
(http://onlinebuku.com/2009/03/06/sejarah-perekonomian-indonesia/),
diakses pada 20 Juni 2012.
Siregar, T. M. 2002. Pembaruan Ekonomi Tiongkok – dari Fokus Pedesaan ke Pasar
Internasional. Jakarta: Pustaka Pena.
Wikipedia.
2012.
Sejarah
Indonesia
(1966

1998)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29), diakses
pada 14 Juni 2012.

19