BAB II PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda

  

BAB II

PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A.

Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun

2009

  

1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku

Pada Masa Belanda di Indonesia Tahun 1927

  Sejarah awal penggunaan narkotika dimulai kurang lebih sekitar tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. Cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi Cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya Cina ditaklukan dibawah penguasaan kerajaan Inggris dengan harus

   merelakan Hong Kong.

  Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim Sertuner menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morphin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian tahanan-tahanan tersebut "ketagihan" disebut sebagai "penyakit tentara". Tahun

  

  • iakses : 5 November 2014, pukul

    20.30 WIB.

  1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morphin dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur) campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada anjing yaitu: anjing tersebut tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah. Namun tahun 1898 pabrik obat "Bayer" memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer). Tahun 60-an sampai 70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah "Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika dan

52 Amerika.

  Selain morphin dan heroin ada lagi jenis lain yaitu kokain (ery

throxylorcoca ) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia.

  Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 70-an ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta teknologi mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat-obatan. Obat-obatan yang dimaksud pada masa sekarang

   ini sering disebut dengan sebutan narkotika.

  Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., peraturan tentang obat bius

  

Nederland Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda

  (asas konkordansi). Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indie mengeluarkan Staatsblad 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 tentang Verrdovende

  

Middelen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang-Undang Obat bius.

  Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu undang- undang tentang ketentuan-ketentuan mengenai candu dan obat-obat bius lainnya

  

yang tersebar dalam berbagai ordonantie.

  Pada zaman prasejarah, manusia telah mengenal zat psikoaktif (termasuk didalamnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat lain yang memabukkan).

  Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran dan bunga-bungaan dari berbagai jenis tanaman telah lama diketahui manusia purba akan efek farmatologinya.

  Sejarah mencatat, ganja telah digunakan manusia sejak 2.700 SM, sedangkan opium telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk menenangkan bagi mereka yang sering menangis ataupun sakit. Selain zat-zat tersebut dipakai untuk pengobatan,

   tidak jarang pula digunakan untuk mendapat kenikmatan bagi pemakainya.

  Seiring dengan peralihan zaman yang ditandai dengan kemajuan peradaban manusia dalam bidang teknologi, maka manusia pun dapat mengolah zat-zat psikoaktif tersebut dengan cara yang begitu canggih pula. Pada sekitar tahun 800 manusia telah menemukan proses cara penyulingan, yang dampaknya juga berpengaruh pada proses penyulingan narkotika di kemudian hari. Opium yang telah digunakan sekitar 5.000 SM, ternyata pada tahun 1805 telah dapat dimurnikan dan kemudian disebut dengan morphin. Pada tahun 1834 jarum suntik ditemukan, yang juga telah mempengaruhi cara manusia mengonsumsi narkotika dengan cara menyuntikkan bahan tersebut ke jaringan darah pada tubuh dan

   tentunya lebih mempercepat proses penggunaannya.

  Di Indonesia perkembangan hukum narkotika dan psikotropika secara historis, diawali dengan perkembangan peredaran narkotika yang diatur dalam 54 55 Hari Sasangka, Op. Cit, hal 163.

  

Verrdovende Middelen Ordonantie (Staatsblad No. 278 jo No. 536). Dalam

  kehidupan masyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat bius. Sejak tahun 1909, tercatat bahwa Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt memprakarsai pembentukan Komisi Opium Internasional (KOI) di Shanghai, untuk mencari langkah-langkah terbaik mengatasi demam opium (candu) di beberapa belahan dunia. Karena pada tahun 1909, peredaran opium

   telah meluas di berbagai negara.

  Sesudah terbentuknya KOI tersebut, beberapa negara di dunia telah berkali- kali mengadakan pertemuan dan menyempurnakan Konvensi Opium Internasional yang intinya mengatur dan membatasi secara ketat peredaran di sebuah negara, terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan dengan tujuan pengobatan. Di luar dari tujuan tersebut, memproduksi opium di golongkan tindak kejahatan dan

   kriminalitas, dan bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum internasional.

  Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang.

  Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang- undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

  Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan Instruksi No. 6 Tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama Badan Koordinasi Pelaksanaan (BAKOLAK) INPRES No 6 Tahun 1971, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing. Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi.

  Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

  Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan berdasarkan Verrdovende mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, dianggap tidak dapat mengikuti perkembangan lalu lintas dan alat-alat transportasi yang mendorong terjadinya kegiatan penyebaran dan pemasokan narkotika di Indonesia.

2. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1976

  Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang mengubahnya, yang merupakan hasil dari United Nations Conference for

  

Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug , selanjutnya Pemerintah

  Indonesia menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1976

  

  tentang Narkotika, Lembaran Negara R.I Tahun 1976 No. 37. Setelah ada Undang-undang ini, ordonansi obat bius tahun 1927 dinyatakan tidak berlaku lagi.

  Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini mengatur lebih luas cakupannya, lebih lengkap serta lebih berat ancaman pidananya. Undang-undang ini diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1976.

  Berlakunya Undang-Undang baru ini, menyebabkan beberapa perubahan yang cukup mendasar dalam pengaturan mengenai narkotika. Dengan berlakunya undang-undang ini maka di buka kemungkinan untuk mengimpor, mengekspor, menanam, memelihara narkotika bagi kepentingan pengobatandan atau tujuan ilmu pengetahuan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pada dasarnya

   narkotika masih sangat dibutuhkan bagi pengobatan.

  Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah : a. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci.

  b. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut. 59 c. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya.

  d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika.

  e. Acara pidananya bersifat khusus.

  f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan narkotika.

  g. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika.

  h. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.

   i. Ancaman pidananya lebih berat.

  Politik hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah: a. Bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan.

  b. Bahwa sebaliknya narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama.

  c. Bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan manusia dan kehidupan negara dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun.

  d. Bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan penggobatan dan/atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu narkotika perlu ditetapkan dalam undang- undang tentang narkotika yang baru, sebagai pengganti dari Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 jo. No. 536) yang telah tidak

   sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan ilmi perkembangan zaman.

  UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dalam Bab I diatur beberapa ketentuan, disamping ketentuan umum, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang- undang narkotika tersebut. Dalam Bab II diatur tentang ketentuan mengenai narkotika untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.Dalam

  pasal 3 ayat (1) undang-undang ini, ditetapkan bahwa narkotika hanya digunakan

   untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.

  Bab III mengatur tentang pengangkutan narkotika, dimana diwajibkan kepada pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nahkoda, kapten penerbang, atau pengemudi, tentang jenis dan jumlah narkotika yang akan diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun di transit.Dalam Bab IV diatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang meliputi:

  1. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menuasai tanaman papaver, tanaman koka, atau tanaman ganja.

  2. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.

  3. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan, untuk memiliki ayau untuk persediaan atau menguasai narkotika.

  4. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika.

  5. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.

  6. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.

   7. Dilarang secara tanpa hak menggunakan bagi dirinya sendiri.

  Dalam Bab V diatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan didepan pengadilan. Dalam pasal 25 ayat (1) undang-undang ini disebutkan bahwa perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain, untuk diajukan ke pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya dalam pasal 28 undang- unang ini, disebutkan bahwa di depan pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

  Undang-undang ini juga menganut sistem ganjaran (premi), diatur dalam

  Bab VI pasal 31 yang menyebutkan bahwa kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Bab VII diatur tentang ketentuan pengobatam dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika dan usaha penanggulangannya.Dalam Bab VIII diatur tentang ketentuan pidana, dimana barangsiapa yang melanggar pasal 23 ayat (1), s.d. ayat (7) di pidana dengan pidana penjara dan denda, pidana seumur hidup, pidana mati, terhadap pelanggaran pada perbuatan-perbuatan yang di larang.

  Pidana atau pidana penjara diancam bagi yang melanggar pasal 23 ayat (4), yakni dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika. Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) di pidana penjara yang sama dengan pidan apenjara bagi tindak pidananya.Ketentuan tentang pemberatan hukuman, diancam dengan pidana dam ditambah dengan sepertiganya.

  Pemberatan hukuman ini diberikan kepada tindak pidana pembujukan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana, jika terpidana ketika melakukan kejahatan belum lewat 2 tahun sejakmenjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, maka pidana tersebut dapat ditambah dengan sepertiga.

  Dalam ketentuan pidana ini ditetapkan juga bahwa terhadap pelanggaran KUHP ayat (1) ke-2 dan ke-6.Disamping itu, bagi barangsiapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara. Demikian pula dalam pasal 46 bahwa setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar kepada penyidik, dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika dipidana

   dengan pidana penjara.

  Ketentuan pidana dalam undang-undang ini mengatur ketentuan bahwa semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut digolongkan ke dalam kejahatan dan pelanggaran. Undang-undang ini juga mengatur tentang tindak pidana korporasi (pasal 49) yakni jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suau perseroan, suatu periksaan orang yang lainnya atas suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan

   dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib di jatuhkan.

3. Pengaturan Psikotropika Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997

  Psikotopika pertama kali diatur dalam Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal

  22 Desember 1949 tentang Sterkwerkendegeneesmiddelen Ordonantie yang kemudian diterjemahkan dengan Ordonansi Obat Keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur tersendiri tetapi masih disatukan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras. Pada tanggal 2 April 1985 keluar Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 213/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang obat keras tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mencabut Keputusan Menteri

  Kesehatan RI Nomor 983/A/SK/1971 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 10381/A/SK/1972. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1993 di keluarkan lagi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/Men.Kes/Per/II/1993 tentang Obat Keras Tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan Peraturan

67 Menteri Kesehatan RI terdahulu.

  Pada tanggal 11 Maret 1993, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika di undangkan dalam lembaran negara RI Tahun 1997 nomor 10 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3671. Sebelum terbitnya undang-undang ini, sudah banyak kasus-kasus yang menyangkut psikotropika yang berupa peredaran dan penyalahgunaan ekstasi dan sabu-sabu, akan tetapi kasus-kasus tersebut tidak mudah ditanggulangi karena perangkat undang-undangnya yang lemah. Selain undang-undangnya memang belum ada, masalah psikotropika juga mengalami kesulitan untuk ditangani dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

   karena psikotropika tidak diatur di dalam kedua undang-undang tersebut.

  Pembentukan Undang-Undang Psikotropika tidak dapat dilepaskan dari adanya konvensi-konvensi sebagai berikut: a. Konvensi Psikotropika 1971 (Convention on Psychotropic Subtances 1071).

  b. Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

69 Subtances 1988).

  Dengan dua konvensi tersebut sebenarnya telah terbuka bagi Indonesia untuk mengakui dan meratifikasi konvensi tersebut serta melakukan kerjasama 67 penanggulangan, penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap psikotropika baik secara bilateral maupun multilateral.

  Didalam UU No. 5 Tahun 1997 pengertian psikotropika terdapat dalam

  Bab I Ketentuan Umum, yaitu:Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1997).

  Undang-Undang Psikotropika membedakan jenis-jenis psikotropika menjadi

  

  4 golongan yaitu:

  a. Psikotropika golongan I Yang dimaksud dengan psikotopika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: LSD, MDMA dan mascalin.

  b. Psikotropika golongan II Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin.

  c. Psikotropika golongan III Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: dari kelompok hipnotif sedatif seperti barbiturat.

  d. Psikotropika golongan IV Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam, nitrazepam.

  Adanya penggolongan tentang jenis-jenis psikotropika tersebut, karena yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 hanyalah psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Sedangkan di luar penggolongan psikotopika diatas masih terdapat psikotopika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma seperti itu, yang peraturannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras.

4. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

  Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika berlaku hampir seperempat abad lamanya. Undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang- Undang Narkotika ini berlaku pada saat diundangkan, yaitu pada tanggal 1 September 1997. Salah satu latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah karena kejahatan narkotika telah bersifat transnasional dan dilakukan dengan modusoperandi dan teknologi yang canggih, sementara perundang-undangan yang ada, sudah kurang dapat menanggulangi hal

  Selain itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini dipicu oleh adanya United Nation Convention Against Ilicit Traffic in Narcotic Drugs and

  

Psycotropic Substance tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang

  Nomor 7 Tahun 1997. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika lahir karena didorong dengan berbagai tuntutan keadaan

   yang semakin diwarnai oleh banyaknya penyalahgunaan psikotropika.

  Dalam konsideran Undang-Undang No 22 Tahun 1997 antara lain menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan. Pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan

   terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

  Tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan, mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah

  

sangat membahayakan bagi jiwa manusia.

  Dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini, diatur beberapa ketentuan tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut serta ruang lingkup dan 71 tujuan pengaturan narkotika dalam undang-undang. Narkotika digolongkan menjadi narkotika golongan I, golongan II, golongan III.

  Sedangkan tujuan pengaturan narkotika untuk:

  a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

  b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, dan c. Memberantas peredaran gelap narkotika.

   Penggunaan narkotika hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan

  pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk kepentingan tersebut, maka diperlukan pengaturan tentang pengadaan narkotika yang diatur dalam undang-undang.

   a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika.

  Menurut ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XII Undang- Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya menjadi sebagai berikut: b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika.

  c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.

  d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.

  e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.

  f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika.

  g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika.

  h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika. i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu. k. Kejahatan yang menyangkut penyimpanan fungsi lembaga.

   l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur.

  Mengenai bagaimana bentuk-bentuk masing-masing kejahatan diatas, akan dibicarakan sebagaimana dibawah ini: a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika

  Kejahatan yang menyangkut produksinarkotika diatur dalam pasal 80 Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, namun yang diatur dalam pasal tersebut bukan hanya perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum memproduksi saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan menyediakan, narkotika untuk semua golongan.

  Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika golongan I diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pisdana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika golongan II diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), sedangkan untuk golongan III diancam denga pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

  b. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika disini, bukan hanya jual beli dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor, impordan tukar menukar yang diatur dalam pasal 82 Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Berkaitan dengan tindak pidana ini perbuatan menyalurkan dan menyerahkan termasuk kedalam perbuatan jual beli narkotika, karena peredaran narkotika sebagaimana dimaksud pada pasal 32 didalamnya terdapat unsur yang slah satunya meliputi kegiatan dalam rangka perdagangan.

  Ancaman pidana untuk kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika golongan I yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika golongan II diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan untuk golongan III diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

  c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika Kejahatan narkotika dalam arti luas termasuk perbuatan membawa, mengirim dan mentransito narkotika diatur dlam pasal 81 Undang-Undang No. 22

  Tahun 1997 tentang Narkotika. Ancaman pidana untuk kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika golongan I yaitu pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta ruiah). Kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika golongan

  II diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banayak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan untuk golongan III diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika , didalam undang- undang membedakan antaratindak pidana menguasai narkotika golongan I dengan tindak pidana menguasai narkotika golongan II dan golongan III dilain pihak karena dipengaruhi adanya penggolongan narkotika tersebut yang memiliki fungsi dan akibat yang berbeda sehingga pengaturannya diatur didalam pasal yang berbeda.

  Pidana menguasai narkotika golongan I diatur dalam pasal 78 Undang- Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Penguasaan terhadap narkotika golongan I yang berbentuk tanaman atau tidak berbentuk tanaman diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Kemudian untuk narkotika golongan II dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan narkotika golongan III diancam dengan pidana penjara paling alama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) diatur dalam pasal 79 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tenyang Narkotika.

  e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika Tindak pidana penyalahgunaan narkotika terhadap orang lain diatur dalm

  pasal 84 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Penyalahgunaan narkotika golongan I terhadap orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Penyalahgunaan terhadap orang lain untuk tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan untuk golongan III diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling abanyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

  Pengaturan tindak pidana penyalahgunaannarkotika untuk diri sendiri diatur dalam pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut pasal 85, ancaman pidana yang diberikan kepad penyalahguna narkotika terhadap diri sendiri yaitu untuk narkotika golongan I diancam dengan pidan penjara paling lama 4 (empat) tahun, untuk narkotika golongan II diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan untuk golongan III diancam dengan pidan penjara paling lama 1 (satu) tahun.

  f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menghendaki supaya pecandu narkotika melaporkan diri atau keluarganya yang melaporkan diri sendiri atau keluarganya yang melaporkan. Hal ini diatur dalam pasal 46, 86 dan

  pasal 88 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Ancaman pidana yang diberikan kepada keluarga dalam hal ini orang tua atau wali yang belum cukup umur sengaja tidak melapor diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sedangkan bagi orang tua atau wali yang telah cuup umur apabila tidak melapor akan diancam dengan pidana kurungan 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

  Kejahatan dalam pasal 86 dan pasal 88 diatas semuanya adlah delik dolus Oleh karena itu orang tua atau wali dan keluarga pecandu narkotika yang lalai tidak melaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk mendapat perawatan/pengobatan, tidak dapat dipidana. Lain halnya dengan pecandu narkotika yang sudah cukup umur, kemungkinan sangat sulit melakukan kelalaian untuk melaporkan diri, karena yang bersangkutan bahwa dirinya sebgai pecandu narkotika. Kalau tidak melaporkan diri sedangkan ia tahu betul keadaan dirinya sendiri merupakan perbuatan yang sengaja. Terhadap orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah melaporkan tidak dapat dituntut pidana karena didasarkan pada pertimbangan bahwa tindakan tersebut mencerminkan itikad baik sebagai wujud peran serta masyarakat.

  g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika Diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencantumkan kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika (pasal 41). Kemudian untuk dapat dipublikasikanpasal 42 dan pasal 89 Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak farmasi. Apabila pabrik obat tidak melaksanakan ketentuan sebagaiman diatur dalam pasal 89 tersebut akan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

  h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika Yang dimaksud proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara ditingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses peradilan dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

  Menghalang-halangi dengan mempersulit merupakan dua perbuatan yang berbeda, akan tetapi tujuannya sama yaitu menghendaki supaya jalannya proses peradilan tidak lancar atau tidak jadi sama sekali. Perbuatan menghalang-halangi dilakukan sebelum pemeriksaan (di semua tingkat pemeriksaan) dan dapat dilakukan oleh siapa saja, sedang perbuatan mempersulit dilakukan ketika pemeriksaan perkara sedang berlangsung dan pelakunya adalah orang yang sedang di periksa oleh petugas atau pejabat pemeriksa. i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika

  Barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana dilakukan penyitaan di jadikan barang bukti perkara bersangkutan dan barang bukti tersebut harus di ajukan dalam persidangan pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti dipergunakan dlam tindak pidana maka harus ditetapkan dirampas untuk dimusnahkan.

  Pada perkara narkotika ada kemungkinan barang bukti yang disita berupa tanaman yang jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak mungkin barang bukti tersebut diajukan ke persidangan semuanya. Berdasarkan Pasal 71 barang bukti yaang demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang bukti itu dimusnahkan. Semua tidakan penyidik di atas yang berupa penyitaan, penyisihan dan pemusnahan wajib dibuat berita acaranya dan dimasukkan dalam berkas perkara.

  Sehubungan dengan hal tersebut dalam perkara narkotika, apabila penyidik Pasal 94 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu

  Sebelum seorang saksi memberikan keterangan di muka persidangan, maka saksi wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya (pasal 160 ayat (3) KUHAP). Dengan cara demikian diharapkan saksi dalam memberikan keterangannya selalu konsekuen dengan sumpah yang di ucapkannya.

  Sejalan dengan hal tersebut, apabila dalam perkara narkotika saksi tidak memberikan keterangan dengan benar dapat dipidana berdasarkan Pasal 95 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

  300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). k. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga

  Lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang ternyata melakukan kegiatan narkotika tidak sesuai dengan tujuan penggunaan narkotika sebagaimana di tetapkan oleh undang-undang, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan di jatuhi pidana dalam Pasal 99 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur Kejahatan dibidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan dilakukan pula bersama dengan anak dibawah umur (belum genap berusia 18 tahun). Anak-anak yang belum dewasa cenderung mulai dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berhubungan dengan narkotika, karena jiwanya belum stabil akibat perkembangan fisik dan psikis. Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur untuk melakukan kegiatan narkotika merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal

  87 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Ancaman pidana yang diatur dalam pasal 87 tersebut adalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan paling banayak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

  Politik hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

  

  adalah :

  a. Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indoesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata materiil dan spiritural berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus-menerus menurut derajat kesehatannya.

  b. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi mengusahakan ketersedian narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan sisi lain, melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

  c. Bahwa narkotika di satu sisi, merupakan obat dan bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.

  d. Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi menanam, menyimpan, mengedarkan dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku adalah sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.

  e. Bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut.

B. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

  Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 sebagai bagian dari hukum positif telah

  

  penempatan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 143. Ruang lingkup UU No 35 Tahun 2009 telah diatur dalam pasal 5 UU No. 35 Tahun 2009, bahwa pengaturan narkotika dalam undang-undang ini meliputi segala bentuk kegiaatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika yang dapat menjadi sebuah pendahuluan sebelum pembahasan akan ketentuan pidana dala undang-undang aquo bahwa telah diatur secara limitatif hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika yang memiliki konsekuensi pidana apabila dilanggar karena pada intinya, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembanagan ilmu pengetahuan dan teknologi (vide pasal 7 UU No.

   35 Tahun 2009).

  Undang-Undang No. 35 tahun 2009 diatur mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

   penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

  Dengan keberlakuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 maka :

  a. Psikotropika golongan I dan golongan II dinyatakan sebagai bagian dari 78 narkotika; b. UU No. 22 Tahun 1997 tidak berlaku lagi;

  c. Lampiran psikotropika golongan I dan Golongan II di dalam UU No. 5 Tahun 1997 tidak berlaku lagi;

  d. Peraturan-peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1997 tetap diberlakukan;

  e. Kecuali untuk peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika kabupaten/kota, dicabut dan diperkuat keberadaanya denga UU No. 35 Tahun 2009; f. Dikenal istilah pecandu, penyalahguna dan mantan pecandu.

  g. Diatur mengenai rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan upaya lain dengan pendekatan keagamaan dan tradisional; h. Jenis pemidanaan yang lebih kuat, dalam bentuk pidana penjara maupun denda; i. Diatur mengenai vonis dan penetapan rehabilitasi (mandatory rehabilitation) sebagai bagian integral dengan tujuan diberlakukannya UU No. 35 Tahun

  2009; j. Masyarakat wajib melaporkan tentang penyalahgunaan narkotika dan kewajiban ini disertai dengan sanksi apabilatidak dilaksanakan sehingga diharapkan peran serta masyarakat meningkat dalam mengungkap tindak pidana narkotika; k. Pemerintah harus membuat:

  1) Peraturan Pemerintah tentang kegiatan transito narkotika (vide Pasal

  32 UU No. 35 Tahun 2009);

  2) Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan prekursor narkotika (vide Pasal 52 UU No. 35 Tahun 2009);

  3) Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu narkotika dan orangtua atau wali dari pecandu narkotika (vide Pasal 55

  UU No. 35 Tahun 2009); 4)

  Perturan Pemerintah tentang pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika ( vide Pasal 62 UU No. 35 Tahun 2009);

  5) Peraturan Pemerintah tentang pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan narkotika (vide Pasal 62 UU No. 35 Tahun

  2009); 6)

  Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan dan pengawasan narkotika dan prekursor narkotika yang di sita ( vide Pasal 89 UU No. 35 Tahun 2009);

  7) Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu berupa sebagian kecil barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika (vide Pasal 90 UU No.

  35 Tahun 2009); 8)

  Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan yang berupa narkotika maupun prekursor narkotika (vide Pasal 94 UU No. 35 Tahun 2009);

  9) Peraturan Pemerintah tentang tata cara perlindungan oleh negara memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika beserta keluarganya dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa,dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara (vide Pasal 100 UU No. 35 Tahun 2009);

  10) Peraturan Pemerintah tentang tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika ( vide Pasala 101 UU No. 35 Tahun 2009). l. Menteri Kesehatan harus membuat:

  1) Peraturan Menteri Kesehatan tentang perubahan penggolongan narkotika ( vide Pasal 6 UU No. 35 Tahun 2009);

  2) Peraturan Menteri Kesehatan tentang penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika ( vide Pasal 9 UU No. 35 Tahun 2009);

  3) Peraturan Menteri Kesehatan tentang kebutuhan narkotika dalam negeri ( vide Pasal 10 UU No. 35 Tahun 2009);

  4) Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pemberian izin dan pengendalian terhadap produksi narkotika ( vide Pasla 11 UU No. 35

  Tahun 2009); 5)

  Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ( vide Pasal 12 UU No. 35 Tahun 2009);

  6) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan narkotika bagi lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta untuk memperoleh, menanam, menyimpan dan menggunakan narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi ( vide Pasal 13 UU No. 35 Tahun 2009);

  7) Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara penyimpanan narkotika secara khusus yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan ( vide Pasal 14 UU No. 35 Tahun 2009);

  8) Peraturan Pemerintah Menteri Kesehatan tentang jangka waktu, bentuk, isi dan tata cara pelaporan pemasokan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan ( vide Pasala 14 UU No. 35 Tahun 2009);

  9) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara memperoleh

  Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor narkotika (vide

  Pasal 22 UU No. 35 Tahun 2009);

  10) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara perizinan peredaran narkotika dalam bentuk obat jadi (vide Pasal 36 UU No. 35

  Tahun 2009); 11)

  Peraturan Menteri Kesehatan tentang daftar Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat (vide Pasal 37 UU No. 35 Tahun 2009);

  12) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyaluran narkotika (vide Pasal 42 UU No. 35 Tahun 2009);

  13) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyerahan narkotika (vide Pasal 44 UU No. 35 Tahun 2009);

  14) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi narkotika (vide Pasal 22 UU No. 35 Tahun 2009);

  15) Peraturan Menteri Kesehatan tentang perubahan penggolongan prekursor narkotika (vide Pasal 49 UU No. 35 Tahun 2009);

  16) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyusunan rencana kebutuhan tahunan prekursor narkotika (vide Pasal 50 UU No.

  35 Tahun 2009); 17)

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Analisis Laporan Keuangan - Analisis Pengaruh Cost To Income Ratio (CIR), Debt To Equity Ratio (DER), Size Bank, Return On Asset (ROA), Earnings Per Share (EPS), Dan Non Performing Loan (NPL) Terhadap Ha

1 1 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Pengaruh Cost To Income Ratio (CIR), Debt To Equity Ratio (DER), Size Bank, Return On Asset (ROA), Earnings Per Share (EPS), Dan Non Performing Loan (NPL) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbank

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kertas - Pemanfaatan Serat Lidah Mertua (Agave Angustifolia Haw) dan Kulit Pisang Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kertas

1 6 19

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Butik 2.1.1 Asal-usul butik - Budaya Kerja Pengusaha Butik Studi Deskriptif Pada Pengusaha Butik di Sun Plaza Medan

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Budaya Kerja Pengusaha Butik Studi Deskriptif Pada Pengusaha Butik di Sun Plaza Medan

0 1 28

BUDAYA KERJA PENGUSAHA BUTIK (Studi Deskriptif Pada Pengusaha Butik di Sun Plaza Medan ) SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi Sosial

0 0 10

Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon

0 0 12

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai, - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 0 25

NIM : 110200010 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

0 0 8