BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA E. Pengertian Perkawinan - Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA E. Pengertian Perkawinan Membicarakan mengenai perkawinan seolah tidak ada habisnya. Perkawinan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Melalui

  perkawinan lahir hak dan kewajiban yang sangat beragam baik untuk ayah dan ibu sebagai orangtua, maupun bagi anak dan kelompok masyarakat lainnya.

  Perkawinan sebagai perbuatan hukum juga menimbulkan tanggung jawab antara suami, istri dan anak, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Dalam Al-Qur’an kurang lebih 70 (tujuh puluh) ayat yang membahas masalah keluarga dan perkawinan. Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah yang diridhoi

26 Allah SWT.

  Perkawinan adalah sebuah ikatan yang sah dan suci antara dua insan manusia berbeda jenis untuk membentuk sebuah keluarga berlandaskan pada kasih dan sayang. Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang pada akhirnya secara luas akan membentuk sebuah negara. Keluarga dapat diibaratkan sebagai sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika keluarga rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial yang terbaik. Tidak

  

  ada umat tanpa keluarga, tidak tercipta masyarakat tanpa keluarga. Begitu penting dan sentralnya fungsi suatu perkawinan dalam masyarakat, maka pelaksanaannya pun harus benar-benar selaras dan sejalan dengan ketertiban hukum dalam masyarakat.

  Secara etimologi perkawinan berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-

   laki dan perempuan sebagai suami istri.

   Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah. Al-nikah yang

  bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan

  

al-dammuwa al-jam’u atau ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh,

  

  berkumpul dan akad. Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

  Jika dilihat pendefinisian yang diberikan UUP 1/1974 disebutkan bahwa :

  27 Mahmud Muhammad al-Jauhari, al-akhawat al muslimat wa Bina al-Usrah al-

Qur’anyah, Terjemahan Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayanti, Membangun Keluarga

Qur’ani, Panduan untuk Wanita Muslimah, (Jakarta, Amzah, 2005), h.3. 28 W J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 453. 29 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara

  “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan pengertian ini dapat dilihat bahwa suatu ikatan dapat diidentifikasikan sebagai perkawinan apabila tujuan yang ingin dicapai adalah membentuk keluarga yang bahagia. DalamUUP 1/1974 perkawinan tidak hanya berbicara mengenai hubungan perdata suami istri, tetapi juga berbicara mengenai hubungan yang bersifat lahir dan bathin menuju kebahagiaan yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Selanjutnya dalam Pasal 2 KHI juga diatur bahwa: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaituakad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

  Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.

  Menurut Sayuti Thalib : “Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih

  

mengasihi, tentram dan bahagia”. Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan : “perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.”

  

  “Perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”. Selanjutnya jika merujuk pada pendapat para ahli, R. Soetojo

  Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, menyatakan bahwa :

  

  1. Perkawinan dilihat dari segi hukum Oleh karena itu yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara perempuan dan laki-laki yang didasari atas rasa cinta kasih menuju kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui perkawinan lahir pula hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, hubungan hukum perkawinan harus dilindungi oleh landasan hukum yang kuat agar pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dapat berjalan dengan baik dan tertib.

  Sedemikian luas pengaruh perkawinan maka ketika berbicara mengenai perkawinan setidaknya harus dilihat dari tiga segi pandangan : Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 21 yang artinya berbunyi “perkawinan adalah 32 Ibid , h.42. perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitssaqan ghalidzan”.

  

  a. cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian karena adanya: b. cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

   2. Perkawinan dilihat dari segi sosial.

  Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum/tidak menikah.

  

  3. Pandangan perkawinan dari segi agama Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci.

  Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah.

  

  “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

  Sebagaimana diuraikan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 1 yang artinya adalah :

  34 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bogor, PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h.81. 35 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h.47.

  (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

   1. Hukumnya beralih menjadi sunnah.

  Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu, berdasarkan pada perubahan 'illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.

  Dengan 'illah seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan.

   2. Hukumnya beralih menjadi wajib.

  Dengan 'illahseseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin.

   3. Hukumnya beralih menjadi makruh.

  Dengan 'illahseseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa

38 Departemen Agama RI, Op. Cit, h.77.

  kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk

   kawin.

  4. Hukumnya beralih menjadi haram.

  Dengan 'illahapabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi laki-laki itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 24 dan ayat 25 serta dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 231.

  Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini seorang wanita walaupun tidak ada niat dan maksud menganiaya atau memperdayainya sebagai ketentuan ayat-ayat yang bersangkutan tetapi menurut perhitungan yang wajar dan umum, bahwa perkawinannya itu akan berakibat

   penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan.

  Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang mengandung hubungan keperdataan. Asas-asas hukum perkawinan Islam secara umum adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami istri, untuk selama- lamanya, dan monogami terbuka yang akan dijelaskan sebagai berikut :

  1. Asas kesukarelaan Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam.

  Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi

   perkawinan Islam.

  2. Asas persetujuan kedua belah pihak Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dariasas yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagaipersetujuan.

  Dalam sebuah hadist diceritakan bahwa Khansa` bintu Khidam Al- Anshariyyah RA mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Muhammad SAW, hingga akhirnya beliau membatalkan

   .

  pernikahannya. Hadist nabi tersebut mengatakan bahwa tanpa persetujuan pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan.

  Jika calon suami atau calon istri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka mereka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari keadaan tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya yang dalam istilah

   Islam disebut akil baligh.

  43 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta, Radja Grafindo Persada, 2004), h.139.

  3. Asas kebebasan memilih pasangan

   Asas kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam sunnah Nabi.

  Diceritakan oleh Ibnu Majah bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan

  

  orang lain yang disukainya. Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.

  4. Asas kemitraan suami istri Dalam beberapa hal kedudukan suami istri adalah sama, namun dalam

  

  beberapa hal berbeda. Asas kemitraan suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal dan pembawaan). Suami menjadi kepala keluarga sedangkan istri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah

   tangga.

  5. Asas untuk selama-lamanya Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup yang terdapat dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21. Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk bersenang- 46 47 Ibid.

  HR. Ibnu Majah nomor 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimakumullahu dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64). Hadist ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim. senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selama-lamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih

   sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.

  6. Asas monogami terbuka Pada prinsipnya perkawinan Islam menganut asas monogami, namun dalam hal-hal tertentu dibolehkan berpoligami. Terjemahan Q.S. An-Nisa’ ayat 3 mengatakan bahwa laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang istri. Syarat utamanya adalah bisa berlaku adil di antara istri-istrinya. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 129 Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat berlaku adil, karenanya kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan

   darurat, agar terhindar dari dosa.

  Selain asas-asas di atas juga di kenal asas-asas yang terdapat dalam UUP 1/1974 yakni sebagai berikut :

  1. Asas bahagia dan kekal Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.

  2. Asas pencatatan perkawinan Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan berupa suatu akta resmi.

  3. Asas monogami Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

  4. Asas kematangan jiwa raga Undang-undang ini menganut asas bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan seperti batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal itu, maka UUP 1/1974 menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

  5. Asas mempersulit perceraian Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di muka sidang pengadilan.

  6. Asas keseimbangan Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan

   diputuskan bersama oleh suami-istri.

  Konstitusi telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan. Namun sejatinya hak yang diberikan tersebut harus diimbangi dengan pelaksanaan perkawinan yang sah tidak hanya secara agama namun juga secara hukum. Karena perkawinan melahirkan banyak konsekuensi yang hanya bisa terakomodir apabila perkawinan tersebut dicatatkan sehingga memiliki kepastian hukum. Konsekuensi perkawinan adalah sebagai berikut:

  1. Konsekuensi yuridis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan ini merupakan lembaga yang harus diakui oleh hukum sebagaimana harus pula diakui oleh masyarakat, sehingga dijamin keutuhan dan keberlangsungannya dalam sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

  2. Konsekuensi biologis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan memberikan kebebasan untuk berhubungan seksual yang kemudian melahirkan pula hubungan-hubungan lain kaitannya dengan akibat dari hubungan itu berupa anak, dan lain sebagainya.

  3. Konsekuensi sosial Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan mengakibatkan terbentuknya sruktur sosial baik keluarga inti maupun keluarga samping yang melahirkan pranata sosial di dalamnya, sebagai cikal bakal sebuah masyarakat.

  4. Konsekuensi politis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan dapat berimplikasi pada status kewarganegaraan, indikasi kedewasaan, status marital demografis, dan sebagainya.

  5. Konsekuensi ekonomis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan mengakibatkan adanya pernafkahan, persatuan pendapatan/penghasilan, hubungan kewarisan dan

   sebagainya.

  Perkawinan yang melahirkan konsekuensi sebagaimana disebutkan diatas adalah perkawinan yang sah secara agama maupun secara hukum, dengan artian adanya pencatatan perkawinan. Hilangnya konsekuensi ini menandakan adanya pihak-pihak yang dirugikan yaitu perempuan/istri dan anak-anak.

F. Tujuan Perkawinan

  Antara semua anggota keluarga satu sama lainnya memiliki hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan. Dalam keluarga suami dan istri merupakan bagian inti, hubungan mereka mencerminkan bagaimana satu manusia dengan manusia yang lainnya berbeda jenis kelamin bersatu membentuk kesatuan untuk mempertahankan hidup dan menciptakan keturunan yang sesuai dengan perintah agama dan cita-cita bangsa, sehingga bisa dibayangkan jika tanpa suami ataupun istri keluarga tidak dapat terbentuk dan masyarakat pun tidak akan pernah ada untuk membentuk kesatuan yang lebih besar yaitu suatu negara. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya perkawinan dalam tatanan kehidupan manusia.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tujuan diartikan sebagai

  

  arah; haluan (jurusan)yang dituju; maksud; tuntutan (yang dituntut). Tujuan 53 Aam Hamidah, Menakar Yuriditas Sidang Itsbat di Luar Negeri

  (diakses 5 Januari 2015 pukul:10.42 WIB). adalah cita-cita atau impian yang hendak diraih atas suatu perbuatan yang telah atau akan dilakukan. Semua individu yang sudah memasuki kehidupan berumah tangga pasti menginginkan terciptanya suatu rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia maupun akhirat nantinya. Tentu saja dari keluarga yang bahagia ini akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis, rukun, damai, adil dan makmur.

  Dalam konsep perkawinan Islam, tujuan suatu perkawinan dapat dilihat dalam sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan hadist. Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah:

  1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang.Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. An-Nisaa ayat 1 yang artinya berbunyi :

  “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang menjadikanmu dari yang satu daripadanya, Allah menjadikan istri- istri;dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan”.

  

  2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya berbunyi yaitu :

  “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan diantaramu rasa cinta dan kasih sayang.

  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda

  

  bagi kaum yang berfikir.”

  3. Untuk menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dirawayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:

  “Dari Abdullah bin Masud, Rasullulah SAW berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa itu

   adalah perisai baginya. (H.R. Bukhari dan Muslim)”.

  Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk: 1. Menenteramkan jiwa.

  Bila telah terjadi akad nikah, istri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Suami pun merasa tenteram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.

  2. Memenuhi kebutuhan biologis.

  Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.

  3. Latihan memikul tanggung jawab.

  Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama

   lain.

  Maksud pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga dan menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebaikan dalam keluarga tersebut sebagaimana diajarkan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 19, serta diliputi dengan suasana “sakinahmawaddah warahmah” yang ditentukan dalam

   Q.S. Ar-Ruum ayat 21. Sejalan dengan itu, menurut Pasal 3 KHI perkawinan

  bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

  1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna;

  2. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan;

  3. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (istri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolong-

   tolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.

  Tujuan perkawinan menurut UUP 1/1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan 58 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003), h.13-21. demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam suatu perkawinan. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dan terbentuk dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan karena pada dasarnya tujuan merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula.

  Kebahagiaan sebagaimana yang menjadi tujuan perkawinan menurut UUP 1/1974 itu pada dasarnya bersifat relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu

  

  merupakan keluarga yang bahagia. uatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan yang bersifat jasmani dan kebutuhan yang bersifat rohani. Kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan yang bersifat rohani, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya

  

  sendiri. eluarga merupakan keluarga bahagia bila dalam keluarga itu tidak terjadi perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran, sehingga keluarga itu berjalan dengan baik tanpa perselisihan atau pertengkaran-pertengkaran yang berarti (free

   from quarelling ).

  Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Kekal dalam hal ini mengandung arti : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan 61 Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya, Usaha Nasional, 1994), h.15. merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri saling membantu untuk mengembangkan diri.

64 G.

   Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

  Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali dipisahkan karena kematian.

  UUP 1/1974 dan KHI menentukan di dalam pasal-pasalnya mengenai persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan menjadi sah.

  UUP 1/1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum `masing-masing agama dan kepercayaan.

  

  “Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindumaka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.

  Hal ini berarti perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing- masing agamanya” berarti hukum hanya dari salah satu agama tersebut bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” ditafsirkan sebagai hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.Hilman Hadi Kusuma mengatakan bahwa :

  

64 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.62.

  65 Pasal 2 ayat 1 UUP 1/1974. Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan, maka sahnya suatu perkawinan oleh UUP 1/1974 ini telah diserahkan kepada hukum agama dan kepercayaan. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan tidak akan dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

  Sebagai sumber hukum perkawinan Islam, hal tersebut dipertegas kembali dalam KHI tepatnya pada Pasal 4 yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Oleh karena itu, umat Islam yang akan melaksanakan perkawinan harus tunduk dan patuh pada aturan pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam.

  Ketika suatu perkawinan umat muslim telah dilakukan menurut hukum Islam, maka perkawinan tersebut adalah sah. Namun untuk memperoleh pengakuan negara, perkawinan yang telah dilakukan menurut hukum agama wajib untuk dicatatkan. Kewajiban pencatatan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUP 1/1974 dan Pasal 5 ayat (1) KHI. Selain untuk memperoleh pengakuan negara, manfaat lain dari pencatatan perkawinan tersebut adalah untuk mencapai suatu tertib administrasi karena sejatinya perkawinan memiliki pengaruh besar terhadap data kependudukan lainnya seperti kelahiran dan kematian.

  Selain berpedoman pada hukum agama dan kewajiban pencatatan sebagai syarat yang wajib dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan, lebih luas lagi sebuah perkawinan harus memenuhi syarat materil dan syarat formil. Setiap rukun perkawinan tersebut di atas wajib memenuhi syarat materil dan syarat formil. Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif memberikan pengertian mengenai syarat materil dan syarat formil sebagai berikut: “Syarat materil adalah syarat yang berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai

   pelangsungan perkawinan”.

  Syarat materil dapat dibedakan lagi menjadi syarat materil umum dan syarat materil khusus. Syarat materil umum artinya syarat mengenai diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materil umum bersifat mutlak yang lazim juga disebut dengan syarat materil absolut pelaksanaan perkawinan, karena jika tidak dipenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon suami istri tidak dapat melangsungkan perkawinan.

  Sedangkan syarat materil khusus lazim disebut dengan syarat relatif untuk melangsungkan perkawinan, yaitu berupa kewajiban untuk meminta izin kepada

   orang-orang tertentu dan larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan.

  1. Syarat materil Syarat materil sebagai syarat yang berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan sangat erat kaitannya dengan rukun perkawinan yang sejatinya terdiri atas para pihak seperti:

  a. Calon suami;

  b. Calon istri;

  c. Wali nikah;

  d. Dua orang saksi dan; 67 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

   e. Pengucap Ijab dan Kabul.

  Maka, pemaparan syarat dari tiap-tiap rukun nikah tersebut agar suatu perkawinan yang sah dapat terlaksana adalah sebagai berikut : a. Calon suami atau istri

  Pertama sekali akan dibahas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami atau istri, hal ini terdapat dalam Pasal 6 sampai Pasal 12UUP 1/1974.

  Berikut yang termasuk syarat-syarat materil adalah sebagai berikut : 1) Syarat materil umum

   a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

  Hal ini berarti suatu perkawinan tidak dapat dilaksanakan apabila terdapat unsur keterpaksaan di dalamnya. Masing-masing pihak baik calon suami atau istri harus rela dan ridho untuk bersatu dalam ikatan perkawinan. Dalam Pasal 16 ayat (2) KHI bahkan disebutkan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan dengan isyarat, tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih

  

  dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan

   itu tidak dapat dilangsungkan.

  69 70 Pasal 14 KHI.

Pasal 6 ayat (1) UUP 1/1974.

  b) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)

   tahun.

  Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 15 KHI yang tujuannya adalah untuk mencapai kemashlahatan keluarga dan rumah tangga. Apabila dalam pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan ini, maka harus dimintakan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua

   pihak pria atau pihak wanita.

  c) Adanya waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan

   akan melaksanakan perkawinan lagi.

  Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 153 KHI yang lebih merincikan bahwa bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya selama 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian selama 130 (seratus tiga

  

  puluh) hari. Sedangkan apabila seorang janda dalam keadaan hamil putus perkawinnya baik karena perceraian atau karena kematian masa iddahnya adalah sampai melahirkan.

  2) Syarat materil khusus

  a) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

   21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

  73 74 Pasal 7 ayat (1) UUP 1/1974. 75 Pasal 7 ayat (2) UUP 1/1974. 76 Pasal 11 UUP 1/1974.

  Wahyuni Setiyowati, “Hukum Perdata I (Hukum Keluarga)”, Jurnal F.H. Universitas Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) KHI yang menjelaskan bahwa izin kedua orang tua merupakan syarat yang wajib dalam pelaksanaan perkawinan. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua

  

  yang mampu manyatakan kehendaknya. Namun apabila orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama

  

  mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang

   memberikan izin.

  b) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: (1) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas; (2) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang 78 dengan saudara neneknya; Pasal 6 ayat (3) UUP 1/1974.

  (3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri; (4) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/ paman susuan; (5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; (6) Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

   berlaku dilarang kawin.

  c) Calon suami atau istri tidak sedang terikat tali perkawinan dengan orang

   lain.

  Ketentuan ini dikecualikan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UUP 1/1974 yang mengatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

  d) Suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain kemudian bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak

   boleh dilangsungkan perkawinan lagi.

  Hal ini dimaksudkan agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang. Ketentuan ini juga bertujuan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain. 81 Pasal 8 UUP 1/1974. b. Wali nikah Setelah membahas syarat materil umum dan khusus mengenai calon suami dan istri, beranjak kepada persyaratan materil yang harus dimiliki oleh seorang wali nikah. Wali nikah adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai wanita dalam suatu akad nikah. Tanpa adanya kehadiran seorang wali maka perkawinan yang akan dilaksanakan tidak dapat dikatakan sahdan tanpa wali, perkawinan tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN) sehingga tidak mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah pokok

  

  dalam perkawinan. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

   dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

  Adapun syarat materil yang harus dipenuhi seorang wali nikah adalah : 1) Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni

  

  muslim, aqil, dan baligh;

  

  2) Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim; 3) Wali nasab terdiri atas empat kelompok urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dengan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Urutan kedudukannya adalah sebagai berikut : a) Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya;

  84 85 Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.1.

Pasal 19 KHI.

  b) Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka; c) Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka; d) Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki . seayah dan keturunan laki-laki mereka

  4) Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin dihadirkan atau tidak tahu tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal adlal atau enggan maka wali hakim dapat

   bertindak setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

  Selain persyaratan yang terdapat dalam KHI, persyaratan tambahan berdasarkan ijtihad para ulama bahwa seorang wali nikah harus : a) Orang merdeka;

  b) Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Karena kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum; c) Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut;

  d) Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dalam dosa kecil serta tetap memelihara muruah atau sopan santun; e) Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.

  

  c. Saksi nikah Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah yang terdiri atas dua orang.

  

  1) Laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli; Kehadiran dua orang saksi dalam pelaksanaan akad nikah bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Di dalam KHI disebutkan bahwa seorang saksi harus :

  

  2) Hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

   UUP 1/1974 tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan,

  namun menyinggung kehadiran saksi dalam pembatalan perkawinan dan saksi dijadikan sebagai salah satu hal yang membolehkan pembatalan perkawinan.

  d. Ijab dan Kabul Selanjutnya, rukun nikah yang terakhir adalah ijab dan kabul. Ijab yaitu ucapan dari wali/ orang tua atau wakilnya pihak wanita sebagai penyerahan kepada pihak pria. Sedangkan kabul yaitu ucapan dari pengantin priaatau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara ijab dan kabul ini, dilakukan dimuka Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yaitu di masjid atau di rumah di bawah pengawasan PPN. 90 Amir Syarifuddin, Op. Cit, h.76-78. 91 Pasal 24 KHI.

  Pengaturan ijab dan kabul dalam KHI diatur dalam Pasal 27-

  28.Pelaksanaan ijab dan kabul harus dilaksanakan secara beruntun dan tidak

  

  berselang waktu. Kabul tersebut diucapkan secara pribadioleh calon mempelai

  

  pria. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara

   tertulis bahwa penerimaan wakil atasakad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

  Sedangkan dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai

   pria diwakili,maka akadnikah tidak boleh dilangsungkan.

  2. Syarat formil Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil. Syarat formil suatu perkawinan berkenaan dengan tata cara pelaksanaan dan administrasi perkawinan. Peraturan yang mengatur perihal pelaksanaan perkawinan dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) tentang Pelaksanaan UUP 1/1974. Adapun syarat-syarat formil tersebut adalah sebagai berikut :

  a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada PPN di

   tempat perkawinan akan dilangsungkan.

  Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya sekurang-kurangnya 10

  

  (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan. Di 94 95 Pasal 27 KHI. 96 Pasal 29 ayat (1) KHI. 97 Pasal 29 ayat (2) KHI.

Pasal 29 ayat (3) KHI.

  samping itu terdapat pengecualian jangka waktu yang disebabkan oleh suatu alasan penting, diberikan oleh camat atas nama bupati/kepala daerah.

  

  Pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terlebih dahulu.

  

  b. Penelitian syarat-syarat perkawinan oleh PPN Setelah menerima pemberitahuan kehendak pelaksanaan perkawinan, PPN kemudian akan melakukan penelitian terhadap syarat-syarat perkawinan apakah telah dipenuhi atau tidak dan apakah terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. Selain itu, PPN juga akan meneliti :

  1) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Jika tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu;

  2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; 3) Izin tertulis/izin pengadilan apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; 4) Izin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 UUP 1/1974 dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya istri;

  5) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) UUP 1/1974 yaitu terhadap adanya penyimpangan umur untuk melakukan perkawinan yang ditetapkan oleh UUP 1/1974;

  6) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau surat keterangan perceraian dalam hal perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

  7) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan (HANKAM)/Panglima Angkatan Bersenjata (PANGAB), apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;

  8) Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan

   kepada orang lain.

  c. Penulisan hasil penelitian dalam sebuah daftar terhadap syarat dan halangan perkawinan serta berkas administrasi pemberitahuan kehendak perkawinan oleh PPN. Dalam hal terdapat halangan perkawinan atau belum terpenuhinya persyaratan-persayaratan sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka keadaan tersebut akan segera diberitahukan kepada calon mempelai, orang tuanya atau

   wakilnya. d. Pengumuman kehendak perkawinan oleh PPN.

  Apabila tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan telah terpenuhi serta tiada sesuatu halangan perkawinan, maka PPN menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh masyarakat

  

  umum. Pengumuman tersebut ditandatangani oleh PPN dan memuat : 1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu ;

  2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

  e. Tata cara pelaksanaan perkawinan, yakni perkawinan dilaksanakan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh PPN. Dengan catatan tidak terdapat pengajuan keberatan dari berbagai pihak. Perkawinan

  

  dilakukan dihadapan PPN dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh PPN. Setelah ditandatangani oleh kedua mempelai, akta tersebut juga ditandatangani oleh kedua orang saksi,

  

  wali nikah dan PPN. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kertas - Pemanfaatan Serat Lidah Mertua (Agave Angustifolia Haw) dan Kulit Pisang Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kertas

1 6 19

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Butik 2.1.1 Asal-usul butik - Budaya Kerja Pengusaha Butik Studi Deskriptif Pada Pengusaha Butik di Sun Plaza Medan

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Budaya Kerja Pengusaha Butik Studi Deskriptif Pada Pengusaha Butik di Sun Plaza Medan

0 1 28

BUDAYA KERJA PENGUSAHA BUTIK (Studi Deskriptif Pada Pengusaha Butik di Sun Plaza Medan ) SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi Sosial

0 0 10

Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon

0 0 12

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai, - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 0 25

NIM : 110200010 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

0 0 8

BAB II PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Peraturan Bersama Antar Lembaga Negara Dalam Penanganan Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi

0 0 36