Fenomena Digital Divide yang Berpengaruh

Yunia Damayanti – 071311233066 – Globalisasi & Masyarakat Informasi_Week 5_Bahan 3
Fenomena Digital Divide yang Berpengaruh Terhadap Cara Akses dan Penggunaan
Informasi Teknologi
Colin Sparks di dalam artikelnya yang berjudul “What is the “Digital Divide” and why is it
Important?” menjelaskan bahwa istilah “Digital Divide” merujuk pada suatu perbedaan sosial.
Perbedaan yang dimaksud oleh Sparks adalah perbedaan dalam menggunakan dan mengakses
barang dan jasa digital, contohnya barang komputer yang dimiliki individu, serta kemampuan
untuk mengakses internet. Konsep “Digital Divide” juga dijelaskan oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD), yang mana merujuk pada adanya gap atau
perbedaan secara aspek sosial dan ekonomi di antara individu, rumah tangga, pebisnis, dan/atau
secara geografi dalam mendapatkan kesempatan untuk mengakses teknologi informasi dan
komunikasi (Sparks, 2013: 28). Sedangkan, Julian Reid menulis di dalam artikelnya yang
berjudul “Politicizing connectivity: beyond the biopolitics of information technology in
international relations” berpendapat bahwa “Digital Divide” mengacu pada bahwa di dalam
memperoleh sebuah teknologi informasi (IT), baik dalam ruang lingkup Hubungan Internasional
atau ruang lingkup lainnya adalah adanya sebuah gap yang lebar antara pihak ”information rich”
dan “information poor” (Reid, 2009: 608). Sehingga, dari kedua pendapat tersebut dapat
diartikan bahwa “Digital Divide” mengacu pada adanya ketidakseimbangan akses dan
penggunaan teknologi informasi yang diakibatkan oleh adanya kesenjangan sosial ekonomi
individu, householders, perusahaan, dan geografi yang mana nantinya akan mengakibatkan
adanya pihak dengan “information rich” dan “information poor.”

Penulis akan menjelaskan lebih jauh mengenai seberapa nyata “Digital Divide” yang berlaku di
dalam masyarakat dan bahaya yang disebabkannya, yang mana akan berdampak pada seperti apa
new world information order yang diinginkan. Dengan mengacu pada artikel Julian Reid dan
dikomparasikan dengan artikel-artikel yang sesuai. Reid menjelaskan mengenai koneksivitas
biopolitik atau biopolitics connectivity, yang mana dijelaskan bahwa istilah koneksivitas
biopolitik menjadi dampak dari berakhirnya Perang Dingin yang menyebabkan negara yang
muncul sebagai pemenang dapat menguasai properti kepemerintahan dan teknologi informasi
(Reid, 2009: 608). Reid juga menjelaskan mengenai perkembangan interkoneksivitas global yang
ditimbulkan oleh revolusi informasi, yang mana aspek sosial, politik, dan kepemerintahan

dianggap mengikuti proses tersebut. Hal ini sering disebut oleh masyarakat sebagai “terkoneksi
atau the Connected,” yang mana istilah tersebut merujuk pada perubahan sosial itu sendiri. Jika
pertanyaannya bahwa apakah “Digital Divide” bersifat nyata, penulis akan menjawab benar
bahwa istilah tersebut nyata dan terjadi di dalam kehidupan di segala aspek masyarakat. Dilihat
dari istilah “The Connected” tersebut yang mana terdapat juga kalimat, “Networking is its source
of power,” menjelaskan bahwa teknologi informasi dapat mengubah suatu fenomena (Reid,
2009: 609). Salah satu contohnya adalah perubahan dalam aspek tujuan dan praktek
kepemerintahan, yang mana munculnya konsep baru dalam pemerintah global dalam
mengaspirasikan tatanan yang diambil dari praktek jaringan, pembagian informasi, dan
pembelajaran aktivitas “the Connected” tersebut. Colin Sparks juga menjelaskan bahwa “Digital

Divide” merupakan fenomena yang nyata, terlihat dari kemunculannya pada tahun 1990-an
hingga saat ini yang mana terdapat sebuah penelitian di Britania Raya bahwa populasi pengakses
dan pengguna Internet di wilayah tersebut meningkat secara terus menerus dari tahun ke tahun.
Dan, populasi tersebut adalah dari kalangan kelas pekerja dan terpelajar (Sparks, 2013: 37).
Sehingga, penulis berpendapat bahwa “Digital Divide” menjadi fenomena yang nyata dan
mempengaruhi aspek-aspek penting di dalam tatanan masyarakat.
Seperti yang Julian Reid sebutkan mengenai “the Connected” yang mana di dalam pembelajaran
Hubungan Internasional, pihak yang menguasai proses “the Connected” tersebut akan menguasai
aspek dan proses bersejarah di dalam masyarakat dunia (Reid, 2009: 609). Contohnya adalah
tidak dapat dipungkiri bahwa sistem internasional beserta proses di dalamnya adalah pengaruh
dari budaya Barat, sampai kepada proses sejarah pun dikuasai oleh sudut pandang dari orang
Barat dan hal tersebutlah yang dimaksud bahwa orang-orang Barat telah menguasai “the
Connected” yang mana berdampak pada penguasaan proses dan hasil yang akan didapatkan.
Maka dari itu, Reid berpendapat bahwa “the Connected” tersebut dapat menyebabkan doktrin
perang atau network-centric warfare (Reid, 2009: 612). Yang dimaksud dengan network-centric
warfare bukan serta-merta proses “the Connected” ini dapat menyebabkan perang antar negara
atau antar kelompok tertentu.

Namun, perang yang terjadi adalah ketika “the Connected”


tersebut menjadi “Disconnected” yang mana suatu pihak akan merasa kapasitas proses
pembelajaran dan perolehan informasinya kurang, dan berpengaruh pada penguasaan informasi
yang dimilikinya (Reid, 2009: 613).

“Disconnectedness define dangers. If you’re looking for instability and threats to the
functioning of the international system and the global economy, you’re looking at
this Non-integrating Gap”.
Thomas PM Barnett (adviser in the Office of the Secretary of Defense)
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah bentuk seperti apa tatanan informasi dunia yang diinginkan
oleh masyarakat global. Julian Reid menjelaskan bahwa terdapat adanya batasan antara pihak
“the core” dan “non-integrating gap,” yang mana hal tersebut akan berdampak pada munculnya
fenomena “Connected” dan “Disconnected.” Di dalam aspek politik, hal tersebut tidak boleh
dapat terjadi karena akan mengakibatkan ancaman yang muncul dari pihak lainnya (Reid, 2009:
629). Maka dari itu, terdapat istilah socius yang mana dapat menyatukan gap yang ada dan dapat
menghancurkan pihak yang mana di awal telah membuat batasan tersebut. Dapat dicontohkan
seperti ini, pada masa Perang Iran anak-anak di negara tersebut dilarang untuk bermain boneka
Barbie yang diproduksi oleh Amerika Serikat, hal tersebut menurut Amerika Serikat adalah
bentuk dari “Disconnected” yang terjadi di Iran, sehingga socius yang terjadi adalah ketika tahun
1970-an terjadi Revolusi Feminis. Sedangkan, Colin Sparks berpendapat bahwa tatanan
informasi dunia masih tidak seimbang yang mana disebabkan oleh faktor substansi dan

transformatif. Yang mana Sparks berpendapat bahwa perlunya inovasi dalam aspek teknologi
yang dapat menghilangkan “Digital Divide” tersebut (Sparks, 2013: 41). Sehingga kedua
pendapat di atas menjelaskan bahwa tatanan informasi dunia yang diinginkan adalah menyatukan
ketidakseimbangan perolehan dan pengaksesan teknologi informasi dunia, yang dapat
disebabkan oleh faktor geografi, individu, atau pun kelompok.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa “Digital Divide” merupakan fenomena
kesenjangan akses dan penggunaan teknologi informasi yang mana dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya faktor socio-ekonomi dan geografi. Penulis berpendapat bahwa memang
benar adanya di dalam proses penggunaan dan akses teknologi informasi masih terdapat
fenomena kesenjangan. Maka dari itu ada dua pihak, yaitu pihak dengan “information rich” dan
“information poor”. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya bahaya, berupa diskoneksivitas.
Diskonektivitas yang terjadi tersebut akan mengakibatkan perolehan informasi akan tidak
seimbang dan terdapat pihak-pihak yang merugi dengan hal tersebut.

Referensi:
Reid, Julian. 2009. Politicizing connectivity: beyond the biopolitics of information technology in
international relations. Cambridge Review of International Affairs, 22:4, hal. 607-623.
Sparks, Colin. 2013. What is the “Digital Divide” and why is it Improtant?, Javnost- The Public,
20:2, hal 27-46