Review Buku Potret Birokrasi dan Politik

Review Buku
Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak:
Potret Birokrasi Dan Politik Di Indonesia
(Syafuan Rozi)
Oleh:
Nur Puji Rahayu
NIM: B35212050
Review Bab 1
Birokrasi relative menjadi instrument politis atau alat untuk mencapai
kekuasaan yaitu mendapatkan, meningkatkan, memelihara dan memperluas
kekuasaan aktor elit atau fraksi politik tertentu. Pada masa Orde Baru sampai
menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia masih tampak
mengalami penyakit bureaumania. Birokrasi tampak dijadikan alat kepentingan
status quo pemerintah dalam rangka melakukan kooptasi terhadap masyarakat
untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan yang monopolitik. Di era
Orde Baru, birokrasi terjebak dalam kebijakan monoloyalitas dimana pegawai
negeri sipil (PNS) dan KORPRI dijadikan sebagai mesin politik dan wadah
penampung pendukung Golkar dalam pemilihan umum (pemilu). Birokrasi
digunakan sebagai alat kepentingan bagi rezim untuk mempertahankan
kekuasaannya. Birokrasi yang sehat idealnya menjadi fasilitator dan pelayanan
publik yang professional untuk semua golongan and birokrasi tidak partisipan

berpolitik saat pemilu dan tidak diskriminatif dalam rangka memobilitasi
dukungan publik untuk kemenangan partai atau aktor tertentu. Contoh tekanan
politis dan tindakan diskriminatif yaitu terjadi terhadap masyarakat pemilih,
antara lain menggunakan dana, program dan fasilitas Negara untuk kepentingan
Golkar. Apabila Golkar kalah di suatu daerah, maka fasilitas umum yang akan
dibangun ditempat tersebut menjadi gagal.
Sejak saat itulah birokrasi pada era Orde Baru beralih menjadi birokrasi
modern. Teoritisi birokrasi modern yang terkenal dan sering dijadikan acuan
ilmuan social adalah Max Weber. Konsep Weber ini membantu menjelaskan siapa
yang dimaksud dan apa ciri-ciri suatu birokrasi modern. Weber menolak untuk
menyebut birokrasi bagi pejabat yang dipilih atau seseorang yang diseleksi oleh
sekumpulan orang. Beliau berpendapat bahwa ciri pokok pejabat birokratis adalah

orang yang diangkat. Weber memandang birokrasi sebagai unsur pokok dalam
rasionalitas dunia modern, suatu birokrasi yang legal rasional, memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjelaskan tugas-tugas
impersonal jabatan (berkemampuan memisahkan urusan pribadi dengan
urusan dinas).
2. Ada hierarki (penjenjangan, tingkatan) jabatan yang jelas.

3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas (pembagian kerja yang
jelas).
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi professional, berdasarkan suatu
diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian.
6. Mereka memiliki gaji berjenjang menurut kedudukan dalm hierarki dan
hak-hak pensiun. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam
keadaan tertentu dapat juga diberhentikan.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya.
8. Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya, mauoun dengan sumber
yang tersedia dalam pos itu
9. Pejabat tunduk pada system disipliner dan control yang seragam
Bagi Weber, birokrasi atau aparat administrasi ini merupakan unsur
terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi. Organisasi ni
merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, perhatian Weber
tertuju pada struktur yang diatur secara normatif dan mekanisme untuk
mempertahankan struktur itu. Hal ini merupakan unsur formal yang menjadi cirri
khas dari Weber dengan ideal type of beraucracy-nya.


Teori max weber
Weber menyatakan bahwa birokrasi itu sistem kekuasaan, dimana pemimpin
(superordinate) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat) sistem
birokrasi menekankan pada aspek “disiplin” . sebab itu, weber juga memasukkan
birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturanaturan tertulis dan dapat di simak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat
dipahami, di pelajari, dan jelas penjelasan sebab akibatnya.


Kelebihan sistem birokrasi max weber:

Ada aturan, norma, dan prosedur untuk mengatur organisasi. Dalam model teori
birokrasi max weber, di tekankan mengenai pentingnya peraturan. Weber percaya
bahwa peraturan seharusnya diterapkan secara rasional dan harusnya ada
peraturan untuk segala hal dalam organisasi. Tentunya peraturan-peraturan itu
tertulis. Dengan demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam
menjalankan tugas-tugasnya.


Kekurangan sistem birokrasi max weber:


Hirarki otoritas yang formal malahan cenderung kaku karena sistem hirarki
perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak benarbenar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung kaku
dalam organisasi.

Realita yang terjadi saat ini
Saat ini birokrasi di Indonesia sudah berjalan dengan semestinya.
Birokrasi dijadikan sebagai alat untuk mengatur suatu organisasi atau
pemerintahan agar berjalan efektif dan teratur. Birokrasi netral yang tidak
berpolitik seperti pada saat orde baru. Masyarakat, media massa maupun lembaga
memiliki kebebasan dalam memantau berjalannya birokrasi yang dijalankan.
Kebebasan Pers di Indonesia menjadikan segala bentuk penyelewengan akan lebih
mudah terpublikasi dan diusut. Terdapatnya badan pengawas dalam pemerintahan
yang bersifat netral mendorong terjadinya birokrasi netral di Indonesia.
Kritik
Dalam pemerintahan demokrasi, dapat diartikan bahwa kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat. Setelah kemerdekaannya, negara Indonesia
menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Namun keadaan diatas dirasa
sangat bertentangan karena segala keputusan rakyat terkengkang dengan birokrasi
yang ada. Dalam pemilu pada masa tersebut, rakyat khususnya PNS dipaksa untuk
memilih pihak tertentu untuk memenangkan PEMILU memalui kekuasaan

birokrasi yang dimiliki. Padahal pemilu seharusnya menjadi cerminan demokrasi
dimana rakyat secara keseluruhan memiliki kebebasan untuk memilih pemimpin
sesuai kehendak hati nurani. Birokrasi harusnya hanya dijadikan sebagai alat
untuk mengatur suatu organisasi agar berjalan lebih sistematis dan efektif,
bukannya mengengkang hak manusia.

Review Bab 3
Banyak pergerakan yang muncul menginginkan tidak berpolitiknya
birokrasi di Indonesia. Pengertian pergerakan disini adalah identic dengan suatu
perjuangan kelompok atau individu dalam masyarakat untuk mencapai suatu
tujuan atau keadaan tertentu. Bentuk gerakan antara lain bisa berupa pembentukan
wacana atau pendapat umum dan upaya mempengaruhi masyarakat. sifat gerakan
cenderung sporadis atau menyebar. Ciri utama gerakan cenderung belum ada
ikatan resmi atau melembaga antarpelaku yang satu dengan pelaku yang lain
dalam mencapai tujuan yang relative sama tersebut. bentuk pergerakan tersebut
adalah:
1. Gerakan”keluar dari keanggotaan institusi kooptasi birokrasi
Gerakan yang pertama kali muncul di Salemba dan tampak berpola
populis ini adalah “aksi pelepasan baju seragam KORPRI” dan membuat
pengumuman di media massa (pers release) bahwa sejumlah dokter PNS

(Pegawai Negeri Sipil) di Universitas Indonesia menyatakan diri keluar
dari anggota KORPRI. Seragam selanjutnya dikumpulkan oleh FORSAL
(Forum Salemba) kemudian dibagikan pada masyarakat kurang mampu di
sekitar Jakarta.
2. Gerakan “Rombak Institusi Korporatis Birokrasi”
Gerakan yang dilakukan elit ini terjadi di Departemen Penerangan
(DEPPEN) Pusat di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta yang dipimpin oleh
mentri Junus Josphia dan Sekjennya I.G.K. Manila. Substansi gerakan
mereka menginginkan pembubaran organisasi birokrasi dalam hal ini
KORPRI. Alasan pembubaran KORPRI Unit DEPPEN karena mereka
menilai selama ini KORPRI secara umum tidak mempunyai manfaat.
Malah tersirat tampak KORPRI menjadi beban, karena itu perlu
dibubarkan.
3. Gerakan “Netral dari Afiliasi Politik” oleh Unit KORPRI Departemen

Gerakan ini juga berpola elitis dan substansinya menginginkan netralitas
politik birokrasi. Pada tanggal 1 Juni 1999 menjelang diadakannya
pemilihan umum multipartai 1999, Unit KORPRI Departemen Kehutanan
menyatakan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Langkah
tersebut bisa dikategorikan menjadi rangkaian gerakan internal yang

terjadi dalam tubuh institusi pemerintahan dalam upaya netralitas politik.
4. Gerakan Tokoh Oposisi terhadap Afiliasi Politik KORPRI
Gerakan ini berpola populis karena ditujukan ke institusi KORPRI lewat
media massa yang bisa dibaca oleh khalayak ramai. Salah satu tokoh
oposisi yang memperhatikan masalah netralitas politik ini adalah Ali
Sadikin, seorang mantan petinggi mariner, mantan Gubernur DKI Jakarta,
tokoh petisi 50, anggota Forum Demokrasi dan anggota Dewan Penyantun
YLBI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Ali Sadikin
melontarkan kritik keras terhadap Korps Pegawai Negeri yang hingga saat
itu (1 Januari 1999) tidak mau menyatakan diri keluar dari GOLKAR.
Menurutnya kalau selama ini GOLKAR menang pemilu, yang
memenangkannya bukan GOLKAR tapi birokrasi.
5. Gerakan Netralitas Politik di Parlemen dan Lembaga Eksekutif
Gerakan ini berpola elitis dan terjadi ti tingkat lembaga dan
antarkelembagaan. Di lembaga legeslatif dan lembaga eksekutif pun
menunjukkan terjadi dinamika internal menyangkut soal netralitas politik
birokrasi. Ada sikap pro dan kontra yang terjadi di DPR, khususnya di
tubuh Fraksi Karya Pembangunan (FKP) antara kelompok muda dan
kelompok tua menyangkut soal keberadaan institusi birokrasi KORPRI
dan keterkaitannya dalam proses politik. Kalangan muda seperti Ferry

Mursyidan Baldan mengusulkan agar pegawai negeri dijadikan jabatan
structural yang dilarang berpolitik dan mengimbau agar KORPRI
membubarkan diri, karena sebagian rakyat saat itu masih memiliki
kekhawatiran bahwa Pemilu 1999 tidak bisa berlangsung Jurdil (jujur dan
adil). Menurut kelompok muda hal itu akan hilang bila institusi KORPRI
dibubarkan saat itu juga. Sebaliknya kalangan tua yaitu fraksi Akbar
tanjung

pantang

menyerah

mempertahankan

pendapatnya

untuk

mengupayakan agar PNS boleh tetap masuk dan menjadi pengurus partai.


6. Gerakan Netralitas Birokrasi di Lembaga Ilmiah Nondepartemen
Sebagai lembaga non departemen, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) adalah bagian dari institusi yang garis koordinasinya langsung
dibawah lembaga kepresidenan. LIPI mengupayakan untuk mempunyai
kebebasan

untuk

menginformasikan

hasil

penelitiannya

kepada

masyarakat. LIPI berusaha untuk objektif dan independen terhadap
kepentingan partai politik manapun.

Kritik